Share

GLP3

last update Last Updated: 2025-06-30 00:10:42

Pagi datang tanpa suara. Runa membuka mata di kamar yang asing, ditemani bau kayu basah, seprai lembab, dan sisa desah yang belum sepenuhnya padam dari kulitnya. Cahaya matahari masuk samar dari sela tirai tua, menyorot pada rambutnya yang kusut dan leher yang masih menyimpan jejak bibir lelaki itu. Jejak dari malam yang tak akan pernah ia ulang, walau juga tak akan pernah ia lupakan.

Ia menyentuh bagian dadanya. Jantungnya masih berdetak cepat. Bukan karena penyesalan, tapi karena tubuhnya untuk pertama kalinya setelah tiga tahun pernikahan, terasa hidup, nyata. Ia merasa dimiliki, dihargai, bukan sebagai istri, tapi sebagai perempuan.

Ia menoleh ke sisi ranjang. Kosong. Bahkan tak terlihat jejak lelaki semalam.

Hanya ada secarik kertas di atas meja kecil, dengan tulisan tangan yang terburu-buru. “Kian.”

Tanpa nomer, tanpa alamat atau pesan khusus. Hanya satu nama. Dan entah kenapa … cukup untuk membuat hatinya terasa seperti dicekam.

Runa menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri. Badannya masih telanjang, tubuhnya masih lelah, namun ia tak ingin berlama-lama dalam kamar losmen tua ini.

Ia segera mengenakan pakaiannya, sambil menahan nafas saat menyentuh bagian-bagian tubuh yang semalam disentuh oleh tangan asing, tangan yang tidak pernah ia bayangkan akan membangkitkan kembali bagian dirinya yang selama ini terkubur.

Dan saat ia menatap dirinya di cermin kamar mandi kecil itu, matanya yang biasanya dingin … kini terlihat hidup. Dan dalam diam, ia tahu dirinya tak lagi sama.

—-

Langit siang begitu cerah ketika taksi berhenti di depan apartemen. Tak ada hujan, tak ada badai. Tapi di dalam hati Runa, langit justru sedang runtuh.

Ia turun perlahan, menyentuh tombol pintu lift dengan tangan yang masih terasa panas oleh kenangan semalam. Sisa aroma tubuh Kian masih samar di kulitnya. Di tengkuk, di dada, di sela-sela ingatan yang ingin ia kubur tapi tak mampu.

Namun bukan penyesalan yang menyesakkan napasnya. Bukan pula rasa bersalah. Yang membuat langkahnya berat adalah fakta bahwa ia telah kembali ke rumah yang dingin, ke lelaki yang bahkan tak bisa menatapnya tanpa merasa muak.

Saat pintu apartemen terbuka, suara TV menyambutnya. Darrel duduk di sofa, menyandarkan punggung dengan malas pada bantal abu-abu, sambil memainkan ponsel.

“Oh. Pulang juga,” gumamnya. Ia bahkan tidak menoleh.

Runa berdiri sejenak di ambang pintu, menatap punggung laki-laki yang telah tiga tahun menjadi suaminya hanya dalam status.

“Aku tidur dengan pria lain semalam,” ucapnya akhirnya. Suaranya tidak bergetar, tapi nadanya mengiris udara seperti sembilu.

Darrel menghentikan gerakan tangannya. Remote di pangkuannya tergelincir ke lantai. Ia menoleh pelan. Tatapannya membeku.

“Kamu bilang apa tadi?”

“Aku tidur dengan pria lain,” ulang Runa. “Setelah aku lihat kamu bercumbu dengan Litha di depan meja riasku.”

Beberapa detik sunyi. Lalu langkah Darrel terdengar mendekat, cepat dan berat. Dalam sekejap, ia mencengkeram pergelangan tangan Runa, menariknya keras hingga membuatnya terhuyung.

“Kamu gila?” desisnya, penuh amarah. “Kamu sadar nggak apa yang baru kamu bilang barusan?”

Runa menatap matanya. Dingin. Tak tergoyahkan. “Aku sadar. Seperti aku sadar bahwa kamu juga sudah bertahun-tahun menyentuh wanita lain di belakangku. Atau bahkan … di depanku. Di sofa itu. Di ranjang kita. Di seluruh sudut rumah kita.”

