MasukDusan tersenyum miring. “Papa tidak mau buru-buru,” bisiknya dengan suara rendah.
Pria itu bangkit perlahan, lalu menarik piyama tidurnya hingga terlepas dari tubuh. Kain satin berwarna hitam yang ia kenakan terlempar ke lantai begitu saja, sementara pandangannya tetap tertuju pada Selina yang terbaring di bawah remang lampu kamar. Dengan satu gerakan mantap, Dusan mencondongkan tubuh, kedua lengannya menahan di sisi tubuh Selina, mengurungnya di antara kehangatan dan aroma maskulinnya. Bibirnya mendekat ke telinga Selina, menebarkan hembusan napas hangat di sana sebelum mencium pelipisnya dengan lembut. Dari situ, kecupannya menelusur perlahan, menyusuri telinga dan garis rahang hingga ke sudut bibir. Setiap sentuhan terasa terukur, seolah Dusan tengah melukis wajah Selina dengan bibirnya sendiri. Hela napas Selina makin berat. Tanpa sadar, tangannya terangkat, merambat di sepanjang punggung Dusan yang hangat dan berotot. Ujung jarinya menelusuri kulit itu dengan gerakan ringan, kadang menggenggam, kadang hanya menyentuh pelan seolah takut kehilangan sensasinya. Selina bisa merasakan tubuh Dusan menegang di bawah sentuhannya; urat di leher pria itu menonjol, rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu yang bergolak dari dalam. Napasnya berat, beradu dengan kulit Selina yang panas. Saat Dusan menunduk, jarak di antara mereka kembali lenyap, dan Selina bisa mendengar detak jantungnya yang kacau, berpadu dengan desah lembut yang lolos dari bibirnya sendiri. “Waktu dengan Giovanni, kamu juga begini, hm?” tanya Dusan terdengar seperti godaan yang sengaja diucapkan untuk memancing reaksi Selina. Namun, meski larut dalam permainannya, Selina juga tidak sepenuhnya hilang kendali. Selina menatapnya dari bawah bulu mata yang bergetar, ia menggelengkan kepala pelan, kedua tangannya masih bertahan di punggung Dusan. “Hanya Papa yang bisa buat Selina begini.” Tatapan Dusan melembut, seulas senyum tipis melintas di bibirnya. “Hari ini dan seterusnya kamu harus mengingat itu,” bisiknya rendah, sebelum kembali menunduk dan melanjutkan kecupannya. Bibir dingin itu kembali menjelajahi kulit Selina, seolah setiap inci tubuhnya adalah rahasia yang ingin ia hafal satu per satu. Ia berhenti sejenak di puncak indah milik Selina, membiarkan napas hangatnya menggoda, sebelum akhirnya menuntun dirinya lebih jauh ke bawah. Selina menahan napas, jemarinya tanpa sadar meremas lengan Dusan saat desahannya pecah di antara jeda napas. Kecupan itu terus menurun, menyusuri jalur lembut di bawah pusarnya yang kini menegang halus. Ia bisa merasakan tiap hembusan napas Dusan, hangat dan teratur, menyapu kulitnya dengan ritme yang membuatnya nyaris kehilangan keseimbangan. Hingga akhirnya, bibir itu menyentuh pusat kelembutan yang tersembunyi di antara kedua pahanya. Sentuhannya lembut, tapi cukup membuat Selina hampir berteriak saat sensasi itu menyeruak dari dasar tubuhnya. Sementara Dusan terus mengecup pelan, berulang kali, seakan menulis sesuatu dengan bibirnya di sana membuat tangan Selina terangkat spontan, menekan dan menarik lembut rambut Dusan, seolah mencari keseimbangan di antara gelombang kenikmatan yang terus menyeretnya tenggelam. “Pa… tolong…” Suara wanita itu melengking, tak bisa menahan lagi sensasi yang terus menerus menyerangnya. “Jangan siksa Selina seperti ini… ahh—” Namun Dusan seolah menulikan telinga. Gerakannya semakin dalam, ritmenya seperti gelombang yang tahu persis dimana harus berhenti dan kembali menggempur. Lidahnya menelusuri lembut lalu menggigit halus, mencipta sensasi antara nikmat dan siksa yang memabukkan. Tubuh Selina menegang, punggungnya melengkung tanpa kendali, bahunya bergetar hebat. “Ahh … Papa…” Suara tertahan lolos dari bibirnya. Hingga ketika semua tidak bisa ditahan tubuhnya menggelinjang hebat. Getaran halus menjalar dari pusat dirinya, meledak