“Aku minta maaf, aku dari tadi udah bilang maaf. Apakah kau tak bisa memaafkanku? Aku harus bagaimana supaya kau mau memaafkanku? Aku sungguh menyesal Zwetta, tolong mengertilah.” Suara itu dari Dion yang kesal pada Zwetta.
“Lalu bagaimana denganku? Kenapa sekarang kau yang marah? Seharusnya aku yang marah! Dari tadi malam aku mencoba menahan diri untuk tidak marah di depan sahabatmu itu! Siapa yang berjanji akan pulang cepat! Tapi pada faktanya kau pulang lama dengan alasan pekerjaan! Aku capek kalau selalu mendengar alasan yang sama setiap kau membuat kesalahan! Terus kau mabuk dan tidak mengganti pakaianmu saat tidur, sampai harus membuatku tidur di sofa! Bahu dan leherku sakit karena itu! Sekarang pagi ini kau telat ke kantor dan menyalahkanku karena tidak membangunkanmu? Padahal aku sudah membangunkanmu dari tadi! Saat aku minta mengantarmu ke kantor karena mobilku di pakai dengan sahabatmu kau malah menolaknya? Pernah memikirkan bagaimana perasaanku tidak?” tanya Zwetta semakin kesal.
Mereka baru saja turun dari atas dan perdebatan itu dari tadi tidak mendapatkan jalan keluar. Sampai di bawah mereka juga masih ribut dan lupa bahwa suara mereka terdengar sampai di kamar Alan. Pria itu langsung saja keluar dari kamar guna mencari tahu apa yang terjadi.
“Aku sudah mengakui kesalahanku dan aku sudah meminta maaf, apa itu semua tak cukup? Aku harus bagaimana lagi? Aku ada pertemuan penting pagi ini, tolong jangan menahanku. Biarkan aku pergi, kau bisa pergi dengan cara lain bukan?”
Zwetta menghela napasnya kasar dan berdecak.
“Ada apa ini? Ada yang bisa ku bantu?” tanya Alan.
“Alan, bisakah kau mengantarkan Zwetta ke kantornya? Aku sudah sangat telat, ada pertemuan penting pagi ini. Aku minta tolong padamu,” kata Dion menghampiri Alan.
“Boleh,” jawab Alan dengan cepat.
“Baiklah, terimakasih atas bantuanmu Alan. Maafkan aku Honey, aku harus pergi sekarang.”
Setelah mengatakan itu Dion langsung saja pergi meninggalkan Alan dan juga Zwetta. Alan yang mengerti situasinya pergi ke dapur mengambil air dan Zwetta sudah duduk di sofa dengan memijat kepalanya yang terasa sakit. Moodnya sangat buruk sekali karena Dion.
“Minumlah.” Alan memberikan segelas air sambil mengurut bahu Zwetta supaya lebih rileks. Zwetta tidak menolak perlakuan Alan itu dan menerima gelas yang diberikan Alan lalu menghabiskannya sampai tandas. “Udah lebih baik?” tanya Alan dengan penuh perhatian, Zwetta menganggukkan kepalanya mengiyakan.
“Thank’s,” ucap Zwetta tulus.
Alan masih saja mengurut bahu Zwetta bahkan sampai lehernya. Wanita itu memejamkan matanya menikmati pijatan yang diberikan Alan, apalagi dengan keadaan leher dan bahunya memang sedang sakit.
“Apa kau tak ada agenda pagi yang terlalu penting hari ini? Takutnya kau lupa makanya ku ingatkan. Kalau emang tidak ada aku akan melanjutkan mengurutmu.”
“Aku bisa menundanya sebentar, lanjutkanlah.”
Entah mengapa Zwetta seakan lupa kalau tadi dirinya yang menolak untuk diurut, bahkan sekarang ia malah menginginkannya. Alan tersenyum senang mendengar hal itu, ia tidak masalah kalau harus mengurut dengan lama. Apapun yang buat Zwetta merasa nyaman ia akan lakukan.
“Sudah jauh lebih baik, terima kasi,” kata Zwetta setelah merasa bahunya sedikit lebih enak.
