“Tolong … pinjami saya uang, Pak!” Ziandra mengulangi permohonannya karena tak juga dia mendengar sahutan dari Aldric. “Sa-satu miliar rupiah ….” Suaranya seperti mencicit karena gugup, malu, dan ragu ketika mengatakannya.
Awalnya dia hendak meminjam Rp100 juta, tapi mendadak dia berubah pikiran dan menyatakan nominal Rp1 miliar ke Aldric. Dia pikir, uang sebanyak itu bisa mencukupi seluruh biaya pengobatan anaknya.
‘Aku tak peduli dianggap terlalu serakah. Ini semua demi Clara!’ seru batinnya.
Jantungnya berdegup kencang menanti jawaban bosnya. Dia tahu, permintaannya sangat keterlaluan. Mana ada karyawan meminjam sebanyak itu? Terlebih lagi, dia bukan jajaran eksekutif.
Apakah dia akan menerima semburan marah bosnya? Ziandra ingin menangis.
“Kenapa jumlahnya sebesar itu?” Suara Aldric meninggi tanpa berteriak. Tentu saja dia sangat terkejut mendengar nominal yang disebutkan kepala sekretarisnya. Mana ada bawahannya yang berani meminjam sebanyak itu?
Ziandra meremas erat tangannya sampai buku jarinya memutih. Apakah Bos Aldric benar-benar akan menolak permintaannya?
Dengan suara bergetar, Ziandra menjawab, “Karena … karena Anda sangat kaya, Pak!”
Ziandra sendiri tak paham kenapa dia mencetuskan kalimat itu. Seakan meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa bisa dia tahan.
Jawaban jujur dari Ziandra membuat kening Aldric berkerut.
Tapi menit berikutnya, Aldric mengangguk sambil menyeringai aneh dan berkata, “Oke! Aku setuju! Tapi dengan syarat. Bagaimana? Kamu sanggup?”
Betapa gembiranya Ziandra. Bos yang dikenal sebagai dermawan di kalangan para pekerjanya, ternyata memang nyata! Sekarang ada harapan untuk Clara sembuh!
Beban berat di hatinya seakan lenyap menjadi debu diterbangkan angin. Senyumannya terbit, secerah mentari. “Boleh, Pak! Syarat apa pun, saya bersedia! Saya pasti sanggup!”
Mengabaikan senyum aneh bosnya dikarenakan terlalu gembira dan antusias, dia tidak berpikir panjang, dan menyetujui secara gegabah. Pikiran lugunya hanya menduga mengenai pekerjaan yang mungkin diperberat untuknya setelah ini.
Aldric merangkum semua jarinya di atas meja dan bicara, “Syaratnya mudah saja, yaitu kamu wajib melayani saya, di mana pun dan kapan pun saya ingin.” Mata pria itu menatap Ziandra dari atas hingga bawah.
Ziandra bagaikan ditabrak kereta ketika mendengar syarat tersebut. Dia paham apa makna ‘melayani’ yang dimaksud Aldric, dan itu sangat mengagetkan! Bisa-bisanya Aldric menginginkan hal tak pantas dari karyawannya!
Apakah ini benar Bos yang baik, ramah, dan dermawan yang dia ketahui selama ini?
Ziandra melihat Aldric mengetik sesuatu di laptop lalu mencetaknya.
“Tanda tangani ini.” Aldric menyerahkan kertas itu ke Ziandra.
Mata Ziandra membeku membaca judul surat perjanjian antara mereka. “Su-Surat Perjanjian Jual Diri?” Mendadak, dia merasa kesal. “Apakah Bapak tidak merasa nama surat perjanjian ini keterlaluan?”
Dia terlanjur mengucap setuju dan ternyata begini ujungnya. Lantas, dia menatap Aldric yang berjalan mendekat hingga dia secara refleks mundur ke belakang dan tertahan oleh lemari besar.
