Langit mulai kelam ketika Serena berdiri di depan pintu apartemen Steave. Tangannya bergetar saat menekan bel. Sekali, dua kali, hingga pintu terbuka menampakkan sosok Paul.
“Selamat malam, Nona Serena,” ucapnya tenang. “Tuan Steave sudah menunggu.” Serena langsung masuk tanpa banyak bicara. Kakinya terasa lemah, dan kekuatan tubuhnya sudah hilang sejak dari rumah sakit. Di ruang kerja yang luas dan modern, Steave duduk di kursi dengan kemeja abu gelap, menatap layar komputer tanpa ekspresi. Begitu Serena masuk, ia menutup layar monitor dan mengalihkan pandangan ke arah gadis itu. “Kau datang juga,” katanya datar. Serena berusaha bicara, tetapi suaranya pecah. “Kenapa, kenapa Ibu saya dipindahkan ke kamar umum? Suster bilang biaya pengobatan dihentikan.” Steave menyandarkan diri di kursi, menatapnya santai. “Ya, aku yang menghentikan.” “Kenapa?!” Serena maju dua langkah, nadanya meninggi. “Bukankah kau berjanji akan membantu sampai Ibuku sembuh?” “Aku tidak pernah bilang itu gratis.” Nada suara Steave tetap tenang, namun dingin menusuk. “Kau lupa, Serena? Kesepakatan kita belum kau tepati.” Serena menggigit bibir bawah, menahan air mata yang mulai menggenang. Ia sudah tahu hal ini akan terjadi, tetapi tetap saja rasanya seperti dihantam keras telah di dada. “Tolong, jangan lakukan ini. Aku mohon, beri aku waktu,” pintanya putus asa. Steave berdiri perlahan, lalu menatapnya dari atas ke bawah. “Waktu yang kuberikan sudah terlalu lama, Serena. Kau yang meminta tolong padaku, bukan sebaliknya.” Serena sudah tidak sanggup menahan air mata. Ia berlutut di depan pria itu. “Aku mohon, jangan hentikan pengobatan Ibuku. Aku akan melakukan apa pun, asalkan Ibuku tidak diperlakukan seperti ini.” Steave melangkah mendekat dengan tenang penuh wibawa. Ia berhenti tepat di depan Serena yang masih berlutut, lalu menunduk sedikit, menatap wajah gadis itu dari dekat. “Jadi sekarang kau siap memenuhi kesepakatan kita?” tanyanya pelan, tapi tegas. Serena menunduk kebingungan, bahunya bergetar. Ia tidak menjawab, hanya membiarkan air mata jatuh ke lantai yang ia tatap. Steave mengangkat dagu Serena dengan dua jarinya, lalu memaksanya menatap. “Kau sendiri yang meyanggupi malam itu, Serena. Kenapa sekarang malah aku yang seperti penjahat?” Steave menekan dagu Serena lebih kuat. “Kalau bersikap baik, pengobatan Ibumu tidak akan kuhentikan.” “Aku… aku hanya tidak bisa,” bisik Serena di sela tangis. Tatapan Steave sulit dibaca. Ia kemudian menarik tangannya dan berkata, “Berdirilah.” Serena ragu, tetapi menuruti perintah itu. Tubuhnya masih gemetar ketika ia berdiri. Jarak mereka hanya beberapa sentimeter. Napas Steave sangat terasa di wajahnya. “Kalau itu keputusanmu,” ucap Steave dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan, “kau tahu konsekuensinya.” Serena menatap matanya, ia melihat sesuatu di sana, bayangan emosi yang menakutkan. Antara keinginan, amarah, dan sesuatu yang menyerupai penyesalan. Ia tidak sempat menafsirkannya lebih jauh, saat Steave menundukkan kepalanya, wajah mereka semakin dekat. Serena bisa merasakan hangat napas pria itu menyapu bibirnya. Serena menahan napas. “Jangan...” bisiknya lirih, namun suaranya tenggelam di antara jarak yang semakin menipis. Gadis itu mundur satu langkah, napasnya kian memburu. “Aku tidak mau seperti ini,” katanya pelan, hampir bergetar. “Aku hanya ingin menyelesaikan semuanya dengan cara baik-baik.” Steave yang merasa ditolak menahan emosinya sekuat mungkin. “Cara baik-baik?” ia terkekeh dingin. “Dunia tidak sesederhana itu, Serena. Kau pikir orang-orang akan menolongmu tanpa imbalan hanya karena kau menangis cantik seperti ini?” Kata-kata itu menampar Serena keras-keras. Ia menatap pria itu penuh kebencian, tapi di balik tatapan matanya, ada ketakutan yang sulit disembunyikan. Steave kembali menatapnya dengan tajam. “Kau boleh membenciku sepuasmu. Tapi ingat, ibumu hidup karena aku. Tanpaku, mungkin malam itu kau sudah kehilangan segalanya.” “Berhenti bicara seperti itu,” potong Serena, suaranya bergetar tapi tegas. “Ibuku bukan alat tawar-menawar!” Steave