Elyssa terbangun dan langsung ke dapur untuk membuat sarapan. Kebetulan Albert juga masih mandi.
Kemarin Albert pulang pukul satu pagi, saat Elyssa sudah terlelap. Jadinya mereka tidak punya waktu untuk mengobrol karena pagi ini Albert akan berangkat kerja lagi.
Pagi ini, Elyssa hendak membuat omelet. Ia mencari-cari teflonnya dan baru ingat ia menyimpannya di kabinet atas. Ia pun berjinjit, namun tubuhnya tak sampai. Akhirnya, ia mengambil kursi plastik untuk meraih teflon itu.
“Kamu lagi nyari apa?”
Suara Sean tiba-tiba mengejutkannya. Elyssa terhuyung, nyaris terjatuh kalau saja Sean tidak sigap menangkapnya. Tubuhnya kini berada dalam dekapan Sean. Mata mereka bertemu begitu dekat hingga napas Elyssa tercekat. Degup jantungnya berlari kencang, membuat wajahnya panas seketika.
Baru saat Sean menoleh, Elyssa tersadar ada sesuatu yang salah. Tangan pria itu menyentuh bongkahan padat di dadanya. Ia terdiam, tubuhnya kaku, sebelum akhirnya berbisik dengan wajah merah padam, “T-tanganmu....”
Sean langsung melepaskannya dan membantu Elyssa berdiri tegak, wajahnya sendiri ikut kikuk. “Maaf, aku gak sengaja. Tadi cuma refleks karena kamu hampir jatuh.”
Elyssa makin salah tingkah. Ia menunduk, buru-buru merapikan rambutnya meski tak berantakan. Pipinya terasa panas, bahkan matanya enggan menatap Sean.
“Ngg… gapaapa kok,” ucapnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.
Suasana jadi canggung. Sean mengalihkan diri dengan cepat, berusaha terdengar biasa saja. “Kamu mau ambil apa? Biar aku bantu.”
Elyssa menelan ludah, masih gugup. “Aku… mau ambil teflon.”
Sean yang bertubuh tinggi dengan mudah mengambil teflon dari kabinet atas. Gerakannya sederhana, tapi bagi Elyssa yang masih menyimpan rasa malu dari kejadian barusan, itu membuatnya semakin salah tingkah. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan pipinya yang belum reda memerah.
"Aku bantu masak, ya?" ucap Sean santai, seolah tidak terjadi apa-apa.
Elyssa buru-buru menggeleng. Suaranya sedikit bergetar. "Gak usah. Emangnya kamu gak siap-siap kerja?”
Sean menoleh sambil tersenyum tipis, senyum yang justru membuat jantung Elyssa semakin tak karuan. "Masih lama kok. Aku masih punya banyak waktu."
Elyssa menggigit bibir bawahnya, bingung harus menolak atau membiarkan. Tatapannya tak berani menemu mata Sean, takut tubuhnya kembali memanas karena rasa malu. Karena Sean bersikeras, akhirnya ia menyerah dan membiarkannya. Namun dalam hatinya, ia terus berusaha menenangkan diri, seakan-akan setiap gerak Sean masih mengingatkannya pada dekapan barusan.
"Aku tinggal dulu boleh, kan? Aku mau cek Mas Albert di kamar,” kata Elyssa akhirnya.
Sean mengangguk kecil.
Saat meninggalkan area dapur, Elyssa mendapati Albert tak jauh dari sana. Rupanya, Albert sedang mencarinya. Begitu bertemu pandang, Albert langsung menghampiri.
"Kamu dari mana saja?!" tanya Albert. Terdengar nada kesal dari suaranya.
“Aku kan di dapur, Mas. Lagi nyiapin sarapan.”
"Cepat kemas barang-barangku!" potong Albert, tidak peduli dengan Elyssa. Yang ia pikirkan hanyalah keperluannya sendiri. "Pagi ini aku harus terbang ke Bali."
Mata Elyssa sontak membulat. Ia mengikuti langkah suaminya yang kembali ke kamar. "Ke Bali, Mas? Tiba-tiba banget?" tanyanya heran.
Sambil merapikan penampilannya, Albert menjawab dengan nada sombong. "Kamu kan tau jabatanku tinggi di perusahaan! Jadi hal-hal mendadak seperti ini sudah biasa! Harusnya kamu tau itu!"
"Oh, i-iya, Mas," jawab Elyssa.
Setelah semua barang siap, Albert segera keluar dari kamar. Ia bahkan tidak mengindahkan ajakan Elyssa untuk sarapan.
Tepat saat Albert melewati kamar tamu, pintu itu terbuka. Terlihat Sean berdiri di sana dengan penampilan yang sudah rapi.
"Mau ke mana bawa koper?" tanya Sean.