“Kenapa? Tidak mau?” Aldric mendekatkan wajahnya ke Ziandra sambil berbicara dengan nada rendah dan berat. “Kamu bisa keluar dan anggap saja kita tak pernah membicarakan ini, kalau tak mau. Silakan cari Rp1 miliar di tempat lain!”
Ziandra bergidik merinding ketika melihat bagaimana Aldric yang dikenal baik, bisa berkata hal semacam itu diiringi seringaian. Apakah sebenarnya pria ini hanya memakai topeng palsu di depan semua orang?
“Cepat putuskan! Aku tak punya banyak waktu!” desak Aldric sambil menaruh satu tangannya di sisi kepala Ziandra. Tatapannya tajam bagaikan predator yang siap mencaplok mangsanya.
Ingin sekali Ziandra berlari keluar. Tapi tidak! Clara butuh dioperasi! Anaknya harus sembuh! Apa pun caranya!
“Ma-mau! Saya … saya mau, Pak!” Sambil meremas erat ujung blazer-nya, Ziandra akhirnya setuju. “Tapi tolong transfer dulu ke rekening saya.”
Ziandra lega melihat Aldric mengangguk dan menjauh. Maka, dia pun menandatangani surat perjanjian tersebut.
Kenekatannya memang menerjang nilai moralitas yang dianut sebagai wanita bersuami. Tapi … anak adalah segalanya! Dia yang mengandung dan merasakan sakitnya saat melahirkan Clara, maka sudah sepantasnya dia memperjuangkan Clara meski harus mengorbankan martabatnya!
Ziandra terkesiap. “Ti-tiga puluh kali? Saya … saya harus melayani Bapak sebanyak 30 kali? Dan … akan mendapat hukuman jika mangkir meski satu kali?”
Dia terkejut ketika membaca dengan teliti pasal-pasalnya. Tapi bosnya tak mau tahu. Perjanjian sudah ditandatangani.
“Aku sudah mentransfernya.” Aldric melakukan apa yang diinginkan Ziandra.
Segera, Rp1 miliar ada di rekeningnya. Dia lekas mengirimkan Rp100 juta ke pihak rumah sakit. Dengan begitu, Clara bisa dioperasi!
“Nah, sekarang lakukan kewajibanmu!” Aldric melepaskan jasnya.
Ziandra menelan saliva. Dia melihat Aldric menghubungi resepsionis lantainya untuk membatalkan rapat dan menolak semua tamu yang akan masuk ke ruangan.
“P-Pak ….” Ziandra tak sadar melangkah mundur dan pantatnya menyentuh tepian meja besar Aldric. Dia risih ketika pria itu menjulurkan wajah untuk menciumnya. Di tempat itu juga?! “Ja-jangan di sini.”
“Kamu tidak memiliki posisi tawar-menawar mengenai itu, Zia.” Aldric tidak peduli dan mulai meraih wajah Ziandra untuk menyatukan bibir mereka, melumat semaunya.
Ziandra kewalahan dengan ciuman agresif Aldric. Bagaimana bisa orang yang kerap dia dampingi dan dia hormati, ternyata melakukan ini padanya dengan penuh napsu? Air mata mulai berkumpul di pelupuk.
“Arh!” Dia terkejut ketika tubuhnya didorong hingga rebah setengah badan di atas meja. “Pak!”
“Ssshh! Jangan bersuara keras atau yang di luar bisa mendengarmu!” Suara berat Aldric keluar, berbarengan dengan pria itu mengurai manik blazer dan juga blus Ziandra.
Dengan kebuasan tak terduga, mulut Aldric menguasai puncak dada Ziandra dan meremas puas di sana. Ziandra memejamkan mata, tak sanggup melihat.
Bahkan, dia menahan pekikannya ketika secara mendadak ditarik dari meja dan badannya diputar membelakangi Aldric.
Dia lekas membekap mulutnya sendiri ketika roknya disingkap ke atas dan Aldric menurunkan celana dalamnya dengan kasar. Wajahnya merah padam menahan malu.
“Kamu yang meminta ini, Zia,” ucap Aldric dengan geraman disertai seringaian. “Urrghh!”