“Sudah membaik? Pekerjaanmu akan berantakan kalau kau sedang tidak baik. Apa rumah ini kedap suara?” Zwetta tidak mengerti dengan pertanyaan Alan itu.
“Kenapa?” tanya Zwetta bingung.
“Kalau memang kedap suara, berteriaklah supaya lebih lega. Kalau tidak jangan lakukan, nanti orang bisa bepikir kau disakiti dan aku bisa menjadi tersangka.”
Mendengar hal itu Zwetta tertawa, ia merasa lucu dengan pemikiran Alan.
“Wahh kau tertawa.”
Alan suka melihat tawa Zwetta tersebut.
“Apakah setelah berteriak akan jauh lebih baik?” tanya Zwetta memastikan.
“Pasti lebih baik, sebenarnya lebih baik di lakukan di tempat terbuka. Seperti gunung, pantai atau laut. Tapi karena kita tidak akan mungkin kesana, tidak ada salahnya di coba di sini. Aku akan menutup telingaku kalau kau mau berteriak.” Zwetta tersenyum simpul.
“Kalau aku kembali marah, apakah kau mau membawaku kesana untuk membuatku tenang?” Pertanyaan tersebut langsung saja di jawab oleh Alan dengan anggukan kepala.
“Pastinya, katakan saja kapan kau mau aku membawamu. Pasti akan ku lakukan untukmu.”
Zwetta menganggukkan kepalanya mengerti lalu dengan tiba-tiba ia berteriak dengan keras sebelum Alan menutup telinganya. Sehingga ketika selesai Alan terkejut dan menggelengkan kepalanya membuat Zwetta tertawa puas dengan melihat ekspresi Alan.
“Hahahaha harusnya kau melihat bagaimana wajahmu sekarang!” Tawa Zwetta memenuhi ruangan tersebut dan Alan sangat menyukai tawa Zwetta itu.
“Ayo antar aku ke kantor.” Ajak Zwetta pada akhirnya.
***
“Hai,”
“Alan!” Pekik Zwetta kaget saat melihat Alan yang tiba-tiba berdiri di depannya saat ia baru saja keluar dari kantornya. Alan sembunyi di balik dinding yang besar saat Zwetta keluar barulah ia memberikan kejutan pada wanita itu. “Kau mengagetkanku! Mau apa datang ke sini?” tanya Zwetta lagi membuat Alan tertawa.
“Mau apa lagi kalau tidak mau bertemu denganmu. Aku hanya mengenalmu saja di sini. Aku mau menjemputmu untuk pulang, sudah selesai kerjanya?”
Zwetta mengernyitkan keningnya lalu melihat jam yang ada di tangannya.
“Sudah berapa lama kau menungguku di sini?”
Alan melihat jam di tangannya lalu kembali menatap Zwetta.
“Ya lumayan lama, dua jam mungkin?” tanya Alan tak yakin sambil tertawa.
“Kenapa tidak menghubungiku terlebih dahulu? Kau juga bisa meminta resepsionis untuk menghubungi agar aku turun ke bawah. Aku bisa mengerjakan pekerjaanku dengan cepat dan tidak membuatmu menungguku lama.” Alan tertawa.
“Tidak masalah, aku memang mau menunggumu saja. Aku ingin memberimu kejutann, tapi menunggumu membuatku jadi lapar. Sebelum kita pulang bagaimana kalau kita pergi makan malam mau tidak atau mau langsung pulang? Kau takut Dion sudah pulang atau kalian mau makan bersama?” tanya Alan tak yakin.
“Ayo kita makan malam di luar saja. Dion jarang pulang cepat, dia juga tidak pernah makan malam di rumah. Aku biasa makan sendirian kalau malam, kali ini aku ada yang menemani itu baik.”
“Wahh bagus, yaudah ayo kita pergi.” Alan lebih dahulu berjalan menuju mobil milik Zwetta. Pria itu membuka pintu mobil untuk Zwetta agar wanita itu masuk.
“Terima kasih.” Ucap Zwetta ketika ia sudah duduk di dalam. Alan tersenyum lalu menutup pintu mobil tersebut dengan pelan, ia segera menyusul masuk ke dalam dan mulai mengendarai mobilnya untuk pergi dari sana.
