Share

SSAS4

last update Last Updated: 2025-06-30 18:01:01

Gaun satin warna biru keabu-abuan itu tergeletak di atas ranjang. Darrel sendiri yang meletakkannya sebelum pergi. Masih licin, mahal, dan beraroma deterjen hotel bintang lima. Gaun yang nyaris tak pernah dipakai Runa karena ia terlalu tahu setiap helainya hanya untuk menyenangkan mata mertua, bukan dirinya sendiri.

Runa berdiri di depan cermin besar kamar. Pakaian dalam tipis sudah membalut tubuhnya. Tapi bukan kelembutan yang terpancar dari wajah itu, melainkan ketegangan yang sulit diuraikan. Ia berdiri diam beberapa saat, membiarkan pantulan itu menatap balik dirinya sendiri.

Wajah itu sama. Hidung mancung kecil. Bibir yang tak pernah terlalu tipis, tak juga penuh. Kulit bersih yang selalu dirawat sejak masuk keluarga Lukito. Tapi ada sesuatu yang berbeda di balik sinar mata itu, seperti lelah namun dingin.

Ia menyentuh lehernya. Masih ada jejak kemerahan samar di sana, bekas jari Darrel. Bekas kemarahan. Bekas penghinaan. Bekas sebuah pelampiasan perasaan cemburu.

Lucu, pikirnya. Laki-laki yang menjadikan tubuh istrinya barang mati, kini marah karena tubuh itu akhirnya disentuh orang lain.

“Dia cemburu bukan karena cinta,” bisiknya menyadarkan dirinya sendiri, “tapi karena egonya.”

Ia mengambil gaun itu, menyarungkannya perlahan. Kain satin dingin menyentuh kulit yang belum sepenuhnya pulih dari gigil malam sebelumnya. Tangannya sedikit gemetar saat merapikan bagian dada gaun, lalu mengancingkan bagian belakang dengan susah payah.

Pantulan di cermin kembali menatapnya. Kini dengan gaun indah, wajah berbedak tipis, dan mata yang tidak lagi berkaca-kaca.

“Keluarga Lukito memang membawaku keluar dari panti asuhan,” katanya pada dirinya sendiri di cermin, dengan suara datar, “tapi aku yang memilih bertahan dalam neraka ini.”

Ia menyematkan anting terakhir. Membuang napas. Lalu tersenyum pada bayangan dirinya. Senyum hampa yang bahkan tak menyentuh matanya.

“Baiklah, Nyonya Lukito. Mari kita akting bersama malam ini.”

Dan dengan langkah tenang, Runa berjalan keluar dari kamar, menyimpan semua luka rapat-rapat di balik gaun satin yang nyaris sempurna.

Mobil hitam itu melaju tenang di jalanan aspal yang mengkilap karena cahaya sore. Di dalamnya, hanya suara AC dan desahan halus mesin yang terdengar. Runa duduk di samping Darrel tanpa sepatah kata pun. Jarak mereka tak lebih dari satu lengan, tapi rasanya seperti duduk di kutub yang berlawanan.

Darrel menyetir tanpa menoleh. Tidak ada musik. Tidak ada pembicaraan. Hanya keheningan yang lebih menyakitkan daripada bentakan.

Runa menunduk. Tangannya mengepal di atas pangkuan gaun. Ia sudah tahu, pesta makan malam keluarga ini bukan sekadar formalitas. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Dan apapun itu, pasti akan kembali menyeretnya ke panggung sandiwara yang selama tiga tahun ini tak pernah benar-benar ia sukai.

Mobil berhenti di halaman rumah besar keluarga Lukito. Bangunannya masih megah seperti pertama kali Runa menginjakkan kaki di sana. Pagar tinggi, taman dengan air mancur bundar, dan lampu gantung besar di teras utama. Dari jendela, tampak siluet Nyonya Lukito berdiri menunggu.

Senyumnya masih sama.

“Runa sayang!” Suara lembut itu menyambut sebelum Runa sempat melangkah penuh. Lila – Mama Darrel – memeluknya hangat, seolah tak pernah ada yang retak di antara mereka. “Akhirnya kamu datang juga. Aduh, cantik sekali kamu malam ini. Warna gaun ini pas sekali di kulitmu.”

