Share

3. Ternyata yang kebetulan

" Kau sudah tidur?" James mengirim pesan padaku.

" Belum," jawabku singkat.

Aku sedang memandangi foto selfie kami saat berada di festival makanan tadi. James tampak tersenyum lebar dan menawan.

"Aku sudah rindu padamu," kata James membalas pesanku.

Aku sampai harus membaca nya dua kali untuk memastikan.

Jantungku berdegup kencang, tapi kucoba menepis perasaan berbunga dalam hatiku. Rasanya semua pria sama saja. Mengingat betapa pandainya James merayuku.

Apalagi James yang sudah berumur, aku yakin dia hanya ingin menjadikan aku bonekanya. Pemikiran itu membuatku tak bernafsu membalas pesannya lagi.

Aku putuskan untuk tidur saja. Besok aku harus mengontrol toko pakaian kami, lalu menjenguk sahabatku yang sedang berada di rumah sakit.

Dengan menutup wajah menggunakan bantal, aku mengabaikan dering dan getaran ponselku. Aku yakin james yang menelepon.

***

Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi sekali. Karena rupanya semalam itu, selain James ada juga klien ku yang memesan dress code untuk acara pernikahan, menelepon.

Aku mengutuk James, karena mengabaikannya aku jadi di marahi klienku. Setelah memesan ojek online, aku sarapan bubur kacang ijo komplit hasil berburu kuliner kemarin yang sudah dipanaskan di rice cooker.

Aku tidak punya microwave, karena selain harganya yang mahal, bayaran listrik ku takut membengkak. Sedangkan aku harus menabung untuk masa depanku.

Ojek online ku datang. Aku memintanya mengambil rute tercepat karena takut klienku datang lebih dulu, dan aku jadi tidak enak hati. Betapa sialnya aku , niat hati ingin cepat sampai malah kena macet.

Meski masih pagi, hari ini sudah panas menyengat. Aku merengut sambil terus melirik lampu merah. Sampai ada pria yang menggodaku dari dalam mobil mewah.

"Halo manis," ujarnya menggodaku dari dalam mobilnya.

Aku mengabaikannya,

" Apa kau marah padaku?" tanyanya lagi.

Aku dengan kesal ingin melabraknya, tapi ketika aku melihat dengan seksama ternyata itu James.

Dia sangat tampan dengan setelah jas mahal. Mengingat penampilannya itu, aku sadar diri. Jadi aku hanya tersenyum sekilas lalu mengabaikannya lagi.

James tampak kesal, baru saja dia membuka pintu mobilnya lampu berubah ke hijau. Ojek ku langsung jalan lagi. Aku lega karena bisa selamat dari James.

Entah apa yang merasuki ku hari ini. Perhatian James membuatku merasa dia sama seperti pria hidung belang yang menganggap semua wanita itu boneka mereka.

Cici sudah ada ditoko ketika aku sampai, bersamaan dengan itu klienku juga datang. Aku meminta maaf dan menjelaskan kenapa aku tidak mengangkat telepon darinya. Untung saja dia bisa memaklumi.

Tranksaksi kami berhasil dilakukan hari itu. Aku senang bukan main, karena sudah dua bulan ini toko kami sepi, sementara ada dua orang pegawai yang harus digaji.

"Kita jadi mau jenguk Oliv?" Cici bertanya padaku sambil memeriksa catatan keuangan toko kami.

" Iya dong, kasian dia udah seminggu disana," aku menjawab sambil melotot.

" Aku udah selesai, kita berangkat sekarang?"

" Tentu"

Kami berangkat bersama. Cici dari keluarga lumayan berada, jadi dia punya mobil pribadi. Sayangnya Cici sangat boros. Dia selalu menghabiskan uangnya untuk beli baju dan tas branded.

Meskipun jalan pikiran kami berbeda, tapi kami sangat dekat. Aku tak segan-segan memarahinya jika dia sudah terlalu banyak menghabiskan uangnya. Dia sama sekali tidak memikirkan masa depan nya.

"Aku akan mendapatkan suami yang kaya, jadi aku tidak perlu menabung, kebutuhan seorang istri kan ditanggung suaminya," begitulah Cici berpikir tentang masa depannya.

Aku juga dekat dengan orang tua Cici. Menurut mereka, aku bisa memberi pengaruh baik terhadap putri semata wayang mereka itu.

Karena aku juga yang mengajak Cici menginvestasikan uang jajannya untuk membuka toko pakaian kami. Tentu saja dengan iming-iming dia bisa menggandakan uangnya untuk berbelanja.

kami sampai di rumah sakit. Teman-temanku yang lain sudah berada diruang rawat inap Oliv. Sebenarnya, aku sedikit minder. Karena temanku rata-rata anak orang kaya.

