Share

4. Obat tidur

"Apa kau masih bersama Oliv?" James mengirim pesan melalui aplikasi chatting.

"Ya, kenapa? hari ini Oliv sudah di perbolehkan pulang,"

"Tunggu aku,"

"Untuk apa?" aku memelototi ponselku, aku sudah cukup malu kemarin.

"Tentu saja untuk menjemput keponakanku, Alice"

Dia benar juga. Oliv kan keponakannya. Jadi hal yang wajar jika dia datang menjemputnya. Aku tidak membalas pesan James lagi. Terlalu malas menanggapinya.

Saat siang hari, Oliv sudah dalam persiapan untuk pulang kerumah. Jadi kami membantu memasukkan barang-barangnya ke dalam mobil.

Betapa terkejutnya aku, yang untung saja tas yang aku bawa tidak terlepas dari tangan. James sudah menunggu sambil bercengkrama dengan sopir Oliv.

Cici menyikutku, lalu mengedikkan dagu nya kearah James yang pura-pura tidak melihat kami. Ketika aku selesai menyusun tas dibelakang mobil, James berdiri tepat disampingku.

"Apa?" tanyaku masam. Dia mengedipkan matanya menggodaku.

"Kau kelihatan kurang tidur sayang?" James mencoba menyentuh pipiku, tapi aku menepisnya.

"Jangan macam-macam!" geramku sambil mendelik.

Dia hanya tersenyum geli melihat kegarangan ku hari ini. Aku sangat lelah dengan tugas-tugas kuliah, ditambah masalah keuangan toko dan aku kurang tidur! Itu cukup menjelaskan kenapa aku mudah marah.

James menyambut Oliv yang keluar dengan kursi roda. Jika dilihat dari cara James memperhatikan Oliv. Dia cukup dekat dengan keponakannya itu. Bahkan Oliv dangat nyaman berada dalam gendongan pamannya yang seksi itu.

Setelah semuanya siap berangkat, James berseru cukup keras.

"Oh sayang sekali, Oliv!" kata James dengan wajah kecewa yang dibuat-buat.

Oliv menanggapi dengan serius, "ada apa om?"

"Teman-temanmu tidak cukup jika ikut bersamamu dalam satu mobil ini,"

"Well, harus ada yang ikut om James," timpal Oliv menatap kami bertiga. Aku, Sinta, dan Cici.

Tiba-tiba saja Cici mendorongku, dan menarik tangan Sinta bersamanya. Mereka telah berbuat curang! Aku menatap tajam ke arah Cici yang tersenyum jahil padaku.

"Sayang sekali, Alice. Kau sepertinya harus ikut Om James," ujar Cici mengejek.

Aku menatapnya dengan mengancam, "awas kau Cici!"

"Tapi, apa dia mau ikut mobilku?" tanya James lugu. Ingin sekali aku melempari mereka dengan sepatuku yang bau ini.

"Tenang saja Om, kalau Alice tidak mau. Biar aku yang menendang bokongnya," jawab Sinta sambil tergelak.

Cici dan Sinta mengusirku dari mobil. Hanya Oliv yang menatapku dengan memohon maaf. Aku tersenyum pada Oliv.

"Tidak masalah, semua mobil sama saja Liv. Asalkan pamanmu bukan penculik gadis lugu seperti aku, itu tidak masalah," kataku mencoba menenangkan Oliv.

Oliv tergelak mendengar sarkasme dalam kalimatku, "pergilah, dia sangat baik. Dan bukan penculik gadis lugu,"

"Baiklah, sampai nanti!" aku berseru sambil berjalan menuju mobil James.

Setelah menatap kepergian mobil Oliv, aku masuk ke dalam mobil James dengan enggan. Entah malu, khawatir atau takut? sulit sekali mengontrol diri saat bersama James yang seksi.

"Sudah siap?" tanya James seolah kami akan melakukan hal yang berbahaya.

"Jalankan saja mobil sialan ini, James,"umpat ku kesal.

"Hahahaha..!! Baiklah..baiklah.."

Mobil melaju perlahan, dan wajahku masih bertekuk seribu. James sesekali melirik ku sambil mengemudi. Mencoba menyamai kecepatan mobil Oliv yang ada didepan kami.

"Hei sayang," James coba mengajakku bicara.

"Jangan panggil aku sayang, kumohon!" keluhku lelah.

"Kenapa?" tanya James sambil menahan gelinya.

"Aku takut terlalu berharap padamu, dan kau adalah paman sahabatku!" aku menekankan setiap kata.

"Tidak masalah, sayang. Lagi pula kita sama-sama single,"

Aku hanya memutar bola mataku jengah. Malas menjawab perkataan James. Mataku berat sekali rasanya.

