Masuk“Kayaknya apa?”Selina menatap wajah adiknya dengan serius, menunggu jawaban yang tak kunjung keluar. Gracie tampak berpikir keras, dahinya berkerut, bibirnya sempat terbuka tapi kembali tertutup. Beberapa detik kemudian, ia mendecakkan lidah pelan dan menggeleng.“Kayaknya aku nggak pernah ketemu deh, Kak,” ujarnya akhirnya. “Yang aku tahu, Dusan cuma punya satu anak dari pernikahannya sama Marissa. Kayaknya cuma Giovanni yang pernah ke rumah bareng Dusan.”Selina terdiam lama sebelum menghembuskan napas panjang. Pandangannya kosong, seolah pikirannya melayang entah ke mana.“Berarti memang harus Kakak cari tahu langsung dari orangnya,” gumamnya lirih.Kalimat itu membuat Gracie menatap dengan ekspresi bingung. “Maksud Kakak?”Selina cepat menggeleng, senyum tipis muncul di wajahnya menutupi nada serius barusan. “Nggak apa-apa,” katanya pelan. “Tapi kalau nanti tiba-tiba kamu ingat sesuatu, sekecil apa pun, tolong kasih tahu Kakak, ya?”Gracie mengangguk mantap. “Iya, Kak. Gracie pas
Pertanyaan itu membuat Selina terdiam sejenak. Pandangannya berpindah ke arah koridor yang sepi sebelum menarik napas panjang.Andai Gracie tahu bagaimana rasanya mempertaruhkan harga diri ….Namun, Selina memilih tersenyum tipis, meski senyum itu lebih mirip topeng yang menahan runtuhnya hati. “Seperti yang kamu lihat,” jawab Selina seraya mengedikkan bahunya. “Kakak baik-baik saja.”Sayangnya, kalimat itu tidak cukup menenangkan Gracie. “Tapi, Pak Dusan dan Ibu Marissa itu—”“Mereka bukan orang tuamu,” tukas Selina datar. “Nggak perlu begitu sopan sama mereka.”Gracie menghela napas panjang, suaranya mulai bergetar ketika melanjutkan,“Mereka itu iblis berwajah malaikat, Kak! Marissa di luar sana tampak lembut dan murah hati, tapi dia tega mencelakai Ibu sampai hampir meregang nyawa! Lalu Dusan itu…” Gracie menggigit bibirnya, air mata mulai berkumpul di pelupuk mata. “Dia datang seolah jadi penyelamat buat keluarga kita, gantiin peran Ayah sebagai sahabat yang baik dan dermawan,
Selina memasang telinganya baik-baik menunggu jawaban dari gadis itu. Namun di seberang sana, Gracie hanya bisa menangis. Suaranya tersendat, nyaris tak terdengar di antara isak yang makin keras.“G-Gracie, tenang dulu, ya,” ucap Selina berusaha menahan suaranya agar tetap stabil, meski jantungnya sudah berdebar cepat.“Coba jelaskan pelan-pelan ke Kakak ada apa?” tanyanya cemas. Masih tak ada jawaban selain suara tangis dan tarikan napas tersengal.Selina segera bangkit dari ranjang, kakinya refleks mencari sandal di bawah tempat tidur. “Oke, nggak apa-apa, jangan panik, ya. Kakak ke sana sekarang juga. Kamu tunggu di rumah sakit.”Tanpa memutuskan panggilan, Selina segera mengganti bajunya. Seketika pikirannya menjadi kalut. Ketenangan semu yang tadi menenangkan pikirannya runtuh seketika, berganti dengan gelombang cemas yang naik dari dada hingga ke tenggorokan, membuat napasnya terasa berat.Selina buru-buru meraih tas dan ponselnya, lalu berlari kecil keluar kamar. Langkahnya
Selina meremas selimut yang menyelimuti pahanya. Dalam hati merutuki kebodohannya yang tidak hati-hati saat menjawab pertanyaan sang suami.Harusnya... dia mengingat bahwa Dusan sempat mengatakan ia membeli makan siang untuknya. Juga seharusna waspada kalau semua yang dibawa papa mertua belum tentu benar-benar dari Giovanni.Sekarang bagaimana ini?Sial! Tamatlah riwayatmu, Selina!“Sayang?” panggil Giovanni ketika Selina hanya diam dan membeku. Selina lalu mengangkat ponselnya setinggi wajah. Ia menyunggingkan bibirnya “Oh iya, maaf, Sayang. Tadi anak-anak kantor juga kirim banyak makanan soalnya, jadinya ketukar-tukar, deh. Miso supnya enak kok, seger banget, porsinya juga pas, nggak kebanyakan.” Lesung pipit Giovanni akhirnya menyembul naik, hela napas pelan terdengar speaker ponsel Selina. “Syukurlah kalau kamu sudah makan. Aku kepikiran kamu terus dari tadi.”“Kamu tuh khawatiran banget. Aku nggak apa-apa kok. Aman aja, Sayang,” kata Selina. Ia menarik sebuah bantal mendekat k
Nyali Mirna seketika menciut. Kepalanya menunduk dalam, menatap piring di tangannya seolah mencari tempat persembunyian.“Ma–maaf, Tuan. Saya tidak tahu kalau Tuan ada di sini,” ujarnya dengan suara bergetar.Di ranjang, Selina bisa menebak apa yang bergemuruh di kepala Mirna saat ini, segudang asumsi liar membuat wanita itu kaku di tempat. Wajar saja. Melihat Papa mertua dan menantu di kamar yang sama, siapa yang bisa berpikir jernih?Namun Selina memilih diam. Ia tidak ingin memperpanjang hal yang tidak perlu, hanya menunggu, ingin tahu alasan apa yang akan Dusan lontarkan.Sayangnya, alih-alih memberikan dalih, pria itu justru menatap Mirna dengan tatapan elangnya.“Bibi ke mana saja?” tegur pria itu, nadanya tetap datar dan tegas. “Tadi saya mau minta tolong siapkan makanan dari Giovanni untuk Selina, tapi Bibi nggak ada di dapur.”Mirna seperti kehilangan napas, leher wanita itu begerak naik turun. Bibirnya bergerak tapi tidak ada satupun kata yang keluar.“Apa gunanya saya mengg
Alih-alih menjawab, Dusan menundukkan wajah sejenak, lalu kembali menatap Selina yang kini setengah duduk.Garis rahang pria itu tampak tegas, pancaran manik hitamnya teras dingin di kulit Selina, dan entah kenapa, kehadirannya membuat kamar yang tadi tenang terasa lebih menyesakkan."Apa maksud tatapanmu itu, hm? Nggak suka Papa datang?" Dusan memiringkan kepalanya, sorot matanya yang datar membuat Selina segera menerbitkan senyum. Perempuan yang tengah mengenakan gaun tidur berwarna gading itu kini membuang napas panjang, lalu meraih jemari Dusan."Bukan nggak suka, tapi Papa yang tiba-tiba di sini bikin kaget Selina," ujar Selina seraya memanyunkan bibirnya.Dusan yang duduk di tepi ranjang hanya mengangkat sudut bibirnya, satu tangannya yang tidak dipegang Selina terulur mengusap kepala wanita itu."Kamu tidur nyenyak sekali. Papa nggak mau ganggu."Selina melayangkan pandangannya beberapa detik ke arah jam digital di atas nakas sebelum kembali menatap Dusan. Angka merah di layar







