MasukSuara napas Elyssa memburu. Nama Albert yang disebut Sean barusan bagai jangkar yang menghentikan langkahnya secara paksa. Namun, saat ia berbalik dan melihat ke arah lantai atas, amarahnya seketika luruh berganti menjadi rasa cemas.Sean terduduk di lantai lorong, wajahnya pucat pasi. Darah merah segar mengalir deras dari celah tangannya yang berusaha menekan luka di paha, membasahi lantai marmer putih yang dingin."Mas..." bisik Elyssa tercekat.Rasa penasaran dan rasa bersalah bertabrakan di dadanya. Tanpa pikir panjang, ia berlari kembali menaiki tangga. Ia mengabaikan ego dan rasa sakit hatinya saat melihat pria yang ia cintai bersimbah darah karena perbuatannya sendiri."Jangan banyak gerak!" seru Elyssa panik. Ia segera memapah lengan Sean, menyampirkan tangan pria itu di bahunya."Akhh!" Sean menjerit tertahan saat berusaha berdiri. Wajahnya meringis menahan perih yang menyengat saraf pahanya.Dengan susah payah, Elyssa membantu Sean berjalan kembali masuk ke dalam kamar.Tubu
Elyssa melangkah kembali ke kamar dengan sangat pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Ia mengira Sean masih terlelap dalam mimpi. Namun, begitu kakinya melewati ambang pintu, langkahnya langsung terhenti. Jantungnya berdegup kencang.Sean tidak sedang berbaring. Pria itu duduk tegak di tepi ranjang dalam kegelapan yang hanya diterangi sedikit cahaya lampu tidur. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Elyssa, mengintimidasi."Sudah selesai mengobrolnya?" tanya Sean. Suaranya rendah, namun bergetar oleh amarah yang tertahan.Elyssa menelan ludah, mencoba bersikap tenang."Apa maksudmu?" tanya Elyssa balik, berpura-pura tidak mengerti."Jangan berpura-pura, Elyssa. Aku tau kamu baru saja telponan dengan seseorang di luar.”Sean berdiri, melangkah perlahan mendekati Elyssa hingga jarak mereka hanya tersisa beberapa sentimeter.Elyssa mundur selangkah, tangannya mendadak sedingin es. "Kamu menguntitku, Mas? Buat apa? Kamu curiga kalau aku berbuat yang macam-macam?"Sean mencengkeram l
Malam itu terasa sangat panjang dan sunyi bagi Sean maupun Elyssa. Meski mereka sudah berada di dalam kamar dan berbaring di bawah selimut tebal yang sama, namun suasana terasa begitu dingin.Mereka berbaring saling memunggungi, menciptakan jarak emosional yang jauh lebih lebar daripada jarak fisik di tempat tidur itu.Pikiran Sean berkecamuk. Ia tidak bisa tenang memikirkan sikap dingin Elyssa. Namun, di balik itu semua, bayangan bekas merah di dada Elyssa terus menghantuinya. Hatinya panas terbakar rasa cemburu, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa.Di sisi lain, Elyssa pun tidak bisa memejamkan mata. Dadanya masih terasa sesak mengingat kebohongan-kebohongan Sean. Baginya, kepercayaan yang sudah retak tidak bisa diperbaiki hanya dalam waktu semalam.Pukul 02.00 dini hari, suasana semakin senyap.Saat mendengar napas Sean mulai terdengar teratur seperti orang yang sudah tertidur pulas, Elyssa bergerak perlahan. Ia turun dari ranjang dengan sangat hati-hati, mengambil ponselnya, dan
Sepanjang perjalanan menuju mansion, suasana benar-benar kacau.Di mobil, Olivia terus berteriak histeris tanpa henti. Suaranya yang melengking membuat Bulan menangis ketakutan di sampingnya. Pengawal yang menemani mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Ia memilih diam dan mengabaikan Olivia yang terus mengamuk di kursi penumpang.Sementara itu, Elyssa dan Sean berada di mobil yang terpisah. Di dalam kendaraan mewah itu, hanya ada keheningan yang menyesakkan. Elyssa menutup mulutnya rapat-rapat, membuat Sean merasa sangat frustrasi.“Sayang, kamu beneran gak mau ngomong sama aku?” tanya Sean lirih, mencoba memecah kesunyian.“Fokus nyetir aja, Mas,” tegur Elyssa pendek tanpa menoleh sedikit pun.Sean hanya bisa menarik napas panjang. Dadanya terasa sesak karena sikap dingin Elyssa. Mereka terus berdiam-diaman sepanjang jalan.****Setibanya di mansion, Olivia segera dibawa ke kamar tamu untuk diistirahatkan. Bulan terus menempel di sisi ibunya, tidak mau beranjak sedikit pun karena k
Meskipun, Elyssa tidak bicara apa-apa, tapi tatapannya membuat Sean gugup. Sean pun hanya berdiri diam melihat Olivia yang terkapar di lantai. Sebenarnya ia ingin menolong, tapi ia tidak mau memancing amarah Elyssa lagi.Beberapa saat dalam kebisuan yang mencekam itu, tiba-tiba terdengar suara langkah kecil mendekati area ruang tamu. Bulan, yang terbangun karena keributan dan perdebatan tadi, muncul dengan mata mengantuk, memeluk bonekanya."Mama?" panggil Bulan pelan.Bulan melihat ibunya terkapar. Bocah itu langsung berlari menghampiri Olivia. Ia duduk di sebelah tubuh ibunya, mengguncang bahu Olivia dengan tangan kecilnya."Mama, bangun! Kenapa Mama pingsan, Ma?" panggil Bulan sambil mengguncang tubuh ibunya. Namun, Olivia tetap tidak bergerak.Bulan mulai panik dan menatap Sean serta Elyssa untuk meminta bantuan. Tapi kedua orang dewasa itu hanya diam membeku karena ego masing-masing. Tangis Bulan pun pecah. Ia tidak mengerti kenapa mamanya sekotor ini dan kenapa Sean serta Elyssa
"Gak tau? Jangan bohong, Elyssa! Bekas ini... ini sudah jelas bekas kecupan! Katakan, siapa yang menyentuhmu? Siapa teman lamamu yang membuatmu menghilang semalaman dan kembali dengan tanda seperti ini?!" raungan Sean menggema di kamar.Semua kekhawatiran yang Sean rasakan semalam kini berubah menjadi amarah dan kecemburuan yang membakar.Elyssa menoleh kembali ke arah Sean. Air mata yang ia tahan sejak mendengar nama Camelia kini terasa mendidih di matanya. Jujur, Elyssa sungguh tidak tahu ini bekas apa, karena seingatnya ia pingsan dan begitu bangun, dirinya berada di kamar hotel bersama Juan. Tapi