Alan memilih tempat makan yang tidak terlalu ramai pada saat itu, sehingga mereka bisa menikmati makan malam dengan santai. Alan yang memang bisa mencairkan suasana mampu menguasai suasana makan malam pada saat itu. Keduanya tidak terlihat seperti dua orang yang baru saja kenal. Tetapi sudah seperti mengenal cukup lama.
Zwetta merasakan nyaman pada malam itu dan bisa melupakan sejenak pertengkarannya dengan Dion. Alan berhasil membuat Zwetta kembali tertawa dan terbuka pada pria itu. Alan yang memang dasarnya humoris dan suka bercanda, membuat malam Zwetta sangat terhibur. Ia bisa tertawa lepas, hal yang tidak pernah ia rasakan lagi. Hal yang sudah lama tak pernah Zwetta rasakan dan kini ia kembali merasakannya.
***
“Hai Dion,” sapa Alan ketika mereka sudah sampai di rumah.
Zwetta kaget ketika melihat Dion sudah pulang ke rumah. Bahkan pria itu tidak lagi memakai pakaian kerjanya yang membuat Zwetta yakin kalau suaminya itu sudah mandi. Hal yang sangat tak mungkin terjadi, tapi kali ini Dion benar-benar sudah pulang ke rumah.
“Hai, kenapa kalian bisa bersama?” tanya Dion ambigu.
“Iya, aku menjemput Zwetta di kantornya. Aku memakai mobilnya, rasanya aneh membiarkannya pulang sendiri di saat aku memakai mobilnya. Jadi aku harus bertanggungjawab bukan?” Kata Alan sambil tertawa. “Kami juga baru selesai makan malam di luar, Zwetta katakan kau jarang pulang cepat dan makan malam di rumah. Jadi kami memutuskan untuk makan, apakah itu jadi masalah?” Dion tersenyum.
“Tidak, terima kasih sudah menemani istriku makan malam Alan. Aku memang tidak pernah menemaninya makan malam, aku senang kalian bisa berteman. Aku sempat tak yakin kalian bisa berteman, tapi ternyata aku salah. Aku sudah makan di luar, aku memang jarang pulang cepat. Kebetulan saat ini pekerjaanku sudah selesai dan aku merindukan istriku, maka itu aku cepat pulang.”
Alan tertawa mendengarnya, sedangkan Zwetta hanya diam saja.
“Kau membuatku iri saja,” kata Alan sambil bercanda.
“Terima kasih buat malam ini Alan,” ucap Zwetta.
Aetelah itu ia naik ke atas meninggalkan kedua pria bersahabat itu. Dion menghela napasnya kasar saar Zwetta naik ke atas dan Alan bisa melihat kegundahan yang di alami Dion.
“Selesaikan masalah kalian, jangan berlarut. Aku tahu kau pulang cepat karena mau berdamai dengan istrimu bukan?” tanya Alan memastikan, Dion menganggukkan kepalanya.
“Ya, aku memang meninggalkan pekerjaanku untuknya. Tapi sepertinya dia masih marah denganku, Zwetta memang seperti itu. Sangat susah untuk membujuknya, aku terkadang bingung harus bagaimana supaya dia mau memaafkanku.” Alan menepuk bahu Dion.
“Ajak dia berbicara dengan tenang dan jangan ikutan marah. Kalian dulu berpacaran bukan? Bagaimana kalau dulu kalian bertengkar saat berpacaran? Lakukan hal yang sama, kalian hanya perlu mengulang kembali masa itu saja. Ayo segera temui dia, perlakukan dia dengan lembut.”
“Baiklah, akan ku coba,” kata Dion dengan tidak yakin. “Aku naik, thank’s Alan. Selamat berisitirahat.”
Dion melangkahkan kakinya untuk naik ke atas dan meninggalkan Alan. Pria itu tersenyum dan memasukkan tangannya ke dalam saku sambil melihat Dion yang naik ke atas. Setelah memastikan pria itu tidak terlihat barulah ia masuk ke dalam kamarnya.
Begitu Dion sampai di kamar, Zwetta sudah masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Dion naik ke atas ranjang guna menunggu Zwetta keluar dari kamar mandi.
