“Tuan, ngapain Anda di sini? Siapa yang sakit?” tanya Bayu begitu melihat Andika mendekat ke arahnya. Dalam hatinya, Bayu sudah curiga. Ia tahu betul, pria tua itu pasti bukan datang tanpa alasan. Dan jika benar Andika sengaja muncul di rumah sakit ini, bisa dipastikan ia datang untuk melihat Raja.Jika benar, maka kecurigaan Bayu terhadap Miranda semakin kuat. Tak mungkin Andika datang hanya untuk iseng. Dan tak mungkin tiba-tiba Andika tahu mengenai keadaan Raja.“Biasa. Aku kontrol bulanan ke sini,” jawab Andika singkat. Ia berbohong, tentu saja. Ia hanya berharap Bayu akan mengatakan sesuatu tentang Raja. Tapi ternyata tidak.“Oh.” Bayu hanya menjawab pendek, tidak ingin menunjukkan reaksi apa-apa. Ia paham betul situasi yang sedang terjadi. Tidak ada yang bisa dipercaya sepenuhnya, apalagi seseorang yang masih terikat dengan Miranda, entah sebagai suami atau sebagai tameng.“Kamu ngapain di sini? Nggak kerja?” tanya Andika lagi. Kali ini terdengar seperti basa-basi, tapi Bayu tah
Setelah dari kantor polisi, Ilham akhirnya menuju ke rumah Miranda. Dia berdecak kagum melihat rumah mewah itu. Sekilas ia berangan-angan menjadi suami Miranda. Jujur sejak dulu, saat kasus Miranda terkuak dengan lelaki yang lebih udah darinya dan videonya yang sudah sempat beredar di sosial media, sejak saat itu dia mengagumi Miranda. Dia yakin perempuan ini adalah wanita yang memiliki gangguan seksual atau hiperseks.Buktinya tadi malam, hanya dengan sedikit ancaman saja wanita ini sudah Aku menyerahkan dirinya pada Ilham. Mulutnya berkata tidak, tapi sentuhan Ilham justru membuat Miranda mabuk kepayang. Tumbuhnya bereaksi berbeda dengan kata-kata yang terucap dari mulutnya.Dan kini, Ilham yakin Miranda akan ketagihan berhubungan dengannya. Dia sangat yakin itu. Matanya menyapu sekeliling rumah itu, namun tak ada tanda-tanda suami Miranda terlihat di kediamannya. “Aku lebih tampan dari lelaki itu. Aku yakin, istrinya akan terus kecanduan bersamaku. Apalagi dulunya dia hanya sopir,
"Ma," panggil Raja pelan."Iya, Sayang, Mama di sini," jawab Nayla cepat, langsung menoleh ke arah anaknya yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit."Raja haus," ucapnya, suaranya serak tapi masih terdengar manja.Nayla segera bangkit dari duduknya di sisi ranjang. Tanpa pikir panjang, ia meraih botol mineral yang diletakkan di atas meja nakas, lalu membantu Raja minum. Tangannya masih sedikit gemetar, mungkin karena sisa ketakutan tadi masih belum sepenuhnya hilang. Ia terus memandangi wajah anaknya sambil menahan air mata yang hendak keluar lagi."Udah," kata Raja pelan, menjauhkan botol itu dari mulutnya. Wajahnya tampak sedikit lebih tenang, seolah hausnya sudah hilang dan tubuhnya mulai terasa lebih baik.Nayla menaruh kembali botol air itu ke tempat semula. Tangannya kembali menyentuh tangan kecil putranya. Ia ingin terus menyentuh Raja, memastikan anaknya benar-benar masih bersamanya."Ma," panggil Raja lagi, suaranya tetap lirih."Iya, Sayang? Raja lapar?" tanya Nayla
Waktu sudah memasuki pukul 01.00 dini hari, tapi mata Nayla dan suaminya belum juga bisa terpejam. Kamar rawat inap tempat Raja terbaring sunyi, tangannya masih di infus memberi tanda bahwa bocah kecil itu masih belum sepenuhnya sembuh.Tadi dokter Chiko sudah memberitahu Nayla dan suaminya kalau bubur itu memang diberikan racun mematikan. Reaksi dari racun itu 2 sampai 3 jam, makanya bubur itu menjadi biru. Mungkin jika bubur itu masuk ke dalam perut seseorang, maka sudah dipastikan orang itu akan meninggal dunia dalam hitungan jam. Belum ada obat yang bisa menyembuhkan pasien yang terkena racun mematikan itu.Membayangkan itu saja membuat hati Nayla sangat sakit. Marcella dan Bayu pun sekarang masih ada di luar ruang rawat inap Raja. Mereka segera datang setelah Nayla menghubungi ada kejadian yang membuat akal sehat mereka tidak berfungsi dengan baik. Terkejut. Sudah pasti mereka terkejut. Siapa pelakunya? Siapa yang tega menginginkan nyawa Raja? Sementara Nayla dan Darren bahkan ta
Andika masuk ke kamar tanpa menoleh ke belakang. Wajahnya tegang, gerakannya cepat, seperti orang yang sedang dikejar waktu. Ia membuka lemari, mengeluarkan pakaian dan barang-barang pribadinya. Dua koper besar ia buka di atas tempat tidur. Tak ada waktu untuk memilah-milah, yang penting semua masuk. Ia bahkan menyelipkan amplop tebal berisi tabungan dan uang tunai di antara tumpukan pakaian. Ia tahu Miranda akan menghalalkan segala cara kalau sampai tahu. Beberapa jam tangan mahal ikut ia masukkan. Mungkin bisa dijual lagi nanti. Harganya tak main-main, beberapa di antaranya hadiah dari kolega lama. Siapa tahu hasil menjual jam tangan ini nantinya bisa jadi modal awal bangkit dari reruntuhan rumah tangga? Andika sadar ini sudah terlambat. Usianya sudah kepala lima. Tapi daripada hidup seperti pesakitan di rumah yang sudah mirip kandang neraka, lebih baik mencoba dari nol. Dia sudah sepakat: cerai. Titik. Lima belas menit kemudian, Andika keluar dari kamar. Wajahnya masih dingin.
Jam menunjukkan pukul 23.00 ketika suara barang-barang dibanting menggema di rumah besar keluarga Atmaja. Bukannya suasana tenang karena semua penghuni rumah tertidur, malah terdengar keributan dari ruang tengah. Andika yang baru saja pulang, langkahnya sempoyongan, mata merah, dan aroma minuman keras masih menempel di bajunya. Tapi sebelum sempat duduk, Miranda sudah terus mencecarnya dengan wajah merah dan mata melotot."Aku sedang ada masalah. Antarkan aku bertemu Ilham sekarang!" bentak Miranda tanpa basa-basi.Andika menoleh dengan ekspresi bingung, tapi matanya langsung menatap tidak suka ke arah istrinya. "Ngapain kamu ketemu Ilham malam-malam begini?"Suaranya terdengar meninggi, kepalanya pening, dan tubuhnya sedikit goyah. Alkohol jelas masih menguasai pikirannya, tapi emosi Miranda malah bikin dia makin tersulut.Miranda mendekat cepat, seolah tak peduli suaminya baru pulang dalam keadaan mabuk. "Aku menyuruh adik iparnya untuk meracuni makanan anak dari wanita sialan itu d