Malam itu, Sean pulang dan melihat kamar Elyssa tertutup rapat. Tidak biasanya Elyssa menyembunyikan diri seperti ini.
Sean lalu berjalan ke dapur dan membuka tudung saji. Tidak ada apa-apa di sana. Ia berpikir Elyssa pasti belum makan. Ia pun keluar sebentar untuk membeli makanan.
Tok tok tok!
Di dalam kamar, Elyssa mendengar ketukan pintu. Ia tahu itu Sean, tapi ia terlalu malu untuk keluar. Malu karena perasaannya selalu saja gugup saat mereka bertemu.
Namun, lama-lama Elyssa merasa tidak enak karena membiarkan Sean menunggu di depan kamar.
Elyssa akhirnya membuka pintu. Terlihat Sean berdiri di sana dan langsung tersenyum.
"Kamu udah makan?" tanya Sean.
Elyssa baru tersadar kalau ini sudah malam. Ia kelupaan memasak. Padahal Albert sudah berpesan agar selalu menyiapkan keperluan Sean, termasuk makannya.
"M-maaf. Aku belum memasak," jawab Elyssa. Ia pun terburu-buru hendak ke dapur.
Lagi-lagi, Sean menahan tangan Elyssa. "Kamu gak perlu memasak. Aku udah beli makanan di luar kok. Ayo makan bareng,” ajaknya.
Sebagai tuan rumah, Elyssa merasa tidak enak. "Harusnya aku yang menyiapkan makanan untukmu."
Sean tersenyum. "Kamu bukan pembantu yang harus menyiapkan makanan untukku setiap saat."
Elyssa menundukkan kepala. "Maaf ngerepotin.”
"Kamu itu istri sahabatku, jadi sudah seharusnya aku memperhatikanmu. Tenang aja, kamu gak perlu memaksakan diri untuk masak tiap hari. Aku bisa memesan makanan dari luar untuk kita.”
Sean kembali mengajak Elyssa ke meja makan.
Selama makan, Elyssa terus menundukkan kepalanya, padahal Sean sedang berbicara dengannya. Ia terlalu malu untuk menatap Sean. Rasanya canggung terus-menerus berduaan dengan Sean, tanpa adanya Albert di sisi mereka.
“Kenapa kamu selalu nundukin kepalamu, Elyssa?” tanya Sean, merasa aneh.
Elyssa langsung mendongak, menyadari bahwa tidak seharusnya ia menundukkan kepala saat ada yang berbicara dengannya. “Maaf.”
“Kamu gak perlu minta maaf, Elyssa. Aku hanya penasaran, takutnya ada yang salah dengan wajahku sampai-sampai kamu gak mau natap aku.”
Elyssa mengulas senyum canggungnya. Ia tidak tahu harus berkata apa sehingga hanya kata ‘maaf’ yang kembali terdengar.
Sean menatap Elyssa intens, penuh makna. “Kamu gak boleh terus-terusan minta maaf, apalagi jika kamu gak bersalah, Elyssa. Itu akan membuat orang lain semena-mena, karena mereka pikir kamu lemah dan bisa disalahkan kapan saja.”
Ucapan Sean menancap kuat di benak Elyssa. Ia teringat Albert, yang selalu membuatnya merasa bersalah dan harus meminta maaf. Sikapnya yang selalu mengalah membuat Albert semakin mudah mengendalikan dan menyalahkan dirinya ketika ada hal yang tidak sesuai dengan kehendaknya.
Mata Elyssa seketika berkaca mengingat hal itu.
Sean melanjutkan, “Aku gak tau apa masalahmu sampai kamu sering murung gini. Tapi, kalau kamu mau cerita, aku siap mendengarkannya.”
Perhatian kecil dari Sean berhasil membuat senyum samar terlihat di wajah Elyssa. Namun, Elyssa masih mengunci rapat mulutnya. Baginya, permasalahan rumah tangganya biarlah menjadi bebannya sendiri. Orang lain tidak perlu tahu.
