Ruang kerja yang di desain maskulin dan dengan warna yang tajam. Steave duduk di kursinya dengan santai, lengan kanannya menopang dagu, sementara jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja.
Paul, asistennya yang paling ia percaya, berdiri tegak di hadapan tuannya. Wajahnya terlihat serius, namun sedikit gugup. Ia membuka map cokelat yang dibawanya, lalu menghembuskan napas sebelum bicara. “Tuan, semua sesuai dengan prediksi anda,” Steave menyeringai licik, ia memasang umpannya dengan tepat. “Kondisinya?” “Belum ada pergerakan dari Serena, Tuan. Ia juga tidak mendatangi Tuan Ethan untuk meminta bantuan.” Steave menegakkan tubuhnya, jemarinya berhenti mengetuk meja. Ia bersandar santai di kursi kulit hitam yang mewah itu, lalu menatap Paul dengan tatapan penuh maksud. “Persiapkan sisanya,” ucapnya pada sang asisten. “Tamu kita tak lama lagi akan datang.” Paul mengangguk, meski dalam hati ia merutuki kegilaan boss nya ini. Ia menyesap sedikit anggurnya, lalu meletakkan gelas itu di meja dengan bunyi kecil yang nyaring. Tepat ketika ia berpikir hari-hari menyenangkan dalam hidupnya akan terjad, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari seseorang (Steave, ini aku Vivian. Bisakah kita bertemu?) “Aku hampir saja lupa dengan wanita yang menyandang status istri dari ku,” geram Steave tidak suka. **** Hujan turun deras malam itu, Serena berdiri di sebuah halte, tubuhnya menggigil, dan rambutnya sudah basah meski ia mencoba berteduh. Pakaian kerja yang melekat di tubuhnya ikut basah kuyup, menempel erat, membuatnya tak nyaman. Ia menunduk pada ponsel di tangannya. Nominal di layar rekening membuat dadanya sesak. Jumlahnya terlalu kecil. Tabungannya selama ini, yang ia kumpulkan dengan susah payah, ternyata tidak ada artinya dibanding biaya pengobatan besar yang diminta pihak rumah sakit. Serena menggigit bibir. Bagaimana ia mencari biaya tambahan? Di layar, nama Ethan muncul. Ia memandanginya dengan lama, jarinya bergetar di atas layar ponsel. Ada harapan kecil di hatinya. Mungkin, Ethan masih menyisakan sedikit kebaikan. “Mungkin dia bisa pinjamkan aku uang,” gumamnya lirih. Namun, jemarinya terhenti. Ingatan tentang semua luka yang ditinggalkan Ethan kembali menghantamnya. Wajahnya mengeras seketika lalu ia menghapus niat itu. Tidak, ia tidak akan lagi merendahkan diri pada laki-laki yang berkali-kali membuatnya hancur. Saat itu juga, sebuah notifikasi masuk. Pesan dari rumah sakit. “Kondisi ibu Anda semakin menurun. Harap segera dipindahkan ke rumah sakit besar malam ini juga. Jika terlambat, kondisinya bisa memburuk.” Serena membeku. Ponselnya hampir terlepas dari tangannya. Ia jatuh terduduk di bangku halte, dengan tangan menutupi wajah. Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan. Ia tidak tahu harus ke mana, pada siapa ia harus meminta tolong. Lalu, Serena teringat akan satu hal. Kartu nama yang diberikan Steave dan ucapannya pria itu padanya terakhir kali. “Jika kau butuh bantuan, datanglah padaku.” Nama itu menyambar pikirannya seperti kilat. Ia menegakkan tubuh, dan merasa mendapat secercah harapan. Meski hatinya bimbang, keadaan tidak memberinya waktu untuk berpikir panjang. Ibunya lebih penting dari harga dirinya. Dengan tangan gemetar, ia mengetik pesan. “Tuan