mendekat dengan aura mendominasi. “Lalu siapa yang menjadikannya begitu?” katanya rendah namun menusuk. “Kau yang datang padaku waktu itu, bukan aku yang memintamu. Kau yang bilang akan melakukan apa saja.” Serena menatapnya dalam, tenggorokannya tercekat. Ia ingin membalas, tapi tak ada kata yang keluar. “Kau tahu,” lanjut Steave, suaranya merendah tapi penuh tekanan, “aku tidak suka mengulang permintaan dua kali. Malam ini, kau bisa keluar dari sini dengan dua pilihan, menerima kesepakatan itu dan memastikan ibumu tetap hidup, atau pergi dan mengucapkan selamat tinggal padanya untuk terakhir kali.” Tubuh Serena terasa kaku. Dunia di sekitarnya seolah memudar, yang terdengar hanya suara detak jantungnya sendiri yang berdentum keras di telinga. “Kenapa kau sejahat ini?” tanyanya dengan suara serak. Steave menunduk sedikit, menatap mata Serena tanpa ekspresi. “Karena dunia lebih kejam dari yang kau bayangkan.” Mereka terdiam lama. Serena menunduk, menggenggam ujung roknya erat-erat. “Kalau aku menyerahkan segalanya, apa kau akan menepati janji?” Steave menatapnya lama, kemudian menjawab pelan, “Aku selalu menepati janji.” Serena menarik napas panjang. Dadanya terasa berat, matanya berkaca-kaca. “Baiklah,” katanya akhirnya, meski suaranya nyaris tak terdengar. “Tapi aku ingin melihat Ibu dulu besok pagi. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja.” “Kalau itu yang kau mau,” jawab Steave sambil kembali ke kursinya. Ia mengambil ponsel, menghubungi asistennya. “Paul, kirim kembali biaya pengobatan untuk Mrs. Collins. Segera.” Serena mengangkat kepala, menatap Steave tak percaya. “Kau... benar-benar melakukannya?” Steave menatapnya dingin. “Aku bukan pembohong, Serena. Tapi kau tahu harga dari setiap keputusanmu.” Gadis itu tak sanggup lagi berbicara. Ia hanya berdiri terpaku di tempatnya, tubuhnya terasa lemah seperti kehilangan tenaga. Saat berbalik hendak pergi, suara Steave membuat langkahnya berhenti di ambang pintu. “Jangan coba menghindar lagi,” ucap pria itu datar. Serena menggigit bibir bawahnya, lalu melangkah cepat keluar dari ruang kerja itu. Tapi begitu pintu tertutup di belakangnya, lututnya nyaris tak sanggup menopang tubuh.Serena turun dari taksi tepat di depan rumah besar bergaya klasik milik keluarga Collins. .Ia membayar ongkos taksi, lalu mengucapkan terima kasih singkat.Begitu pintu besar terbuka. Seorang pelayan tua yang sudah mengenalnya sejak kecil menunduk sopan.“Selamat malam, Nona Serena.”“Selamat malam.”Pelayan itu tersenyum lembut, namun matanya terlihat cemas. Ia tahu hubungan Serena dengan keluarga ini tidak pernah baik lagi sejak kedatangan orang asing.Langkah Serena berhenti di ambang ruang tamu. Di sana, duduk dua wanita yang wajahnya selalu ia lihat dengan perasaan kesal. Claudia, ibu tirinya, serta Marissa, kakak tirinya yang cantik namun penuh kesombongan.Mereka berdua menatap Serena dengan senyum sinis yang lebih terasa seperti ejekan.“Lihat siapa yang akhirnya datang juga,” ujar Claudia tanpa menutupi nada dinginnya.Serena hanya menatap sebentar, lalu berjalan melewati mereka. “Ayah di mana?” tanyanya datar.“Di atas. Ayah sedang bicara hal penting dengan Ethan,” jawab Ma
Sore sebelum jam pulang kerja hampir selesai, Serena menutup laptopnya dan merapikan barang-barang yang telah digunakan.Hari ini ia memutuskan akan pulang ke rumah orang tuanya, ia harus selesaikan masalah pertunangan ini secepatnya. Dulu, ia menyetujui semua perkataan ayahnya karena dialah yang membiayai semua pengobatan ibunya. Sekarang? Mereka lepas tangan, tidak ingin bertanggung jawab, tapi meminta lebih dari Serena. Suntikan dana dari keluarga Ethan sudah sangat cukup mengembangkan kembali bisnis ayahnya yang sempat bermasalah, sekarang Serena tidak akan lagi menjadi pion mereka.Ia melihat satu demi satu rekan kerja mulai beranjak pulang. Hanya suara detak jam dan langkah sepatu di koridor yang sesekali terdengar.Saat Serena hendak berdiri, matanya menangkap sosok perempuan yang baru saja masuk ke lantai itu. Wanita itu tampak begitu mencolok di antara karyawan lain. Serena sempat terpaku, matanya mengikuti langkah wanita itu yang semakin mendekat. Wanita itu berhenti tepat