Tamparan mendarat tanpa aba-aba. Cepat dan keras. Saking kerasnya sampai membuat kepala Runa menoleh tajam ke kanan. Satu sisi wajahnya langsung terasa panas. Tapi Runa tidak jatuh, ia juga tidak menangis.

Runa kembali memandang Darrel, berdiri tegak dengan mata yang menyala. Mata yang tak lagi mengenal takut.

“Jangan pernah berani main api di belakangku, Runa,” gumam Darrel dengan rahang mengeras. Nafasnya memburu. “Kalau Mama tahu soal ini. Kalau Mama dengar kamu berselingkuh … dan itu memicu serangan jantungnya. Aku pastikan kamu akan menyesal seumur hidup!”

Runa mengatupkan rahangnya. Tangannya mengepal. “Kamu pikir aku akan cerita pada beliau? Aku tidak sekeji itu. Tapi jangan kamu pakai Mama sebagai tameng atas semua kelakuan kamu.”

Darrel menunjuk wajahnya. “Awas saja kalau nama keluarga Lukito tercemar gara-gara kelakuan kamu! Aku nggak akan diam. Semua yang kamu punya sekarang. Status, karier, pendidikan … semuanya karena keluargaku! Camkan itu.”

“Aku berjuang sendiri, Darrel,” suara Runa bergetar rendah, tapi tegas. “Yang membiayai memang keluarga Lukito. Tapi aku kuliah dengan otakku. Aku berdiri di ruang sidang dengan usahaku. Bukan karena kamu.”

Darrel mendekat lebih dekat. Nafasnya memburu. “Kalau kamu nggak nurut, kalau kamu bikin satu saja kesalahan, aku pastikan kamu hancur. Nama kamu, wajah kamu, semua prestasi kamu, aku pastikan semua itu akan tenggelam. Dan kamu akan kembali jadi gadis panti yang tak punya siapa-siapa!”

“Aku menikah dengan kamu bukan karena cinta, Darrel,” bisik Runa. “Aku menikah karena Mama kamu yang minta. Dan aku setuju karena beliau satu-satunya orang yang memperlakukan aku seperti anak sendiri.”

Wajah Darrel menegang. Kata-kata itu menyentaknya, tapi ia menepisnya dengan kemarahan yang lebih besar.

“Malam ini kamu ikut ke rumah. Mama minta kita makan malam bersama. Katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Dan kamu harus datang.”

Darrel berdiri bersandar di ambang pintu kamar. Matanya tajam mengamati tubuh Runa, masih mengenakan blus putih yang kusut dan rok gelap yang belum diganti. Rambutnya berantakan, wajahnya lelah tapi terlihat tegar.

“Dengar baik-baik,” lanjut Darrel. “Awas kalau kamu buka mulut sembarangan di depan Mama. Kamu harus bersikap manis, sopan, dan tetap jadi istri yang baik. Sekali kamu keceplosan … aku pastikan kamu akan menyesal telah membuka matamu pagi ini.”

Runa melemparkan handuk ke kursi dan membuka kancing atas blusnya dengan pelan. Ia menoleh, mata mereka bertemu.

“Kenapa bukan Litha saja yang kamu ajak?” katanya pelan, tapi dengan ironi yang menusuk. “Bukankah dia perempuan yang kamu anggap lebih layak menjadi istrimu?”

Senyum tipis di bibir Darrel lenyap seketika. Wajahnya berubah dingin, lalu menegang seperti batu yang dipukul dari dalam. Sorot matanya menggelap, bukan karena terkejut, tapi karena terhina.

“Kamu masih berani menyebut-nyebut namanya?” desisnya.

“Kenapa tidak?” Runa melangkah mendekat. “Bukankah kamu yang membawanya masuk ke rumah ini? Ke tempat tidur kita. Bahkan saat aku sedang keluar kota. Dan sekarang kamu panik hanya karena aku tidur dengan satu orang asing?”

“Aku tidak panik.” Darrel maju dua langkah, nyaris menabraknya. “Aku jijik. Perempuan seperti kamu seharusnya malu melihat bayangannya sendiri di cermin.”

“Lucu. Karena yang kamu hina sekarang adalah bayangan dari apa yang kamu ciptakan sendiri.” Runa tersenyum getir. “Istri yang kamu acuhkan. Yang kamu jadikan pajangan di pesta keluarga, tapi tak pernah kamu lihat sebagai manusia.”

