“Wah kalian akhirnya turun juga, aku sudah lama menunggu kalian turun,” kata Alan saat melihat Zwetta dan Dion turun dari tangga. Keduanya bermesraan dan senyum keduanya mengembang di wajah masing-masing. Dion memeluk pinggan Zwetta posessif. “Sudah berbaikan sepertinya melihat kalian turun dengan mesra,” goda Alan membuat Dion jadi ikut tertawa.
“Ya begitulah.” Dion menarik kursi untuk Zwetta duduk di sebelahnya. “Sarapan?” tanya Dion saat melihat kopi dan roti yang tersedia di atas meja.
“Ya, aku membuatkannya untuk kalian juga. Aku sudah lama menunggu kalian supaya bisa sarapan bersama.”
“Seharusnya kau jangan menunggu kami, lain kau bisa sarapan lebih dahulu,” kata Zwetta jadi tidak enak membiarkan tamu mereka menunggu bahkan membuatkan sarapan.
“Tidak masalah, santai aja. Ayo sarapan,” ajak Alan.
Dion akhirnya meminum kopinya dan memakan roti yang sudah di siapkan oleh Alan.
“Honey, maaf aku tidak bisa mengantarmu. Tadinya aku mau mengantar, tapi karena permintaanmu tadi sepertinya aku akan terlambat kalau harus mengantarmu lagi. Tidak apakan?” tanya Dion sambil menggenggam tangan Zwetta.
“Itu salahku, tidak apa. Aku bisa berangkat sendiri, terima kasih untuk tadi malam dan tadi pagi,” kata Zwetta dengan tersenyum senang sambil mengedipkan matanya membuat Dion tertawa.
“Apa aku melewatkan sesuatu?” tanya Alan sambil mengulum bibirnya.
“Rahasia pasangan suami istri,” balas Dion sambil tertawa.
“Aku bisa mengantar Zwetta,” usul Alan membuat Dion melihat kearah Zwetta meminta jawaban.
“Oke,” jawab Zwetta pasrah.
“Terima kasih Alan. Aku titip istriku, kalau begitu aku berangkat. Honey aku harus pergi, jangan melewatkan makan siang. I love you.”
Dion bangkit berdiri dan mencium bibir Zwetta, wanita itu membalasnya dan melambaikan tangannya membiarkan Dion pergi.
“Kalau sudah baikan seperti ini aku seperti tidak di anggap, sepertinya aku mengganggu kalian. Aku jadi iri,” sindir Alan membuat Zwetta tertawa.
“Carilah pasangan supaya kau tidak jadi orang ketiga,” balas Zwetta dengan bercanda.
“Aku ingin perempuan yang sepertimu, apa masih ada?” tanya Alan.
Zwetta yang sedang minum kopi akhirnya tersedak karena kaget mendengar perkataan Alan. Pria itu dengan sigap membantu Zwetta memijat tengkuk wanita itu. Kopi tersebut mengenai baju Zwetta dan Alan segera mengambil tisu yang ada di atas meja dan membersihkannya.
Pandangan keduanya bertemu, Alan membersihkan bagian dada Zwetta yang sedikit terbuka. Sedangkan Zwetta bisa melihat wajah tampan Alan dengan lekat. Sedangkan pandangan Alan tertuju pada leher jenjang milik Zwetta dan melihat tanda merah di sana.
Alan tahu tanda apa yang ada di sana dan ia paham arah pembicaran pasangan suami istri tadi. Bahwa keduanya baru saja melewati hal yang gila.
“Maaf sudah membuat—“
“Tidak apa.” Zwetta sadar saat Alan membersihkan bagian depan dadanya, ia langsung saja bangkit berdiri. “Aku ganti baju sebentar.” Zwetta hendak naik namun Alan memanggilnya.
“Zwetta,” Panggilan Alan itu membuat Zwetta berbalik. “Pakailah baju yang menutupi bagian lehermu, aku bisa melihatnya. Mungkin rekanmu juga bisa melihatnya,” kata Alan sambil menunjuk leher Zwetta.
Wanita itu langsung paham dan menganggukkan kepalanya. Setelah itu naik ke atas dan meninggalkan Alan yang masih saja merasa aneh. Tidak tahu entah kenapa ia merasa aneh sekarang. Begitu juga dengan Zwetta yang merasa aneh sekaligus malu.