“Aku gapapa kok. Gak ada masalah,” sahut Elyssa akhirnya.
Sean hanya mengangguk pelan, walaupun masih ada rasa khawatir di benaknya.
Mereka pun kembali melanjutkan makan dengan nikmat.
****
Empat hari berlalu. Elyssa dan Sean menghabiskan waktu bersama di rumah itu. Karena hari libur, Sean bahkan menemani Elyssa berbelanja di pasar, membantunya memasak, dan makan bersama.
Awalnya, Elyssa merasa canggung, namun ia tak bisa membohongi diri sendiri bahwa ia menikmati perhatian Sean yang membuat harinya lebih berwarna. Sifat Sean yang humoris dan penuh perhatian membuat Elyssa merasa nyaman.
Sedikit demi sedikit, Elyssa mulai terbuka, berani berbagi cerita, dan seringkali tersenyum saat berinteraksi dengan Sean.
Dan saat ini, mereka sedang menikmati tayangan televisi di ruang tamu. Elyssa memegang sekotak popcorn, menikmati camilan itu bersama Sean.
Sean yang terlalu fokus pada film, meraih popcorn tanpa melihat, dan tangannya tidak sengaja menyentuh paha Elyssa.
Elyssa sontak membeku. Hatinya kembali berdebar tak karuan.
Sean langsung menoleh dan sadar. "Maaf. Aku gak bermaksud—"
"Gapapa,” jawab Elyssa cepat. Ia yakin Sean benar-benar tidak sengaja, bukan modus.
Sean pun kembali santai dan fokus pada tontonannya.
Sementara itu, Elyssa justru salah tingkah. Jantungnya tidak mau berdetak normal. Matanya sesekali melirik pada Sean, melihat wajah pria itu dari samping yang terlihat tampan.
‘Tampan. Dia tampan sekali!’ batinnya.
Saat tersadar, Elyssa sontak menggeleng. ‘Apa-apaan ini? Kenapa aku kagum pada teman suamiku?
Untuk mengusir perasaan itu, Elyssa segera duduk menjauh dari Sean dan sengaja sibuk dengan ponselnya. Ia mengecek kotak masuk, tidak ada satu pun pesannya yang dibalas oleh Albert.
‘Apa dia sesibuk itu sampai lupa mengabariku?’ batin Elyssa sendu.
Beberapa detik kemudian, sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Elyssa. Ia segera membukanya, mengira itu dari Albert. Namun, yang ia dapatkan justru membuatnya tercengang dan sedih.
Sebuah foto yang memperlihatkan Albert sedang bergandengan tangan dengan seorang wanita.
[Ini suamimu, kan, Elyssa? Aku melihat mereka di bandara tempo hari. Karena aku tidak yakin, makanya aku mengirimkan foto ini padamu. Oh ya, pagi ini, aku kembali bertemu mereka di mall]
Pesan yang baru saja Elyssa baca dari salah satu teman kuliahnya yang saat ini tinggal di Bali. Membaca pesan itu, membuat hati Elyssa mendadak sesak. Matanya mulai berkaca-kaca.
Sean menoleh, memperhatikan raut wajah Elyssa yang sendu. Ia tanpa ragu mengusap bahu terbuka Elyssa. "Apa ada masalah?" tanyanya lembut.
Sentuhan Sean menyadarkannya. Elyssa buru-buru pamit. "Aku udah ngantuk. Aku tidur duluan ya."
Elyssa bergegas masuk ke kamar, meninggalkan Sean yang menatapnya penuh tanda tanya.
Di dalam kamar, Elyssa memegangi dadanya. Ia tidak tahu bagian mana yang berdebar. Ia juga bingung dengan perasaannya. Apakah ini rasa sedih karena Albert, atau justru debaran aneh karena sentuhan Sean?