Tanpa aba-aba, Darrel meraih lengan Runa dan mendorongnya ke lemari. Punggung Runa membentur kayu dengan suara keras. Ia meringis, tapi tak menjerit.

“Kamu pikir kamu bisa menyentuh laki-laki lain lalu pulang ke sini seperti tak terjadi apa-apa?” Darrel mencengkram bahunya. “Kamu pikir kamu bisa mempermalukan aku?”

“Sudah kamu lakukan lebih dulu,” balas Runa pelan.

Darrel menatapnya dengan mata merah, lalu tangannya naik, menyentuh dagu Runa, bukan dengan kelembutan. Jari-jarinya mencengkram rahang perempuan itu, memaksanya menatap lurus ke matanya.

“Perempuan lain tidak penting. Mereka bukan istri keluarga Lukito. Tapi kamu ... kamu punya nama yang melekat dengan keluarga kami. Satu kata salah di depan Mama, satu nada tinggi dari lidahmu malam ini, dan kamu akan kulumat hidup-hidup.”

Runa menahan napas. Tapi matanya tak bergetar.

“Ancamanmu sudah basi, Darrel.”

“Dan kamu belum tahu, aku bisa sekejam apa jika kamu benar-benar mempermalukanku.”

Ia melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Runa terdorong mundur setengah langkah.

Darrel membalikkan badan, lalu berjalan keluar. Tapi sebelum menutup pintu, ia berhenti, hanya kepalanya yang menoleh.

“Pakai baju yang layak. Berdandan seperti istri dari pewaris keluarga Lukito. Dan jaga mulutmu. Jangan kamu bawa aibmu sendiri ke meja makan keluargaku. Karena kalau Mama sampai sakit gara-gara kamu .…”

Ia menatapnya tajam.

“…. tidak akan ada tempat untukmu kembali. Bahkan ke panti asuhan sekalipun.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Viva Oke
Darrel menuntut Aruna sempurna didepan keluarga besarnya..tapi dia sendiri menjijikan di depan Runa.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP107

    “Iya, aku kangen banget sama dia. Puas?” balas Runa, “astaga … bahkan saat dia tidak ada di sini, kamu juga masih cemburu sama dia?” Kian tertawa, tangannya meraih pinggang Runa, kemudian menarik tubuh perempuan itu lebih dekat ke arahnya. Ia mendekatkan wajahnya, menatap mata Runa dengan tatapan intens yang penuh dengan kesungguhan. “Aku cemburu, tentu saja. Karena aku cinta sama kamu. Karena aku nggak mau kamu lihat pria lain selain aku,” imbuhnya. Runa merasakan jantungnya berdegup kencang. Napasnya tertahan saat menatap mata Kian yang begitu dekat, begitu intens. Tangannya terangkat, menyentuh dada Kian yang bidang, merasakan detak jantung lelaki itu yang berdegup sama cepatnya dengan miliknya. “Kian …” Runa berbisik pelan. Tanpa menunggu lagi, Kian menundukkan kepalanya, bibirnya menyentuh bibir Runa dengan lembut. Awalnya hanya kecupan ringan, seolah bertanya izin. Tapi, begitu Runa membalas, kecupan i

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP106

    Runa menatap Kian dengan tatapan penuh kekhawatiran. Di sekelilingnya, Karin dan Bram masih berbincang dengan antusias tentang rencana pernikahan, membahas tema, lokasi, bahkan bunga yang akan digunakan. Namun, Runa sama sekali tidak bisa fokus. Pikirannya dipenuhi dengan satu hal. Bagaimana mungkin mereka bisa menikah jika secara hukum dia masih terikat dengan Darrel?Kian merasakan kecemasan Runa melalui genggaman tangannya yang semakin kencang. Ia menoleh ke arah Runa, lalu tersenyum tipis. Sebuah senyum yang menenangkan tapi penuh dengan kepastian.“Ayo, ikut aku.” Kian menarik tangan Runa dengan cepat. Runa membungkukkan setengah badannya sambil tersenyum, lalu mengikuti Kian. Keduanya berjalan cepat menuju ruang kerja Kian yang ada di sudut rumah.Runa menatap punggung Kian dengan tatapan bingung. Jantungnya berdegup kencang, perasaan tidak enak mulai menyelinap di dadanya. Apa yang akan Kian ambil? Apa yang akan dia tunjukkan?Beberapa saat kemudian, Kian berbalik dengan sebuah