Steave… di mana Anda? Saya… saya butuh bantuan.” Tidak sampai satu menit, balasan datang. “Aku masih di kantor. Datanglah ke sini malam ini.” Serena tidak menunggu lebih lama. Ia berlari keluar dari halte, membiarkan tubuhnya diguyur hujan. Jalanan cukup licin, tapi ia tak peduli. Ia menahan dingin yang menyiksa, berlari kecil sambil menengok kanan kiri mencari taksi. Pakaian tipisnya menempel erat pada tubuh mungilnya, membuat siluet tubuhnya terlihat. Setelah berhasil menghentikan taksi, ia segera meluncur ke gedung tempat Steave bekerja. Sepanjang perjalanan, ia menggigil hebat, memeluk dirinya sendiri. Sesampainya di gedung megah itu, Serena berlari setengah tersandung ke dalam lobi. Pakaian basahnya membuat para petugas keamanan dan resepsionis sempat menatapnya aneh, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin segera bertemu dengan pria yang mungkin satu-satunya bisa menolongnya. Lift membawanya naik ke lantai atas. Setiap detik terasa seperti penantian yang menyesakkan. Ketika pintu terbuka, sosok Paul sudah berdiri di sana, seolah memang menunggu. “Nona Serena?” suaranya sopan. Serena mengangguk cepat. “Ya. Saya… saya harus bertemu Tuan Steave.” Paul menatap tubuh Serena yang menggigil, lalu mengangguk. “Ikut saya.” Ia membawanya melewati beberapa ruangan hingga sampai di depan pintu besar berlapis kayu. Dengan hormat, Paul membukakan pintu, lalu mempersilakan Serena masuk. Steave duduk tegap di kursinya, wajahnya teduh namun penuh wibawa. Begitu tatapannya jatuh pada Serena, matanya sedikit membesar. Pakaian gadis itu tipis dan basah, menempel pada kulitnya, membuat lekuk tubuhnya terlihat. Rambut panjangnya meneteskan air hujan, serta wajahnya yang pucat, tapi justru semakin membuatnya terlihat rapuh. Mata Steave menuruni tubuh itu tanpa bisa ditahan. Belahan dada Serena bisa ia lihat di balik kain basah. Ia merasakan tubuhnya bereaksi spontan, dan sesuatu mengeras di bawah sana. Namun, ia segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan semuanya di balik sikap dingin. Serena tidak menyadari tatapan itu. Baginya, Steave hanyalah paman Ethan yang mungkin masih punya hati baik. Ia melangkah maju, tangannya gemetar ketika membuka suara. “Tuan Steave… saya tahu ini tidak sopan. Tapi, ibu saya. Dia butuh dipindahkan ke rumah sakit besar malam ini. Saya tidak punya cukup uang. Tolong, bisakah Anda meminjamkan saya? Saya akan bekerja sekeras apa pun untuk menggantinya.” Steave menatapnya dalam, lalu bangkit perlahan. Ia berjalan menghampiri Serena. “Kau datang pada orang yang tepat,” ucapnya rendah. Serena mengangkat wajah, bingung dengan kata-kata itu, tapi ia tak peduli. “Jadi… Anda mau membantu saya?” “Tentu saja. Aku akan mengurus semuanya,” senyum simpul muncul di wajah tegas pria berusia hampir 40 itu. “Tapi ingat, setiap bantuan selalu ada harganya.” Serena menunduk. Ia tidak dalam posisi untuk menawar. “Apa pun syaratnya, saya akan melakukannya. Asal ibu saya selamat.” Steave menatapnya puas. “Baiklah,” katanya sambil menoleh pada Paul. “Atur semuanya malam ini juga. Pastikan ibu Nona Serena mendapat perawatan terbaik. Biaya dan akses semua atas namaku.” Paul segera mengangguk, lalu keluar dari ruangan untuk melaksanakan perintah. Serena menutup wajahnya dengan kedua tangan, terisak