Suara alat monitor berdenting, berpadu dengan aroma obat yang menyengat di dalam ruangan. Serena duduk di kursi kecil di samping ranjang, menatap wajah ibunya yang tampak pucat namun tenang. Tangannya menggenggam jemari wanita itu erat.
“Ibu,” bisiknya lirih. “Terima kasih sudah bertahan. Aku... tidak tahu harus bagaimana jika Ibu sampai pergi.” Air mata menetes satu per satu, membasahi punggung tangan sang ibu. Di sela tangis, Serena tersenyum lemah. “Serena janji, Ibu akan sembuh. Aku akan berusaha apa pun, asal Ibu bisa tetap hidup.” Kalimat itu seharusnya menjadi doa, tetapi terasa seperti kutukan. Karena setiap kali ia menatap wajah ibunya, pikirannya selalu kembali pada satu nama. Steave Whitmore. Pria yang telah menyelamatkan ibunya, sekaligus membuatnya tidak dapat tidur tenang setiap malam. Serena mengusap wajah yang tampak lelah. “Aku benar-benar bodoh,” gumamnya pelan. “Kenapa aku percaya kalau dia akan membantu tanpa pamrih?” Ia kembali menatap ibunya. “Kalau aku menuruti keinginannya... apa bedanya aku dengan Ethan?” Suaranya serak, nyaris seperti gumaman. “Aku juga akan berkhianat, hanya caranya saja yang berbeda.” Dada Serena terasa sesak. Ia menunduk, menempelkan dahinya di tepi ranjang. “Aku lelah, Bu. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya menjadi orang baik.” Sejak malam itu, pikirannya tidak pernah berhenti berperang. Antara ketakutan kehilangan ibunya dan rasa jijik terhadap dirinya sendiri. Setiap kali memejamkan mata, wajah Steave selalu muncul dengan tatapan dingin yang menawan sekaligus menakutkan. Tatapan yang membuat jantungnya berdebar, dan di saat bersamaan membuatnya ingin berlari sejauh mungkin. “Kalau aku menolak, Ibu mungkin kehilangan pengobatan. Tapi kalau aku menerima... aku kehilangan diriku sendiri.” Ia berbisik lirih. “Jadi, luka mana yang harus kupilih, Bu?” Serena terdiam lama. Hanya suara monitor detak jantung yang terdengar, ia menarik napas panjang dan menghapus air mata yang tersisa. **** Beberapa hari kemudian, sepulang dari kantor, Serena langsung menuju rumah sakit seperti biasa. Saat baru sampai di depan rumah sakit, ponselnya berdering. Ibu tiri - tertera di layar ponsel. “Kenapa dia menghubungiku?” Tanya Serena hanya melihat, setelah tiga kali berdering, barulah ia mengangkatnya. “Serena!” Claudia sedikit berteriak di seberang sana. “Aku bisa dengar, tidak perlu tinggikan suaramu Ibu tiri,” balas Serena. “Ethan mengatakan pada Ayah, kalau dia tidak bisa menghubung atau pun menemuimu. Kamu tidak buat masalah kan?” Aku mulai jengah dengan nada bicaranya, batin Serena. “Aku sibuk.” “Sibuk? Kamu sesibuk apa sampai tidak memperhatikan tunanganmu sendiri?” “Aku sangat sibuk Ibu, aku harus bolak-balik rumah sakit untuk menemui ibu kandungku.” “Jangan mencari alasan, segera temui Ethan dan perbaiki kesalahanmu karena sudah mengabaikannya–” Tuutt… Serena mematikan sepihak pembicaraan mereka, ia sudah muak diperintah terus. “Terserah kalian saja,” gumamnya. Serena terus berjalan ke dalam rumah sakit, tapi seperti ada yang berbeda. Ia terhenti saat melewati ruang tunggu ketika melihat dua perawat tengah memindahkan ibunya ke tempat tidur dorong. “Suster, mengapa Ibu saya dipindahkan?” Serena menghampiri dengan langkah cepat, suaranya gemetar. Salah satu perawat tampak canggung. “Maaf, Nona Serena. Ini perintah dari pihak administrasi. Pasien atas nama Mrs. Collins akan