Share

Ancaman

Penulis: de Banyantree
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-15 20:49:45

Tepat sepuluh menit. Detik-detik itu terasa seperti jam. Vivian menunggu dengan napas tertahan, memegang kusen jendela, matanya terpaku pada pintu. Setelah suara kunci itu, yang ia yakini adalah kunci utama yang diputar dari luar, keheningan rumah terasa mencekik. Ia tidak lari. Ia tidak menelepon. Ia hanya berdiri di sana, mengumpulkan setiap serpihan keberanian yang tersisa.

​Ia sudah merencanakan langkah selanjutnya. Ia akan mengemasi tas, mencari dokumen penting—terutama paspornya—dan segera pergi, terlepas dari ancaman Juno. Namun, sebelum ia bisa bergerak, ia mendengar suara lain. Suara mobil.

​Bukan mobil sport Juno yang kasar dan bising, melainkan suara sedan mewah yang lebih berat, yang ia kenal. Suara mesin itu berhenti tepat di depan pintu masuk.

​Vivian mendekat ke jendela, menarik tirai tebal sedikit. Jantungnya kembali berdetak kencang, kali ini dengan irama yang berbeda, campur aduk antara kelegaan yang tiba-tiba dan ketakutan yang dingin.

​Di bawah, berdiri Arman.

​Suaminya.

​Vivian seharusnya merasa diselamatkan. Kehadiran Arman berarti Juno harus mundur, batas telah ditegakkan kembali. Tetapi, alih-alih berlari menyambutnya, ia melihat siapa yang keluar dari kursi penumpang.

​Seorang wanita muda. Rambutnya dicat pirang cerah, bergelombang, dengan perut buncit karena lagi hamil, yang dibalut gaun mini berwarna cerah. Wanita itu tersenyum manja, memeluk lengan Arman seolah itu adalah tas tangan favoritnya.

​Itu Indira. Selingkuhan Arman. Yang Arman sangkal dengan kerasnya. Yang Arman katakan hanyalah "rekan bisnis" yang "terlalu akrab."

​Arman tersenyum lembut pada wanita itu, senyum yang tidak pernah Vivian dapatkan lagi dalam waktu yang lama. "Selamat datang di rumah, Sayang," kata Arman, suaranya naik hingga mencapai lantai atas, nadanya penuh kepemilikan.

​Vivian mundur dari jendela. Kepalanya berdengung. Situasi yang ia hadapi baru saja berubah total, dari horor pribadi dengan Juno menjadi pengkhianatan yang memuakkan dari Arman.

​Ia bisa mendengar langkah kaki di tangga, diikuti oleh suara Juno yang teredam. Lalu, suara yang melengking dan mengganggu.

​"Arman, kenapa lemarinya begitu kuno? Dan aku minta AC di kamar ini diganti! Suara dengungnya terlalu keras, aku tidak bisa tidur nyenyak. Dan kau tahu, aku hanya bisa tidur di kasur king-size dengan Egyptian cotton." Itu suara Indira. Rewel, menuntut, dan benar-benar kekanak-kanakan.

​Vivian mengepalkan tangan hingga kukunya menancap ke telapak tangan. Rasa jijik dan muak kini melampaui rasa takutnya. Kenyataan telah menamparnya dengan kejam. Ia tidak hanya menghadapi putra tiri yang berbahaya; ia juga harus menanggung suami yang curang dan kekasihnya yang manja.

​Aku tidak akan melawannya. Aku akan pergi. Tekadnya menjadi baja. Ini adalah penghinaan terakhir. Ia tidak akan lagi berjuang untuk keluarga palsu ini.

​Vivian dengan cepat mengemas tas kecil. Ia hanya mengambil barang-barang penting: dompet, ponsel, dan paspor. Ia tidak peduli dengan perhiasan atau pakaian.

​Tepat saat ia hendak meraih kenop pintu, pintu kamar terayun terbuka sekali lagi.

​Kali ini, yang berdiri di sana adalah Arman. Wajahnya keras, matanya dingin. Di belakangnya, berdiri Juno, ekspresinya tidak terbaca, tetapi kehadiran Arman jelas membuatnya kesal.

​"Vivian," Arman memulai, suaranya rendah dan mengancam. "Kita perlu bicara. Sekarang."

​Ia melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan bantingan keras, meninggalkan Juno di luar.

​"Apa yang kau lakukan? Kenapa Indira ada di sini, Arman?" tanya Vivian, suaranya stabil meski batinnya berteriak.

​Arman mengusap wajahnya, terlihat lelah dan kesal. "Dia akan tinggal di sini. Selamanya. Dia adalah bagian dari hidupku, dan kau harus menerimanya."

​Vivian tertawa kecil, tawa tanpa kegembiraan. "Menerimanya? Setelah semua yang kau lakukan? Setelah kau berbohong, dan setelah... setelah putramu sendiri mengancamku? Tidak, Arman. Aku sudah selesai. Aku ingin bercerai."

​Wajah Arman menjadi pucat pasi. Ia maju selangkah. "Jangan bodoh, Vivian. Kau tidak akan menceraikanku."