Zwetta melihat lehernya di depan kaca, Alan bisa melihat hal ini. Entah kenapa ia merasa aneh ketika Alan tahu apa yang ia lakukan dengan Dion. Zwetta menggelengkan kepalanya dengan cepat ketika sadar dan segera mengganti bajunya agar Alan tidak menunggunya lama.
Begitu selesai mengganti baju, Zwetta turun dan tidak menemukan ada Alan di meja makan. Ia mendengar suara deru mobil dan menduga bahwa Alan sudah menunggunya di luar. Maka Zwetta segera menyusul Alan dan mereka pergi dari sana.
***
“Akhirnya kalian berbaikan juga, senang melihat hubungan kalian membaik,” ucap Alan saat mereka dalam perjalanan. Seperti kesepakatan sebelumnya Alan akan mengantar Zwetta ke kantornya.
“Ya begitulah, dalam setiap hubungan pasti akan ada masa ributnya.” Alan tertawa.
“Aku sudah lama tidak menjalin hubungan dengan seseorang sepertinya aku hampir saja lupa akan hal itu.” Zwetta ikut tertawa.
“Benarkah? Kapan terakhir kali kau punya kekasih? Mau kubantu untuk menemukan seorang wanita?” Tawar Zwetta membuat Alan kembali tertawa.
“Tidak perlu Zwetta, aku bisa mencarinya sendiri. Aku sudah mengatakan aku menginginkan wanita sepertimu, apakah masih ada?” Zwetta tertawa.
“Kau bisa saja, ku pikir kau bercanda ketika mengatakan itu.” Alan berdecak.
“Jelas tidak, aku mengatakannya sangat jujur. Aku menginginkan wanita sepertimu,” jawab Alan dengan tegas.
“Benarkah? Apa yang menarik dari wanita sepertiku? Tidak ada yang spesial bukan?” Alan terdiam sejenak tanpa berpikir.
“Aku sulit mengatakannya, aku juga bingung harus menjelaskannya bagaimana. Sangat sulit untuk dideskripsikan, tapi bagiku kau sangat menarik Zwetta. Kau mampu membuatku tersenyum dan tertawa, kau jelas berbeda dari wanita yang pernah kutemui sebelumnya.” Zwetta tertawa.
“Padahal kita baru bertemu, tapi kau bisa merasakan hal sehebat itu? Kau sedang bercanda?” Alan menatap Zwetta lekat.
“Aku tidak bercanda Zwetta, aku serius. Jika seandainya aku yang lebih dahulu mengenalmu sebelum Dion mungkin aku akan menikahimu. Aku tak pernah seyakin ini dengan perasaanku. Tak mudah bagiku untuk mengatakan tentang pernikah, tetapi saat bersamamu entah mengapa mudah bagiku mengatakannya. Sayang sekali kau sudah menikah dengan Dion.” Zwetta kembali tertawa.
“Kau sangat berterus terang sekali Alan, kau membuatku jadi tersanjung terima kasih.” Wanita itu tak bisa menanggapi apa yang dikatakan Alan serius. Ia menganggap bahwa Alan sedang bercanda padanya. “Jadi kenapa kau belum menikah?”
“Aku belum menemukan wanita yang sepertimu. Aku menginginkan wanita yang sepertimu menjadi istriku kelak.” Zwetta kembali tertawa.
“Jadi kau akan sabar menunggu mencari wanita yang sepertiku lalu menikah?” Alan tampak berpikir.
“Sepertinya tidak, bagaimana jika aku menginginkanmu? Jika denganmu saja bagaimana? Aku menginginkanmu tidak yang lain.” Zwetta kini tidak tertawa, ia menatap Alan denagn serius.
“Maksudnya apa Alan?” tanya Zwetta sambil mengernyitkan keningnya.
“Tidak apa, lupakan saja. Apakah kau sering bertengkar dengan Dion? Apakah kalian sering seperti itu? Bertengkar lalu berbaikan kembali?” Zwetta menganggukkan kepalanya.
“Sangat sering, tapi itu sudah resiko bukan? Setiap hubungan pasti akan ada naik dan turunnya.” Alan menganggukkan kepalanya paham.