dipindahkan ke kamar umum.” Serena mengerutkan kening. “Kenapa? Bukankah Ibu masih harus dirawat di kamar intensif?” Suster itu menunduk, menatap catatan di tangannya. “Dana pembiayaan sudah dihentikan oleh pihak sponsor. Atas nama Mr. Whitmore.” Wajah Serena seketika memucat. Dunia seolah berhenti berputar. Steave menghentikan biaya pengobatan? Ia berlari ke meja administrasi. “Tolong, ini pasti kesalahan! Tuan Steave, dia tidak mungkin menghentikan pengobatannya kan?” Petugas administrasi hanya menggeleng. “Kami hanya menjalankan perintah, Nona. Tadi pagi stafnya datang langsung membawa berkas pemberhentian biaya.” Jantung Serena berdentum keras. Ia berbalik dan berlari keluar rumah sakit. Dadanya terasa sesak mengetahui ini semua. Ia harus mencari jawaban atas semua ini. Kenapa Steave melakukannya tanpa berbicara dulu.“eeenggh,” desah Serena di sela ciumannya dengan Steave.Setelah semua karyawan di lantai ini pulang, Steave menahannya untuk memberikan hukuman yang ia katakan kemarin. Serena tidak menolak lagi sentuhan Steave, hanya melakukan tugasnya sebaik mungkin.Serena membalas ciuman Steave dengan segenap hatinya. Ia merasakan tubuhnya mulai panas.Steave melepaskan ciumannya sejenak, lalu menatap Serena dengan tatapan yang dalam. "Kau membuatku marah kemarin," bisiknya, suaranya serak dan penuh hasrat.Ia mengangkat tubuh Serena dan mendudukkannya di atas meja kerjanya. Serena tersentak kaget, namun ia tidak menolak. Ia justru melingkarkan kakinya di pinggang Steave, mendekatkan tubuh mereka.Steave tersenyum melihat keberanian Serena. Ia kembali menciumnya dengan lembut, kali ini dengan sentuhan yang lebih dalam dan penuh perasaan. Ia menjelajahi setiap inci tubuh Serena dengan bibirnya, memberikan kecupan-kecupan kecil yang membuat Serena meremang.Tangan Steave bergerak turun, menyusuri p
Serena turun dari taksi tepat di depan rumah besar bergaya klasik milik keluarga Collins. .Ia membayar ongkos taksi, lalu mengucapkan terima kasih singkat.Begitu pintu besar terbuka. Seorang pelayan tua yang sudah mengenalnya sejak kecil menunduk sopan.“Selamat malam, Nona Serena.”“Selamat malam.”Pelayan itu tersenyum lembut, namun matanya terlihat cemas. Ia tahu hubungan Serena dengan keluarga ini tidak pernah baik lagi sejak kedatangan orang asing.Langkah Serena berhenti di ambang ruang tamu. Di sana, duduk dua wanita yang wajahnya selalu ia lihat dengan perasaan kesal. Claudia, ibu tirinya, serta Marissa, kakak tirinya yang cantik namun penuh kesombongan.Mereka berdua menatap Serena dengan senyum sinis yang lebih terasa seperti ejekan.“Lihat siapa yang akhirnya datang juga,” ujar Claudia tanpa menutupi nada dinginnya.Serena hanya menatap sebentar, lalu berjalan melewati mereka. “Ayah di mana?” tanyanya datar.“Di atas. Ayah sedang bicara hal penting dengan Ethan,” jawab Ma
Sore sebelum jam pulang kerja hampir selesai, Serena menutup laptopnya dan merapikan barang-barang yang telah digunakan.Hari ini ia memutuskan akan pulang ke rumah orang tuanya, ia harus selesaikan masalah pertunangan ini secepatnya. Dulu, ia menyetujui semua perkataan ayahnya karena dialah yang membiayai semua pengobatan ibunya. Sekarang? Mereka lepas tangan, tidak ingin bertanggung jawab, tapi meminta lebih dari Serena. Suntikan dana dari keluarga Ethan sudah sangat cukup mengembangkan kembali bisnis ayahnya yang sempat bermasalah, sekarang Serena tidak akan lagi menjadi pion mereka.Ia melihat satu demi satu rekan kerja mulai beranjak pulang. Hanya suara detak jam dan langkah sepatu di koridor yang sesekali terdengar.Saat Serena hendak berdiri, matanya menangkap sosok perempuan yang baru saja masuk ke lantai itu. Wanita itu tampak begitu mencolok di antara karyawan lain. Serena sempat terpaku, matanya mengikuti langkah wanita itu yang semakin mendekat. Wanita itu berhenti tepat