Begitu selesai, pandangan Zwetta bertemu dengan Dion yang memang sedang menunggunya. Zwetta acuh dan langsung saja mengalihkan pandangannya. Ia masih menggunakan kimono.
Zwetta membuka lemari pakaian dan mengambil gaun tidurnya. Lalu melepaskan kimononya dan memakai gaun tidurnya di depan Dion. Pria itu melihat bagaimana lekuk tubuh Zwetta yang sudah lama tak pernah ia lihat karena kesibukannya.
Begitu selesai Zwetta langsung saja duduk di depan meja rias. Barulah Dion turun dari ranjang dan berdiri di belakang Zwetta. Pria itu memegang pundak Zwetta dan mulai memijat bahu istrinya itu. Zwetta hanya diam saja, karena ia tahu Dion sedang mencoba menggodanya agar mereka berbaikan.
Zwetta membiarkan Dion memijat bahunya itu. Sedangkan Dion dengan hati-hati memberikan pijatan pada Zwetta, kali ini Zwetta tidak menghindar. Karena ia cukup apresiasi dengan usaha Dion, walaupun sebenernya Dion tak biasa melakukan hal itu padanya.
“Aku minta maaf atas kesalahan yang sudah kulakukan, mau memaafkanku?” tanya Dion dengan pelan.
“Aku tahu kau pulang cepat dan mau melakukan ini karena ada maunya. Kau sungguh tidak ikhlas melakukannya bukan?” tanya Zwetta balik sambil menatap Dion dari kaca yang ada di depannya.
“Aku lagi berusaha supaya kau tidak mendiamkanku. Aku memang salah, aku minta maaf. Tolong maafkan aku, jangan seperti ini. Aku harus bagaimana supaya kau mau memaafkanku?” Zwetta lelah dengan perkataan Dion tersebut.
Karena apapun yang akan di katakannya semuanya akan sia-sia. Dion kembali mengulangi kesalahan yang sama dan membuatnya kesal. Kali ini Zwetta tidak menjawab Dion, lagipula ia sudah tidak terlalu marah lagi. Entah kenapa moodnya tiba-tiba membaik saja karena selesai makan malam dengan Alan. Pria itu mampu membuatnya tertawa dan melupakan kesalahan Dion.
Dengan berani Dion mendekatkan bibirnya dan mencium bahu terbuka Zwetta. Wanita itu memang memaki gaun tidur yang bertali satu sehingga bahunya jelas terekpos. Dion mengecup bahu Zwetta berkali-kali dengan lembut. Jujur saja Zwetta rindu sentuhan seperti itu, hal yang sudah lama tak Dion lakukan untuknya.
“Maafkan aku honey, I love you,” ucap Dion masih dengan mengecup bahu Zwetta dan wanita itu memejamkan matanya menikmati sentuhan Dion.
Melihat Zwetta yang tidak menolak dan malah menikmati sentuhannya, Dion melanjutkan aksinya lebih dari yang seharusnya. Ia harus memakai cara tersebut agar Zwetta mau memaafkannya pikirnya, ia tidak mau membuat Zwetta kecewa dan kembali marah padanya.
Kini ciuman Dion sudah berpindah ke leher jenjang wanita itu. Mengecupnya berkali-kali dan bahkan menghisap dengan kuat sehingga meninggalkan jejak merah di sana. Zwetta menggenggam tangannya dengan erat ketika Dion melakukan hal itu, bahkan mulutnya sedikit terbuka ketika Dion menghisapnya dengan keras.
Zwetta tak bisa membohongi dirinya bahwa ia menginginkan Dion saat ini. Bagaimanapun ia rindu dan punya kebutuhan atas itu. Dion sudah lama tidak menyentuhnya dan ia membutuhkan hal itu. Bahkan Zwetta lupa kapan ia dan Dion bercinta. Bahkan bagaimana rasa milik suaminya saja Zwetta lupa karena sudah lama tidak melakukannya karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Di saat Zwetta menginginkannya dan mengajak Dion, pria itu selalu menolak dengan alasan pekerjaan. Maka itu kerap sekali Zwetta kesal dengan Dion yang tak mau bercinta dengannya. Kali ini tanpa Zwetta minta, Dion mau melakukannya membuat Zwetta jelas senang karena ini adalah kesempatan emas baginya.
