Share

5. Sleep anxiety

James menyambut diatas kasur. Dengan sedikit enggan aku ikut bersamanya. Menutupi rasa bersemangat karena bisa berduaan dengannya semalaman.

"Kau sudah gila!" gerutuku setelah naik ke atas kasur. James memelukku.

"Mereka juga butuh istirahat," sergah James seolah sudah melakukan hal yang baik.

"Apa kau akan menginap malam ini?" aku bertanya dengan acuh.

"Tentu saja sayang, untuk apa obat tidur itu?" sergah James mengerling nakal padaku.

"Baiklah," kataku pasrah.

"Boleh aku katakan sesuatu?" tanya James sedikit serius. Aku bersiap.

"Boleh, katakan saja,"

"Apakah kau sudah tau kalau temanmu, Cici sudah memanipulasi keuangan toko kalian?" James bertanya lagi dengan kaku.

"Oh, aku sudah tau," jawabku santai dan singkat.

"Kenapa kau tidak menegurnya?"

"Entahlah James, aku takut dia tersinggung dan hubungan kami renggang,"

"Hei," James mengambil daguku, "dalam bisnis, tidak mengenal teman atau keluarga. Uang itu bersifat objektif,"

Aku berpikir sebentar, lalu menatap James heran, "dari mana kau tau kalau Cici korupsi?"

James mengabaikan pertanyaan ku, "dengarkan aku! Jika kau memang sahabat yang baik. Cici harus di tegur. Demi kebaikannya, sayang. Kalau kau diam saja, dia akan terjerumus lebih dalam,"

"Kau benar," gumamku sambil menggigiti buku jariku.

"Lakukanlah saat kau siap. Jangan biarkan dia mengendalikan semuanya. Bisnis bukan hanya tentang kepercayaan. Tapi juga kerjasama tim."

Aku mengangguk paham. Yang dikatakan James ada benarnya.

Malam semakin larut saat kami asyik berbincang. James tidak melepaskan pelukannya selama itu pula. Setelah aku menguap-nguap, James memutuskan kami harus segera tidur.

Tidak!

Jangan lakukan itu! Aaaa sakiitt...

Tolong aku ibu...

Aku terbangun, melihat jam menunjukkan pukul 02.00. Suara gumaman dengan teriakan tertahan membuatku terjaga.

James mengigau. Keningnya basah karena keringat, kepalanya menoleh kekanan dan ke kiri dengan gelisah. Sesekali tubuhnya terlonjak seperti ditusuk sesuatu yang menyakitinya.

Aku memeluk James yang bertelanjang dada. Menyentuh pipinya dengan ujung jariku.

"James," panggilku lembut. Aku takut dia terkejut dan itu akan membuat kepalanya pusing.

James belum bangun juga, aku mencoba memanggilnya hingga tiga kali dan dia pun terbangun.

"Alice!" James cukup terkejut saat wajahku tepat diatas wajahnya.

Aku menempelkan hidungku di pipinya, "kau mengigau, James."

"Itu sudah biasa sayang. Mimpi itu selalu datang," kata James santai, dia sudah bisa menguasai diri.

"Bagaimana kalau aku memelukmu sepanjang malam. Apakah itu akan membantu?" ujarku menawarkan diri.

"Terima kasih sayang, tapi kau harus melakukannya karena kau mau. Bukan karena aku,"

"Tentu, memelukmu seperti ini nyaman sekali," gumamku menelusup kedalam pelukannya.

James terkekeh senang, "baiklah kalau begitu. Semoga saja aku masih bisa menahan diri,"

Aku memukul dadanya, "jangan macam-macam!" geramku mengancamnya.

Entah sudah berapa tarikan nafas berlalu, kami tertidur pulas kembali. Perasaan nyaman saat kulitku menyentuh kulit James, membuatku terlelap dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

***

07.00

"Alice!"

Tubuhku berguncang keras dengan suara cempreng memekakkan gendang telinga. Ketika membuka mata, hal pertama yang aku lihat adalah hidung lebar kembang kempis milik Sinta.

Aku mengeluh sebentar, menutupi wajahku dengan bantal. Kemudian teringat kenapa Sinta sudah marah pagi hari begini. Jangan-jangan?

Oh syukurlah

James sudah tidak ada di sebelahku. Aku bisa bernafas lega. Sementara Sinta, masih berdiri berkacak pinggang sambil menatap tajam kearahku.

"Apa?" tanyaku polos.

"Kita sudah berjanji akan membereskan rumah ini, dan kau masih ngorok!" gerutu Sinta kesal.

"Aku tidak ngorok!" Sergahku menyangkal.

Sinta menaikkan sebelah alisnya dengan skeptis. Dua menunjukkan rekaman aku sedang ngorok dengan mulut terbuka. Itu sangat memalukan.