"Ada kerjaan di Bali, mungkin sekitar satu minggu," jawab Albert. Suaranya terdengar ramah, berbeda saat berbicara dengan Elyssa. "Oh ya, aku titip rumah dan juga istriku. Tolong jaga dia."
Sean mengangguk singkat. "Tenang saja."
Elyssa yang kebetulan berada di dekat mereka langsung menoleh pada Albert. Wajahnya menunjukkan keraguan. "Mas… apa gak aneh ninggalin aku serumah berdua sama Sean? Apa gak takut jadi omongan orang?"
Albert menepuk bahu istrinya seakan hal itu bukan masalah besar. "Udah, kamu gak usah mikirin yang aneh-aneh. Aku percaya sama kamu, juga sama Sean."
Elyssa terdiam, tidak bisa membantah meski hatinya masih berat menerima keputusan itu.
Setelah Albert benar-benar berangkat, Sean bersama Elyssa menyantap sarapan bersama. Obrolan mengalir santai, walaupun Sean yang lebih banyak bertanya.
Suasana tetap terasa canggung bagi Elyssa, mengingat kini rumah itu hanya berisi mereka berdua.
Saat hendak berangkat, Sean menoleh pada Elyssa. “Kamu hati-hati ya di rumah. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku.”
Elyssa hanya mengangguk, rasa herannya pada sikap Albert masih mengganjal di hati. Ia memaksakan senyum tipis.
Begitu Sean benar-benar pergi, Elyssa cepat-cepat mengunci pintu utama lalu masuk ke kamar.
Di sana, pikirannya kembali dipenuhi kejadian di dapur tadi—saat ia hampir jatuh dan tubuhnya sempat berada dalam dekapan Sean. Wajahnya memanas, jantungnya berdebar kencang hanya dengan mengingat betapa dekatnya mereka saat itu.
Elyssa menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Astaga… kenapa aku jadi mikir ke situ?” gumamnya. Ia gelisah, mondar-mandir sebentar, lalu duduk di tepi ranjang. Perasaan malu bercampur dengan rasa bersalah membuat dadanya terasa sesak.
“Aku pasti sudah gila,” bisiknya pada diri sendiri, berusaha menepis bayangan itu.
Mendengar pertanyaan itu, Elyssa segera menjauhkan dirinya dari Sean. Ia tidak ingin terjebak lebih jauh dengan Sean.Sudah cukup ia menikmati perhatian-perhatian kecil dan juga sentuhan-sentuhan ringan dari Sean, ia tidak ingin jatuh lebih dalam. Ia masih memikirkan kesetiaannya dengan Albert, walaupun suaminya sendiri tidak pernah peduli padanya.Melihat respon Elyssa, Sean menyadari kesalahannya. “Maaf. Aku sudah kelewat batas.”Elyssa hanya menunduk seraya meremas jari-jarinya.“Sebaiknya kamu tidur, Elyssa. Udah malam. Begadang gak bagus buat kesehatan.”Elyssa mengangguk pelan. Setuju dengan Sean. “A-aku ke kamar duluan.” Ia bergegas melangkah dengan cepat meninggalkan Sean dengan deb
Keesokan paginya, Sean sudah bangun lebih dulu. Ia melangkah ke dapur, berniat menyiapkan sarapan untuk Elyssa.Sementara itu, di dalam kamar, Elyssa berdiam diri. Ia terlalu malu untuk keluar karena belum mandi. Keran shower di kamar mandinya rusak.Setelah beberapa waktu, akhirnya Elyssa memberanikan diri menemui Sean di dapur. "M-maaf mengganggu, apa kamu bisa membetulkan keran air di kamar mandiku? Sepertinya macet," tanyanya.Sean mengangguk. "Tentu. Kamu punya perkakas?""Ada di gudang."Setelah mengambil alat, Sean melangkah ke kamar mandi Elyssa, diikuti oleh wanita itu di belakangnya.Elyssa mengagumi Sean yang terlihat telaten saat memperbaiki keran.Sementara Sean sendiri agak kesulitan. "Sebentar ya. Agak keras," katanya.Elyssa hanya mengangguk kecil.Tanpa diduga, Sean justru merusak keran itu, membuat air menyembur ke mana-mana.Elyssa terkejut saat air itu menyembur ke arahnya, membasahi kaos putihnya."Astaga, maaf," seru Sean panik. Ia buru-buru membuka bajunya dan m