"Tidurlah, sayang. Aku akan mengemudi perlahan," James mengelus pipiku dengan tangannya.

James kemudian menghidupkan musik di dashboard. Musik klasik yang mengalun merdu. Mengantarkan ku kedalam alam bawah sadarku.

**

"Alice!"

Seseorang memanggil sambil mengguncang tubuhku. Tanpa menghiraukannya aku malah berbalik untuk mengubah posisi tidurku. Kemudian senyap.

Aku mendengar langkah pelan dan tubuhku yang rasanya terayun-ayun. Tapi lagi-lagi aku mengabaikannya. Mataku terlalu berat untuk terbuka.

"Begitulah om, dia kalau tidur memang kayak kebo!" aku mendengar Oliv berceloteh.

Ingin menyangkal ejekan yang sepertinya ditujukan untukku. Tapi aku terlalu mengantuk dan lelah untuk sekedar menyahut. Aku terlelap kembali, sayup-sayup musik klasik itu mengalun lagi.

Entah berapa lama aku terlelap. Saat membuka mata, kulihat dari jendela hari sudah gelap. Aku melihat jas abu-abu tergantung di kursi dekat ranjang yang aku tiduri.

Tunggu dulu! Ranjang? Bukankah aku tadi ada di mobil James? Aku ketiduran dan sekarang aku dimana?

Dengan panik aku mencoba bangun, tapi Cici sudah masuk lebih dulu. Dia membawakan aku jus jeruk dan beberapa potong pizza.

"Minumlah, dan cepatlah mandi!" Cici memerintah seperti ibuku saja.

Aku mengeluh sebentar. Meregangkan otot-ototku yang kaku. Tanganku yang terkilir sudah tidak terlalu sakit lagi. Ku putuskan untuk mandi lebih dulu. Baru mencari tau apa yang sudah terjadi padaku.

Acara mandi ku hanya butuh waktu setengah jam. Menikmati pijatan air dari shower. Menggosok setiap lekuk tubuhku yang terasa gerah. Diselipkan beberapa lagu yang hanya sedikit dari liriknya yang aku hafal.

Aku menjerit ketika keluar dari kamar mandi. Bagaimana tidak? James sedang rebahan di atas ranjang dengan bertelanjang dada. Untung saja jantungku balik lagi ke tempatnya.

"Kenapa sayang? Jangan jerit-jerit, Oliv sudah tidur!" sergah James bangkit duduk.

Aku mendelik sambil berkacak pinggang. Tapi rupanya gerakan tanganku itu membuat handuk yang melilit tubuhku terlepas. Sontak mata James melotot terpesona. Sementara aku mencoba membenahi letak handukku.

James terpingkal melihat tingkahku. Kemudian dia berjalan kearahku yang sedang mencari baju dari dalam tas. Dia memelukku dari belakang.

"Lepaskan James! Nanti ada yang masuk!" pekik-ku tapi berbisik.

James malah mempererat pelukannya sambil menciumi punggungku. Aku menggeliat berusaha melepaskan diri. Tapi ciuman James yang intens hingga ke telinga membuatku terlena.

"James, please...," keluhku sedikit melenguh. James semakin bergairah memelukku.

"Kenapa sayang? Kau menyukainya?" James berbisik ditelingaku.

"Hentikan! Bagaimana kalau ada yang masuk?" sku mengulangi kata-kataku.

"Tenang sayang, mereka semua sudah tidur."

Aku terdiam, begitu juga dengan James. Aku berbalik untuk menghadapnya. Menatap wajah tanpa dosanya itu.

"Apa maksudmu mereka semua sudah tidur?" tanyaku heran.

Terang saja! Cici baru saja mengantarkan minum untukku. Tapi tiba-tiba dia sudah tidur? Itu sama sekali bukan Cici.

"Sebenarnya, aku memberikan obat tidur pada mereka. Kecuali Oliv,"

"Kamu gila!" semburku ingin marah. Tapi aku malah keluar dari kamar itu. Lupa dengan kenyataan bahwa aku belum berpakaian.

Oliv tidur di kamarnya. Dengan selang infus ditangan dan selang oksigen di hidungnya. Sementara Sinta dan Cici sudah tertidur pulas di atas kursi lebar didepan ranjang Oliv.

Suara nafas dan dengkuran halus menandakan mereka sudah tidur nyenyak. Setelah memastikan semuanya aman dan baik-baik saja. Dalam artian mereka benar-benar tidur bukan dibius. Aku kembali lagi ke kamar.

Aku masuk sambil mengeringkan rambut menggunakan handuk. Lalu mencari pakaianku dari dalam tas. Kami membawa cukup banyak pakaian karena akan menginap cukup lama di sini. Setidaknya sampai orang tua Oliv sudah pulang.

"Sayang," James memanggil lagi

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status