로그인Selina dan Raven saling berpandangan. Raven menggerakkan dagunya agar Selina menjawab panggilan sang suami. "Y—ya, Sayang. Aku... Di dalam." "Kenapa kamu belum kembali ke meja makan? Ada masalah, Sayang?" Langkah Giovanni terdengar semakin dekat. Hanya saja Raven—yang masih larut dalam hasrat—tiba-tiba mendekatkan bibirnya di tengkuk Selina, menyusuri area itu dengan embusan napas hangatnya sesekali menempelkan bibir dinginnya membuat tubuh Selina meremang. Sementara kedua tangan besarnya menangkup dada Selina. "Aku... Mmh! Aku tiba-tiba haid, Sayang." Selina susah payah mengeja kalimat itu sebab Raven terus memancing gairah dalam tubuhnya. Selina berusaha memperingatkan Raven dengan tatapan matanya tapi tak ada gunanya. "Terus gimana, Sayang? Kamu sudah bawa pembalut? Apa perlu aku minta Clara carikan?" tawar Giovanni, nada suaranya terdengar sangat khawatir. "A—ah! Enggak perlu, Sayanghh. Aku... udah bawa!" Di luar ruangan, merasa suara istrinya berbeda, Gio
“Bagaimana kamu menjelaskan itu, Kakak Ipar?” Nada dingin Raven memotong udara di ruangan sempit itu. Pancaran manik hitamnya membuat suhu seolah turun beberapa derajat. Suara pria itu tidak keras, tetapi cukup untuk membuat telinga Selina bergetar. Kenapa pria ini bisa mengetahui pertemuannya dengan Dusan? Sebab, selama ini Selina dan Dusan selalu bertemu dengan sangat hati-hati. “Tidak perlu tanya aku tahu dari mana.” Raven menarik pinggang Selina hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa inci. Napas hangat pria itu menerpa wajah Selina. “Yang jelas, sore itu kamu cukup hebat… sampai membuat Papa terlambat menjemput Mama.” Ingatan Selina langsung melayang pada kejadian beberapa waktu lalu, saat ia berpura-pura mengalami kecelakaan, membuat Dusan panik dan membawanya ke apartemen. Kala itu Raven memang sudah pulang, tapi Selina tak tahu persis pria itu ada dimana. “Kamu ada di sana?” tanya Selina, ragu-ragu. “Kalau tidak, bagaimana aku tahu apa yang kamu lakukan?” “Aku dan
Dinner. Restoran kecil di bawah apartemen itu sebenarnya tidak istimewa, tetapi menu standar mereka cukup layak untuk menjamu tiga anggota keluarga Mathias beserta satu orang sekretaris. Sejak makan malam dimulai, hanya Giovanni dan sekretarisnya yang berusaha mencairkan suasana lewat obrolan ringan mengenai agenda mereka ke depan. Sementara itu, Raven dan Selina sama-sama bungkam. Sesekali tatapan mereka bersinggungan—dan setiap kali itu terjadi, Selina selalu menjadi pihak yang terlebih dahulu memalingkan wajah. Namun ada hal lain yang membuat Selina jauh lebih tidak nyaman. Sebuah rasa lembap dan hangat tiba-tiba mengalir di bagian bawah tubuhnya, disertai nyeri yang membuat wanita itu gelisah di kursinya. Dilanda kekhawatiran akan kemungkinan terburuk, Selina menoleh pelan pada suaminya. “Sayang, aku ke kamar mandi sebentar,” ucapnya lirih. Begitu Giovanni mengangguk, Selina segera bangkit, meraih tas kecilnya, lalu meninggalkan meja makan itu. Di dalam kamar mandi
One night stand itu terjadi jauh sebelum pernikahan, saat Selina masih merantau di negara Norvast. Pada malam bersalju di penghujung tahun itu, ia memutuskan merayakan hari terakhirnya di sana—tanpa pernah membayangkan bahwa keputusan impulsif tersebut akan menjeratnya di kemudian hari. Dan bertemu kembali dengan pria yang telah merenggut kegadisannya, dalam situasi seperti ini, adalah hal yang tak pernah Selina inginkan. Meski begitu, ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan Raven. Malam itu bukan semata keinginan pria tersebut, dirinya pun ikut memilih melangkah terlalu jauh. “Ternyata namamu Selina.” Suara bariton Raven menggunting lamunan wanita berambut gelombang itu. Sedangkan Giovanni yang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mengangkat alis. “Sebelum ini kalian sudah pernah ketemu?” tanya penuh rasa ingin tahu. Selina cepat-cepat mengembalikan pandangan pada suaminya. “Sayang. Kami—” “Pernah.” Raven memotong cepat ucapan Selina membuat wanita itu melayangkan tatapan tajam k
Jarak mereka terbentang beberapa meter. Namun, Suara berat dan dominan itu begitu berhasil memantik sesuatu dalam diri Selina hingga membuat tubuhnya kaku. Telinganya kembali berdengung terngiang bagaimana nada yang sama memanggil 'Sweetheart' di malam itu. "Atau... Merindukan sentuhanku?" lanjut pria itu. Selina berusaha untuk tetap fokus di tengah gelombang ingatan yang terus memutar potongan peristiwa antara dirinya dengan pria ini. Ia memejamkan mata kala kilasan hentakan tubuh pria itu memasuki dirinya di malam panas satu tahun lalu. Sial! "Maaf, aku salah kamar!" Selina meraih kembali kopernya tapi tubuhnya kembali terpaku saat pria itu bicara. "Klise." Pria itu kenbali bicara tetapi ekspresinya menatap lurus ke arah Selina. "Pura-pura salah kamar untuk menarik sebuah perhatian." Selina segera menatap pria itu dengan sorot mata elangnya. "Pertama, kamu salah orang. Kedua, aku merasa kita nggak pernah ketemu!" "Perlukah aku mengingatkan bagaimana kamu mendesah
Selina memindah posisi ponsel ke telinga satunya, bahunya sedikit terangkat menahan posisi. “Bu… Pak Giovanni sejak semalam sudah tidak enak badan,” ucap Clara, terdengar seperti sedang menurunkan volume suaranya agar tak kedengaran orang lain. “Pagi ini beliau tetap memaksa bekerja, dan sekarang kondisinya makin parah. Saya sudah ingin memanggil dokter, tapi beliau tidak berkenan. Jadi saya… saya cuma bisa menghubungi Ibu. Bisa… Ibu datang ke sini?” Selina diam beberapa detik. Pandangannya menyipit, tubuhnya condong ke depan seolah ingin mendengar lebih jelas. "Astaga... kenapa bisa sakit?" "Pak Giovanni terlambat makan, kemarin juga sempat kehujanan di lokasi proyek." Clara kembali berucap pelan. Sedangkan Selina memijat pelipisnya sendiri. "Tapi saya sudah beri obat, Bu, hanya Pak Gio tidak mau istirahat." "Ya sudah, saya ke sana, tapi saya harus ketemu beberapa klien dulu hari ini, jadi kemungkinan tiba agak sore," Selina akhirnya menjawab demikian. Tidak mungkin ia







