Namun, respon Albert tidak sesuai ekspetasinya. Suaminya justru mengomentari penampilannya.
“Kamu gak dingin apa pakai lingerie super tipis begitu? Ada-ada aja!” Albert bergeleng kecil lalu kembali berbaring dan menarik selimut.
Elyssa menatap tak percaya. Ia mencoba memanggil suaminya lagi. “Mas….”
“Jangan ajak aku ngomong, Elyssa! Aku capek! Mau tidur!” sahut Albert tanpa menoleh.
Elyssa membeku di belakang Albert. Hatinya terasa diremas. Ia tak minta banyak. Hanya ingin dipeluk, dicintai, dan dianggap ada. Bukan sekadar dijadikan pajangan di rumah.
Elyssa membatin. ‘Aku pengen disentuh kamu, Mas. Aku kangen.’ Matanya menatap sendu punggung suaminya.
Hingga sepuluh menit kemudian, Elyssa masih berharap Albert berbalik dan menyentuhnya malam ini. Namun yang ia dapatkan justru suara Albert yang mendengkur keras. Pria itu telah tertidur pulas.
Elyssa menggigit bibir bawahnya. Sudah setahun ia hidup tanpa kehangatan dari suaminya. Ia tidak mengerti mengapa Albert bisa menahan diri. Bahkan pakaian seksi yang ia kenakan tidak berarti apa-apa.
Kode-kodenya saat meminta disentuh pun diabaikan oleh Albert. Entah karena pria itu memang tidak peka atau justru tidak mau.
Memikirkan hal ini, air mata Elyssa menetes begitu saja. Rumah tangga mereka terasa asing. Jarak semakin jauh, padahal masih tidur di ranjang yang sama.
Elyssa benar-benar merindukan suaminya. Tidak hanya sentuhan fisik, ia juga rindu sekadar tatapan hangat dan candaan ringan. Semua hal yang dulu selalu Albert berikan.
Mata Elyssa memanas. Air matanya tiba-tiba mengalir tanpa diminta. Ia terisak dalam diam. Karena begitu sakit, ia pun tertidur dengan perasaan dan tubuh yang lelah.
****
Pagi itu, Elyssa sudah menyiapkan sarapan. Namun, Albert langsung pergi begitu saja.
Elyssa mengejar suaminya yang sudah berada di teras. "Sarapan dulu, Mas," panggilnya.
“Gak sempat. Aku buru-buru,” sahut Albert datar.
“Kamu mau aku bawain bekal, Mas? Biar bisa makan di kantor,” tawar Elyssa.
Albert tidak menjawab, langsung masuk ke dalam mobil.
“Hati-hati ya, Mas,” seru Elyssa.
Wajah Albert masih sama datarnya. Tidak ada senyuman. Bahkan lambaian tangan Elyssa pun tidak dilihatnya.
Elyssa menarik napas kala mobil suaminya sudah melaju meninggalkan pekarangan rumah.
Ketika Elyssa kembali ke meja makan, Sean sudah ada di sana, tampak rapi. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai Kepala Manajer.
“Loh, Albert ke mana? Gak ikut sarapan?” Sean tidak tau kalau temannya itu sudah berangkat.
Elyssa tersenyum getir. “Mas Albert ada urusan mendesak. Makanya gak sempat sarapan.”
Sean mengangguk pelan, lalu mengambil piring dan menyendok nasi. Namun, perhatiannya teralih pada ekspresi Elyssa yang murung, seolah menyimpan kesedihan yang mendalam.
Ekspresi itu membuat Sean khawatir. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut.
Pertanyaan itu membuat hati Elyssa rapuh. Ia ingin menangis sejadi-jadinya, tetapi ia berusaha menahannya. Ia tidak mungkin menangis di depan Sean.
"Aku... ke kamar sebentar," ucapnya, lalu bergegas pergi sebelum air matanya lolos.
Di kamar, tanpa menutup pintu dengan rapat, Elyssa langsung menangis. Kejadian semalam dan sikap dingin Albert pagi ini terlalu menyakitkan baginya.