Ziandra membekap erat-erat mulutnya sambil menahan tangis ketika harga dirinya koyak seiring ‘pertahanannya’ ditembus milik Aldric. Dia merasa hancur sehancur-hancurnya.
Hatinya berbisik pilu, ‘Mas Dion, maafkan aku ….’
“Ta-takut sama papamu?”Winda mematung. Susan dan Ziandra terkejut. Suasana menjadi hening seketika, seolah udara lenyap dari ruangan.Mereka semua tidak memiliki sangkaan sejauh itu terhadap apa yang menjadi alasan Clara.“Apa maksudmu, Sayang?” Susan bertanya pelan.Clara menatap takut-takut ke Winda dan semua orang di sana. Seakan bocah itu hendak mengatakan sesuatu, tapi ragu.“Sayang, ada apa? Bicara saja, tak apa, kok!” bujuk Ziandra sambil menatap lembut ke putrinya.“Papa… Rara takut. Papa… papa sering cubit Rara. Papa… sering marah ke Rara. Oma Susan tak ada, Papa pukul Rara.” Bocah itu berbicara dengan kalimat kurang beraturan. Tubuhnya sedikit gemetar saat menyatakan itu.Ziandra dan semua di sana membelalakkan mata. Winda bahkan ternganga tak percaya.“Sayang, maksudmu… papamu sering memukul kamu?” tanya Ziandra hati-hati.Dia tatap lurus mata putrinya.Clara mengangguk dan tertunduk takut.Semua orang pun runtuh dalam kekecewaan.Tangan Ziandra terkepal erat di samping tu
“Zia… menikahlah denganku.”Tatapan pria itu begitu dalam, penuh ketulusan. Tapi justru karena itulah Ziandra dilanda badai dalam hatinya.“A-Apa?” ujarnya terbata.Ziandra terpaku. Kata-kata Aldric menggema dalam pikirannya seperti gema yang tak lekas reda.“Aku serius,” Aldric menggenggam tangannya. “Aku ingin kamu. Clara juga. Kita bisa menjadi keluarga yang utuh. Aku ingin menjagamu selamanya, bukan cuma diam-diam seperti ini.”Ziandra menarik napas dalam. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena senang, tapi karena panik.Dia menunduk. “Aldric… maaf. Aku tidak bisa.”Tatapan Aldric mengeras. “Kenapa?”Ziandra menatap pria itu, mencoba bersikap tenang. “Aku tidak ingin mengaburkan hubungan kita. Kamu… adalah bosku. Aku masih bekerja untukmu. Dan… aku belum siap. Aku tidak ingin… jatuh ke dalam perasaan yang mungkin cuma sementara.”Dia meremas tangannya di atas pangkuannya sendiri. Kepalanya tertunduk.Sebenarnya, bukan itu alasan utamanya.Dia… hanya takut. Dia takut kecewa, tak
“A-Aldric… kita… kita tak perlu melakukan ini.” Ziandra cukup gentar dengan apa yang ada di ruangannya.Ruangan itu tidak menyeramkan, justru interiornya indah dengan dominasi warna kuning pastel dan merah muda.Hanya saja, yang membuat ruangan itu seram adalah alat-alat yang ada di sana.“Kupikir bersenang-senang dengan cara unik, tidak masalah. Ini bisa memperdalam intimasi kita, ya kan?” Aldric menyeringai sambil menutup pintu dan menguncinya.Mata Ziandra beralih dari ranjang bertiang, borgol, palang kayu berbentuk X, dan hal-hal memalukan lainnya ke Aldric.Memperdalam intimasi? Untuk siapa? Yang jelas, bukan dirinya!Dia bukan penyuka BDSM!“Ayo!” Aldric merengkuh pinggang Ziandra dan menggiringnya ke palang kayu berbentuk X.Napas Ziandra memburu, tapi bukan karena bersemangat, justru sebaliknya. Apakah Aldric mulai memiliki fetish tak normal ini?“Jangan khawatir, aku janji takkan kasar dan takkan menyakitimu.” Aldric berbisik di belakang telinga Ziandra. “Lagipula, ini bagian