“Lalu, kenapa kalian belum punya anak?” tanya Alan penasaran.
“Mungkin belum dikasih, kita sudah berusaha. Kita tidak memakai pengaman, kita juga sudah ke dokter dan dinyatakan sehat. Aku juga tidak tahu apa yang salah, mungkin kita masih harus berdua saja. Orang tua Dion sudah mendesakku, tapi apa yang bisa kulakukan?”
“Apakah orang tua Dion menyalahkanmu?” Zwetta tampak berpikir sejenak lalu menghela napasnya.
“Lebih kurang seperti itu, mereka mengatakan bahwa ini semua salahku karena terlalu gila bekerja. Hidupku yang bebas di masa muda membuatku tak bisa memberikan keturunan, aku hanya bisa diam ketika mereka hanya bisa menuntutku. Dion juga tak membelaku di depan keluarganya, aku hanya bisa berjuang sendiri. Aku sangat menyedihkan bukan?” tanya Zwetta sambil tertawa kecil.
“Seharusnya mereka tak bisa menyalahkanmu, ini bukan salahmu. Kita tidak bisa menduga akan hal itu bukan? Dion juga seharusnya membelamu bukan hanya diam saja.” Zwetta tertawa.
“Seharusnya memang begitu, tapi Dion tak melakukannya.” Lirih wanita itu.
“Aku bisa memberikanmu anak jika kau mau.” Zwetta dengan seketika menatap Dion.
“Maksudmu apa?” tanya Zwetta kaget.
“Kita sudah sampai,” ucap Alan sambil tersenyum. “Nanti mau kujemput?” tanya Alan.
“Boleh.” Wanita itu membuka sabuk pengamannya. “Terima kasih Alan, jika kau tersesat kau bisa menghubungiku.” Alan tertawa.
“Baiklah, selamat bekerja.” Zwetta tersenyum dan turun dari mobil tersebut. Alan tersenyum sambil melambaikan tangannya pada Zwetta, setelah itu Alan pergi dari sana. Sedangkan Zwetta masih berpikir banyak hal tentang apa yang dikatakan Alan dari tadi. Begitu banyak hal yang membuatnya bingung tentang pria itu.
“Hai Zwetta.” Sapa Rossie yang baru juga datang.
“Hai Rossie, kau baru datang juga. Apakah pekerjaanku banyak hari ini?” Tanya Zwetta sambil keduanya berjalan menuju ruangan mereka.
“Sepertinya tidak begitu, tapi aku akan mengirimkannya nanti padamu.” Zwetta tertawa.
“Baiklah, mari kita semangat bekerja!”
***
“Kau mau ke mana?” tanya Zwetta pada Rossie yang sudah bersiap pulang.
“Aku ingin pulang lebih cepat, apakah bisa? Ibu tadi memintaku untuk pulang lebih cepat karena Ibu memintaku untuk memasak makanan kesukaannya. Ibu lagi ingin makan itu, bisakah?” Zwetta menganggukkan kepalanya paham.
“Boleh, pekerjaanmu sudah selesaikan? Aku tidak ada pertemuan lagi setelah ini?”
“Iya, tidak ada. Besok kita akan keluar untuk rapat. Aku bisa pulang sekarang bukan?” tanya Rossie memastikan.
“Silahkan, salam pada Ibumu. Aku sudah lama tidak bertemu dengan Ibumu, aku pikir nanti aku akan mencari waktu untuk berkunjung ke rumahmu.” Rossie tersenyum.
“Terima kasih Zwetta, kau sangat baik padaku dan keluargaku. Aku akan sampaikan salammu pada Ibuku. Aku pamit pulang, selamat tinggal Zwetta.” Rossie keluar dari ruangan tersebut meninggalkan Zwetta.
Wanita itu mengirimkan pesan pada suaminya Dion menanyakan kepulangan pria itu. Setelah itu Zwetta mengirimkan pesan pada Alan, jika ia akan pulang satu jam lagi. Pria itu sudah berjanji akan menjemputnya nanti. Tak lama pesan dari Dion masuk yang mengatakan jika ia akan pulang malam karena akan lembur. Zwetta menghela napasnya kasar, suaminya itu terlalu sibuk bekerja sehingga keduanya jarang mempunyai waktu bersama.