Sean yang penasaran, mengikuti Elyssa. Ia mengintip di balik pintu yang tidak tertutup rapat, dan hatinya terenyuh saat melihat Elyssa menangis tersedu-sedu.
Setelah sarapan, Sean berpamitan.
Elyssa mengantar sampai ke teras, sekalian ingin mengunci pintu.
Sebelum pergi, Sean kembali menoleh. Ia mengeluarkan sebungkus coklat dari sakunya. “Semoga bisa menghibur hatimu. Coklat itu bagus memperbaiki mood,” jelasnya.
Elyssa membeku. Bahkan Albert, suaminya sendiri, tak pernah peduli jika perasaannya sedang hancur. Namun Sean justru memberinya perhatian. Elyssa ragu-ragu.
"Gapapa, ambil aja," kata Sean, seolah bisa membaca keraguan di wajahnya.
Ketika Elyssa mengambil cokelat itu, jari-jari mereka bersentuhan.
Darah Elyssa berdesir, jantungnya berdetak kencang. Setelah Sean berangkat, ia buru-buru menutup pintu, lalu menyandarkan punggungnya di sana. Ia memegangi dadanya, seolah mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak terkendali.
“Kenapa ini? Dia hanya teman suamiku, tapi kenapa aku segugup ini?”
****
Malam itu, Albert belum juga pulang, padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh.
Tadi, Elyssa hanya makan berduaan dengan Sean. Dan saat ini, ia sedang merenung di ruang tengah. Tatapannya lurus ke televisi, namun pikirannya jauh melayang, memikirkan pernikahannya yang semakin hambar.
Sean melihat Elyssa sendirian dan langsung menghampirinya. "Loh, Albert belum pulang?"
Mendengar suara Sean, lamunan Elyssa buyar. Ia menoleh dan memasang senyum tipis. "Belum."
Sean mengambil posisi di sebelah Elyssa. Di tangannya ada segelas cokelat hangat. "Dia memang sering lembur sampai selarut ini?" tanyanya penasaran.
Elyssa hanya mengangguk kecil.
"Kasihan sekali kamu selalu sendirian," ujar Sean.
Elyssa tersenyum getir. Pandangannya kini menunduk.
Sean menyodorkan cokelat hangat miliknya. "Enak diminum malam-malam begini."
Elyssa terlihat ragu mengambilnya.
"Tenang aja. Aku belum meminumnya kok. Masih baru,” kata Sean.
"Tapi ini kan punya kamu. Aku gak enak."
Sean tersenyum. "Aku bisa buat lagi."
Elyssa pun mengambil gelas itu dan meneguknya sedikit.
"Kalau aku jadi Albert, aku gak akan tega biarin istri cantikku kesepian.”
"Uhuk!" Elyssa seketika tersedak mendengar kalimat Sean. ‘Cantik? Apa dia baru saja memujiku?’ batinnya.
Sean sontak menoleh, menatap Elyssa cemas. "Kamu gapapa? Mau kuambilin air?"
Elyssa menggeleng. "Gak usah, Mas… eh, Sean," jawabnya cepat. Ia gugup sampai salah sebut.
Sean justru tersenyum, menatap Elyssa penuh minat. "Panggil 'Mas' aja kalau emang nyaman."
Elyssa, yang sejak tadi gelisah, malah memegang cangkir panas itu terlalu erat. Uapnya naik dan menyentuh kulit jarinya.
Sean mengernyit. "Hei, kamu gak ngerasa itu panas? Kok digenggam gitu?"
Elyssa baru menyadarinya. Begitu rasa panas menyengat kulitnya, ia refleks menjauhkan cangkir dan menjerit kecil. “Aw, panas!”
Tanpa pikir panjang, Sean sigap mengambil cangkir dari tangannya dan meletakkannya di meja. Tatapannya segera beralih pada telapak tangan Elyssa yang memerah. Ia meraih tangan itu lalu meniupnya pelan.
