Share

Sarapan pertama

Penulis: de Banyantree
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-20 15:55:16

Vivian merasakan sakit menusuk di dadanya, lebih tajam daripada rasa sakit fisik apa pun. Ancaman Arman bukanlah gertakan kosong; itu adalah jaring baja yang mengunci pergerakannya. Ia mengenal suaminya: Menghancurkan Vivian adalah hal yang kecil dibandingkan dengan kehilangan kontrol.

​Ia tidak menjawab. Hanya tatapannya yang kosong yang menjadi jawabannya.

​Arman, puas dengan kebisuan Vivian, berbalik menuju pintu. "Sarapan akan disajikan dalam sepuluh menit. Pastikan kau turun, Vivian. Kita adalah keluarga. Dan kita akan menunjukkan pada Indira seberapa baik kita menyambut anggota keluarga baru."

​Kata-kata 'keluarga baru' melilit perut Vivian seperti kawat berduri.

​Setelah pintu ditutup lagi, Vivian menghela napas panjang. "Jangan menangis, Vivian," desisnya.

​Ia harus bertahan, setidaknya untuk saat ini. Hingga bom waktu itu akan meledak dengan sendirinya.

​Ruang makan terasa dingin, meskipun sinar matahari pagi menyaring melalui jendela besar. Meja makan yang biasanya hanya dihuni Arman dan sesekali Juno, kini terasa sesak dan tegang.

​Vivian turun, mengenakan blus sutra berwarna biru tua dan celana panjang yang elegan. Ia memilih pakaian yang formal dan tertutup, kontras dengan gaun mini Indria yang mencolok. Ia mengambil tempat duduknya di ujung meja, posisinya sebagai nyonya rumah yang sah.

​Arman duduk di kepala meja, ekspresinya ceria yang dipaksakan. Di sebelahnya, Indira duduk dengan santai, mengayunkan kaki dan mengeluh tentang dinginnya teh. Dan Juno, ia duduk di seberang Vivian, menyilangkan tangan di depan dada, tatapan sinisnya terpaku pada kehamilan Indira, bukan pada Vivian.

​"Nah, ini dia. Keluarga kita berkumpul," kata Arman dengan nada yang terlalu riang.

​"Bukan. Ini adalah sirkus," gumam Juno, cukup keras untuk didengar semua orang.

​"Juno!" tegur Arman.

​"Oh, biarkan saja, Sayang," kata Indira, memegang lengan Arman dan memaksakan tawa yang melengking. "Dia pasti iri karena Mommy-nya tidak bisa membuatkan dia adik."

​Vivian merasakan amarah yang panas membakar tenggorokannya, tetapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang.

​"Dia bisa punya adik, Indira," jawab Vivian dengan suara tenang, mengambil sendok supnya. "Tapi bukan dari Arman."

​Indira tersedak air liurnya. Arman menatap tajam ke arah Vivian. Sementara itu, Juno, untuk pertama kalinya pagi itu, tampak tertarik. Senyum tipis dan kejam muncul di bibirnya.

​Indira dengan cepat mendapatkan kembali kekuatannya, menyandarkan kepalanya ke bahu Arman. "Aku yakin itu. Tapi kita tidak membicarakan orang lain, 'kan, Tante Vivian? Kita bicara tentang Arman. Sayang, apa kau ingat? Aku harus minum jus jeruk segar yang diperas sendiri, bukan yang dari kotak itu. Itu buruk untuk bayi kita."

​Arman segera memanggil pelayan.

​"Iya, tentu saja. Janin Arman harus mendapatkan yang terbaik," balas Vivian, menatap lurus ke arah Indira. "Kasihan sekali. Jika aku tahu Arman sangat peduli dengan kesehatan janin, aku pasti sudah lebih dulu hamil, bukan? Tetapi, tentu saja, aku tidak ingin anakku tumbuh dengan ayah yang mudah berpindah hati seperti selembar tisu bekas."