"Baiklah," aku akhirnya percaya. Sinta tertawa saat mengulang rekaman itu.

Kami mulai membersihkan rumah Oliv yang sebenarnya tidak terlalu berantakan. Karena asisten rumah tangganya sedang pulang kampung. Dan rumah ini sudah kosong selama Oliv berada di rumah sakit.

Oliv cinta kebersihan. Selain mengidap Leukimia, dia juga pengidap OCD. Dan dia dilarang keras banyak pikiran. Itu akan menggangu proses pemulihannya.

Mencuci baju hal yang mudah, karena sudah dikerjakan oleh mesin. Satu-satunya masalah kami adalah menyapu dan mengelap secara manual. Karena mesin vakum Cleaner Oliv sedang rewel. Dan rumah Oliv besar layaknya istana presiden.

Butuh waktu setengah hari untuk menyelesaikan semua kekacauan di dalam rumah Oliv. Setelah itu, aku dan Cici berencana akan berbelanja untuk kebutuhan dapur Oliv yang kosong melompong.

Sinta bertugas menjaga Oliv dirumah, meskipun sebenarnya sudah ada perawat khusus yang di pekerjakan oleh ayahnya Oliv.

Tapi tugas perawat itu tidak termasuk menghibur Oliv. Sedangkan Sinta, adalah ahli menghibur. Meskipun hanya dengan bergosip ria.

"Ci, boleh aku bicara sesuatu?" tanyaku ragu saat kami dalam perjalanan ke pasar.

"Tentu, katakan saja,"

"Apa kau punya masalah?" pertanyaan simpati adalah hal bagus untuk memahami kenapa seseorang berbuat curang.

"Bagaimana kau tau?" tanya Cici terkejut. Aku hanya menunggu jawaban.

"Sebenarnya, papa sedang dalam ambang ke bangkrutan. Dan dia sedang berusaha mencari pinjaman,"

"Apa itu alasanmu memanipulasi keuangan toko kita?"

Cici langsung menepikan mobilnya. Dia masih melihat lurus kedepan. Aku bisa melihat bibirnya sedikit bergetar. Dia tidak tau mau mengatakan apa.

"Maafkan aku, Alice," katanya menunduk malu.

"Hei, aku bukan ingin menghakimi mu. Aku hanya ingin tau alasannya dan mungkin aku bisa membantu?" tukasku mengelus pundak Cici yang bergetar, dia sedang menangis.

Akhirnya, Cici tidak tahan lagi lalu memelukku sambil tersedu.

"Aku kalut, dan kau tau saat-saat seperti itu pelarian ku hanyalah berbelanja. Tapi keuangan keluargaku sedang kacau. Terpaksa aku melakukannya. Maafkan aku."

Aku Menepuk-nepuk pundaknya, "aku tau Cici. Tapi kau tidak bisa terus seperti ini."

Cici melepas pelukannya dan menunduk kembali, dia terlalu malu hanya untuk melihat mataku. Aku pun memegang pundaknya untuk melihat kedalam matanya.

"Seharusnya ini menjadi pelajaran. Bahwa menghamburkan uang untuk suatu hal yang tidak terlalu penting itu tidak bagus. Akhirnya kau terjerumus kedalam perilaku tidak baik bukan?" kataku menghindari kata korupsi.

Cici hanya mampu menunduk sambil menangis. Tapi aku terus meyakinkannya kalau semuanya baik-baik saja setelah kejadian itu. Kami bisa memulai lagi dan belajar mengelola keuangan lebih baik. Dia setuju dan sedikit bisa mengulas senyumnya.

Acara berbelanja ke pasar tidak cukup menyenangkan. Karena Cici heboh dan terus menggerutu tentang pasar yang lengket, basah, licin dan tidak higienis. Aku hanya bisa menanggapinya dengan tertawa.

Ikan dipasar justru lebih segar dari pada ikan dalam freezer. Kebanyakan pedagang menjual ikan hidup, kecuali ikan laut. Lagi pula, kami bisa menghemat hingga setengah harga super market.

Jika bukan karena iming-iming uang lebih yang bisa kami pakai untuk membeli camilan, Cici tidak mau ikut bersamaku ke pasar. Maklum saja, dia sudah kaya sejak lahir. Sedangkan aku? Sudah terbiasa hidup sederhana.

Saat sampai di rumah Oliv. Kami harus mengendap-endap berjalan ke halaman belakang. Karena di depan terdapat beberapa mobil mewah terparkir rapi. Jadi kami putus kan langsung masuk ke dapur.

Aku terlalu memperhatikan langkahku, dan ketika mendongak jantungku benar-benar melompat kaget. Aku hanya sempat melihat kaki yang dibalut sepatu hitam. Selanjutnya mulutku dibekap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status