Aku menjerit ketakutan karena Scott tiba-tiba mengangkat tangan dan mendekatiku. Aku menutup mata, menunggu sesuatu yang buruk terjadi. Tapi aku tidak merasakan kekerasan apapun selain suara bunyi klik. Dengan perasaan takut aku membuka mata. Waspada dengan apa yang akan aku lihat, namun ternyata Scott hanya memasang sabuk pengamanku.Scott bersikap normal tanpa menanggapi ke parno an yang baru saja aku rasakan. Dia lalu melajukan mobilnya pulang kerumah. Jantungku masih berdegup kencang, keringat dingin mengucur di dahiku tapi Scott bersikap biasa saja. Jika saja ada benda tumpul yang berat, aku sudah menggetok kepalanya.Saat aku masih merengut sambil menggerutu dalam hati, Scott nge-rem tiba-tiba. Mobil berputar dengan sangat cepat hingga kepalaku terasa tertinggal ditempat sebelumnya."kau kenapa? kita sudah sampai satu jengkal lagi, Scott!" keluhku kesal sekaligus pening."dirumah tidak aman, apa kau tidak lihat?" Mataku membelalak saat melihat siapa yang sedang berdiri didep
Perjalanan kami bagaikan tiada akhir. Tidak ada pemandangan indah dimalam hari. karena semuanya terlihat sangat gelap.Aku terakhir melihat tempat yang bagus untuk menepi sekita setengah jam yang lalu. Setelah itu, gelap kembali. Scott diam saja sambil terus melirik sekitar jalan yang sepi. Tidak ada kendaraan lain yang melintas. Ketenangan ini, bagaikan hening sebelum badai. Bulu kudukku semakin meremang dan pelipisku terus berkedut tegang.Scott berbelok ke jalanan setapak bersemak tinggi dan basah. Sepertinya disini baru saja hujan. Suara batu kerikil beradu dengan ban mobil menghiasi perjalanan yang hening Gesekan rumput basah dan burung-burung memekik menjadi lagu penghantar yang indah untuk kosah horor. Aku memeluk tubuhku sendiri dalam diam.Setelah masuk cukup dalam setelah belokan tadi, aku melihat sebuah rumah besar dan tampak berhantu ditengah ladang sorgum yang memerah. Semburat pucat cahaya bulan menerangi ladang yang siap dipanen. Bahkan aku melihat ladang gandum dis
Aku terbangun dengan kaget. Hal terakhir yang kuingat sebelum tidak sadarkan diri adalah, aku berjalan sempoyongan dengan kepala pusing dan perutku mual. Lidahku terasa pedar dan tenggorokanku panas.Tapi saat ini, aku benar-benar hampir melompat dari ranjang empuk king size dengan set bed cover yang mahal. Aku bisa mengetahui itu mahal karena tidak seperti selimut dan sprei ku di rumah. Yang kusam, kasar dan berbulu. Astaga..astagaDengan panik aku turun dari ranjang dan mendapati hanya menggunakan kamisol saja. Di sebuah kamar mewah yang aku bahkan tidak tau ini rumah siapa?.Saat aku sedang memekik ketakutan dengan tubuh polos ku, seorang pria masuk. Membuatku mematung di tempatku berdiri. Sejenak aku terpesona.Dia pria paling tampan dan seksi yang pernah aku temui. Bahkan teman kuliahku tidak ada yang mampu mempesona ku. Pria itu tersenyum hangat padaku, lalu dia duduk di kursi dekat jendela.Dia menawarkan ku sebuah paperbag sambil terus tersenyum. Membuatku curiga padanya. Dan
Aku berdiri di depan pintu rumahku sambil melambai pada James. Menggeleng kuat untuk menghilangkan pengaruh hipnotis yang membuatku seperti kerasukan. Merasa nyaman bersama pria yang baru saja aku kenal, itu bukanlah diriku yang biasanya.Saat menyadari kantong yang aku pegang berisi pakaian bersih yang aku kenakan semalam, aku langsung membuangnya di tong sampah. Berusaha membuang jauh-jauh kenangan buruk bersama Bobi.Aku berjalan masuk ke dalam rumah dengan perasaan berbunga- bunga. Menatap diri di cermin yang terasa bukan aku. Biasanya, kaos dan celana jeans menjadi outfit andalanku sehari-hari. Melihat tubuhku dalam balutan gaun, membuatku menjadi orang yang berbeda. Ponselku berdering, Cici memanggil..."Halo, Ci," aku mengangkatnya di deringan pertama, Cici pasti khawatir."Oh syukurlah!" Cici berseru lega, "kau dari mana saja? Semalaman aku menghubungimu dan rumahmu kosong!" nah, Cici menunjukkan taringnya."Maaf, hapeku lowbat," jawabku beralasan. Saat bertemu nanti dia past