Contohnya Oliv, yang papa-nya seorang pengusaha properti. Tapi nasibnya tidak seberuntung itu, karena dia menderita leukimia stadium satu. Dia sering mimisan dan masuk rumah sakit. Kami sudah terbiasa menginap di rumah Oliv saat orang tua nya ada perjalanan bisnis ke luar negeri.

"Gimana liv udah lumayan?" tanya seorang pria yang baru saja masuk. Aku tidak tau siapa, karena sedang memeriksa hasil laporan keuangan dari Cici.

"Lis, kamu harus lihat siapa yang datang," Cici berbisik di telingaku.

"Udah mendingan om. Mungkin besok udah boleh pulang", Oliv memanggil pria itu dengan sebutan om.

Aku cukup penasaran dan melihat pria itu. Hampir saja jantungku melompat. Ternyata itu James. Dia melihatku juga, buru-buru aku mengalihkan pandanganku ke ponselku lagi.

" Mengapa kau menghindari ku?" James mengirim pesan,

"Tidak apa-apa," jawabku singkat dengan jantung masih berdebar.

"Bisakah kau keluar sebentar?"

Aku melihat James yang berjalan keluar kamar. aku pura-pura izin ke toilet. James memegang tanganku dan membawaku ke ujung lorong. Dia menatap lekat mataku.

"Katakan," mata james menelisik mataku. Aku hanya mampu menunduk.

" Aku hanya ingin hari yang tenang," jawabku sekenanya.

" Apa aku mengganggumu?" tanya james lagi dengan nada suara terluka.

"Tidak! hanya saja kau terus mengusik pikiranku," nah jawaban itu keluar secara spontan karena James terus mendesakku. Dia akhirnya tersenyum puas.

" Apa kau butuh ruang untuk berpikir?" tanya James lagi dengan suara lebih lembut.

"Berpikir apa?" pertanyaanku sungguh bodoh,

"Aku belum pernah begitu tertarik dengan wanita, kau berbeda Alice. Aku begitu ingin memilikimu,"

Aku menatap lekat mata james, tidak ada kebohongan disana. Yang ada hanya nafsu membara yang membuat sekujur tubuhku memanas.

" Tolong, biar aku saja yang menggigit bibirmu," katanya berbisik.

Dia menyandarkan kepalanya di kepalaku. Aku tidak sadar sedang menggigiti bibirku.

Astaga! rasanya sesak sekali. Meskipun aku pernah berpacaran walau hanya dengan si brengsek Bobi. Tapi aku sangat menjaga privasi dan jarak diantara kami.

Mungkin itu juga yang membuat Bobi bosan denganku. Tapi entah kenapa, keberadaan James sedekat ini membuat nafasku memburu. Ada getaran aneh yang membuatku ingin memeluknya.

" Aku tidak bisa bernafas," kilahku ingin menghindari james.

Dia mundur selangkah lalu tersenyum miring padaku.

Sadarlah Alice, dia pamannya temanmu!. Otakku menjeritkan itu. Tapi aku sudah hilang akal. Tanganku dengan ragu memegang pipi james, dan mengelusnya. Janggut tipisnya menggelitik telapak tanganku.

James menahan tanganku di bibirnya, lalu mengecupi tanganku. Aku tersipu.

"Katakan jika kau sudah siap bersamaku," ujar james lembut. Aku masih terpesona.

"Aku akan menunggumu Alice. Aku sudah menunggu datangnya seorang wanita yang mampu menggetarkan hatiku, Jangan kecewakan aku," ucap James panjang lebar penuh harapan.

Aku dengan bodohnya mengangguk saja. James mencium keningku. Lalu berpamitan meninggalkanku yang masih menatapnya penuh kerinduan.

Saat James hilang dari pandangan, lututku lemas. Dengan gontai aku masuk lagi kekamar Oliv, temanku menatap dengan curiga.

" Kau dari mana?" tanya sinta menyelidik. Tapi bibirnya mengulum senyuman jahil.

"Eh dari toilet," jawabku asal.

Oliv tertawa, "jangan bohong Lis, toilet ada disebelah dekat pintu, kau kan pergi keluar."

Wajahku merah padam. Aku tidak memperhatikan itu, dan membuat alasan asal-asalan. Aku malu sekali, tapi Oliv tidak curiga jika aku menemui pamannya di luar tadi. Cici berdehem sambil menyenggol bahuku. Dia tersenyum geli melihat aku yang salah tingkah.

"Lis, majalahnya kebalik loh", Oliv mengingatkanku lagi,

" Eh ini, aku lagi lihat detail gambar ini loh, jadi sengaja aku balik," kilahku membuat Alasan yang tidak masuk akal.

Alasanku terdengar payah. Teman-temanku tidak tahan lagi, mereka terbahak-bahak.

Dengan malu aku menutupi wajahku dengan majalah yang aku pegang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
chika_dputri
memesan dress code???
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status