dalam gelombang yang tak tertahan. Jemarinya spontan meraih rambut Dusan, menariknya erat seolah itu satu-satunya pegangan di tengah pusaran yang menelan seluruh kesadarannya. Tubuh Selina akhirnya merosot lemas, seperti kehilangan seluruh daya yang tadi menegangkannya. Beberapa kali udara hangat keluar dari bibirnya dalam desah panjang. Keringat halus menetes di pelipis wanita itu, membentuk kilau lembab di permukaan kulitnya. Udara dingin dari pendingin ruangan tak lagi terasa, seolah suhu di antara mereka telah menciptakan iklimnya sendiri. Dusan perlahan menegakkan tubuhnya. Sorot matanya masih redup oleh bara yang belum padam, ia menelusuri wajah Selina yang tampak pasrah dan lemah dalam balutan cahaya temaram. Tangan pria itu bergerak kembali melepas gaun Selina. Kemudian beralih melepas celana yang masih melekat pada tubuhnya sendiri. Kini tubuh mereka polos tanpa sehelai benang pun. Sementara Selina menelan ludah ketika menatap milik Dusan yang telah tegak dan keras. Pria itu berlutut di atas ranjang sehingga posisinya lebih tinggi dari pada Selina. “Kamu nggak akan mendapatkan yang lebih baik dari ini, Selina,” ucap Dusan seraya menuntun tangan Selina menyentuh miliknya yang hangat. Ia menunduk berbisik lembut di telinga Selina membuat udara kembali memanas. “Kamu sudah puas, sekarang bantu puaskan Papa!” “Pa—papa … mau dipuaskan bagaimana?” Bukannya menjawab, Dusan justru langsung mengatur posisi jari dan pergelangan tangan Selina. Ia membimbing tangan lentik itu bergerak lembut, seolah tengah menuntun irama yang hanya mereka berdua pahami. Sentuhan itu tak memaksa, tapi Selina mengikuti arahnya tanpa perlawanan di bawah sana. “Mhh … buka mulutmu,” titah Dusan sedikit menggeram.“Kayaknya apa?”Selina menatap wajah adiknya dengan serius, menunggu jawaban yang tak kunjung keluar. Gracie tampak berpikir keras, dahinya berkerut, bibirnya sempat terbuka tapi kembali tertutup. Beberapa detik kemudian, ia mendecakkan lidah pelan dan menggeleng.“Kayaknya aku nggak pernah ketemu deh, Kak,” ujarnya akhirnya. “Yang aku tahu, Dusan cuma punya satu anak dari pernikahannya sama Marissa. Kayaknya cuma Giovanni yang pernah ke rumah bareng Dusan.”Selina terdiam lama sebelum menghembuskan napas panjang. Pandangannya kosong, seolah pikirannya melayang entah ke mana.“Berarti memang harus Kakak cari tahu langsung dari orangnya,” gumamnya lirih.Kalimat itu membuat Gracie menatap dengan ekspresi bingung. “Maksud Kakak?”Selina cepat menggeleng, senyum tipis muncul di wajahnya menutupi nada serius barusan. “Nggak apa-apa,” katanya pelan. “Tapi kalau nanti tiba-tiba kamu ingat sesuatu, sekecil apa pun, tolong kasih tahu Kakak, ya?”Gracie mengangguk mantap. “Iya, Kak. Gracie pas
Pertanyaan itu membuat Selina terdiam sejenak. Pandangannya berpindah ke arah koridor yang sepi sebelum menarik napas panjang.Andai Gracie tahu bagaimana rasanya mempertaruhkan harga diri ….Namun, Selina memilih tersenyum tipis, meski senyum itu lebih mirip topeng yang menahan runtuhnya hati. “Seperti yang kamu lihat,” jawab Selina seraya mengedikkan bahunya. “Kakak baik-baik saja.”Sayangnya, kalimat itu tidak cukup menenangkan Gracie. “Tapi, Pak Dusan dan Ibu Marissa itu—”“Mereka bukan orang tuamu,” tukas Selina datar. “Nggak perlu begitu sopan sama mereka.”Gracie menghela napas panjang, suaranya mulai bergetar ketika melanjutkan,“Mereka itu iblis berwajah malaikat, Kak! Marissa di luar sana tampak lembut dan murah hati, tapi dia tega mencelakai Ibu sampai hampir meregang nyawa! Lalu Dusan itu…” Gracie menggigit bibirnya, air mata mulai berkumpul di pelupuk mata. “Dia datang seolah jadi penyelamat buat keluarga kita, gantiin peran Ayah sebagai sahabat yang baik dan dermawan,