“Oma?”Clara menatap neneknya dengan mata melebar karena kaget dan bingung.Winda, ibu Dion, sudah berdiri di tengah kamar. Mata merahnya dipenuhi amarah, bukan kesedihan. Nafasnya memburu, seperti hendak menerkam.“Clara Sayang, ke sini sama Oma, ya. Oma mau bicara sesuatu… penting banget.” Suaranya yang manis terdengar dipaksakan, seperti topeng yang sudah nyaris retak.Ziandra segera berdiri dan menghalangi Winda menghampiri Clara. Ibu mertuanya tak boleh mengatakan apa pun pada Clara.Belum saatnya!Ziandra berdiri cepat. “Mami, jangan! Clara belum siap…”“Tidak siap? Kamu yang tidak siap! Kamu yang takut!” Winda menuding Ziandra dengan jari gemetar. “Kamu takut kebenaran terungkap, ya kan? Bahwa kamu penyebab anakku mati?!”“Mami, tolong jangan di depan Rara,” lirih Ziandra dengan suara hampir pecah. “Dia masih kecil.”“Justru karena dia masih kecil, dia harus tahu sejak sekarang betapa ibunya hanyalah pengkhianat! Wanita jahat!” Winda melangkah maju.Clara memeluk bantalnya kuat
“Kaitan denganku?”Aldric tak langsung menjawab. Dia mengusap rambut Ziandra pelan, seperti menenangkan.“Kenapa tiba-tiba menuduhku, hm?” suaranya datar, tanpa emosi, namun justru membuat Ziandra merinding.Ziandra menelan ludah. “Aku tidak menuduh. Aku hanya… bertanya.”Aldric menatapnya lama, seolah menimbang. “Mereka sudah cukup lama menjerat hidupmu. Menindasmu. Merampas kebahagiaanmu. Seandainya mereka pergi karena kebetulan…” Dia berujar pelan, nyaris tak terdengar, “bukankah itu lebih baik?”Ziandra merasakan dadanya mencelos. Seketika napasnya tercekat.“Aku tidak pernah meminta mereka mati, Aldric,” bisiknya gemetar.Sepertinya dugaannya memang benar. Kematian suami dan adiknya ada campur tangan Aldric di dalamnya.Dia tak boleh lupa rumor mengenai Aldric. Apalagi pria itu memiliki kuasa yang tak bisa diremehkan di negeri ini.Aldric meraih tangan Ziandra. Hangat, menenangkan, tetapi juga membuatnya gentar.“Aku pun tidak memintanya,” katanya samar. “Tapi dunia terkadang pun
“Bagaimana, Pak Aldric, bukankah itu sangat ringan bagi Anda? Saya sudah menurunkan nominalnya untuk memudahkan hubungan kita.” Dion tersenyum iblis.Dia yakin Aldric takkan keberatan jika harga yang dia bayar adalah tidak lagi mengganggu Ziandra dan pria kaya itu.Aldric menatap Dion tanpa sedikit pun rasa takut. Dia duduk santai di kursi kerjanya, mencondongkan tubuh hanya sedikit, menatap Dion bagai menatap sampah.“Dua ratus juta, ya?” Bibir Aldric tertarik ke satu sisi, tersenyum sinis. “Nilai harga kebusukanmu ternyata tidak mahal-mahal amat. Aku pikir kamu akan menuntut lebih tinggi.”Dion mencelos, tidak menyangka Aldric akan membalas dengan kalimat setajam itu.“Jangan banyak gaya, Pak Aldric,” desisnya geram, meski gentar. “Saya ini pemegang rahasia Anda. Kalau saya buka ke publik, bukan cuma Anda, tapi juga perusahaan Anda bisa habis reputasinya.”Aldric tertawa pendek, ringan, namun tajam. “Rahasia apa yang kamu pegang? Foto buram? Video gelap? Bahkan jika kamu berkoar, sia