Pagi ini, Serena tiba lebih awal di kantor, berharap bisa menenggelamkan diri dalam pekerjaan agar pikirannya tidak lagi melayang pada malam itu.Ia memutar laptop, membuka dokumen laporan keuangan yang harus diserahkan hari ini. Pandangannya berusaha fokus, meskipun jemarinya sempat berhenti beberapa kali. Ada sebuah notifikasi masuk di ponsel membuatnya melirik cepat. Pesan dari rumah sakit.(Kondisi Ibu Anda stabil, tidak perlu khawatir. Kami akan kabari bila ada perkembangan baru)Serena mengembuskan napas lega. Beban kecil di pundaknya terasa terangkat. Ia menatap layar sejenak sebelum kembali mengetik. Semuanya harus selesai hari ini. Ia ingin terlihat normal, seolah tidak ada yang terjadi beberapa hari ini.Suara langkah terdengar mendekat. Rekannya, Maya, muncul di depan meja sambil membawa beberapa berkas.“Serena, ini tanda tangan dari tim proyek yang kemarin kau minta,” katanya.“Terima kasih, Maya.”Maya menatapnya sejenak, memperhatikan wajah Serena yang tampak pucat. “K
“Steave, buka!” Steave membuka pintu dengan enggan. Ia bisa merasakan kemarahan Viviane hanya dari nada suaranyaWanita itu berdiri di hadapannya, tak ada sikap formal atau pun basa-basi seperti biasa yang dilakukannya. “Di mana dia?” tanya Viviane dingin, menatap sekeliling ruangan. “Kau menyembunyikan seorang perempuan di sini?” Wanita itu langsung masuk tanpa Steave mempersilahkan.Steave tidak menjawab. Ia hanya menutup pintu di belakangnya dan berdiri diam beberapa langkah dari Viviane. Tatapannya tidak menunjukkan rasa bersalah.Viviane mulai berjalan ke arah ruang tamu, membuka satu per satu pintu dengan kasar. “Serius, Steave? Kau membawa perempuan lain ke rumah ini? Tinggal bersamamu?” Ia menatap sekeliling apartemen yang masih rapi, meski sangat bersih dan tidak ada bukti yang menunjukkan adanya orang lain di tempat ini, Viviane sangat yakin Steave telah merapikannya.“Viviane,” suara Steave akhirnya terdengar. “Jangan berteriak di sini.”Wanita itu berbalik cepat, matany
Steave baru saja membuka pintu apartemennya. Sepanjang perjalanan dari kediaman keluarga Whitmore, Steave merasa sedikit kejam pada Serena.Saat masuk, ruangan apartemen sangat sepi. Ia pikir Serena akan menunggunya di ruang tamu. “Serena?” panggilnya, tapi tak ada jawaban.Steave berjalan ke arah kamar. Pintu kamar terbuka sedikit, dan dari dalam terdengar suara gemericik air. Alisnya terangkat.Dia melangkah masuk, lalu memanggil lagi. “Serena, kau di dalam?”Tak ada jawaban juga. Hanya suara air yang mengalir terus dari kamar mandi.Ketika Steave mendorong pintu perlahan, pandangan matanya menangkap sosok Serena yang duduk di dalam bathtub, dengan air mengucur dari shower yang masih menyala di atas kepalanya.Bahunya berguncang karena air mata bercampur dengan air di wajahnya, menetes tanpa suara.Steave sempat terdiam beberapa detik. Entah kenapa pemandangan itu membuatnya merasa puas juga sekaligus iba. Ia mendekat, tapi Serena tidak menyadari kehadirannya sampai ia mematikan
Malam itu, Serena berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan dirinya. Apa yang terjadi di kantor tadi sore bersama Steave, cukup membuat Serena semakin rendah.Ia menatap pantulan dirinya dengan campuran gugup dan bingung. Pertemuan dengan keluarga Whitmore. Terutama ibunya Ethan, orang yang paling mendukung pertunangan mereka.“Semoga aku tidak melakukan kesalahan nanti,” gumamnya menghela napas.Gaun yang ia kenakan berwarna biru lembut dengan potongan elegan. Bahan satin tipisnya mengikuti lekuk tubuhnya tanpa berlebihan. Tali bahu tipis dengan aksen renda putih menambah kesan manis, sedangkan potongan A-line pada bagian bawah membuat gerakannya tampak ringan dan anggun. Rambutnya diikat setengah ke belakang dengan jepit mutiara kecil yang ia beli sendiri dua minggu lalu. Ia tidak menggunakan banyak riasan, hanya meka up tipis, lipstik, dan sedikit maskara. Serena menatap sekali dirinya di kaca, lalu meraih tas tangan kecil. Ia tidak ingin membuat Ethan semakin curiga saat tahu