Share

GLP8

last update Last Updated: 2025-07-20 18:00:30

Ia melangkah cepat ke ruang tengah, meraih blazer yang masih tergantung di dekat pintu. Lalu menyambar tas kecilnya dari atas meja. Ia bahkan tidak peduli piyamanya belum berganti, asal tubuhnya tertutup dan sepatu ada di kaki.

Tangannya membuka pintu dan ia keluar. Langkahnya cepat menuruni tangga. Angin malam menyambutnya, menampar pipi yang masih merah bekas tamparan Darrel. Tapi tak ada air mata. Hanya dada yang sesak … dan tekad yang mulai menyala.

Angin malam menggesek kulitnya, menelusup melalui lengan blazer yang dikenakannya seadanya. Runa duduk diam di bangku besi halte yang dingin, menekuk kakinya sedikit dan memeluk tubuhnya sendiri.

Lampu jalan memancarkan cahaya pucat, memantul samar di permukaan aspal yang mulai lembap oleh embun malam.

Pikirannya seperti terombang-ambing. Antara rasa malu karena hampir saja menyeret orang lain dalam kekacauan hidupnya, dan kemarahan karena terus-menerus dijatuhkan oleh laki-laki yang disebutnya suami.

Desahan itu. Tawa itu. Dan nama Litha berulang kali terdengar seperti luka yang terus disayat ulang.

Ia bersandar, menatap langit yang gelap. Tak ada bintang malam ini. Hanya awan berat dan udara dingin yang perlahan menembus sendi-sendi tubuhnya.

Ponselnya bergetar. Sekali. Dua kali. Tapi ia tak melihat. Runa tak peduli.

Yang saat ini dirasakannya hanya rasa muak dengan semua sandiwara rumah tangga yang hanya hidup di mata publik. Muak dengan peran istri sempurna yang terus dituntut darinya, seolah utang budi membuatnya harus menanggung segalanya.

Ia menatap jemarinya yang gemetar pelan. “Apa hidupku hanya akan begini terus?”

Lalu seperti refleks, matanya melirik ke layar ponsel. Notifikasi panggilan tak terjawab. Tapi tentu saja itu bukan dari Darrel. Tapi dari nomor tak dikenal.

Dan ia tahu betul siapa pemiliknya.

Hatinya terasa seperti ditarik dua arah. Tapi kali ini … ia tidak ingin berpikir terlalu jauh. Tidak tentang dosa, tidak tentang benar salah. Hanya tentang rasa lelah yang butuh tempat istirahatnya.

Dan malam ini, tempat itu bukan rumah.

Bukan juga pelukan siapapun. Hanya tempat sunyi yang tidak menuntut walau itu hanya sebuah halte kecil.

Ia duduk diam lebih lama, hingga matanya mulai berat. Dan di tengah sepi itulah, untuk pertama kalinya … Runa membiarkan dirinya menangis.

Angin malam makin menusuk tulang. Runa duduk meringkuk di bangku halte, matanya terpejam, napasnya tenang, namun wajahnya masih menyimpan bekas luka yang terlalu segar. Rambutnya sebagian menempel di pipi, lembap dan acak-acakan. Ia tak lagi sadar waktu. Tak sadar dunia terus berjalan tanpa menunggunya.

Lalu … sebuah sentuhan lembut menyentuh pundaknya.

Pelan. Penuh kehati-hatian. Tapi cukup untuk membuat tubuhnya mengejang.

Runa terbangun. Mata yang masih berat itu memicing saat menatap ke atas.

Siluet seorang pria berdiri di depannya, sebagian wajahnya tersembunyi bayang cahaya lampu jalan. Tapi suara itu…

"Runa?"

Nada rendah itu seketika menyapu sisa kantuknya. Napasnya tercekat.

Ia menegakkan tubuh, menatap lebih jelas. Pria itu berdiri dengan ekspresi cemas … dan sepasang mata yang tak bisa ia lupakan sejak malam itu.

Runa buru-buru mengusap wajahnya, menyeka pipi dengan telapak tangan. “Kenapa kamu di sini?”

Kian menunduk sedikit, seolah ingin menyamakan pandangan. “Kamu pikir kamu satu-satunya yang nggak bisa tidur malam ini?”

Runa tersenyum miris. “Kamu membuntutiku lagi?”

“Enggak. Aku cuma ... penasaran. Kamu matikan panggilan. Lalu nggak balas apa-apa. Aku cuma ingin tahu kamu baik-baik saja. Tapi ternyata ...” Ia memandangi keadaan sekitar halte, lalu pandangan jatuh ke wajah Runa, yang masih tampak lelah dan kusut. “… ternyata kamu lebih dari sekadar tidak baik-baik saja.”

Runa menghela napas panjang. “Aku cuma … nggak tahu harus ke mana.”

Kian menatapnya dalam. “Kamu tahu. Tapi kamu menolak mengakuinya.”

Runa tertawa kecil, tapi getir. “Dan kamu pikir kamu tahu ke mana aku harusnya pergi?”