“Ahhh Dion.” Desah Zwetta ketika tangan Dion meremas kedua bukit kembar Zwetta dari belakang.
Zwetta bangkit berdiri dan Dion segera membalik tubuh Zwetta dan kembali mencium bibir wanita itu. Kini tangan Zwetta sudah menggantung di leher Dion. Tangan Dion juga tidak tinggal diam, ia bermain di kedua bukit kembar milik Zwetta. Tanpa pikir panjang pria itu langsung saja menggendong Zwetta dan membawa wanita itu berbaring di ranjang.
Dengan hati-hati Dion meletakkan sang istri di atas ranjang dengan masih mencium bibir Zwetta. Napas keduanya sudah menderu, Dion melepakan pagutan mereka dan menatap mata Zwetta yang terlihat sudah bergairah. Maka itu Dion langsung meloloskan kaos serta celana pendek yang di pakainya.
Begitu juga dengan Zwetta yang akhirnya membuka gaun tidurnya sehingga kini Zwetta hanya menggunakan g-string mini miliknya. Karena memang ia tidak memakai branya. Dion langsung saja meloloskan pakaian dalamnya dan terakhir menarik pakaian dalam milik Zwetta. Tanpa pikir panjang Dion menindih Zwetta dan kembali mencium bibir ranum milik Zwetta sehingga pergulatan panas itu akhirnya terjadi.
Hal yang sudah lama tidak keduanya lakukan, kali ini Zwetta mendapatkannya. Ia sangat ingin melakukannya, ia membutuhkan hal itu. Kini ia mendapatkannya, Zwetta tidak mau membuang kesempatan yang ada. Maka malam itu ia tidak membiarkan Dion melakukannya hanya sekali, tetapi melakukannya berkali-kali.
Sampai Dion akhrinya tidak bisa mengimbangi Zwetta lagi, maka pria itu membiarkan Zwetta memimpin dan melakukan sesuka hatinya sampai Zwetta merasa puas. Setelah Zwetta mendapatkan apa yang ia mau barulah permainan itu berakhir di dini hari. Keduanya tidur sambil berpelukan, Dion lebih dahulu tidur karena ia terlalu lelah.
Sedangkan Zwetta tersenyum puas karena bisa merasakan kenikmatan yang sangat diinginkannya itu. Tak butuh lama akhirnya Zwetta menyusul Dion yang sudah lebih dahulu tidur meninggalkannya.
“Sorry,” jawab Dion sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Diana,” kata wanita itu tiba-tiba sambil mengulurkan tangannya memperkenalkan diri membuat Dion terkejut. Tapi di satu sisi Dion senang karena wanita tersebut mau memperkenalkan dirinya.“Dion,” jawab Dion sambil membalas uluran tangan tersebut.Begitu Dion menyebutkan namanya, wanita itu tertawa sehingga membuat Dion merasa bingung.“Ada apa? Apakah ada yang salah?” tanya Dion.“Mungkin kita jodoh. Apakah kau tak sadar bahwa nama kita hampir mirip? Dua huruf di awal saja sudah sama, Dion dan Diana. Menarik, suatu kebetulan yang luar biasa bukan?” tanya wanita itu sambil tertawa membuat Dion terkesima.