Selina memasang telinganya baik-baik menunggu jawaban dari gadis itu. Namun di seberang sana, Gracie hanya bisa menangis. Suaranya tersendat, nyaris tak terdengar di antara isak yang makin keras.“G-Gracie, tenang dulu, ya,” ucap Selina berusaha menahan suaranya agar tetap stabil, meski jantungnya sudah berdebar cepat.“Coba jelaskan pelan-pelan ke Kakak ada apa?” tanyanya cemas. Masih tak ada jawaban selain suara tangis dan tarikan napas tersengal.Selina segera bangkit dari ranjang, kakinya refleks mencari sandal di bawah tempat tidur. “Oke, nggak apa-apa, jangan panik, ya. Kakak ke sana sekarang juga. Kamu tunggu di rumah sakit.”Tanpa memutuskan panggilan, Selina segera mengganti bajunya. Seketika pikirannya menjadi kalut. Ketenangan semu yang tadi menenangkan pikirannya runtuh seketika, berganti dengan gelombang cemas yang naik dari dada hingga ke tenggorokan, membuat napasnya terasa berat.Selina buru-buru meraih tas dan ponselnya, lalu berlari kecil keluar kamar. Langkahnya
Selina meremas selimut yang menyelimuti pahanya. Dalam hati merutuki kebodohannya yang tidak hati-hati saat menjawab pertanyaan sang suami.Harusnya... dia mengingat bahwa Dusan sempat mengatakan ia membeli makan siang untuknya. Juga seharusna waspada kalau semua yang dibawa papa mertua belum tentu benar-benar dari Giovanni.Sekarang bagaimana ini?Sial! Tamatlah riwayatmu, Selina!“Sayang?” panggil Giovanni ketika Selina hanya diam dan membeku. Selina lalu mengangkat ponselnya setinggi wajah. Ia menyunggingkan bibirnya “Oh iya, maaf, Sayang. Tadi anak-anak kantor juga kirim banyak makanan soalnya, jadinya ketukar-tukar, deh. Miso supnya enak kok, seger banget, porsinya juga pas, nggak kebanyakan.” Lesung pipit Giovanni akhirnya menyembul naik, hela napas pelan terdengar speaker ponsel Selina. “Syukurlah kalau kamu sudah makan. Aku kepikiran kamu terus dari tadi.”“Kamu tuh khawatiran banget. Aku nggak apa-apa kok. Aman aja, Sayang,” kata Selina. Ia menarik sebuah bantal mendekat k
Nyali Mirna seketika menciut. Kepalanya menunduk dalam, menatap piring di tangannya seolah mencari tempat persembunyian.“Ma–maaf, Tuan. Saya tidak tahu kalau Tuan ada di sini,” ujarnya dengan suara bergetar.Di ranjang, Selina bisa menebak apa yang bergemuruh di kepala Mirna saat ini, segudang asumsi liar membuat wanita itu kaku di tempat. Wajar saja. Melihat Papa mertua dan menantu di kamar yang sama, siapa yang bisa berpikir jernih?Namun Selina memilih diam. Ia tidak ingin memperpanjang hal yang tidak perlu, hanya menunggu, ingin tahu alasan apa yang akan Dusan lontarkan.Sayangnya, alih-alih memberikan dalih, pria itu justru menatap Mirna dengan tatapan elangnya.“Bibi ke mana saja?” tegur pria itu, nadanya tetap datar dan tegas. “Tadi saya mau minta tolong siapkan makanan dari Giovanni untuk Selina, tapi Bibi nggak ada di dapur.”Mirna seperti kehilangan napas, leher wanita itu begerak naik turun. Bibirnya bergerak tapi tidak ada satupun kata yang keluar.“Apa gunanya saya mengg
Alih-alih menjawab, Dusan menundukkan wajah sejenak, lalu kembali menatap Selina yang kini setengah duduk.Garis rahang pria itu tampak tegas, pancaran manik hitamnya teras dingin di kulit Selina, dan entah kenapa, kehadirannya membuat kamar yang tadi tenang terasa lebih menyesakkan."Apa maksud tatapanmu itu, hm? Nggak suka Papa datang?" Dusan memiringkan kepalanya, sorot matanya yang datar membuat Selina segera menerbitkan senyum. Perempuan yang tengah mengenakan gaun tidur berwarna gading itu kini membuang napas panjang, lalu meraih jemari Dusan."Bukan nggak suka, tapi Papa yang tiba-tiba di sini bikin kaget Selina," ujar Selina seraya memanyunkan bibirnya.Dusan yang duduk di tepi ranjang hanya mengangkat sudut bibirnya, satu tangannya yang tidak dipegang Selina terulur mengusap kepala wanita itu."Kamu tidur nyenyak sekali. Papa nggak mau ganggu."Selina melayangkan pandangannya beberapa detik ke arah jam digital di atas nakas sebelum kembali menatap Dusan. Angka merah di layar