Malam itu, Sean pulang dan melihat kamar Elyssa tertutup rapat. Tidak biasanya Elyssa menyembunyikan diri seperti ini.Sean lalu berjalan ke dapur dan membuka tudung saji. Tidak ada apa-apa di sana. Ia berpikir Elyssa pasti belum makan. Ia pun keluar sebentar untuk membeli makanan.Tok tok tok!Di dalam kamar, Elyssa mendengar ketukan pintu. Ia tahu itu Sean, tapi ia terlalu malu untuk keluar. Malu karena perasaannya selalu saja gugup saat mereka bertemu.Namun, lama-lama Elyssa merasa tidak enak karena membiarkan Sean menunggu di depan kamar.Elyssa akhirnya membuka pintu. Terlihat Sean berdiri di sana dan langsung tersenyum."Kamu udah makan?" tanya Sean.Elyssa baru tersadar kalau ini sudah malam. Ia kelupaan memasak. Padahal Albert sudah berpesan agar selalu menyiapkan keperluan Sean, termasuk makannya."M-maaf. Aku belum memasak," jawab Elyssa. Ia pun terburu-buru hendak ke dapur.Lagi-lagi, Sean menahan tangan Elyssa. "Kamu gak perlu memasak. Aku udah beli makanan di luar kok. A
Elyssa terbangun dan langsung ke dapur untuk membuat sarapan. Kebetulan Albert juga masih mandi.Kemarin Albert pulang pukul satu pagi, saat Elyssa sudah terlelap. Jadinya mereka tidak punya waktu untuk mengobrol karena pagi ini Albert akan berangkat kerja lagi.Pagi ini, Elyssa hendak membuat omelet. Ia mencari-cari teflonnya dan baru ingat ia menyimpannya di kabinet atas. Ia pun berjinjit, namun tubuhnya tak sampai. Akhirnya, ia mengambil kursi plastik untuk meraih teflon itu.“Kamu lagi nyari apa?”Suara Sean tiba-tiba mengejutkannya. Elyssa terhuyung, nyaris terjatuh kalau saja Sean tidak sigap menangkapnya. Tubuhnya kini berada dalam dekapan Sean. Mata mereka bertemu begitu dekat hingga napas Elyssa tercekat. Degup jantungnya berlari kencang, membuat wajahnya panas seketika.Baru saat Sean menoleh, Elyssa tersadar ada sesuatu yang salah. Tangan pria itu menyentuh bongkahan padat di dadanya. Ia terdiam, tubuhnya kaku, sebelum akhirnya berbisik dengan wajah merah padam, “T-tanganmu
Namun, respon Albert tidak sesuai ekspetasinya. Suaminya justru mengomentari penampilannya.“Kamu gak dingin apa pakai lingerie super tipis begitu? Ada-ada aja!” Albert bergeleng kecil lalu kembali berbaring dan menarik selimut.Elyssa menatap tak percaya. Ia mencoba memanggil suaminya lagi. “Mas….”“Jangan ajak aku ngomong, Elyssa! Aku capek! Mau tidur!” sahut Albert tanpa menoleh.Elyssa membeku di belakang Albert. Hatinya terasa diremas. Ia tak minta banyak. Hanya ingin dipeluk, dicintai, dan dianggap ada. Bukan sekadar dijadikan pajangan di rumah.Elyssa membatin. ‘Aku pengen disentuh kamu, Mas. Aku kangen.’ Matanya menatap sendu punggung suaminya.Hingga sepuluh menit kemudian, Elyssa masih berharap Albert berbalik dan menyentuhnya malam ini. Namun yang ia dapatkan justru suara Albert yang mendengkur keras. Pria itu telah tertidur pulas.Elyssa menggigit bibir bawahnya. Sudah setahun ia hidup tanpa kehangatan dari suaminya. Ia tidak mengerti mengapa Albert bisa menahan diri. Bahk
"Ada noda di pipimu," kata Sean, senyumnya terukir tipis.Elyssa terkejut, namun segera mengangguk. "Oh ini... kecipratan bumbu saat memasak."Sean melepaskan tangannya dari pipi Elyssa, namun matanya masih menatap lekat. "Memangnya di sini tidak ada ART? Kenapa harus kamu yang memasak?"Elyssa hanya tersenyum canggung. Jantungnya berdebar kencang dan ia merasa gugup."Oh ya, kalau kamu udah berpakaian, langsung ke meja makan ya? Mas Albert udah nungguin,” sahutnya menyudahi percakapan. Berduaan di dekat Sean, membuatnya salah tingkah.Sean mengangguk. "Oke. Makasih ya.”Saat makan malam berlangsung, Albert terus mengajak Sean berbicara, tidak sedikit pun ia menghiraukan Elyssa.Elyssa merasa asing di meja makan itu. Bahkan Albert belum memperkenalkannya sebagai istri di depan Sean.Barulah saat Sean bertanya, “Oh, ya. Kalian sudah lama menikah?”Saat itu Albert baru tersadar. “Astaga, aku lupa ngenalin istriku. Namanya Elyssa. Kami sudah menikah tiga tahun.”Kemudian, Albert memperke