Tubuh Elyssa membeku, membiarkan tangannya dalam genggaman Sean.
"Kalau masih panas, langsung kompres pakai air dingin aja.”
Elyssa langsung menarik tangannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Bersentuhan fisik dengan Sean membuatnya hampir gila.
Elyssa pun langsung pamit, beralasan sudah mengantuk dan ingin tidur, padahal ia hanya tidak ingin berlama-lama dekat dengan Sean.
Di dalam kamar, pandangan Elyssa lurus menatap langit-langit. Sudah tiga puluh menit ia mencoba memejamkan mata, tapi bayangan Sean terus menghantuinya.
"Kenapa denganku? Kenapa aku selalu gugup saat bersamanya?"
Mendengar pertanyaan itu, Elyssa segera menjauhkan dirinya dari Sean. Ia tidak ingin terjebak lebih jauh dengan Sean.Sudah cukup ia menikmati perhatian-perhatian kecil dan juga sentuhan-sentuhan ringan dari Sean, ia tidak ingin jatuh lebih dalam. Ia masih memikirkan kesetiaannya dengan Albert, walaupun suaminya sendiri tidak pernah peduli padanya.Melihat respon Elyssa, Sean menyadari kesalahannya. “Maaf. Aku sudah kelewat batas.”Elyssa hanya menunduk seraya meremas jari-jarinya.“Sebaiknya kamu tidur, Elyssa. Udah malam. Begadang gak bagus buat kesehatan.”Elyssa mengangguk pelan. Setuju dengan Sean. “A-aku ke kamar duluan.” Ia bergegas melangkah dengan cepat meninggalkan Sean dengan deb
Keesokan paginya, Sean sudah bangun lebih dulu. Ia melangkah ke dapur, berniat menyiapkan sarapan untuk Elyssa.Sementara itu, di dalam kamar, Elyssa berdiam diri. Ia terlalu malu untuk keluar karena belum mandi. Keran shower di kamar mandinya rusak.Setelah beberapa waktu, akhirnya Elyssa memberanikan diri menemui Sean di dapur. "M-maaf mengganggu, apa kamu bisa membetulkan keran air di kamar mandiku? Sepertinya macet," tanyanya.Sean mengangguk. "Tentu. Kamu punya perkakas?""Ada di gudang."Setelah mengambil alat, Sean melangkah ke kamar mandi Elyssa, diikuti oleh wanita itu di belakangnya.Elyssa mengagumi Sean yang terlihat telaten saat memperbaiki keran.Sementara Sean sendiri agak kesulitan. "Sebentar ya. Agak keras," katanya.Elyssa hanya mengangguk kecil.Tanpa diduga, Sean justru merusak keran itu, membuat air menyembur ke mana-mana.Elyssa terkejut saat air itu menyembur ke arahnya, membasahi kaos putihnya."Astaga, maaf," seru Sean panik. Ia buru-buru membuka bajunya dan m
Malam itu, Sean pulang dan melihat kamar Elyssa tertutup rapat. Tidak biasanya Elyssa menyembunyikan diri seperti ini.Sean lalu berjalan ke dapur dan membuka tudung saji. Tidak ada apa-apa di sana. Ia berpikir Elyssa pasti belum makan. Ia pun keluar sebentar untuk membeli makanan.Tok tok tok!Di dalam kamar, Elyssa mendengar ketukan pintu. Ia tahu itu Sean, tapi ia terlalu malu untuk keluar. Malu karena perasaannya selalu saja gugup saat mereka bertemu.Namun, lama-lama Elyssa merasa tidak enak karena membiarkan Sean menunggu di depan kamar.Elyssa akhirnya membuka pintu. Terlihat Sean berdiri di sana dan langsung tersenyum."Kamu udah makan?" tanya Sean.Elyssa baru tersadar kalau ini sudah malam. Ia kelupaan memasak. Padahal Albert sudah berpesan agar selalu menyiapkan keperluan Sean, termasuk makannya."M-maaf. Aku belum memasak," jawab Elyssa. Ia pun terburu-buru hendak ke dapur.Lagi-lagi, Sean menahan tangan Elyssa. "Kamu gak perlu memasak. Aku udah beli makanan di luar kok. A
