Ia melangkah cepat ke ruang tengah, meraih blazer yang masih tergantung di dekat pintu. Lalu menyambar tas kecilnya dari atas meja. Ia bahkan tidak peduli piyamanya belum berganti, asal tubuhnya tertutup dan sepatu ada di kaki.
Tangannya membuka pintu dan ia keluar. Langkahnya cepat menuruni tangga. Angin malam menyambutnya, menampar pipi yang masih merah bekas tamparan Darrel. Tapi tak ada air mata. Hanya dada yang sesak … dan tekad yang mulai menyala. Angin malam menggesek kulitnya, menelusup melalui lengan blazer yang dikenakannya seadanya. Runa duduk diam di bangku besi halte yang dingin, menekuk kakinya sedikit dan memeluk tubuhnya sendiri. Lampu jalan memancarkan cahaya pucat, memantul samar di permukaan aspal yang mulai lembap oleh embun malam. Pikirannya seperti terombang-ambing. Antara rasa malu karena hampir saja menyeret orang lain dalam kekacauan hidupnya, dan kemarahan karena terus-menerus dijatuhkan oleh laki-laki yang disebutnya suami. Desahan itu. Tawa itu. Dan nama Litha berulang kali terdengar seperti luka yang terus disayat ulang. Ia bersandar, menatap langit yang gelap. Tak ada bintang malam ini. Hanya awan berat dan udara dingin yang perlahan menembus sendi-sendi tubuhnya. Ponselnya bergetar. Sekali. Dua kali. Tapi ia tak melihat. Runa tak peduli. Yang saat ini dirasakannya hanya rasa muak dengan semua sandiwara rumah tangga yang hanya hidup di mata publik. Muak dengan peran istri sempurna yang terus dituntut darinya, seolah utang budi membuatnya harus menanggung segalanya. Ia menatap jemarinya yang gemetar pelan. “Apa hidupku hanya akan begini terus?” Lalu seperti refleks, matanya melirik ke layar ponsel. Notifikasi panggilan tak terjawab. Tapi tentu saja itu bukan dari Darrel. Tapi dari nomor tak dikenal. Dan ia tahu betul siapa pemiliknya. Hatinya terasa seperti ditarik dua arah. Tapi kali ini … ia tidak ingin berpikir terlalu jauh. Tidak tentang dosa, tidak tentang benar salah. Hanya tentang rasa lelah yang butuh tempat istirahatnya. Dan malam ini, tempat itu bukan rumah. Bukan juga pelukan siapapun. Hanya tempat sunyi yang tidak menuntut walau itu hanya sebuah halte kecil. Ia duduk diam lebih lama, hingga matanya mulai berat. Dan di tengah sepi itulah, untuk pertama kalinya … Runa membiarkan dirinya menangis. Angin malam makin menusuk tulang. Runa duduk meringkuk di bangku halte, matanya terpejam, napasnya tenang, namun wajahnya masih menyimpan bekas luka yang terlalu segar. Rambutnya sebagian menempel di pipi, lembap dan acak-acakan. Ia tak lagi sadar waktu. Tak sadar dunia terus berjalan tanpa menunggunya. Lalu … sebuah sentuhan lembut menyentuh pundaknya. Pelan. Penuh kehati-hatian. Tapi cukup untuk membuat tubuhnya mengejang. Runa terbangun. Mata yang masih berat itu memicing saat menatap ke atas. Siluet seorang pria berdiri di depannya, sebagian wajahnya tersembunyi bayang cahaya lampu jalan. Tapi suara itu… "Runa?" Nada rendah itu seketika menyapu sisa kantuknya. Napasnya tercekat. Ia menegakkan tubuh, menatap lebih jelas. Pria itu berdiri dengan ekspresi cemas … dan sepasang mata yang tak bisa ia lupakan sejak malam itu. Runa buru-buru mengusap wajahnya, menyeka pipi dengan telapak tangan. “Kenapa kamu di sini?” Kian menunduk sedikit, seolah ingin menyamakan pandangan. “Kamu pikir kamu satu-satunya yang nggak bisa tidur malam ini?” Runa tersenyum miris. “Kamu membuntutiku lagi?” “Enggak. Aku cuma ... penasaran. Kamu matikan panggilan. Lalu nggak balas apa-apa. Aku cuma ingin tahu kamu baik-baik saja. Tapi ternyata ...” Ia memandangi keadaan sekitar halte, lalu pandangan jatuh ke wajah Runa, yang masih tampak lelah dan kusut. “… ternyata kamu lebih dari sekadar tidak baik-baik saja.” Runa menghela napas panjang. “Aku cuma … nggak tahu harus ke mana.” Kian menatapnya dalam. “Kamu tahu. Tapi kamu menolak mengakuinya.” Runa tertawa kecil, tapi getir. “Dan kamu pikir kamu tahu ke mana aku harusnya pergi?” Kian menggeleng pelan. “Enggak. Tapi kalau kamu butuh tempat untuk … tidak bicara, atau untuk bicara sepuasnya, atau hanya tidur tanpa mimpi buruk, aku bisa jadi tempat itu.” Runa menoleh, menatap mata pria itu. Tak ada tuntutan. Tak ada tekanan. Hanya sebuah tawaran … untuk beristirahat, sesuatu yang ia butuhkan. Untuk sesaat, ia hampir berkata iya. Hampir membiarkan dirinya hanyut lagi dalam dosa. Tapi suara itu datang lagi, seperti sebuah peringatan dalam dirinya sendiri. ‘Jangan jadi Litha.’ Runa menunduk. “Aku nggak bisa, Kian.” “Aku nggak minta kamu bisa.” Kian melangkah mundur sedikit, memberikan ruang. “Aku cuma ingin kamu tahu … kamu nggak sendiri.” Kian menunduk sedikit. Matanya memperhatikan lebih saksama wajah Runa yang setengah tertutup rambut. Ia menyibakkan helai itu perlahan … lalu diam. Bekas merah samar masih terlihat di pipi kanan Runa. Tak begitu jelas dalam temaram cahaya halte, tapi cukup mencolok bagi mata yang peduli. “Siapa yang berani …” ucapnya, setengah gumam, sebelum terhenti sendiri karena ia tahu jawabannya. Runa buru-buru menunduk. Jemarinya bergerak gelisah di pangkuan, seolah mencoba menutupi sisa luka yang sebenarnya jauh lebih dalam dari yang tampak di kulit. “Runa ...” Kian bersuara lebih pelan, tapi nadanya tegas. “Kenapa kamu masih bertahan di sana?” Runa diam. Udara terasa lebih dingin. Hatinya seperti menutup diri, seperti biasa. Ia tidak terbiasa lemah di hadapan siapapun. Kian berjongkok di depannya, setara dengan pandangan mata Runa. Lalu, dengan sangat perlahan, ia menyentuh pipi yang memar itu dengan ujung jemari. Sentuhan itu bukan untuk memilikinya, tapi untuk memeluk luka itu tanpa kata. “Kamu tahu ...” bisik Kian, “… nggak ada seorang pun di dunia ini yang dilahirkan untuk disakiti terus-menerus. Setiap orang berhak untuk bahagia. Termasuk kamu.” Runa menahan napas. Kata-kata itu … seperti sesuatu yang sudah lama ia lupakan. “Berhenti mengorbankan diri, Runa. Kamu bukan utang piutang. Kamu manusia. Perempuan yang layak dicintai, bukan dipakai sebagai alat.” Runa mendongak perlahan, menatap pria itu. Mata mereka bertemu. Sepasang jiwa yang sama-sama lelah, tapi satu di antaranya lebih berani bicara. “Kalau kamu terus diam, kamu akan hancur. Bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai diri sendiri. Sampai kamu nggak lagi kenal siapa kamu.” Kian berdiri, lalu mengulurkan tangan. Jemarinya terbuka … menunggu sebuah jawaban.Juwita mengangkat wajahnya perlahan, ia masih ragu. "Run … ini sudah klien besar kedua yang mundur dalam minggu ini."Runa memejamkan mata sejenak, lalu membukanya lagi dengan tatapan tajam. "Oke. Catat baik-baik. Kita akan buat daftar semua klien yang mundur, beserta alasan mereka. Aku mau tahu siapa yang menghubungi mereka sebelum keputusan itu diambil.""Baik … tapi —""Nggak ada tapi." Runa memotong cepat, lalu duduk di kursinya. "Kalau mereka mau main kotor, kita nggak akan diam. Darrel pikir dia bisa tekan aku lewat bisnis? Salah besar."Juwita menggenggam tablet lebih erat. "Run,aku … aku cuma takut ini bakal makin besar."Runa menatapnya lama. "Wit, dengar. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur. Kalau mereka mau perang, kita kasih perang. Tapi kali ini … kita yang pilih medannya."Juwita mengangguk pelan, tapi ekspresinya masih khawatir. Ia berbalik menuju pintu, lalu berhenti. "Run … kamu hati-hati, sepertinya Darrel nggak main-main."Runa tersenyum tipis, senyum yang lebih mi
Telepon di meja Runa bergetar keras, tapi ia justru menutupnya dan menekan tombol panggil setelah memilih nomor Darrel. Setiap nada tunggu membuat darahnya berdesir lebih cepat, hingga akhirnya suara itu terdengar di telinganya. Datar dan nyaris tanpa emosi.“Runa.”“Jangan pura-pura nggak tahu.” Suara Runa tajam, tanpa ucapan salam. “Aku baru saja lihat live stream itu. Litha, di depan ratusan ribu orang, memainkan narasi yang jelas-jelas menjatuhkan aku. Dan kamu … membiarkannya.”Terdengar tawa kecil di ujung sana, tawa pendek yang dingin. “Membiarkannya? Runa, aku tidak bisa mengontrol semua orang, apalagi Litha.”Runa mengepalkan tangan. “Omong kosong. Aku yakin dia nggak akan bisa ngomong se-presisi itu tanpa ada yang membisikinya. Dan satu-satunya orang yang diuntungkan dari semua ini adalah —”“Cukup.” Nada suara Darrel berubah tajam, memotong kalimatnya. “Kalau kamu mau nuduh aku, pastikan kamu siap dengan bukti. Atau … sebenarnya kamu cemburu karena aku nggak pernah punya ha
