Mendengar anaknya berteriak, Nayla langsung berdiri. Jantungnya seperti jatuh ke lantai. Nafasnya tercekat. Suara itu suara Raja. Putranya.Marcella yang baru saja membuka pintu kamar di atas ikut mendengar. Ia langsung membalikkan badan, lari menyusuri koridor atas. Nayla ikut menyusul naik, setengah terhuyung, setengah berlari. Detak jantungnya tak terkendali.Mbak Siti yang tadi sedang membersihkan balkon kamar Nayla juga ikut kaget. Ia langsung masuk ke kamar dari arah balkon, tanpa sempat meletakkan lap yang masih basah di tangannya.Begitu mereka sampai di kamar Nayla, pemandangan yang mereka lihat membuat ketiganya langsung membeku.Raja terduduk di lantai. Wajahnya memerah menahan tangis. Dahinya mengeluarkan darah segar, mengalir menuruni pelipisnya. Di lantai berserakan pecahan kaca dari meja rias yang kini terbalik, laci-lacinya terlepas, cermin utamanya pecah sebagian. Tangannya juga berdarah, terluka oleh pecahan yang menancap ringan di kulit.Rupanya Raja memanjat kursi
“Sebaiknya kamu bicara langsung sama suamimu. Kamu nggak bisa lepasin Darren begitu aja demi perempuan itu. Jelas-jelas dia sekarang milih kamu, Nay. Dia sangat menginginkan kamu, bukan ke Maria. Dan dia kelihatan cinta sama kamu,” ujar Marcella, menggeleng pelan dengan wajah kesal.Wanita itu duduk di sebelah Nayla dengan posisi tubuh sedikit menghadap dan menatap sahabatnya yang duduk terpaku sambil menunduk. Marcella tahu Nayla keras kepala, tapi kali ini dia nggak bisa diam.“Jangan gila, Nayla. Please. Jangan gegabah ngambil keputusan. Jangan terlalu egois. Iya, kamu berhak bahagia, tapi kamu juga punya anak. Jangan lupa itu. Berkorbanlah sedikit… demi Raja,” lanjutnya, suaranya mulai terdengar lebih pelan, lebih menekan, tapi tetap penuh permohonan agar sahabatnya ini mengerti dengan apa yang dia ucapkan. Marcella sudah bicara banyak dengan Bayu. Saat barbeque tadi malam, ketika yang lain sudah tidur mereka berdua masih ada di rooftop rumah baru Nayla. Mereka membahas banyak ha
“Keduanya dong, sayang,” jawab Darren.Nayla melepaskan ikat pinggang sang suami, menurunkan celana suaminya lalu meletakkan dengan rapi di meja yang ada di sana agar nanti bisa dipakai lagi oleh suaminya. Sementara pria itu membuka jas kerja dan juga kemejanya. Godaan untuk menyentuh sang istri lebih penting dari meeting pagi ini.Nayla duduk di kursi panjang, dia langsung memasukkan milik sang suami ke dalam mulutnya. Mulutnya terasa sangat penuh. Darren berusaha keras agar tak mendesah saat Nayla menghisap miliknya penuh nafsu. “Oooooh, sayang,” desah Darren.Tangannya meremas dada suami istri. Semakin dia dibuat melayang, semakin kuat remasan tangannya. Setelah puas dimanja oleh bibir istrinya, Darren langsung berjongkok di bawah istrinya yang duduk di atas kursi. Dia menghisap dada Nayla dengan adil dan memberi tanda kepemilikan yang banyak di sana.Desahan dari mulut keduanya sedikit ditahan agar tak sampai membangunkan Raja.Darren akhirnya melakukan penyatuan.Menghentak tubu
Raja berlari kecil dari arah kedua orang tuanya, membawa sebongkah marshmallow di tangannya yang belepotan saus barbeque. Wajahnya ceria, matanya berbinar saat melihat Nayla dan Darren duduk berdampingan di ayunan yang baru saja mereka tata rapi tadi sore.Tanpa banyak bicara, bocah tiga tahun itu langsung memanjat ke tengah dan duduk di antara Mama dan Daddynya.“Kalau kita jadi ke Jepang, Daddy mau beliin Raja robot lagi, nggak?” tanyanya sambil menggoyang-goyangkan kaki kecilnya.Darren terkekeh pelan, lalu mengecup pipi putranya. “Mau dong. Kan Daddy sudah janji mau beliin yang banyak buat Raja.”“Yeeeee. Asyiiiiik! Raja bakalan punya banyak robot. Raja seneng banget,” serunya sambil mengepalkan tangan, seolah baru memenangkan perlombaan.Nayla membersihkan tangan sang anak dengan tisu basah antiseptik. Anak itu kemudian memeluk Darren erat-erat dan mengecup pipi pria itu dengan polos dan tulus. Pelukan kecil itu terasa seperti jebakan manis bagi Darren. Dalam diam, dadanya sesak
“Kenapa kau marah-marah?” tanya Miranda tanpa menoleh, ketika Maria masuk ke ruang tamu dan langsung menjatuhkan diri ke sofa dengan napas tersengal.“Barusan... Maria sudah lakukan yang Tante suruh,” ucapnya masih ngos-ngosan, sambil melempar tas tangan ke meja.Miranda akhirnya menoleh, mengangkat alis. “Bagus dong kalau begitu. Lalu gimana tanggapannya? Berani enggak dia melawan kamu?”Waktu menunjukkan pukul 18.58. Langit sudah mulai gelap. Lampu-lampu halaman rumah Atmaja mulai menyala otomatis, menyisakan suasana remang di dalam ruangan. Tapi ketegangan di wajah Maria jelas terlihat, membuat Miranda semakin penasaran.“Kamu sudah lontarkan semua kata-kata kasar seperti yang Tante ajarkan, bukan?” tanya Miranda lagi. Suaranya seperti sedang menilai hasil kerja bawahan.Maria mengangguk cepat. “Sudah semua, Tante. Tapi ternyata... orangnya enggak ada di rumah.”Miranda langsung melotot. “Kau bodoh apa gimana, sih? Sudah tahu orangnya enggak ada, kau masih marah-marah di sana?”Mar
“Cieeee yang punya Daddy kaya raya. Apa aja dipenuhi maunya. Coba Raja minta dibeliin privat jet dulu deh sebelum Daddynya Raja bangkrut.”Plak.Suara benturan kecil terdengar begitu batang sapu yang dipegang Darren menyentuh bahu Marcella dengan pas. Bukan keras, tapi cukup bikin Marcella meringis sambil meringkuk.“Aduh,” ia mengaduh, langsung melirik tajam ke arah Darren. “Sialan.”Raja langsung tertawa terpingkal-pingkal. Bocah itu sampai menepuk-nepuk paha kecilnya karena geli lihat kelakuan Daddy dan Aunty-nya yang seperti anak-anak kalau sedang bertemu. Baginya, melihat dua orang dewasa saling goda dan ribut soal hal sepele jauh lebih lucu dari nonton kartun di TV.“Kalau ngomong dijaga ucapannya. Doain orang bangkrut,” Darren nyolot. Meskipun wajahnya datar, tapi dia tetap melotot ke Marcella sambil masih megang batang sapu seolah bersiap melempar kalau cewek itu makin ngawur omongannya.Marcella mendengus, rambut panjangnya dikibaskan kasar. “Nanti aku batal kasih Bayu, kapo