​Indira melepaskan Arman. "Kau—"

​"Aku adalah istri yang sah, Indira," potong Vivian, suaranya tetap anggun dan terkontrol, meskipun nadanya sedingin es. "Dan aku punya hak untuk duduk di sini. Mengingat kau sangat sensitif karena kehamilanmu, aku akan menyarankanmu untuk tidak membuang energimu untuk hal-hal yang tidak penting, seperti mencoba membuatku pindah.

Lagipula, kau tahu bagaimana reputasi Arman. Dia mungkin akan memiliki selingkuhan baru sebelum bayi ini lahir. Itu akan sangat memalukan, bukan?"

​Indira bangkit dari kursinya, wajahnya merah padam.

"Kau tidak punya tempat di sini! Kau mandul! Kau tidak bisa memberinya apa-apa! Kau hanya perabot kuno yang menunggu untuk dibuang!"

​Tiba-tiba, Arman berdiri, membanting tangannya ke meja. "CUKUP!"

​Kini semua mata tertuju padanya.

​Vivian memandang Indira dengan pandangan kasihan. "Aku tidak mandul, Sayang. Aku hanya lebih selektif tentang siapa ayah dari anak-anakku." Ia lalu memindahkan pandangannya ke Arman, memastikan matanya melihatnya dengan jelas.

"Dan mengenai perabot kuno. Perabot antik adalah aset berharga. Perabot murahan, di sisi lain, mudah rusak dan bisa dibuang kapan saja."

​Juno tertawa kecil, suara tawa yang kering dan meremehkan. "Skor 1-0 untuk Vivian."

​Arman menarik napas panjang, mencoba mengendalikan situasi yang lepas kendali. "Indira, duduk. Vivian, itu sudah cukup."

​Indira merengek, wajahnya penuh air mata. "Arman, dia menghinaku! Aku tidak mau! Aku tidak bisa tinggal seatap dengan wanita ini!"

​"Kau harus," kata Arman, nadanya kembali mengancam, diarahkan pada Indira.

"Kau sudah tahu aturannya. Kalian berdua akan tinggal di sini. Dan tidak ada lagi adegan di meja makan. Jika kau berdua tidak bisa berdamai, aku akan menghukum kalian berdua."

​Menghukum? Vivian memikirkan kembali ancaman Arman tentang ayahnya. Dia tidak bercanda.

​Tiba-tiba, Juno meletakkan garpunya dengan keras.

​Juno bangkit dan berjalan menuju pintu. Sebelum ia keluar, ia berhenti di belakang kursi Vivian, membisikkan sesuatu yang hanya bisa didengar olehnya.

​"Aku akan mengawasimu, Vivian. Ayah adalah masalah. Tapi aku adalah bahaya."

​Vivian bergidik. Di antara pengkhianatan Arman dan kegilaan Juno, ia harus menemukan celah.

​Vivian mengambil ponselnya di bawah meja, jarinya dengan cepat mengetik pesan ke pengacara kepercayaannya, Tuan Haryo.

​Pesan untuk Tuan Haryo: Saya butuh pertemuan darurat hari ini. Kami akan membahas 'dividen'. Dan saya butuh salinan sertifikat medis ayah saya, yang paling baru. Diam-diam.

​Ia menekan kirim, sambil tersenyum tipis pada Arman. Pertempuran telah dimulai. Dan ia tidak berniat untuk kalah.

​Malam itu, saat Vivian masuk ke kamar tidurnya yang dingin, ia menemukan sebuah kotak kecil beludru hitam di atas bantalnya. Bukan miliknya. Dengan hati-hati ia membukanya.

​Di dalamnya, tersemat sebuah kalung perak dengan liontin hati. Cantik, tapi bukan itu yang membuatnya terkejut.

​Liontin itu terbuka. Di dalamnya, ada dua foto:

​Foto Arman dan Indira sedang berciuman mesra, dan yang lebih mengerikan— foto Ayahnya, tertawa bahagia, sedang berjalan-jalan di taman, tetapi dengan lingkaran merah cerah mengelilingi dada kirinya.

​Vivian tahu itu. Juno telah mengintai ayahnya, sudah lama. Ia bukan lagi hanya ancaman di rumah, ia adalah bayangan yang mengancam nyawa ayahnya.