“Terima kasih, Mama.” Runa tersenyum lembut, menahan napas dan luka bersamaan.

“Darrel, cepat masuk. Papa sudah nunggu tuh, di ruang makan.”

Ruang makan keluarga Lukito tampak mewah, seperti biasa. Meja panjang dengan taplak bermotif emas, lilin tinggi di tengah, piring-piring porselen Eropa, dan makanan yang tersusun rapi seolah dari majalah kuliner. Papa Darrel – Rega Lukito – duduk di kepala meja, membaca koran sambil sesekali melirik jam tangan.

“Sudah jam segini. Kalian memang hobi terlambat ya,” komentarnya ringan tanpa nada marah. “Ayo duduk. Langsung makan saja, aku sudah lapar.”

Makan malam berlangsung dalam kehangatan yang menyesakkan dada. Hidangan demi hidangan tersaji dengan tampilan sempurna, seolah tak ada satu pun celah dalam keluarga ini. Di kepala meja, Rega Lukito menyendok sup sambil melirik arloji. Di sebelahnya, istrinya – Lila – duduk dengan postur anggun, wajahnya cerah memancarkan kasih sayang.

Runa duduk di samping Darrel, di sisi kanan meja. Tangannya terlipat di pangkuan, seolah mencoba mengunci seluruh kegelisahan yang ingin melompat dari dalam dada.

Obrolan mengalir ringan, mulai tentang ekspansi bisnis properti, anak teman lama yang baru lulus kuliah, hingga politik yang makin membosankan. Runa hanya tersenyum sewajarnya, mengangguk jika ditanya. Matanya sesekali mencuri pandang ke arah Nyonya Lukito, yang terlihat bahagia melihat keluarganya lengkap di meja makan.

Namun kehangatan itu tiba-tiba berubah jadi medan yang menegangkan ketika Nyonya Lukito berkata sambil meletakkan sendok dengan gerakan pelan, “Runa, Mama ingin bertanya sesuatu, boleh?”

Runa menoleh sopan. “Tentu, Ma.”

“Sudah tiga tahun kalian menikah.” Senyum wanita itu hangat, tapi mengandung makna mendalam. “Mama hanya ingin tahu … kapan kami bisa menimang cucu?”

Runa tercekat. Sendoknya berhenti di tengah jalan. Ia merasa semua orang berhenti mengunyah.

Tuan Lukito menambahkan sambil mengangkat gelas. “Kalau ada cucu, Papa sudah siapkan saham keluarga untuk dia. Akan Papa alihkan langsung ke namanya. Kami serius soal generasi berikutnya.”

“Ya,” lanjut Nyonya Lukito dengan senyum menggantung, “mumpung Mama masih sehat. Mama ingin lihat cucu pertama sebelum … ya, kamu tahu, usia Mama tidak muda lagi.”

Tekanan itu meledak seperti bom senyap di dada Runa. Ia menelan ludah. Pikirannya kosong sejenak.

Darrel belum bicara. Tapi ia duduk lebih tegak di samping Runa. Matanya melirik tajam.

Runa membuka mulut, dan seperti dikhianati oleh bibirnya sendiri, kalimat itu meluncur begitu saja.

“Mungkin … akan sulit bagi seseorang untuk hamil, kalau pasangannya lebih sering tidur dengan wanita lain,” katanya lirih, nyaris seperti bisikan, tapi cukup jelas untuk membuat tubuh Darrel menegang.

Di bawah meja, tangan Darrel mencengkeram pergelangan tangan Runa, kuat dan mendadak.

“Oh … maksud Runa,” Darrel menyelamatkan situasi cepat, dengan senyum palsu, “kami memang belum terlalu fokus karena pekerjaan. Tapi sekarang kami mulai merencanakannya. Iya, kan, Sayang?”

Runa mengangguk kecil. Lidahnya kelu. Ia bisa merasakan sisa cengkeraman di kulitnya seperti api yang membakar.