Pagi itu, kantor masih sunyi. Hanya suara kipas pendingin dan derit kursi yang mengisi ruang. Runa baru saja membuka laptopnya ketika suara langkah terburu-buru terdengar dari arah koridor. Juwita muncul di pintu dengan wajah pucat dan napas tersengal, seperti baru saja berlari dari ujung gedung.“Run …” suaranya parau, matanya lebar. “Kamu harus lihat ini. Sekarang.”Tanpa menunggu persetujuan, Juwita menaruh ponselnya di atas meja kerja Runa. Layar menampilkan sebuah siaran langsung di media sosial yang sudah ditonton puluhan ribu orang.Di layar, Litha duduk di kursi beludru abu-abu, di depan meja kaca dengan bunga putih yang disusun rapi. Latar belakangnya sederhana, tapi pencahayaan sempurna membuat kulitnya terlihat bercahaya. Gaun biru pastel yang ia kenakan memberi kesan lembut yang rapuh.“Pagi ini …” suara Litha terdengar rendah, nyaris gemetar, “saya memutuskan untuk bicara … setelah sekian lama saya memilih diam.”Ia berhenti sebentar, menunduk, dan menarik napas panjang.
Malam sudah sangat larut saat pintu apartemen terbuka perlahan. Darrel masuk dan menutupnya tanpa suara. Gerakannya tenang, tapi berat seperti seseorang yang baru saja menjalani jam-jam panjang penuh basa-basi dan senyum palsu. Aroma parfum kayu yang hangat langsung menyusup ke ruangan, mendahului sosoknya. Jas hitamnya basah di bagian bahu, rambutnya sedikit acak akibat hujan.Litha duduk di sofa, kaki disilangkan dengan posisi yang tampak santai tapi penuh perhitungan. Gaun satin tipis berwarna gelap terlihat cantik dengan warna kulitnya yang kontras, mengikuti lekuknya dengan kilau lembut yang hampir terlalu intim untuk malam yang dingin. Rambutnya terurai agak berantakan, eyeliner-nya juga mulai memudar. Di meja kopi, segelas wine merah hanya tersisa setengah, namun jemarinya memegangnya seolah tak akan melepaskan.“Kamu datang juga,” suaranya datar, nyaris dingin, tanpa menoleh.Darrel menggantung jasnya di kursi makan, lalu berjalan pelan, tatapannya mengikuti Litha dari ujung k
Restoran itu temaram diterangi cahaya lilin yang bergoyang lembut di setiap meja. Dindingnya berlapis kayu tua mengkilap, aroma rempah hangat bercampur samar dengan bau anggur merah yang baru dibuka. Musik jazz pelan mengalun dari sudut ruangan, seakan ingin menenangkan, tapi justru membuat udara di antara mereka terasa semakin berat.Runa melangkah masuk, tumit sepatunya beradu dengan lantai kayu, setiap langkah terdengar mantap dengan irama yang sempurna. Matanya menangkap sosok Darrel yang sudah duduk di meja pojok, jas hitamnya rapi, dasinya tertata sempurna, dan di bibirnya tersungging senyum tipis. Senyum yang bagi kebanyakan orang tampak hangat, tapi bagi Runa justru terasa seperti jerat yang siap mengencang.“Kamu cantik sekali malam ini, Sayang,” ucap Darrel sambil bangkit, menarik kursi untuknya dengan gerakan yang terlalu manis untuk bisa dipercaya.Runa duduk perlahan, menatapnya datar. “Kamu tidak bilang akan ada makan malam seperti ini.”Darrel mengangkat alis, tersenyum
Pagi itu udara di kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Rasa dingin itu bukan hanya datang dari pendingin ruangan, tapi dari tatapan diam-diam yang mengikutinya sejak melewati pintu lobi, dari balik layar komputer, dari meja resepsionis, bahkan dari lorong tempat beberapa rekan-rekan kerja Runa yang berdiri sambil pura-pura ngobrol.Tumit sepatu Runa beradu dengan lantai marmer, menghasilkan bunyi jernih yang terdengar terlalu nyaring, seolah setiap langkahnya mengumumkan keberadaannya kepada semua orang yang sudah lebih dulu membaca berita pagi ini. Bunyi itu memantul di kepalanya, selaras dengan detak jantungnya yang semakin cepat.Ia tak perlu membuka ponsel untuk tahu apa yang terjadi. Semalam, ia sudah melihat semuanya, tepat ketika ia berbaring gelisah di tempat tidur, mencoba memejamkan mata. Ia bisa melihat notifikasi masuk bertubi-tubi dari grup-grup chat kantor yang riuh, pesan dari nomor tak dikenal, tautan berita dengan judul tebal yang di layar ponselny