Ketukan palu hakim kembali menggema, meredakan riuh sesaat di ruang sidang. Semua mata kini tertuju pada sosok perempuan yang baru saja berdiri lantang di hadapan majelis.“Yang mulia!” suara Runa Kartika terdengar tegas, nyaring, membawa gelombang kejutan. “Semua laporan itu … memang sudah ditukar oleh seseorang!”Ruangan seketika senyap. Hakim mencondongkan tubuhnya, alis terangkat tajam. “Siapa Anda? Apa kapasitas Anda berbicara di ruang sidang ini?” tanyanya, penuh wibawa.Runa menarik napas dalam, lalu menjawab dengan lantang, “Saya, Runa Kartika. Salah satu kuasa hukum dari terdakwa, Kian Mahesa.”Bisik-bisik kembali bergaung, kali ini dengan nada tak percaya. Sementara Kian menatap Runa, campuran lega dan haru memenuhi sorot matanya. Ia tahu, Runa tak akan membiarkannya jatuh. “Yang mulia,” lanjut Runa, sembari mengangkat map coklat yang dibawanya, “saya memiliki bukti bahwa laporan keuangan Surya Group yang dijadikan dasar tuduhan ini bukan hanya dimanipulasi, tetapi benar-be
Malam itu bergulir dalam denyut yang semakin cepat, dalam sentuhan yang semakin dalam, dalam desahan yang pecah berulang kali memecah kesunyian. Waktu seakan lenyap, dunia seakan berhenti, menyisakan hanya mereka berdua yang tenggelam dalam pusaran hasrat dan perasaan yang lama terpendam.Kian memacu, hentakan demi hentakan itu semakin kuat dan liar. Tangannya menahan sepasang tangan Runa tepat di atas kepalanya, seolah tak ingin memberi kesempatan bahkan untuk menjauh sedikit saja darinya. Setiap hentakan itu seperti hendak meluluhlantakkan tubuh Runa, membuat tubuhnya semakin gelisah dalam kenikmatan yang menggelitik melewati sistem sarafnya. Terasa sensasi.aneh di dalam perutnya, yang bahkan tak dapat digambarkannya dengan kata-kata. Panas! Setiap gesekan itu terasa panas di kulitnya, setiap hentakan itu seperti menyiksanya dengan kenikmatan yang ia bahkan tak tahu, ingin dihentikannya atau justru diinginkannya.Sentuhan itu seperti api yang berkobar di bawah kulitnya, membawanya
Runa memejamkan matanya. Namun sesaat kemudian ia melepaskan Kian dengan dorongan pelan. Bibirnya masih panas oleh ciuman tadi, tapi suaranya bergetar menahan keraguan.“Kian … bagaimana dengan Chaca?”Pertanyaan itu meluncur lirih, tapi tajam, menusuk di antara jarak mereka yang masih terlalu dekat. Mata Runa bergetar, ia menolak sekaligus menunggu sebuah jawaban. “Aku nggak mau jadi orang ketiga. Aku nggak mau jadi perempuan yang merusak hubungan orang lain. Kamu tahu gimana hidupku dulu. Aku pernah jadi istri yang cuma sekedar status. Aku tau rasanya diabaikan, karena itu aku nggak akan pernah rela menyeret perempuan lain ke tempat itu.”Kian terdiam, wajahnya menegang, lalu mendekat satu langkah lagi. Tangannya mengangkat dagu Runa, memaksanya untuk menatap lurus ke arahnya. Nafasnya berat, tapi matanya bergeming.“Runa, denger aku baik-baik. Aku nggak pernah, sedikitpun, menganggap dia spesial. Aku mungkin pernah hampir terseret keadaan, tapi hatiku nggak pernah ada buat dia. Da
Sepanjang perjalanan pulang, pandangan Runa kosong menatap ke luar jendela. Kilasan wajah Darrel, tawarannya, dan ancaman halusnya terus berputar di kepala. Ia masih bisa mendengar jelas suara laki-laki itu, begitu yakin bisa menariknya kembali hanya dengan janji manisnya. “Kalau kamu pulang, Litha akan aku usir malam ini juga.”Runa memejamkan mata. Ia tahu persis, itu hanya pola yang akan kembali berulang. Ia tahu Darrel melakukan itu hanya demi keuntungan pribadinya. Namun masalahnya jika ia menolak, Kian bisa saja menanggung akibat yang tak seharusnya. Tuduhan itu, mungkin akan berubah menjadi masalah yang semakin besar dan jika benar-benar masuk pengadilan, maka reputasi Kian akan hancur. “Run?” suara Juwita memecah lamunannya saat mobil yang ditumpanginya sudah berhenti di depan apartemen.Runa tersentak ringan sebelum mengangguk. “Terima kasih.”“Yakin, nggak mau aku temenin malam ini?”Runa tersenyum samar, meski matanya letih. “Aku butuh sendiri. Jangan khawatir. Aku akan ba
Restoran malam itu dipenuhi cahaya lampu gantung kristal yang memantul lembut di dinding kaca. Aroma steak dan wine melayang di udara, diiringi alunan jazz klasik dari sudut ruangan. Runa duduk anggun bersama Juwita, sesekali menyuap potongan salmon sambil berdiskusi santai.“Lucu, ya,” ucap Juwita dengan nada getir, “orang kaya tabrak orang miskin, yang mati dihitung bukan nyawanya, tapi seberapa kuat koneksinya.”Runa meletakkan garpu, tersenyum tipis. “Hukum di negeri ini sering kali bukan soal benar-salah. Lebih sering soal siapa yang punya uang paling banyak untuk membeli kata ‘adil’.”Belum sempat Juwita menimpali, tawa keras dan bernada mengejek memecah ketenangan ruangan.“Oh, lihat siapa di sini. Runa Kartika, pengacara sekaligus duta anti selingkuh, yang kabarnya justru selingkuh dari suaminya sendiri.”Semua kepala refleks menoleh. Litha berdiri di dekat meja mereka, tubuhnya dilapisi gaun ketat merah marun yang berkilau. Wajahnya penuh kepuasan karena berhasil menarik perh
Runa duduk di ruang kerjanya dengan mata yang berat. Sejak berita kemunculan Chaca memenuhi headline, pikirannya terus kalut. Ia baru saja menutup berkas di hadapannya ketika suara telepon masuk memecah keheningqn. Melihat nama Robert yang mengambang di layarnya, Runa segera mengangkatnya. “Run?” suara Robert terdengar hati-hati. “Aku hubungi karena aku khawatir sama kamu. Apa sore tadi … Kian datang ke kantormu?” “Iya. Bagaimana kamu bisa tahu?” “Ada seseorang yang memotret kalian berdua dan foto itu sudah mulai beredar,” sahut Robert dengan suara tenang seolah sedang menjaga perasaan Runa. “Run, kalau boleh tahu … apa benar ada hubungan khusus di antara kalian?”Runa terdiam. Dadanya berdebar kencang. Ia tahu cepat atau lambat hal ini akan jadi pertanyaan. Jemarinya gemetar saat menggenggam ponsel. “Robert … aku —” suaranya tercekat, ia menarik napas panjang. “Aku memang bertemu Kian. Bukan hanya sekali. Dan aku … aku merasa bersalah. Karena aku masih terikat dengan Darrel. Aku s