“Oh, baguslah,” sahut Tuan Lukito. “Papa sudah siap siapkan beberapa properti sebagai warisan. Kita tidak boleh terlambat.”

Malam ditutup dengan anggur, senyum, dan pelukan dari Nyonya Lukito di ambang pintu. Tapi begitu mobil mereka berhenti di basement apartemen, dunia kembali berubah kelabu.

Mereka masuk ke unit tanpa satu kata. Runa melepas sepatu, lalu berjalan cepat ke arah kamar mandi. Nafasnya pendek. Kepalanya berat. Tapi langkah Darrel lebih cepat.

Pintu kamar mandi terbuka paksa sebelum ia sempat menguncinya.

Darrel masuk. Menutup pintu di belakang mereka. Wajahnya dingin, gelap, rahangnya mengeras.

“Apa tadi itu?” suaranya pelan tapi menggelegar.

Runa tidak menjawab. Ia berdiri di depan wastafel, menatap pantulan wajahnya sendiri. Matanya yang memerah karena menahan sesuatu yang hampir meledak.

Darrel mendekat. Tangan kirinya menahan pinggang wastafel, membatasi ruang gerak Runa. “Awas kalau Mama sampai tahu yang sebenarnya. Kalau sampai Mama shock karena kamu, aku pastikan kamu nggak akan bisa hidup tenang lagi.”

Runa membalikkan badan pelan. Matanya tajam menatap suaminya.

“Kalau kamu ingin aku memberi cucu pada ibumu …” katanya, suaranya rendah dan tajam seperti ujung pisau, “mungkin aku memang harus tidur dengan lelaki lain.”

Darrel menegang. Rahangnya terkunci.

“Karena bagaimana mungkin aku bisa hamil kalau kamu lebih sering meniduri Litha … daripada menyentuh istrimu sendiri?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Liar Pernikahan   SASS5

    Darrel tak langsung bicara. Sorot matanya menghitam. Rahangnya terkunci, dan jemarinya mengepal di sisi tubuhnya. Kalimat Runa barusan menyulut sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar marah. “Ulangi,” desisnya pelan. “Ulangi kalimat barusan, Runa.” Tapi Runa hanya diam. Sorot matanya tajam, tidak bergeming. Ia berdiri tegak, meski jantungnya berdenyut kencang. Tiba-tiba, tangan Darrel menghantam pipinya. Suara tamparan itu menggema keras di ruang kecil kamar mandi. Runa terhuyung ke belakang, nyaris kehilangan keseimbangan, dan menabrak pintu kayu di belakangnya. Belum sempat ia menarik napas, Darrel sudah mencengkram lengannya. “Kalau kamu berani buat Mama kecewa,” bisiknya tajam di telinga Runa, “kamu akan lihat siapa aku sebenarnya.” “Sudah telat, Darrel,” Runa menjawab, napasnya terputus-putus, suara gemetar tapi keras. “Aku sudah lihat siapa kamu … sejak malam pertama kita menikah.” Pukulan selanjutnya datang tanpa peringatan. Kali ini bukan ke wajah, tapi ke bah

  • Gairah Liar Pernikahan   SSAS4

    Gaun satin warna biru keabu-abuan itu tergeletak di atas ranjang. Darrel sendiri yang meletakkannya sebelum pergi. Masih licin, mahal, dan beraroma deterjen hotel bintang lima. Gaun yang nyaris tak pernah dipakai Runa karena ia terlalu tahu setiap helainya hanya untuk menyenangkan mata mertua, bukan dirinya sendiri.Runa berdiri di depan cermin besar kamar. Pakaian dalam tipis sudah membalut tubuhnya. Tapi bukan kelembutan yang terpancar dari wajah itu, melainkan ketegangan yang sulit diuraikan. Ia berdiri diam beberapa saat, membiarkan pantulan itu menatap balik dirinya sendiri.Wajah itu sama. Hidung mancung kecil. Bibir yang tak pernah terlalu tipis, tak juga penuh. Kulit bersih yang selalu dirawat sejak masuk keluarga Lukito. Tapi ada sesuatu yang berbeda di balik sinar mata itu, seperti lelah namun dingin.Ia menyentuh lehernya. Masih ada jejak kemerahan samar di sana, bekas jari Darrel. Bekas kemarahan. Bekas penghinaan. Bekas sebuah pelampiasan perasaan cemburu.Lucu, pikirnya.