Kian menggeleng pelan. “Enggak. Tapi kalau kamu butuh tempat untuk … tidak bicara, atau untuk bicara sepuasnya, atau hanya tidur tanpa mimpi buruk, aku bisa jadi tempat itu.”

Runa menoleh, menatap mata pria itu. Tak ada tuntutan. Tak ada tekanan. Hanya sebuah tawaran … untuk beristirahat, sesuatu yang ia butuhkan.

Untuk sesaat, ia hampir berkata iya. Hampir membiarkan dirinya hanyut lagi dalam dosa.

Tapi suara itu datang lagi, seperti sebuah peringatan dalam dirinya sendiri. ‘Jangan jadi Litha.’

Runa menunduk. “Aku nggak bisa, Kian.”

“Aku nggak minta kamu bisa.” Kian melangkah mundur sedikit, memberikan ruang. “Aku cuma ingin kamu tahu … kamu nggak sendiri.”

Kian menunduk sedikit. Matanya memperhatikan lebih saksama wajah Runa yang setengah tertutup rambut. Ia menyibakkan helai itu perlahan … lalu diam.

Bekas merah samar masih terlihat di pipi kanan Runa. Tak begitu jelas dalam temaram cahaya halte, tapi cukup mencolok bagi mata yang peduli.

“Siapa yang berani …” ucapnya, setengah gumam, sebelum terhenti sendiri karena ia tahu jawabannya.

Runa buru-buru menunduk. Jemarinya bergerak gelisah di pangkuan, seolah mencoba menutupi sisa luka yang sebenarnya jauh lebih dalam dari yang tampak di kulit.

“Runa ...” Kian bersuara lebih pelan, tapi nadanya tegas. “Kenapa kamu masih bertahan di sana?”

Runa diam. Udara terasa lebih dingin. Hatinya seperti menutup diri, seperti biasa. Ia tidak terbiasa lemah di hadapan siapapun.

Kian berjongkok di depannya, setara dengan pandangan mata Runa. Lalu, dengan sangat perlahan, ia menyentuh pipi yang memar itu dengan ujung jemari. Sentuhan itu bukan untuk memilikinya, tapi untuk memeluk luka itu tanpa kata.

“Kamu tahu ...” bisik Kian, “… nggak ada seorang pun di dunia ini yang dilahirkan untuk disakiti terus-menerus. Setiap orang berhak untuk bahagia. Termasuk kamu.”

Runa menahan napas. Kata-kata itu … seperti sesuatu yang sudah lama ia lupakan.

“Berhenti mengorbankan diri, Runa. Kamu bukan utang piutang. Kamu manusia. Perempuan yang layak dicintai, bukan dipakai sebagai alat.”

Runa mendongak perlahan, menatap pria itu. Mata mereka bertemu. Sepasang jiwa yang sama-sama lelah, tapi satu di antaranya lebih berani bicara.

“Kalau kamu terus diam, kamu akan hancur. Bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai diri sendiri. Sampai kamu nggak lagi kenal siapa kamu.”

Kian berdiri, lalu mengulurkan tangan. Jemarinya terbuka … menunggu sebuah jawaban.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Viva Oke
betul kata kian, berhenti mengorbankan diri Runa..kamu berhak bahagia.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP107

    “Iya, aku kangen banget sama dia. Puas?” balas Runa, “astaga … bahkan saat dia tidak ada di sini, kamu juga masih cemburu sama dia?” Kian tertawa, tangannya meraih pinggang Runa, kemudian menarik tubuh perempuan itu lebih dekat ke arahnya. Ia mendekatkan wajahnya, menatap mata Runa dengan tatapan intens yang penuh dengan kesungguhan. “Aku cemburu, tentu saja. Karena aku cinta sama kamu. Karena aku nggak mau kamu lihat pria lain selain aku,” imbuhnya. Runa merasakan jantungnya berdegup kencang. Napasnya tertahan saat menatap mata Kian yang begitu dekat, begitu intens. Tangannya terangkat, menyentuh dada Kian yang bidang, merasakan detak jantung lelaki itu yang berdegup sama cepatnya dengan miliknya. “Kian …” Runa berbisik pelan. Tanpa menunggu lagi, Kian menundukkan kepalanya, bibirnya menyentuh bibir Runa dengan lembut. Awalnya hanya kecupan ringan, seolah bertanya izin. Tapi, begitu Runa membalas, kecupan i