Perpisahan Dion dengan Zwetta, membuat Dion uring-uringan. Dion tahu bahwa ia salah, kesalahannya memang tak bisa dimaafkan. Tapi dibalik kesalahannya itu, Dion sebenarnya masih mencintai Zwetta. Bagaimanapun Zwetta adalah cinta pertamanya.Zwetta wanita pertama untuknya dan itu membuat Dion sangat membekas. Perpisahannya dengan Zwetta bukanlah hal yang diinginkannya. Mau dipertahankan sudah tak bisa, maka ia hanya bisa ikhlas melepaskan Zwetta.Dion tak bisa pungkiri bahwa perasaannya masih ada untuk mantan istrinya itu. Di saat Dion pulang ke rumah, Dion merasa hampa karena tak ada lagi yang menunggunya di rumah. Tak ada lagi Zwetta yang selalu ada untuknya.Ia merindukan sosok istrinya itu, entah mengapa setelah berpisah semakin membuat Dion sadar seberapa besar perasannya untuk Zwetta. Bahwa saat ini Dion merasa kehilangan, penyesalan memang
Zwetta sudah tak mau lagi membahas apa yang terjadi di antara mereka berdua. Kini semuanya sudah selesai.“Aku sudah mengakhirinya. Aku belum bisa bersamanya sepenuhnya, aku masih ingin merasakan kebebasan tanpa terikat dengan satu orang. Mungkin aku masih ingin merasakan hal yang kuinginkan. Jadi dia tak bisa menerimaku untuk itu, maka aku pikir lebih baik kita berpisah saja dari pada aku terus menyakitinya,” jawab Dion membuat Zwetta menghela napasnya kasar.“Mudah-mudahan keputusan yang kau ambil sudah tepat. Semoga tidak ada penyesalan di kemudian hari. Jangan menyakiti Rossie lagi ataupun wanita lain lagi,” kata Zwetta tulus.“Nanti, kalau kalian menikah tolong beritahu aku. Kalau kau sudah melahirkan juga beritahu aku, bagaimanapun kalian adalah sahabatku. Aku akan mengunjungi kalian,” kata Dion.
“Entahlah, kau jelas tahu aku mau kebebasan. Aku tak mau terikat. Aku ingin menikmati hal yang lain juga.”“Jadi kalau dia tak mau, apa kau juga akan mencari wanita lain lagi selain aku?” tanya Kimberly.“Mungkin, di saat kau tak bisa aku bisa bersamanya. Lagi pula aku juga akan berpisah dengan Zwetta, aku akan lebih bebas lagi. Bagaimana menurutmu? Apa aku harus tetap bersamanya saja dan tak perlu bersama wanita lain?”“Apa begitu hubungan kita akan berakhir Pak?” tanya Kimberly sedih sambil menatap Dion.“Kau punya suami Kimberly, kita tak bisa melakukan hal ini seterusnya. Bagaimanapun hubungan kita salah, aku tak mau merusak rumah tanggamu. Aku juga tak ma…”“Tapi kita sudah melakukannya sudah lam
“Aku minta maaf. Jujur, saat ini aku bingung. Aku memang belum bisa melepaskannya, aku juga menginginkanmu. Aku tahu perhatianmu, rasa sayangmu membuatku nyaman. Aku memang jahat karena tak bisa menerima itu darimu sepenuhnya. Maafkan aku Rossie, jangan hidup seperti ini. Maaf sudah mengacaukan hidupmu.”“Aku tak akan memaafkanmu. Jika kau datang nanti setelah menyesal, maaf aku tak akan kembali lagi padamu. Karena kesabaranku sudah cukup, aku tak akan mau menyerahkan hidupku lagi untuk pria sepertimu. Aku akan melihat pria lain yang bisa mencintaiku apa adanya. Kau tak pernah bersyukur atas apa yang kau miliki. Bahkan aku tak peduli dengan kemandulanmu itu. Aku bisa menerimanya, aku tak masalah hidup berdua saja denganmu tanpa adanya anak. Karena aku memang mencintaimu, tapi kau tak pernah menginginkan itu.”“Kau tak masalah dengan kekuranganku itu?&r
Seminggu berlalu setelah pertemuan Dion dengan Zwetta. Kali ini Dion menemui Rossie, ia ingin bicara dengan wanita yang sudah menemaninya beberapa tahun belakangan ini. Bagaimanapun sikapnya pada Rossie memang sangat jahat.“Untuk apa lagi kau datang?” tanya Rossie begitu membuka pintu apartementnya dan melihat Dion ada di depan pintu.Dion terkejut melihat keadaan Rossie yang menurutnya sangat buruk. Wajahnya pucat, kantong matanya menghitam. Bibirnya terlihat kering, Rossie terlihat sangat tak bertenaga. Sorot matanya terlihat capek dan kelihatan kurang tidur.“Kau sedang tak baik?” tanya Dion membuat Rossie berdecak.“Kau masih peduli padaku?” tanya Rossie sarkas membuat Dion terkejut melihat respon Rossie.Rossie tak pernah bersikap