" Kau sudah tidur?" James mengirim pesan padaku." Belum," jawabku singkat. Aku sedang memandangi foto selfie kami saat berada di festival makanan tadi. James tampak tersenyum lebar dan menawan."Aku sudah rindu padamu," kata James membalas pesanku. Aku sampai harus membaca nya dua kali untuk memastikan. Jantungku berdegup kencang, tapi kucoba menepis perasaan berbunga dalam hatiku. Rasanya semua pria sama saja. Mengingat betapa pandainya James merayuku. Apalagi James yang sudah berumur, aku yakin dia hanya ingin menjadikan aku bonekanya. Pemikiran itu membuatku tak bernafsu membalas pesannya lagi.Aku putuskan untuk tidur saja. Besok aku harus mengontrol toko pakaian kami, lalu menjenguk sahabatku yang sedang berada di rumah sakit.Dengan menutup wajah menggunakan bantal, aku mengabaikan dering dan getaran ponselku. Aku yakin james yang menelepon. ***Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi sekali. Karena rupanya semalam itu, selain James ada juga klien ku yang memesan dress c
"Apa kau masih bersama Oliv?" James mengirim pesan melalui aplikasi chatting."Ya, kenapa? hari ini Oliv sudah di perbolehkan pulang," "Tunggu aku,""Untuk apa?" aku memelototi ponselku, aku sudah cukup malu kemarin. "Tentu saja untuk menjemput keponakanku, Alice"Dia benar juga. Oliv kan keponakannya. Jadi hal yang wajar jika dia datang menjemputnya. Aku tidak membalas pesan James lagi. Terlalu malas menanggapinya.Saat siang hari, Oliv sudah dalam persiapan untuk pulang kerumah. Jadi kami membantu memasukkan barang-barangnya ke dalam mobil. Betapa terkejutnya aku, yang untung saja tas yang aku bawa tidak terlepas dari tangan. James sudah menunggu sambil bercengkrama dengan sopir Oliv.Cici menyikutku, lalu mengedikkan dagu nya kearah James yang pura-pura tidak melihat kami. Ketika aku selesai menyusun tas dibelakang mobil, James berdiri tepat disampingku."Apa?" tanyaku masam. Dia mengedipkan matanya menggodaku."Kau kelihatan kurang tidur sayang?" James mencoba menyentuh pipiku,
James menyambut diatas kasur. Dengan sedikit enggan aku ikut bersamanya. Menutupi rasa bersemangat karena bisa berduaan dengannya semalaman."Kau sudah gila!" gerutuku setelah naik ke atas kasur. James memelukku."Mereka juga butuh istirahat," sergah James seolah sudah melakukan hal yang baik."Apa kau akan menginap malam ini?" aku bertanya dengan acuh. "Tentu saja sayang, untuk apa obat tidur itu?" sergah James mengerling nakal padaku."Baiklah," kataku pasrah. "Boleh aku katakan sesuatu?" tanya James sedikit serius. Aku bersiap."Boleh, katakan saja,""Apakah kau sudah tau kalau temanmu, Cici sudah memanipulasi keuangan toko kalian?" James bertanya lagi dengan kaku."Oh, aku sudah tau," jawabku santai dan singkat."Kenapa kau tidak menegurnya?""Entahlah James, aku takut dia tersinggung dan hubungan kami renggang," "Hei," James mengambil daguku, "dalam bisnis, tidak mengenal teman atau keluarga. Uang itu bersifat objektif,"Aku berpikir sebentar, lalu menatap James heran, "dari m
EmmphhhEmmphhhHanya itu yang keluar dari mulutku. Aku ingin melawan tapi tenaganya kuat sekali. Sedangkan tubuhku meskipun cukup tinggi dan sintal, tetap saja hanya seorang wanita biasa. "James!" mataku membelalak saat kami sudah masuk ke dalam kamar mandi dekat dapur.Aku menggeser tubuhnya yang bongsor dan hendak membuka pintu. Tapi dengan mudahnya dia mengangkat tubuhku kembali ketempat semula."Minggir! Aku mau masak!" aku menghardiknya. Tapi wajahnya benar-benar kelihatan marah, "apa?""Kemana saja kau seharian ini?" tanyanya frustasi."Beres-beres rumah Oliv terus kepasar sama Cici,""Lalu apakah kau tidak sempat mengangkat teleponku?" Aku lupa, dimana ku letakkan ponselku? Kucoba meraba tas kecilku. Tapi James sudah menemukannya lebih dulu. Entah dimana. Dia memberikannya padaku."Jangan pernah tinggalkan ponselmu, aku bisa gila jika tidak tau kabarmu barang sedetik. Ingat itu!" Aku menatap James tak percaya. Kenapa dia jadi begitu posesif? Lihat sekarang. Dia malah mening