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP106

    Runa menatap Kian dengan tatapan penuh kekhawatiran. Di sekelilingnya, Karin dan Bram masih berbincang dengan antusias tentang rencana pernikahan, membahas tema, lokasi, bahkan bunga yang akan digunakan. Namun, Runa sama sekali tidak bisa fokus. Pikirannya dipenuhi dengan satu hal. Bagaimana mungkin mereka bisa menikah jika secara hukum dia masih terikat dengan Darrel?Kian merasakan kecemasan Runa melalui genggaman tangannya yang semakin kencang. Ia menoleh ke arah Runa, lalu tersenyum tipis. Sebuah senyum yang menenangkan tapi penuh dengan kepastian.“Ayo, ikut aku.” Kian menarik tangan Runa dengan cepat. Runa membungkukkan setengah badannya sambil tersenyum, lalu mengikuti Kian. Keduanya berjalan cepat menuju ruang kerja Kian yang ada di sudut rumah.Runa menatap punggung Kian dengan tatapan bingung. Jantungnya berdegup kencang, perasaan tidak enak mulai menyelinap di dadanya. Apa yang akan Kian ambil? Apa yang akan dia tunjukkan?Beberapa saat kemudian, Kian berbalik dengan sebuah

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP105

    Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Runa menatap keluar jendela, tangannya terkepal di pangkuannya, pikirannya berkecamuk. Ia masih bisa merasakan kekecewaan yang terpancar dari wajah Kian tadi. Ia tahu, penolakannya pasti menyakiti Kian. Tapi, Runa tidak bisa begitu saja mengabaikan kenyataan bahwa secara hukum, dia masih terikat dengan Darrel.Kian tidak mengatakan apa-apa lagi. Tangannya mencengkeram setir dengan tenang, wajahnya datar, matanya fokus ke jalan. Namun, Runa bisa merasakan ketegangan yang masih menggantung di udara di antara mereka.Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Runa menyadari sesuatu yang aneh. Jalanan yang mereka lalui bukan jalanan menuju apartemennya. Ia mengerutkan alis, menoleh ke arah Kian dengan tatapan bingung.“Kian, ini bukan jalan ke apartemen kita,” kata Runa.Kian tidak menjawab. Ia hanya terus mengemudi dengan tenang, seolah tidak mendengar pertanyaan Runa.“Kian? Kita mau ke mana?” Runa melontarkan pertanyaan. Membuat

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP104

    Kian memarkirkan mobilnya di area parkir rumah sakit yang luas, matanya langsung menyapu sekeliling mencari sosok Runa. Ia sudah mengirim pesan sejak tadi pagi, mengatakan akan menjemput Runa setelah urusan di rumah sakit selesai. Namun, sejak sampai, dia tidak menemukan Runa di lobi atau di koridor tempat mereka biasa bertemu. Kian melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit. Matanya terus mencari keberadaan Runa. Dan langkahnya terhenti tepat di jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumah sakit. Kian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Runa duduk di bangku taman dengan sinar matahari sore yang menerangi rambutnya yang tergerai lembut. Tapi, yang membuat langkah Kian terhenti adalah sosok lelaki yang duduk di kursi roda tepat di sebelah Runa. Robert. Lelaki itu tampak lebih kurus dari terakhir kali Kian melihatnya, wajahnya pucat, tapi senyumnya masih sama, senyum yang terlalu hangat, terlalu akrab.

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP103

    Runa merasakan paru-parunya terbakar, napasnya tercekat di tenggorokan yang dicengkeram dengan keras oleh tangan Darrel. Matanya mulai berkabut, air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Tangannya mencakar pergelangan tangan Darrel, kukunya menggores kulit lelaki itu, tapi genggaman Darrel tidak mengendur sedikitpun.“Jawab aku, Runa!” Darrel berteriak lagi.Suara pria itu memekakkan telinga di ruang sempit itu. Wajahnya merah padam, urat-urat di lehernya menegang, matanya menyala penuh amarah yang tidak terkendali. “Apa yang kamu katakan ke Mama? Kamu meracuni pikirannya, kan? Kamu bilang apa tentang Litha? Kamu pasti berkata buruk tentang Litha pada Mama, bukan? Katakan, Runa! Mustahil kamu tidak mengatakan hal buruk tentang Litha!”Runa membuka mulutnya, mencoba menjawab, tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya desahan napas tersengal-sengal yang terdengar semakin lemah. Penglihatan Runa mulai mengabur, tubuhnya melemas, tangannya yang semula menc

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP102

    Runa menatap pintu ruang rawat yang terbuka di hadapannya. Napasnya tertahan sejenak, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu melangkah masuk dengan perlahan.Ruangan itu sunyi, hanya terdengar dengungan halus mesin-mesin medis yang terpasang di sekitar tempat tidur. Cahaya lampu redup memberikan suasana yang tenang tapi menegangkan. Di tengah ruangan, terbaring sosok Lila Lukito dengan kepala bersandar pada bantal putih tebal. Wajah Lila tampak pucat, kurus, dengan garis-garis halus yang semakin dalam di sekitar matanya. Tapi, matanya, mata yang selalu penuh kehangatan itu kini terbuka, menatap ke arah pintu dengan pandangan yang begitu lembut.“Mama.” Runa memanggil pelan, suaranya bergetar tanpa bisa dia sembunyikan.Lila tersenyum tipis, tangannya yang kurus terangkat perlahan dari atas selimut, seolah mengundang Runa untuk mendekat. “Runa, Sayang. Kemarilah.”Runa m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status