Pagi ini, Serena tiba lebih awal di kantor, berharap bisa menenggelamkan diri dalam pekerjaan agar pikirannya tidak lagi melayang pada malam itu.Ia memutar laptop, membuka dokumen laporan keuangan yang harus diserahkan hari ini. Pandangannya berusaha fokus, meskipun jemarinya sempat berhenti beberapa kali. Ada sebuah notifikasi masuk di ponsel membuatnya melirik cepat. Pesan dari rumah sakit.(Kondisi Ibu Anda stabil, tidak perlu khawatir. Kami akan kabari bila ada perkembangan baru)Serena mengembuskan napas lega. Beban kecil di pundaknya terasa terangkat. Ia menatap layar sejenak sebelum kembali mengetik. Semuanya harus selesai hari ini. Ia ingin terlihat normal, seolah tidak ada yang terjadi beberapa hari ini.Suara langkah terdengar mendekat. Rekannya, Maya, muncul di depan meja sambil membawa beberapa berkas.“Serena, ini tanda tangan dari tim proyek yang kemarin kau minta,” katanya.“Terima kasih, Maya.”Maya menatapnya sejenak, memperhatikan wajah Serena yang tampak pucat. “K
“Steave, buka!” Steave membuka pintu dengan enggan. Ia bisa merasakan kemarahan Viviane hanya dari nada suaranyaWanita itu berdiri di hadapannya, tak ada sikap formal atau pun basa-basi seperti biasa yang dilakukannya. “Di mana dia?” tanya Viviane dingin, menatap sekeliling ruangan. “Kau menyembunyikan seorang perempuan di sini?” Wanita itu langsung masuk tanpa Steave mempersilahkan.Steave tidak menjawab. Ia hanya menutup pintu di belakangnya dan berdiri diam beberapa langkah dari Viviane. Tatapannya tidak menunjukkan rasa bersalah.Viviane mulai berjalan ke arah ruang tamu, membuka satu per satu pintu dengan kasar. “Serius, Steave? Kau membawa perempuan lain ke rumah ini? Tinggal bersamamu?” Ia menatap sekeliling apartemen yang masih rapi, meski sangat bersih dan tidak ada bukti yang menunjukkan adanya orang lain di tempat ini, Viviane sangat yakin Steave telah merapikannya.“Viviane,” suara Steave akhirnya terdengar. “Jangan berteriak di sini.”Wanita itu berbalik cepat, matany
Steave baru saja membuka pintu apartemennya. Sepanjang perjalanan dari kediaman keluarga Whitmore, Steave merasa sedikit kejam pada Serena.Saat masuk, ruangan apartemen sangat sepi. Ia pikir Serena akan menunggunya di ruang tamu. “Serena?” panggilnya, tapi tak ada jawaban.Steave berjalan ke arah kamar. Pintu kamar terbuka sedikit, dan dari dalam terdengar suara gemericik air. Alisnya terangkat.Dia melangkah masuk, lalu memanggil lagi. “Serena, kau di dalam?”Tak ada jawaban juga. Hanya suara air yang mengalir terus dari kamar mandi.Ketika Steave mendorong pintu perlahan, pandangan matanya menangkap sosok Serena yang duduk di dalam bathtub, dengan air mengucur dari shower yang masih menyala di atas kepalanya.Bahunya berguncang karena air mata bercampur dengan air di wajahnya, menetes tanpa suara.Steave sempat terdiam beberapa detik. Entah kenapa pemandangan itu membuatnya merasa puas juga sekaligus iba. Ia mendekat, tapi Serena tidak menyadari kehadirannya sampai ia mematikan