lega. “Terima kasih, Tuan Steave. Terima kasih banyak,” Steave merespon dengan anggukan singkat. Serena benar-benar bisa bernapas lega sekarang. Ia tak menyangka, ia akan meminta bantuan kepada paman tunangannya yang selama ini bahkan tak pernah berinteraksi dengannya. Setelah menenangkan dirinya ia kembali menoleh pada Steave yang sejak tadi masih berdiri di depannya, bersandar pada meja kerjanya sembari melipat kedua lengannya di depan dada, dan menatapnya dengan tatapan yang sulit Serena artikan. “Tuan, saya benar-benar berterimakasih atas bantuan anda. Saya berjanji akan mengganti semua biaya yang anda pinjamkan hari ini,” ujar Serena. “Siapa bilang aku menginginnya kembali dalam bentuk biaya,” ucap Steave, tegas, dan tajam. Serena tak sadar mengerutkan kening. Kebingungan menjalar seketika. “Kau tau Serena…” Steave berjalan mendekati Serena. Postur tubuhnya yang menjulang tinggi, serta aura yang ia bawa membuat udara di sekitar Serena seolah tersedot entah ke mana. “butuh berapa puluh tahun untuk kau bisa melunasi nya dengan uang? sedangkan keluargamu, sama sekali tak peduli dengan urusan finansial mu.” Serena menunduk, meringis mendengar fakta itu diucapkan secara gamblang, dan menghindari tatap yang seolah mengulitinya dengan sengaja. Mencicit, Serena bertanya, “Lalu, apa yang anda inginkan?” Steave menyeringai, sembari menatap dalam perempuan mungil di depannya yang menunduk dalam. Pria itu mengankat tangannya, meraih dagu Serena dan membawa mata itu untuk menatapnya langsung. “Tubuhmu.”Ruang kerja yang di desain maskulin dan dengan warna yang tajam. Steave duduk di kursinya dengan santai, lengan kanannya menopang dagu, sementara jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Paul, asistennya yang paling ia percaya, berdiri tegak di hadapan tuannya. Wajahnya terlihat serius, namun sedikit gugup. Ia membuka map cokelat yang dibawanya, lalu menghembuskan napas sebelum bicara.“Tuan, semua sesuai dengan prediksi anda,”Steave menyeringai licik, ia memasang umpannya dengan tepat.“Kondisinya?”“Belum ada pergerakan dari Serena, Tuan. Ia juga tidak mendatangi Tuan Ethan untuk meminta bantuan.”Steave menegakkan tubuhnya, jemarinya berhenti mengetuk meja. Ia bersandar santai di kursi kulit hitam yang mewah itu, lalu menatap Paul dengan tatapan penuh maksud. “Persiapkan sisanya,” ucapnya pada sang asisten. “Tamu kita tak lama lagi akan datang.”Paul mengangguk, meski dalam hati ia merutuki kegilaan boss nya ini.Ia menyesap sedikit anggurnya, lalu meletakkan gelas itu di meja de
Bab 4Malam itu di rumah keluarga Collins. Serena berdiri di depan pintu ruang kerja ayahnya, ia akan membicarakan mengenai biaya rumah sakit untuk ibunya sekarang juga. Sebelum masuk, Serena menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu.“Masuk,” suara Richard Collins terdengar tegas dari dalam.Serena membuka pintu dengan hati-hati. Ia bisa mencium bau asap rokok dan minuman beralkohol. Sang ayah duduk di kursinya, sibuk menandatangani dokumen dengan wajah serius. Serena melangkah mendekat, menahan diri agar tidak salah bicara.“Ayah,” sapanya selembut mungkin.Richard mengangkat kepala sebentar. “Ada apa, Serena? Sudah malam, seharusnya kamu beristirahat.”Serena menggenggam ujung gaunnya, ragu sejenak sebelum bicara. “Aku baru saja dari rumah sakit siang tadi. Aku menemui Ibu.”Richard berhenti menulis, menegakkan bahunya lalu bersandar di kursinya. “Bagaimana kondisinya?”“Tidak ada perkembangan, Ayah. Dokter bilang Ibu harus dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar, dengan per