​Tapi kenapa Juno mengirim ini? Apakah ini peringatan? Atau ajakan untuk bersekutu?

​Vivian memegang kalung itu, kedinginan. Ia harus mencari tahu apa yang ingin dilakukan Juno, dan segera. Ia harus bergerak sebelum dua bahaya ini—suaminya yang manipulator dan putra tirinya yang psikopat—menghancurkannya sepenuhnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Menepati janji

    Jangan mengecewakanku, Juno.”​Juno tertawa kecil, suara serak itu seperti pecahan kaca. “Mengecewakan? Tidak akan. Selamat tidur, Calon Janda."​​Keesokan harinya, makan siang disajikan di meja makan formal yang mewah.​“Selamat datang, Juno sayang,” sapa Arman dengan kehangatan palsu. “Indira baru saja memberitahuku bahwa ia ingin mengubah ruang baca menjadi kamar bayi. Bukankah itu ide yang indah?”​Indira tersenyum lebar, menampakkan giginya yang sempurna. “Ya, Papi. Aku sudah menghubungi perancang interior. Aku ingin warna krem dan emas. Sangat klasik, dan tentu saja, semua kayu harus diimpor dari Italia.”​Juno menoleh, perlahan. Matanya tertuju pada hidangan sup labu di depan Indira.​“Ruang baca?” ulang Juno, suaranya pelan dan mengancam. “Ruang baca yang menampung koleksi buku langka almarhumah Mamiku, yang dia kumpulkan sejak SMA? Buku-buku yang Arman janji akan dia pertahankan sebagai penghormatan kepada wanita yang membuatmu kaya?”​Arman tersentak. Vivian merasakan otot

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Ingin bukti

    Vivian menatap liontin itu, ujung jarinya menyentuh lingkaran merah yang digambar di atas dada ayahnya. Liontin perak itu terasa sangat dingin di tangannya, kontras dengan panasnya kemarahan dan ketakutan yang menjalar di tubuhnya. Itu bukan hanya ancaman; itu adalah penanda. Juno mengirim pesan yang jelas: Aku melihat kelemahanmu, dan aku tahu cara menekannya. ​Ia meletakkan liontin itu kembali ke dalam kotak, menyembunyikannya di bawah laci pakaian dalamnya. Arman tidak boleh melihat ini. ​Pertanyaan Juno bergema: Ajakan untuk bersekutu? ​Keesokan harinya, Vivian bertemu dengan pengacaranya, Tuan Haryo, di sebuah kafe terpencil. Tuan Haryo adalah seorang pria paruh baya yang tenang dan cerdas, yang telah menangani masalah keuangan keluarga Vivian selama bertahun-tahun. ​"Nyonya Vivian, 'dividen' yang Anda sebutkan... apakah Anda yakin? Itu adalah separuh dari saham minoritas Anda di perusahaan holding Arman. Nilainya sangat besar," kata Tuan Haryo, menyesap kopinya dengan hat

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Sarapan pertama

    Vivian merasakan sakit menusuk di dadanya, lebih tajam daripada rasa sakit fisik apa pun. Ancaman Arman bukanlah gertakan kosong; itu adalah jaring baja yang mengunci pergerakannya. Ia mengenal suaminya: Menghancurkan Vivian adalah hal yang kecil dibandingkan dengan kehilangan kontrol.​Ia tidak menjawab. Hanya tatapannya yang kosong yang menjadi jawabannya.​Arman, puas dengan kebisuan Vivian, berbalik menuju pintu. "Sarapan akan disajikan dalam sepuluh menit. Pastikan kau turun, Vivian. Kita adalah keluarga. Dan kita akan menunjukkan pada Indira seberapa baik kita menyambut anggota keluarga baru."​Kata-kata 'keluarga baru' melilit perut Vivian seperti kawat berduri.​Setelah pintu ditutup lagi, Vivian menghela napas panjang. "Jangan menangis, Vivian," desisnya. ​Ia harus bertahan, setidaknya untuk saat ini. Hingga bom waktu itu akan meledak dengan sendirinya.​Ruang makan terasa dingin, meskipun sinar matahari pagi menyaring melalui jendela besar. Meja makan yang biasanya hanya d

