Menurut Darren, tak ada lagi yang harus ditutup-tutupi dengan Nayla. Jangan sampai Nayla menaruh harapan terhadapnya. Karena, dirinya tidak mungkin mencintai wanita lain lagi.Nayla menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Kekasih?” tanyanya, hanya mengulang tanpa benar-benar penasaran.Darren mengangguk lagi, kali ini dengan senyum kecut yang tidak berusaha disembunyikan. “Tepatnya, mantan kekasih. Tapi aku masih mencintainya. Tak pernah sekalipun aku bisa melupakannya. Putusnya kami cuma karena salah paham... gara-gara ucapan Mamaku.”Hening sejenak. Suara debur air di bawah kapal menjadi latar yang menegaskan bahwa mereka memang sedang berada jauh dari daratan—jauh dari apa pun yang rasional.“Memangnya apa yang dibilang sama Mamanya Mas sampai membuat kekasih Mas marah?” tanya Nayla, sedikit mengernyit.“Katanya, Mama nggak mau punya menantu yang ‘independent woman’. Mama nggak suka perempuan yang sibuk berkarier dan...” Darren menggantung kalimatnya.Nayla menunggu, tapi Darren hanya
“Maaaas,” Nayla ingin menolak. Dia malu.“Aku sudah melakukannya tadi malam, Nay. Please, biarkan aku menikmatinya selama dua tahun ke depan. Aku butuh pelampiasan, Nay. Aku bosan bermain solo.”Nayla tak mengerti apa yang dimaksud oleh suaminya. Tapi demi apapun dia malu. Sangat malu. Tanpa menunggu jawaban dari Nayla, pria itu pun mulai menenggelamkan wajahnya diantara pangkal paha sang istri. Tanpa rasa jijik sama sekali, dia mulai menikmati sesuatu yang membuatnya senang. Demi apapun rasanya Nayla ingin berteriak. Nikmat bercampur sakit menjadi satu. Dia hanya bisa menggigit ujung bantal, untuk menekan suaranya. Dia juga tak ingin terdengar mendesah. “Maaaaaas, sakit,” ucap Nayla.Bukannya berhenti, pria itu justru berdiri dan membuka pakaiannya. Tubuh Darren saat ini benar-benar polos tanpa tertutup apapun.“Nay, hisap milikku ya,” pintanya penuh permohonan.“Huh?” Nayla terkejut.Darren menarik tangan Nayla, agar duduk di atas kasur. Nayla malu. Sangat malu.“Sentuhlah, Nay.
“Ma–Mas,” Nayla terbata. Dia sangat gugup ditatap penuh minat oleh suaminya. Bahkan Nayla berusaha menutupi tubuhnya dengan handuk.Dia belum pernah berpakaian seperti ini di depan orang lain. Baju terkutuk ini membuat Nayla tak bisa menghentikan gairah panas atasan mantannya ini.“Kenapa ditutupi, hmmmm?” tanya Darren berbisik. Suaranya berat, matanya berkabut hasrat.“A–aku malu, Mas,” jawabnya.“Bahkan aku sudah melihat semuanya. Tanda lahir di pangkal pahamu, aku melihatnya.”Wajah Nayla memerah saat mendengar jawaban suaminya. Malu, tentu saja dia sangat malu. Bahkan ketika ia mengingat betapa liarnya malam itu, saat ia ingin disentuh oleh suaminya. “Aku bisa laporin Mas dengan undang-undang ITE.”Ancaman itu justru membuat Darren tergelak.“Coba bayangkan kalau aku tidak merekamnya, mungkin kau bisa saja menuduhku telah memperkosamu.”Nayla membeku. Dia bingung harus menjawab apa. Tapi demi Tuhan dia sangat malu. Kenapa sih nenek suaminya ini kepikiran untuk membelikannya pakai
Setibanya di Bandara Changi, Singapura, Darren dan Nayla langsung disambut oleh seorang pria berpakaian serba hitam yang sudah menunggu mereka di pintu kedatangan dengan papan nama bertuliskan “Mr. & Mrs. Atmaja.” Tanpa banyak bicara, pria itu mempersilakan mereka mengikuti ke arah parkiran. Sebuah mobil mewah jenis MPV dengan interior elegan dan kabin yang nyaman telah siap mengantar mereka.Perjalanan dari bandara menuju pelabuhan memakan waktu sekitar empat puluh lima menit. Sepanjang perjalanan, Nayla lebih banyak diam, matanya sibuk memandangi pemandangan kota Singapura yang begitu rapi dan bersih. Sesekali, matanya bertemu dengan pantulan Darren yang duduk di sebelahnya, sama-sama diam namun sesekali mencuri pandang ke arah Nayla.Begitu tiba di pelabuhan, mata Nayla langsung membelalak tak percaya. Di depannya, sebuah kapal pesiar raksasa tengah bersandar megah. Warnanya putih mengilap dengan beberapa tingkat seperti hotel bintang lima terapung. Nama kapal tersebut tertera de
“Maaf saya mengganggu,” ucap salah satu pramugari.“Tidak apa-apa. Istri saya masih kurang puas tadi malam.”Jawaban Darren membuat Nayla melotot. Apalagi dia pramugari itu tertawa kecil. Nayla buru-buru pindah di sebelah Darren.Lalu terdengar suara kalau pesawat yang mereka tumpangi akan segera menuju Bandara di Singapura. Pramugari memastikan kalau sabuk pengaman sudah terpasang. Mereka juga menyiapkan sarapan untuk pengantin baru itu.Setelah beberapa saat diam, suara Darren kembali terdengar."Setelah kita bercerai, apa yang akan kamu lakukan atau apa yang akan kamu kerjakan?" tanya Darren. Saat ini pesawat sudah berada di ketinggian ribuan kaki. Sudah beberapa waktu mereka hanya diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pertanyaan itu datang begitu saja, memecah keheningan dan membuat Nayla yang duduk di sebelahnya menoleh cepat."Bahkan saya baru sehari menjadi istri Pak Darren, Bapak sudah menanyakan apa yang akan saya lakukan setelah bercerai. Mana mungkin saya bisa memik
“Kamu ini, Miranda! Mulutmu itu lho, nggak pernah bisa dikontrol. Mama kadang nggak percaya kalau Mama benar-benar ngelahirin kamu. Apa jangan-jangan kamu tertukar di rumah sakit waktu masih bayi?” ujar Nyonya Amira sambil menatap putrinya yang duduk di seberang meja makan.Bayu yang duduk tak jauh dari mereka menahan senyum. Tangannya meraih cangkir kopi, pura-pura menyeruput agar tidak terdengar suara cekikikannya. Bagaimanapun, wajah Miranda dan Nyonya Amira memang sangat mirip. Pipinya, bentuk hidungnya, bahkan sorot mata mereka tak bisa bohong—bagai pinang dibelah dua.Miranda mendengus, wajahnya merengut. Ia menaruh garpunya dengan suara cukup keras ke atas piring, menandakan kesal yang mulai memuncak. “Mama tuh yang terlalu manjain Darren. Perempuan itu sengaja banget bujuk Darren biar mau nikah sama dia. Padahal Miranda tahu betul, wanita itu sudah tunangan dan sebentar lagi mau nikah. Tapi dia malah milih Darren—jelas karena Darren lebih kaya. Mama jangan tutup mata, perempu