Pagi itu kantor sudah ramai oleh para karyawan. Suara telepon berdering bergantian, bunyi ketikan keyboard bersahut-sahutan. Serena duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan mata lelah.Tumpukan dokumen di mejanya seolah tidak ada habisnya. Ia memijat pelipis sambil mencoba fokus. Meski pikirannya berkali-kali melayang pada kondisi ibunya di rumah sakit, ia tetap memaksa dirinya menyelesaikan pekerjaan.“Serena, ini laporan keuangan bulan lalu. Cek ulang sebelum diserahkan ke direktur,” kata salah satu rekan kerjanya sambil meletakkan map tebal di atas meja.Serena tersenyum tipis. “Baik, aku periksa dulu.”Belum sempat ia membuka laporan itu, ponselnya bergetar di samping laptop. Nomor rumah sakit terpampang jelas di layar. Jantung Serena langsung berdegup kencang. Dengan tergesa ia mengangkat telepon.“Halo, Nona Serena?” suara seorang perawat terdengar dari seberang.“Ya, saya sendiri. Ada apa?”“Dokter meminta Anda datang ke rumah sakit hari ini. Ada hal penting yang h
Serena menatap rumah besar keluarga Collins yang malam itu tampak lebih ramai dari biasanya. Lampu-lampu halaman menyala terang, biasanya sang ayah hanya akan menghidupkan lampu itu untuk menyambut tamu penting.Yang dilihat Serena, mobil-mobil mewah berjajar rapi di depan pintu utama.“Apa ada seseorang yang datang? Pasti rekan bisnis Ayah,” gumamnya.Begitu pintu besar dibuka, sosok Claudia, ibu tirinya, menyambut dengan senyum penuh kepalsuan. Senyum yang begitu janggal hingga membuat Serena hampir mengerutkan dahi."Serena, sayang. Akhirnya kamu pulang juga. Ayahmu sudah menunggumu," ucap Claudia terdengar lembut, seolah penuh kasih sayang.Serena berhenti sejenak. Rasanya ingin tertawa, karena Claudia jarang sekali atau bahkan tidak pernah menyapanya seperti itu. Biasanya wanita itu hanya bicara seperlunya, dengan nada setengah angkuh yang sering membuat Serena malas menjawab."Iya, Bu," jawab Serena singkat, mencoba menutupi rasa curiga yang menggelayut. Ia melangkah masuk.Di r
Sore menjelang malam, suasana London masih terasa hawa dinginnya setelah hujan. Trotoar di depan apartemen modern itu berkilau oleh pantulan lampu jalan. Serena Collins berjalan riang, penuh semangat meski rintik air hujan yang tersisa hampir saja merusak blow-dry rambutnya. Tangannya menggenggam payung kecil yang kini sudah dilipat, sementara hatinya penuh bunga.Hari ini ia dan Ethan, pacarnya, berjanji bertemu. Tidak ada momen istimewa sebenarnya, tapi Serena tipe gadis yang selalu bisa menemukan alasan untuk merasa bahagia. Mungkin karena Ethan jarang punya waktu, jadi setiap janji bertemu terasa seperti perayaan kecil.“Pasti dia sudah menunggu,” gumamnya sambil menaiki anak tangga menuju lantai tiga, tempat apartemen Ethan berada.Meski hanya beberapa lantai, apartemen ini hanya dihuni kalangan elit.Sesampainya di depan pintu nomor 3B, Serena menarik napas panjang. Tangannya terulur hendak mengetuk, tapi sesuatu menghentikannya. Entah kenapa firasatnya jadi buruk saat hendak m