  • Gairah Liar Pernikahan   SSAS3

    Pagi datang tanpa suara. Runa membuka mata di kamar yang asing, ditemani bau kayu basah, seprai lembab, dan sisa desah yang belum sepenuhnya padam dari kulitnya. Cahaya matahari masuk samar dari sela tirai tua, menyorot pada rambutnya yang kusut dan leher yang masih menyimpan jejak bibir lelaki itu. Jejak dari malam yang tak akan pernah ia ulang, walau juga tak akan pernah ia lupakan. Ia menyentuh bagian dadanya. Jantungnya masih berdetak cepat. Bukan karena penyesalan, tapi karena tubuhnya untuk pertama kalinya setelah tiga tahun pernikahan, terasa hidup, nyata. Ia merasa dimiliki, dihargai, bukan sebagai istri, tapi sebagai perempuan. Ia menoleh ke sisi ranjang. Kosong. Bahkan tak terlihat jejak lelaki semalam. Hanya ada secarik kertas di atas meja kecil, dengan tulisan tangan yang terburu-buru. “Kian.” Tanpa nomer, tanpa alamat atau pesan khusus. Hanya satu nama. Dan entah kenapa … cukup untuk membuat hatinya terasa seperti dicekam. Runa menarik napas dalam-dalam, lalu berdir

  • Gairah Liar Pernikahan   SASS2

    Hujan seperti merobek langit malam, membasahi seluruh tubuh Runa yang masih berdiri terpaku di trotoar. Bukan karena dingin ia menggigil, tapi karena lelaki di hadapannya. Lelaki dari dalam bus tadi, kini berdiri begitu dekat, nyata, beraroma air hujan dan hasrat yang tak selesai.Ia menatap lelaki itu dalam diam. Nafasnya pendek, dadanya naik turun tak teratur. Tubuhnya masih menyimpan sisa reaksi dari sentuhan dalam bus tadi, dari tekanan samar yang sempat ia benci tapi juga diam-diam ia nikmati. Sekarang, dalam jarak sedekat ini, semua denyut itu kembali menyerbu, liar, tanpa aba-aba.Lelaki itu tak berkata apa-apa. Matanya menatap langsung ke dalam matanya, tanpa malu, tanpa ragu. Ada sorot yang dalam di balik hujan yang membasahi wajah tampannya, seperti mengatakan bahwa ia tahu betul apa yang barusan terjadi di antara mereka. Seolah tubuh mereka sudah saling bicara bahkan sebelum mulut mereka buka.Runa menelan salivanya. Suaranya tercekat."Aku ngikutin kamu," kata lelaki itu p

  • Gairah Liar Pernikahan   SASS1

    Runa menelan kasar salivanya saat merasakan seseorang sengaja menggesek-gesekkan tubuhnya di pantatnya. Ia merasa terhina. Namun tak berdaya dalam sesaknya bus yang sedang melaju itu. Lelaki itu bahkan semakin intens menggesekkan tubuhnya seakan sengaja memancing reaksinya. Runa memperkuat cengkeramannya pada tiang yang berdiri di hadapannya. Ia ingin melawan, tapi ia terlalu takut. Lelaki itu mulai memberanikan diri menyentuh pinggangnya, seakan sedang membantunya memperoleh kekuatan di saat tungkainya mulai terasa lemas. Tapi tidak seperti yang ada dalam pikiran Runa. Lelaki itu justru menekan miliknya lebih kuat di bagian belakang tubuhnya. Ia merasakan sesak, tegang dan kedut yang kuat di antara kedua pahanya. Kegelisahan itu menjalar begitu saja di tubuhnya. Apalagi ketika tiba-tiba jemari tangan itu mulai menyentuh kulitnya. Ia seperti tersihir. Setiap sentuhannya seakan menghisap darah dari seluruh tubuhnya ke satu titik. Jemari itu semakin nakal dan liar. I

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status