Zwetta kembali mengerjakan pekerjaannya sebelum ia pulang. Sedikit lagi pekerjaannya selesai, tak lama dari itu Alan mengatakan bahwa ia sudah datang dan menunggunya di parkiran. Begitu pekerjaannya selesai Zwetta langsung saja turun ke bawah dan menemui Alan di parkiran.
“Maaf ya lama,” kata Zwetta saat masuk ke dalam mobil.
“Tidak apa, aku akan menunggu selama apapun itu jika itu kamu.” Zwetta tertawa mendengarnya begitu juga dengan Alan. “Kita jalan?” Zwetta menganggukkan kepalanya. Pria itu mulai menjalankan mobilnya. “Kita makan di rumah?” Tanya Alan.
“Gimana kalau kita makan di luar aja? Dion tadi bilang kalau dia akan lembur, berhubung hanya kita berdua saja makan diluar lebih baik. Sampai rumah kita bisa langsung istirahat, gimana?”
“Boleh, kamu kasih tahu aja kita harus makan di mana.”
***
“Kau belum tidur?” Zwetta turun dari kamarnya dan menemukan Alan sedang menonton.
“Mau bergabung?” tanya Alan sambil mengangkat sebuah botol berisi wine.
“Boleh, aku akan mengambil gelas.” Wanita itu memang ingin minum makanya turun ke bawah. Ternyata ada Alan yang sudah lebih dahulu minum, wanita itu segera menghampiri Alan dan duduk di samping pria itu. Alan menuangkan wine ke dalam gelas Zwetta. “Terima kasih.” Zwetta langsung saja meminumnya sampai setengah.
“Temanku memberikannya tadi, katanya sebagai bentuk penyambutan untukku. Bagaimana rasanya apakah enak?” Zwetta menganggukkan kepalanya.
“Ini enak, kenapa belum tidur?” Tanya Zwetta.
“Sepertinya aku belum terbiasa dengan perbedaan waktu di sini. Bagaimana denganmu, kenapa belum tidur? Apa ada yang mengganggumu?” Zwetta tertawa kecil dan meminum wine miliknya.
“Apakah jika ada yang mengganggu menjadi alasan seseorang tidak bisa tidur?” Alan tertawa.
“Kenapa tidak? Bisa saja bukan?” tanya Alan balik.
“Kau benar, hanya saja aku memang belum ingin tidur.” Alan menganggukkan kepalanya paham.
“Kenapa kau dengan Dion sangat cepat menikah? Kalian menikah diumur yang cukup muda bukan?” Zwetta tertawa.
“Aku juga bingung, kenapa saat itu aku setuju untuk menikah dengan Dion. Kedua orang tua Dion meminta kami segera menikah, saat itu hubungan kita sedang hangat. Jadi kita saat itu tidak berpikir untuk yang lain, kita mau untuk bersama.”
“Lalu apakah sekarang ada penyesalan?” Zwetta terkejut ketika mendapat pertanyaan itu, namun wanita itu bingung menjawab apa. “Mungkin ada hal yang membuatmu berpikir seharusnya kau bisa melakukan banyak hal sebelum menikah. Ada sesuatu yang kau sesalkan mungkin?”
“Aku tak yakin apakah aku menyesal atau tidak. Tapi ada beberapa hal yang belum kulakukan, masa kebebasanku tidak ada lagi. Aku sudah punya tanggungjawab, aku tak bisa hidup bebas lagi. Tapi sekarang aku hanya ingin fokus menjalaninya saja, aku sudah memilih jalanku dan aku tidak bisa lagi balik ke masa itu. Saat ini ada hal lain yang sedang kuhadapi.”
“Menginginkan seorang anak?” Tebak Alan.
“Salah satunya itu,” jawab Zwetta cepat.
“Apa ada hal lain?” Zwetta tampak berpikir.
“Aku bingung, kenapa hubunganku dengan Alan tidak sehangat saat diawal pernikahan kita. Semuanya terasa semu, kita sibuk dan mengejar keinginan masing-masing. Kata cinta yang kita katakan tidak sama seperti dulu. Rumah tangga yang sedang kita jalani saat ini sangat dingin dan ini hanyalah sebuah formalitas saja. Tidak ada perhatian, tidak ada kepedulian dan masih banyak lagi. Yang kita lakukan saat ini hanyalah sebuah hal yang harus kita lakukan sebagai suami dan istri, bahkan sekarang aku bertanya apakah rasa cinta itu masih ada atau tidak.” Entah mengapa kali ini mudah bagi Zwetta untuk jujur pada Alan.