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Ancaman

    Tepat sepuluh menit. Detik-detik itu terasa seperti jam. Vivian menunggu dengan napas tertahan, memegang kusen jendela, matanya terpaku pada pintu. Setelah suara kunci itu, yang ia yakini adalah kunci utama yang diputar dari luar, keheningan rumah terasa mencekik. Ia tidak lari. Ia tidak menelepon. Ia hanya berdiri di sana, mengumpulkan setiap serpihan keberanian yang tersisa.​Ia sudah merencanakan langkah selanjutnya. Ia akan mengemasi tas, mencari dokumen penting—terutama paspornya—dan segera pergi, terlepas dari ancaman Juno. Namun, sebelum ia bisa bergerak, ia mendengar suara lain. Suara mobil.​Bukan mobil sport Juno yang kasar dan bising, melainkan suara sedan mewah yang lebih berat, yang ia kenal. Suara mesin itu berhenti tepat di depan pintu masuk.​Vivian mendekat ke jendela, menarik tirai tebal sedikit. Jantungnya kembali berdetak kencang, kali ini dengan irama yang berbeda, campur aduk antara kelegaan yang tiba-tiba dan ketakutan yang dingin.​Di bawah, berdiri Arman.​Sua

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Terdesak

    Suara Juno memudar, dan telepon diputus. Vivian tidak bisa bernapas. Ia tidak hanya melompat ke neraka Juno; Juno baru saja membuka gerbang dan berjalan masuk. Ia sekarang berada di bawah satu atap dengan putra tirinya yang terobsesi dan berbahaya. Ia sudah kehilangan Arman, dan kini ia dalam bahaya kehilangan segalanya pada Juno. ​Aku tidak akan lari. Aku akan melawannya. ​Vivian mengambil kunci kamarnya, langkahnya mantap. Ia memasukkannya ke lubang kunci dan memutarnya. Kunci berbunyi klik. Kamarnya aman. ​Ia mengambil napas dalam-dalam. Namun, sesaat setelah tangannya turun, ia mendengar suara lain. Sangat pelan, tetapi jelas. ​Kring. ​Itu bukan suara kunci yang diputar. Itu adalah bunyi kunci duplikat yang baru saja dimasukkan ke dalam lubang kunci, dari sisi luar. Dan bunyinya adalah bunyi pembukaan. ​Vivian membeku. ​Suara Juno bergema di benaknya: "Aku tahu kapan pintu kamarmu tidak dikunci..." Ternyata itu hanyalah pikiran Vivian. Tidak terjadi apa pun. Setelah memast

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Bukan ancaman biasa

    ​"Apa... apa yang kau lakukan?" Suara Vivian bergetar, lebih dari yang ia inginkan. ​Juno memalingkan wajahnya, menyandarkan lengannya di dahinya. "Aku melihatmu." Suaranya terdengar serak dan rendah. "Aku mendengarnya. Ayahku memperlakukanku dengan arogan, tapi aku bisa menerimanya. Namun, melihat ia menghancurkanmu seperti itu..." ​Ia menghela napas, mengangkat kepalanya, dan menoleh ke arah Vivian. Matanya berkilat dalam gelap. ​"Kau pantas mendapatkan lebih, Vivian. Bukan kontrak murahan. Kau pantas dihasratkan." ​Vivian terdiam. Kata-kata itu, meskipun keluar dari mulut putra tirinya setelah ciuman terlarang, menancap. Ia pantas dihasratkan. ​"Kau gila, Juno. Kau... kau anakku!" Vivian berbisik, nadanya kini beralih menjadi ketakutan yang dingin. ​Juno tersenyum sinis, senyuman yang berbahaya dan sangat mirip dengan Arman, namun lebih muda dan lebih kejam. ​"Aku bukan anakmu, Vivian. Aku tidak pernah menyebutmu 'Ibu'. Aku adalah pria, dan kau adalah wanita yang baru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status