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP105

    Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Runa menatap keluar jendela, tangannya terkepal di pangkuannya, pikirannya berkecamuk. Ia masih bisa merasakan kekecewaan yang terpancar dari wajah Kian tadi. Ia tahu, penolakannya pasti menyakiti Kian. Tapi, Runa tidak bisa begitu saja mengabaikan kenyataan bahwa secara hukum, dia masih terikat dengan Darrel.Kian tidak mengatakan apa-apa lagi. Tangannya mencengkeram setir dengan tenang, wajahnya datar, matanya fokus ke jalan. Namun, Runa bisa merasakan ketegangan yang masih menggantung di udara di antara mereka.Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Runa menyadari sesuatu yang aneh. Jalanan yang mereka lalui bukan jalanan menuju apartemennya. Ia mengerutkan alis, menoleh ke arah Kian dengan tatapan bingung.“Kian, ini bukan jalan ke apartemen kita,” kata Runa.Kian tidak menjawab. Ia hanya terus mengemudi dengan tenang, seolah tidak mendengar pertanyaan Runa.“Kian? Kita mau ke mana?” Runa melontarkan pertanyaan. Membuat

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP104

    Kian memarkirkan mobilnya di area parkir rumah sakit yang luas, matanya langsung menyapu sekeliling mencari sosok Runa. Ia sudah mengirim pesan sejak tadi pagi, mengatakan akan menjemput Runa setelah urusan di rumah sakit selesai. Namun, sejak sampai, dia tidak menemukan Runa di lobi atau di koridor tempat mereka biasa bertemu. Kian melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit. Matanya terus mencari keberadaan Runa. Dan langkahnya terhenti tepat di jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumah sakit. Kian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Runa duduk di bangku taman dengan sinar matahari sore yang menerangi rambutnya yang tergerai lembut. Tapi, yang membuat langkah Kian terhenti adalah sosok lelaki yang duduk di kursi roda tepat di sebelah Runa. Robert. Lelaki itu tampak lebih kurus dari terakhir kali Kian melihatnya, wajahnya pucat, tapi senyumnya masih sama, senyum yang terlalu hangat, terlalu akrab.

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP103

    Runa merasakan paru-parunya terbakar, napasnya tercekat di tenggorokan yang dicengkeram dengan keras oleh tangan Darrel. Matanya mulai berkabut, air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Tangannya mencakar pergelangan tangan Darrel, kukunya menggores kulit lelaki itu, tapi genggaman Darrel tidak mengendur sedikitpun.“Jawab aku, Runa!” Darrel berteriak lagi.Suara pria itu memekakkan telinga di ruang sempit itu. Wajahnya merah padam, urat-urat di lehernya menegang, matanya menyala penuh amarah yang tidak terkendali. “Apa yang kamu katakan ke Mama? Kamu meracuni pikirannya, kan? Kamu bilang apa tentang Litha? Kamu pasti berkata buruk tentang Litha pada Mama, bukan? Katakan, Runa! Mustahil kamu tidak mengatakan hal buruk tentang Litha!”Runa membuka mulutnya, mencoba menjawab, tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya desahan napas tersengal-sengal yang terdengar semakin lemah. Penglihatan Runa mulai mengabur, tubuhnya melemas, tangannya yang semula menc

  • Gairah Liar Pernikahan   GLP102

    Runa menatap pintu ruang rawat yang terbuka di hadapannya. Napasnya tertahan sejenak, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu melangkah masuk dengan perlahan.Ruangan itu sunyi, hanya terdengar dengungan halus mesin-mesin medis yang terpasang di sekitar tempat tidur. Cahaya lampu redup memberikan suasana yang tenang tapi menegangkan. Di tengah ruangan, terbaring sosok Lila Lukito dengan kepala bersandar pada bantal putih tebal. Wajah Lila tampak pucat, kurus, dengan garis-garis halus yang semakin dalam di sekitar matanya. Tapi, matanya, mata yang selalu penuh kehangatan itu kini terbuka, menatap ke arah pintu dengan pandangan yang begitu lembut.“Mama.” Runa memanggil pelan, suaranya bergetar tanpa bisa dia sembunyikan.Lila tersenyum tipis, tangannya yang kurus terangkat perlahan dari atas selimut, seolah mengundang Runa untuk mendekat. “Runa, Sayang. Kemarilah.”Runa m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status