“Aku bisa membantumu untuk tahu apa yang sebenernya sedang kau rasakan,” kata Alan mencoba memberikan solusi.
“Bagaimana caranya?” tanya Zwetta.
“Coba saat ini menjauh dari Dion, jangan terlalu dekat dengannya. Coba menjaga jarak, lagipula tidak akan ketahuan karena kalian memang tidak punya waktu untuk bersama. Saat kau merasa nyaman saat berjauhan dengannya dan tak merindukannya, perasaanmu pada Dion sudah tidak ada. Tapi jika kau merindukannya, itu berarti kau masih mencintainya.” Zwetta tampak memikirkan ide dari Alan tersebut.
“Apakah kalian sering bercinta?” tanya Alan, Zwetta menatap pria itu.
“Sudah lama kami tidak sering melakukannya. Dion terlalu sibuk sehingga dia tak punya waktu untuk itu. Saat malam dia pulang aku sudah tidur. Kami hanya punya waktu berdua saat malam hari, saat pagi hari kami sudah sibuk untuk bekerja. Dion juga sangat jarang di rumah, di hari libur dia juga bekerja. Aku cukup kesepian.”
“Kau jelas punya kebutuhan bukan? Aku tahu bagaimana kau pasti menginginkannya.” Zwetta tersenyum kecil.
“Sepertinya aku memang sangat kasihan sekali.” Alan dengan tiba-tiba menggenggam tangan Zwetta membuat wanita itu kaget.
“Jangan mengatakan hal itu. Aku tidak akan membiarkanmu kesepian, sekarang ada aku di sini. Aku akan menemanimu Zwetta, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan terus bersamamu, jadi jika kau membutuhkan seseorang kau bisa datang padaku.” Zwetta tersenyum.
“Benarkah? Kau yakin akan menemaniku?”
“Ya! Aku akan menemanimu kapanpun kau membutuhkanku. Aku bisa memberikan semua hal yang tak bisa Dion berikan padamu, aku janji itu.” Zwetta tertawa lalu menarik tangannya dan menuangkan kembali wine ke dalam gelasnya dan meneguknya.
“Aku takut berharap dan kembali dikecewakan,” ucap Zwetta jujur.
“Aku janji tidak akan mengecewakanmu,” jawab Alan cepat, pria itu memegang dagu Zwetta dan menatap wanita itu sehingga pandangan keduanya bertemu. “Kau cantik Zwetta, kau bisa mendapatkan seseorang yang lebih dari Dion.” Zwetta tertawa.
“Kau berkata seperti itu apa maksudnya Dion tak cukup baik untukku? Dia pria yang buruk? Bukankah Dion juga tampan? Dia sahabatmu, apakah kau lupa?” Tanya Zwetta masih dengan tertawa.
“Aku tidak mengatakan tentang hal itu, tetapi hal yang lain. Kau bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik dibandingkan Dion.” Zwetta masih saja tertawa.
“Apa ada yang salah dengan Dion?” Alan menghela napasnya dan meminum wine miliknya.
“Aku tidak tahu, kau mungkin tahu jawabannya.” Zwetta terdiam sejenak.
“Jika aku bisa mendapatkan pria lain, siapa yang bisa menerimaku? Apakah orang itu bisa menerimaku?” Alan mengernyitkan keningnya.
“Apa ada yang salah denganmu? Jelas tidak bukan. Pasti ada yang bisa menerimamu, aku cukup baik dibandingkan Dion. Aku juga bisa menerimamu, kau jelas tahu bahwa aku menginginkanmu bukan?” Zwetta tertawa.
“Apa kau sudah mabuk?” tanya Zwetta.
“Aku tidak mabuk, aku masih sadar dan aku mengatakannya dengan jujur.” Jawab Alan cepat membuat Zwetta bungkam. Wanita itu kembali minum wine yang dituangkannya, keadaan keduanya sudah mulai dingin. Keduanya saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Tanpa keduanya sadari jika mereka terus saja minum sampai pada botol ketiga.