Elyssa terbangun dan langsung ke dapur untuk membuat sarapan. Kebetulan Albert juga masih mandi.Kemarin Albert pulang pukul satu pagi, saat Elyssa sudah terlelap. Jadinya mereka tidak punya waktu untuk mengobrol karena pagi ini Albert akan berangkat kerja lagi.Pagi ini, Elyssa hendak membuat omelet. Ia mencari-cari teflonnya dan baru ingat ia menyimpannya di kabinet atas. Ia pun berjinjit, namun tubuhnya tak sampai. Akhirnya, ia mengambil kursi plastik untuk meraih teflon itu.“Kamu lagi nyari apa?”Suara Sean tiba-tiba mengejutkannya. Elyssa terhuyung, nyaris terjatuh kalau saja Sean tidak sigap menangkapnya. Tubuhnya kini berada dalam dekapan Sean. Mata mereka bertemu begitu dekat hingga napas Elyssa tercekat. Degup jantungnya berlari kencang, membuat wajahnya panas seketika.Baru saat Sean menoleh, Elyssa tersadar ada sesuatu yang salah. Tangan pria itu menyentuh bongkahan padat di dadanya. Ia terdiam, tubuhnya kaku, sebelum akhirnya berbisik dengan wajah merah padam, “T-tanganmu
Namun, respon Albert tidak sesuai ekspetasinya. Suaminya justru mengomentari penampilannya.“Kamu gak dingin apa pakai lingerie super tipis begitu? Ada-ada aja!” Albert bergeleng kecil lalu kembali berbaring dan menarik selimut.Elyssa menatap tak percaya. Ia mencoba memanggil suaminya lagi. “Mas….”“Jangan ajak aku ngomong, Elyssa! Aku capek! Mau tidur!” sahut Albert tanpa menoleh.Elyssa membeku di belakang Albert. Hatinya terasa diremas. Ia tak minta banyak. Hanya ingin dipeluk, dicintai, dan dianggap ada. Bukan sekadar dijadikan pajangan di rumah.Elyssa membatin. ‘Aku pengen disentuh kamu, Mas. Aku kangen.’ Matanya menatap sendu punggung suaminya.Hingga sepuluh menit kemudian, Elyssa masih berharap Albert berbalik dan menyentuhnya malam ini. Namun yang ia dapatkan justru suara Albert yang mendengkur keras. Pria itu telah tertidur pulas.Elyssa menggigit bibir bawahnya. Sudah setahun ia hidup tanpa kehangatan dari suaminya. Ia tidak mengerti mengapa Albert bisa menahan diri. Bahk
"Ada noda di pipimu," kata Sean, senyumnya terukir tipis.Elyssa terkejut, namun segera mengangguk. "Oh ini... kecipratan bumbu saat memasak."Sean melepaskan tangannya dari pipi Elyssa, namun matanya masih menatap lekat. "Memangnya di sini tidak ada ART? Kenapa harus kamu yang memasak?"Elyssa hanya tersenyum canggung. Jantungnya berdebar kencang dan ia merasa gugup."Oh ya, kalau kamu udah berpakaian, langsung ke meja makan ya? Mas Albert udah nungguin,” sahutnya menyudahi percakapan. Berduaan di dekat Sean, membuatnya salah tingkah.Sean mengangguk. "Oke. Makasih ya.”Saat makan malam berlangsung, Albert terus mengajak Sean berbicara, tidak sedikit pun ia menghiraukan Elyssa.Elyssa merasa asing di meja makan itu. Bahkan Albert belum memperkenalkannya sebagai istri di depan Sean.Barulah saat Sean bertanya, “Oh, ya. Kalian sudah lama menikah?”Saat itu Albert baru tersadar. “Astaga, aku lupa ngenalin istriku. Namanya Elyssa. Kami sudah menikah tiga tahun.”Kemudian, Albert memperke