​"Aku serius. Aku akan menghubungi pengacaraku hari ini. Aku tidak peduli dengan uangmu, aku hanya ingin bebas."

​Arman tersenyum sinis, senyum yang mengirimkan rasa dingin ke punggung Vivian. Ia mendekat, mencondongkan tubuh, suaranya berbisik namun penuh racun.

​"Bebas, katamu? Baiklah. Dengarkan aku baik-baik, Vivian. Kau tahu ayahmu punya riwayat jantung. Kau tahu dia tidak boleh stres. Dia sangat mencintaimu, dan dia tidak akan sanggup melihat putrinya hancur karena perceraian yang memalukan."

​Vivian terdiam. Ia tahu ayahnya adalah kelemahannya.

​"Jika kau melangkah keluar dari pintu ini dan mengajukan gugatan cerai, aku akan memastikan surat kabar penuh dengan skandal. Aku akan menghancurkan reputasimu di kota ini. Dan kemudian, aku akan mengirim ayahmu semua buktinya. Semua buktinya. Dan aku janji, Vivian, jantungnya akan tamat."

​Napas Vivian tercekat. Itu bukan ancaman perceraian; itu adalah ancaman pembunuhan.

Dan Arman tidak pernah bermain-main dengan kata katanya.

Sekali mulutnya memberi perintah, maka semuanya akan terjadi.

​Arman mundur, tatapannya menyala dengan kemenangan kejam.

​"Pilih, Vivian. Terima Indira dan tetap menjadi istriku yang diam, demi keselamatan ayahmu. Atau, kehilangan orang tuamu selamanya."

​Vivian hanya bisa menatapnya, air mata masih enggan untuk menggenang. Di belakang pintu yang tertutup, ia bisa mendengar suara langkah kaki menjauh. Juno pasti sudah pergi, tetapi ancaman Arman tetap ada, tergantung di udara, lebih mematikan dari vas keramik yang pecah.

​Ia terjebak. Antara neraka Juno dan neraka Arman. Dan di luar jendela, langit pagi telah berubah kelabu, mencerminkan keputusasaan yang baru saja merenggut jiwanya.

Dan apakah dia sudah siap untuk menerima kenyataan jika Indira tinggal seatap dengan dirinya. Mampukah dia menahan diri, agar skandal keluarga dengan citra terbaik selama ini tidak akan keluar?

Setidaknya dengan adanya Arman, Juno bisa untuk memberi batasan pada dirinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Menepati janji

    Jangan mengecewakanku, Juno.”​Juno tertawa kecil, suara serak itu seperti pecahan kaca. “Mengecewakan? Tidak akan. Selamat tidur, Calon Janda."​​Keesokan harinya, makan siang disajikan di meja makan formal yang mewah.​“Selamat datang, Juno sayang,” sapa Arman dengan kehangatan palsu. “Indira baru saja memberitahuku bahwa ia ingin mengubah ruang baca menjadi kamar bayi. Bukankah itu ide yang indah?”​Indira tersenyum lebar, menampakkan giginya yang sempurna. “Ya, Papi. Aku sudah menghubungi perancang interior. Aku ingin warna krem dan emas. Sangat klasik, dan tentu saja, semua kayu harus diimpor dari Italia.”​Juno menoleh, perlahan. Matanya tertuju pada hidangan sup labu di depan Indira.​“Ruang baca?” ulang Juno, suaranya pelan dan mengancam. “Ruang baca yang menampung koleksi buku langka almarhumah Mamiku, yang dia kumpulkan sejak SMA? Buku-buku yang Arman janji akan dia pertahankan sebagai penghormatan kepada wanita yang membuatmu kaya?”​Arman tersentak. Vivian merasakan otot

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Ingin bukti

    Vivian menatap liontin itu, ujung jarinya menyentuh lingkaran merah yang digambar di atas dada ayahnya. Liontin perak itu terasa sangat dingin di tangannya, kontras dengan panasnya kemarahan dan ketakutan yang menjalar di tubuhnya. Itu bukan hanya ancaman; itu adalah penanda. Juno mengirim pesan yang jelas: Aku melihat kelemahanmu, dan aku tahu cara menekannya. ​Ia meletakkan liontin itu kembali ke dalam kotak, menyembunyikannya di bawah laci pakaian dalamnya. Arman tidak boleh melihat ini. ​Pertanyaan Juno bergema: Ajakan untuk bersekutu? ​Keesokan harinya, Vivian bertemu dengan pengacaranya, Tuan Haryo, di sebuah kafe terpencil. Tuan Haryo adalah seorang pria paruh baya yang tenang dan cerdas, yang telah menangani masalah keuangan keluarga Vivian selama bertahun-tahun. ​"Nyonya Vivian, 'dividen' yang Anda sebutkan... apakah Anda yakin? Itu adalah separuh dari saham minoritas Anda di perusahaan holding Arman. Nilainya sangat besar," kata Tuan Haryo, menyesap kopinya dengan hat