“Mungkin kau menganggapku bercanda atau menganggapku gila.” Kata Alan tiba-tiba membuat Zwetta menatap pria itu. “Tapi aku serius dengan perkataanku, akulah pria yang sangat menginginkanmu. Dari awal melihatmu aku sudah jatuh cinta.” ucap Alan sambil menatap Zwetta lekat. “Aku mungkin bodoh, tapi aku tidak mau membohongi diriku sendiri. Maaf jika ini tak membuatmu nyaman, aku hanya ingin jujur.” Lanjut pria itu lagi.
Alan tiba-tiba bangkit berdiri, namun sebelum pergi pria itu dengan mencari mengecup bibir Zwetta sebentar membuat wanita itu kaget dan tidak siap untuk menghindar. Setelah itu Alan pergi dari sana meninggalkan Zwetta. Wanita itu masih kaget dengan apa yang dilakukan Alan padanya. Zwetta masih saja diam mematung dengan perlahan ia memegang bibirnya.
“Kenapa harus malu? Supaya Alan tahu bagaimana sikap sahabatnya ini. Apa kau malu karena aku sedang menjelekkanmu? Lagi pula itu fakta, aku berkata yang sebenarnya bukan? Apa aku salah? Jelas tidak, kau tak pernah melakukan hal ini. Kau juga tak punya waktu untukku, apa aku masih bagian dari keluargamu?” tanya Zwetta dengan nada yang sudah mulai meninggi. Dion mendorong kursi ke belakang sehingga pria itu bangkit berdiri.“Sepertinya aku tidak bisa sarapan di rumah Alan. Terima kasih sudah menyiapkan sarapannya. Kau bisa menikmatinya dengan Zwetta, aku pergi.”Setelah mengatakan itu Dion langsung saja pergi tanpa berkata-kata pada istrinya. Zwetta menghela napasnya kasar begitu Dion pergi.“Kenapa kau bersikap seperti itu Baby?” tanya Alan pelan.“Dia membuatku kesal, dia bahkan menjerit saat membangunkanku. Dia marah karena aku tak membangunkannya, dia marah karena sudah terlambat. Apa itu salahku? Aku tak tahu dia akan pergi bekerja, aku juga tak tahu dia harus pergi cepat. Dia meny
“Apa kau marah padaku?” tanya Dion pada Zwetta yang hendak berbaring tidur itu. Pria itu membuka dasi serta kemejanya.“Menurutmu bagaimana?” tanya Zwetta malas. Pria itu menghela napasnya kasar.“Kau tahu aku sangat sibuk. Lagi pula ini bukan yang pertama kalinya aku tidak pulang. Bukankah kau sudah terbiasa dengan ketidak pulanganku? Sudah ada Alan juga di rumah ini yang bisa menamanimu. Kau tak benar-benar sendiri, apa aku salah?” Zwetta tertawa kecil.“Sudahlah, aku mau tidur. Berdebat denganmu akan membuat perasaanku buruk. Seperti katamu, aku sudah terbiasa. Maka itu aku tak peduli kau mau tak pulang berapa lama juga terserahmu. Pada akhirnya aku akan diminta untuk mencoba memahami bukan? Lebih baik aku diam, lakukanlah apapun yang mau kau lakukan.” Zwetta menarik selimutnya dan memejamkan matanya. Wanita enggan bertengkar dengan suaminya itu.Sedangkan Dion akhirnya memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah selesai ia kembali turun dan bergabu
“Kau masih ingin minum?” Tanya Zwetta tak yakin.“Apakah ada yang salah?” Tanya Alan balik, Zwetta menggelengkan kepalanya.“Tidak, aku pikir kau ingin langsung tidur.” Alan tertawa.“Aku belum bisa tidur, lagipula besok libur kita bisa tidur lebih lama dan bangun lebih lama bukan?” Zwetta tampak berpikir.“Baiklah, aku akan turun begitu selesai mandi.” Alan tersenyum senang.“Aku akan menunggumu.” Zwetta naik ke atas dan Alan juga masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap. Pria itu yang lebih dahulu selesai dan menyiapkan makanan ringan untuk mereka, Alan membawanya ke ruang tengah dan menunggu Zwetta datang. Namun pria itu sudah lebih dahulu untuk minum.“Apa aku terlalu lama?” Tanya Zwetta saat ia turun, Alan langsung saja tersenyum dan meminta Zwetta untuk duduk di sampingnya. Wanita itu hanya memakai gaun tidurnya membuat Alan menyuakinya. Zwetta terlalu kaget melihat Alan tidak menggunakan baju.“Tidak, kemarilah. Aku terbiasa tidak memakai baju saat malam apalagi di rumah, selama i
