Ternyata yang ada di balik pintu itu adalah Dandi, sahabat sekaligus tangan kanan Raja di kantor. Ia datang bersama dua orang karyawan restoran yang membawa beberapa kotak besar penuh makanan. Dari aromanya saja sudah tercium berbagai macam menu.“Selamat ulang tahun, Bos! Maaf ya baru ngucapin sekarang. Soalnya biar nggak keduluan sama surprise keluarga Bos,” ucap Dandi sambil menjulurkan tangan dengan senyum lebar.Raja masih tertegun sebentar sebelum akhirnya menjabat tangan sahabatnya. “Terima kasih, Dandi,” sahutnya singkat.“Lalu ini apa maksudnya bawa makanan sebanyak ini?” tanya Raja heran, matanya melirik kotak-kotak makanan yang sudah memenuhi tangan para karyawan restoran.“Ini hadiah ulang tahun dari saya, Bos. Kita harus rayain bareng-bareng mumpung keluarga Bos lagi ada di sini,” jawab Dandi tanpa basa-basi. Ia langsung memberi isyarat pada kedua karyawan restoran itu untuk membawa masuk semua makanan dan menatanya di meja makan apartemen. Aroma sup hangat, ayam panggang
“Lho kok kayak nggak seneng banget Mama, Daddy, dan adik-adik datang?” tanya Nayla pada putra sulungnya yang kini genap berusia 29 tahun.Mereka semua sudah mendekat ke arah Raja. Ekspresi terkejut jelas terpampang di wajahnya. Biasanya setiap ulang tahun dia selalu menyambut dengan senyum lebar dan penuh semangat, tapi kali ini berbeda. Senyumnya kaku, matanya sedikit kosong. Sebagai seorang ibu, tentu Nayla bisa membaca perubahan sikap anaknya. Ada sesuatu yang tidak beres, meski Raja berusaha menutupinya.“Bu—bukan begitu, Ma. Cuma kaget aja ada kalian datang, nggak bilang-bilang dulu,” jawab Raja gugup.Raja tidak ingin membebani keluarganya dengan masalah yang ia buat sendiri. Dia harus bertanggung jawab atas apa yang sudah ia lakukan. Kayla langsung nyeletuk, “Namanya juga kejutan, Kak.”“Betul… betul… betul!” sahut Keira ikut menimpali sambil tertawa kecil.Giliran Kiara yang usil, “Nih, tiup dulu lilinnya, Kak. Jangan lupa berdoa, biar cepet nikah!” Ia menggoda dengan nada be
“Kalau begitu tolong berikan saya alamat rumah gadis itu, pak,” pinta Raja.Sang manajer hotel mengerutkan dahi, “Pak Raja. Coba bicara yang jujur, apa Merry pernah berbuat salah selama dia magang di hotel kami pada anda, pak?” tanyanya. Dia ingin tahu, kalau fatal dia akan membantu menyelesaikannya.“Tidak ada, Pak. Tapi ada hal penting di luar pekerjaan yang mau saya selesaikan dengannya,” sahut Raja.“Semoga yang bapak katakan itu benar. Karena kalau dia melakukan kesalahan sewaktu magang di sini, maka kami akan membantu menyelesaikannya,” jawab pria paruh baya itu.Raja menggeleng.“Tapi maaf, pak. Kami tidak bisa memberikan alamat Merry atau siapapun karyawan kami pada bapak. Kecuali ada surat keterangan dari kepolisian,” ujarnya.“Tapi, Pak-” ucapan Raja terpotong.“Maaf, Pak. Ini prosedur kami,” jawabnya tegas. Tak ada ruang untuk Raja mendapatkan alamat Merry meski ia adalah orang ternama di kota ini.“Baik, Pak. Saya pamit dulu,” ucap Raja.Manajer itu mengangguk. “Sekali lag
“Raja?” panggil wanita itu sekali lagi.Refleks, ia menoleh. Betapa kagetnya dia ketika melihat sosok yang berdiri tidak jauh darinya. Itu Naina, sahabat dekat kekasihnya.“Naina?” Raja terbelalak, tidak percaya dengan yang baru ia lihat.Naina berjalan mendekat, wajahnya juga penuh rasa heran. Mereka berdua lalu otomatis berbicara dengan bahasa asing, sesuatu yang sudah biasa mereka lakukan kalau bertemu di luar negeri.“Ngapain kamu di sini?” tanya Naina sambil menyipitkan mata, seakan mencoba menebak alasan Raja ada di hotel ini.Raja cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya. Ia tidak boleh sampai salah ucap. “Harusnya aku yang nanya, kamu ngapain di sini? Bukannya kamu orang asli New York? Mestinya jam segini kamu udah di rumah, bukan mondar-mandir di hotel.”Naina tersenyum kecil. “Aku barusan nemuin temanku. Dia kebetulan lagi nginep di sini, jadi aku mampir sebentar. Kalau kamu? Ngapain nongkrong di lobi hotel?”Otak Raja bekerja cepat mencari alasan. “Aku lagi nunggu temank
Raja menekan pedal gas dalam-dalam, membuat mobil sport hitamnya melaju kencang di jalanan kota New York yang padat dengan pengemudi lain di kiri kanan. Wajahnya tegang, kedua tangannya menggenggam setir erat seakan itu satu-satunya pegangan untuk menahan kekacauan yang sedang berkecamuk di kepalanya. Hari ini, ia tidak peduli lagi pada aturan lalu lintas. Satu-satunya yang dia inginkan hanyalah cepat sampai di hotel tempat semua masalah ini bermula satu setengah bulan yang lalu.Perjalanan menuju hotel itu memakan waktu lebih dari satu jam. Tepatnya satu jam sepuluh menit, jika lalu lintas tidak terlalu macet. Di sepanjang jalan, pikirannya tidak berhenti berputar. Bayangan wajah perempuan itu terus muncul, membuat dadanya sesak. Raja berharap kali ini, lewat manajer hotel, ia bisa mendapatkan alamat rumah perempuan itu. Hanya dengan begitu, ia bisa berbicara langsung, menuntaskan masalah yang sejak satu setengah bulan terakhir menghantui hidupnya tanpa henti.“Andai saja waktu bisa
Dandi melihat seorang perempuan keluar dari ruang kerja Raja dengan langkah terburu-buru. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan jelas sekali dia sedang tidak baik-baik saja. Dari cara dia menunduk lalu cepat-cepat meninggalkan kantor, Dandi bisa merasakan ada sesuatu yang serius baru saja terjadi.Sebagai sahabat dekat sekaligus tangan kanan Raja, naluri Dandi langsung jalan. Ia tahu betul kalau ekspresi orang tidak bisa bohong, apalagi ketika baru saja bertemu dengan Raja. Tanpa pikir panjang, Dandi memutuskan untuk masuk. Ia mengetuk pintu, membuka pelan, lalu melangkah ke dalam.“Ada apa? Tadi aku lihat perempuan itu keluar buru-buru. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Dandi sambil menatap Raja.Raja duduk di kursinya, bersandar lelah dengan tangan menekan pelipis. Dari wajahnya saja, Dandi sudah bisa menebak kalau masalah ini bukan main-main. Raja menarik napas panjang sebelum menjawab.“Wanita itu… hamil,” ucapnya singkat.Dandi langsung kaget. “Apa?!” serunya tidak percaya.Raja