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Sarapan pertama

    Vivian merasakan sakit menusuk di dadanya, lebih tajam daripada rasa sakit fisik apa pun. Ancaman Arman bukanlah gertakan kosong; itu adalah jaring baja yang mengunci pergerakannya. Ia mengenal suaminya: Menghancurkan Vivian adalah hal yang kecil dibandingkan dengan kehilangan kontrol.​Ia tidak menjawab. Hanya tatapannya yang kosong yang menjadi jawabannya.​Arman, puas dengan kebisuan Vivian, berbalik menuju pintu. "Sarapan akan disajikan dalam sepuluh menit. Pastikan kau turun, Vivian. Kita adalah keluarga. Dan kita akan menunjukkan pada Indira seberapa baik kita menyambut anggota keluarga baru."​Kata-kata 'keluarga baru' melilit perut Vivian seperti kawat berduri.​Setelah pintu ditutup lagi, Vivian menghela napas panjang. "Jangan menangis, Vivian," desisnya. ​Ia harus bertahan, setidaknya untuk saat ini. Hingga bom waktu itu akan meledak dengan sendirinya.​Ruang makan terasa dingin, meskipun sinar matahari pagi menyaring melalui jendela besar. Meja makan yang biasanya hanya d

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Ancaman

    Tepat sepuluh menit. Detik-detik itu terasa seperti jam. Vivian menunggu dengan napas tertahan, memegang kusen jendela, matanya terpaku pada pintu. Setelah suara kunci itu, yang ia yakini adalah kunci utama yang diputar dari luar, keheningan rumah terasa mencekik. Ia tidak lari. Ia tidak menelepon. Ia hanya berdiri di sana, mengumpulkan setiap serpihan keberanian yang tersisa.​Ia sudah merencanakan langkah selanjutnya. Ia akan mengemasi tas, mencari dokumen penting—terutama paspornya—dan segera pergi, terlepas dari ancaman Juno. Namun, sebelum ia bisa bergerak, ia mendengar suara lain. Suara mobil.​Bukan mobil sport Juno yang kasar dan bising, melainkan suara sedan mewah yang lebih berat, yang ia kenal. Suara mesin itu berhenti tepat di depan pintu masuk.​Vivian mendekat ke jendela, menarik tirai tebal sedikit. Jantungnya kembali berdetak kencang, kali ini dengan irama yang berbeda, campur aduk antara kelegaan yang tiba-tiba dan ketakutan yang dingin.​Di bawah, berdiri Arman.​Sua

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Terdesak

    Suara Juno memudar, dan telepon diputus. Vivian tidak bisa bernapas. Ia tidak hanya melompat ke neraka Juno; Juno baru saja membuka gerbang dan berjalan masuk. Ia sekarang berada di bawah satu atap dengan putra tirinya yang terobsesi dan berbahaya. Ia sudah kehilangan Arman, dan kini ia dalam bahaya kehilangan segalanya pada Juno. ​Aku tidak akan lari. Aku akan melawannya. ​Vivian mengambil kunci kamarnya, langkahnya mantap. Ia memasukkannya ke lubang kunci dan memutarnya. Kunci berbunyi klik. Kamarnya aman. ​Ia mengambil napas dalam-dalam. Namun, sesaat setelah tangannya turun, ia mendengar suara lain. Sangat pelan, tetapi jelas. ​Kring. ​Itu bukan suara kunci yang diputar. Itu adalah bunyi kunci duplikat yang baru saja dimasukkan ke dalam lubang kunci, dari sisi luar. Dan bunyinya adalah bunyi pembukaan. ​Vivian membeku. ​Suara Juno bergema di benaknya: "Aku tahu kapan pintu kamarmu tidak dikunci..." Ternyata itu hanyalah pikiran Vivian. Tidak terjadi apa pun. Setelah memast

  • Gairah Nakal Brondong Pemikat Hati   Bukan ancaman biasa

    ​"Apa... apa yang kau lakukan?" Suara Vivian bergetar, lebih dari yang ia inginkan. ​Juno memalingkan wajahnya, menyandarkan lengannya di dahinya. "Aku melihatmu." Suaranya terdengar serak dan rendah. "Aku mendengarnya. Ayahku memperlakukanku dengan arogan, tapi aku bisa menerimanya. Namun, melihat ia menghancurkanmu seperti itu..." ​Ia menghela napas, mengangkat kepalanya, dan menoleh ke arah Vivian. Matanya berkilat dalam gelap. ​"Kau pantas mendapatkan lebih, Vivian. Bukan kontrak murahan. Kau pantas dihasratkan." ​Vivian terdiam. Kata-kata itu, meskipun keluar dari mulut putra tirinya setelah ciuman terlarang, menancap. Ia pantas dihasratkan. ​"Kau gila, Juno. Kau... kau anakku!" Vivian berbisik, nadanya kini beralih menjadi ketakutan yang dingin. ​Juno tersenyum sinis, senyuman yang berbahaya dan sangat mirip dengan Arman, namun lebih muda dan lebih kejam. ​"Aku bukan anakmu, Vivian. Aku tidak pernah menyebutmu 'Ibu'. Aku adalah pria, dan kau adalah wanita yang baru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status