Zwetta sedang bersiap untuk bekerja hari ini, ia berdiri di depan kaca panjang yang ada di depannya untuk melihat penampilannya. Ia sedang memakai anting ditelinganya. Namun tiba-tiba Zwetta dikagetkan dengan kehadiran Alan yang berdiri di belakangnya.“Alan!” pekik Zwetta kaget hendak berbalik namun Alan menahan pinggang Zwetta agar tidak bebalik. Pria itu tersenyum menatap Zwetta dari kaca.“Selamat pagi,” sapa Alan, Zwetta terdiam melihat pria itu dari kaca.“Kau mau apa?” tanya Zwetta pelan.“Aku tadi mau memanggilmu untuk kita sarapan bersama, aku melihat pintu kamarmu terbuka dan aku melihatmu sedang bersiap dan aku masuk. Aku ingin membantumu, sepertinya kau juga sedang kesulitan saat ini. Apakah aku salah?” Alan tiba-tiba menarik reseleting gaun belakang Zwetta ke atas.Hal yang dimaksud Alan, Zwetta butuh bantuan adalah hal tersebut. Setelah selesai, Alan mengelus pinggang ramping Zwetta dan menempelkan tubuh keduanya. Sehingga kepunyaan Alan tepat berada di bokong indah mili
“Wah kalian akhirnya turun juga, aku sudah lama menunggu kalian turun,” kata Alan saat melihat Zwetta dan Dion turun dari tangga. Keduanya bermesraan dan senyum keduanya mengembang di wajah masing-masing. Dion memeluk pinggan Zwetta posessif. “Sudah berbaikan sepertinya melihat kalian turun dengan mesra,” goda Alan membuat Dion jadi ikut tertawa.“Ya begitulah.” Dion menarik kursi untuk Zwetta duduk di sebelahnya. “Sarapan?” tanya Dion saat melihat kopi dan roti yang tersedia di atas meja.“Ya, aku membuatkannya untuk kalian juga. Aku sudah lama menunggu kalian supaya bisa sarapan bersama.”“Seharusnya kau jangan menunggu kami, lain kau bisa sarapan lebih dahulu,” kata Zwetta jadi tidak enak membiarkan tamu mereka menunggu bahkan membuatkan sarapan.“Tidak masalah, santai aja. Ayo sarapan,” ajak Alan.Dion akhirnya meminum kopinya dan memakan roti yang sudah di siapkan oleh Alan.“Honey, maaf aku tidak bisa mengantarmu. Tadinya aku mau mengantar, tapi karena permintaanmu tadi sepertin
“Aku minta maaf, aku dari tadi udah bilang maaf. Apakah kau tak bisa memaafkanku? Aku harus bagaimana supaya kau mau memaafkanku? Aku sungguh menyesal Zwetta, tolong mengertilah.” Suara itu dari Dion yang kesal pada Zwetta.“Lalu bagaimana denganku? Kenapa sekarang kau yang marah? Seharusnya aku yang marah! Dari tadi malam aku mencoba menahan diri untuk tidak marah di depan sahabatmu itu! Siapa yang berjanji akan pulang cepat! Tapi pada faktanya kau pulang lama dengan alasan pekerjaan! Aku capek kalau selalu mendengar alasan yang sama setiap kau membuat kesalahan! Terus kau mabuk dan tidak mengganti pakaianmu saat tidur, sampai harus membuatku tidur di sofa! Bahu dan leherku sakit karena itu! Sekarang pagi ini kau telat ke kantor dan menyalahkanku karena tidak membangunkanmu? Padahal aku sudah membangunkanmu dari tadi! Saat aku minta mengantarmu ke kantor karena mobilku di pakai dengan sahabatmu kau malah menolaknya? Pernah memikirkan bagaimana perasaanku tidak?” tanya Zwetta semakin