Mendengar pertanyaan itu, Elyssa segera menjauhkan dirinya dari Sean. Ia tidak ingin terjebak lebih jauh dengan Sean.Sudah cukup ia menikmati perhatian-perhatian kecil dan juga sentuhan-sentuhan ringan dari Sean, ia tidak ingin jatuh lebih dalam. Ia masih memikirkan kesetiaannya dengan Albert, walaupun suaminya sendiri tidak pernah peduli padanya.Melihat respon Elyssa, Sean menyadari kesalahannya. “Maaf. Aku sudah kelewat batas.”Elyssa hanya menunduk seraya meremas jari-jarinya.“Sebaiknya kamu tidur, Elyssa. Udah malam. Begadang gak bagus buat kesehatan.”Elyssa mengangguk pelan. Setuju dengan Sean. “A-aku ke kamar duluan.” Ia bergegas melangkah dengan cepat meninggalkan Sean dengan deb
Keesokan paginya, Sean sudah bangun lebih dulu. Ia melangkah ke dapur, berniat menyiapkan sarapan untuk Elyssa.Sementara itu, di dalam kamar, Elyssa berdiam diri. Ia terlalu malu untuk keluar karena belum mandi. Keran shower di kamar mandinya rusak.Setelah beberapa waktu, akhirnya Elyssa memberanikan diri menemui Sean di dapur. "M-maaf mengganggu, apa kamu bisa membetulkan keran air di kamar mandiku? Sepertinya macet," tanyanya.Sean mengangguk. "Tentu. Kamu punya perkakas?""Ada di gudang."Setelah mengambil alat, Sean melangkah ke kamar mandi Elyssa, diikuti oleh wanita itu di belakangnya.Elyssa mengagumi Sean yang terlihat telaten saat memperbaiki keran.Sementara Sean sendiri agak kesulitan. "Sebentar ya. Agak keras," katanya.Elyssa hanya mengangguk kecil.Tanpa diduga, Sean justru merusak keran itu, membuat air menyembur ke mana-mana.Elyssa terkejut saat air itu menyembur ke arahnya, membasahi kaos putihnya."Astaga, maaf," seru Sean panik. Ia buru-buru membuka bajunya dan m
Malam itu, Sean pulang dan melihat kamar Elyssa tertutup rapat. Tidak biasanya Elyssa menyembunyikan diri seperti ini.Sean lalu berjalan ke dapur dan membuka tudung saji. Tidak ada apa-apa di sana. Ia berpikir Elyssa pasti belum makan. Ia pun keluar sebentar untuk membeli makanan.Tok tok tok!Di dalam kamar, Elyssa mendengar ketukan pintu. Ia tahu itu Sean, tapi ia terlalu malu untuk keluar. Malu karena perasaannya selalu saja gugup saat mereka bertemu.Namun, lama-lama Elyssa merasa tidak enak karena membiarkan Sean menunggu di depan kamar.Elyssa akhirnya membuka pintu. Terlihat Sean berdiri di sana dan langsung tersenyum."Kamu udah makan?" tanya Sean.Elyssa baru tersadar kalau ini sudah malam. Ia kelupaan memasak. Padahal Albert sudah berpesan agar selalu menyiapkan keperluan Sean, termasuk makannya."M-maaf. Aku belum memasak," jawab Elyssa. Ia pun terburu-buru hendak ke dapur.Lagi-lagi, Sean menahan tangan Elyssa. "Kamu gak perlu memasak. Aku udah beli makanan di luar kok. A
Elyssa terbangun dan langsung ke dapur untuk membuat sarapan. Kebetulan Albert juga masih mandi.Kemarin Albert pulang pukul satu pagi, saat Elyssa sudah terlelap. Jadinya mereka tidak punya waktu untuk mengobrol karena pagi ini Albert akan berangkat kerja lagi.Pagi ini, Elyssa hendak membuat omelet. Ia mencari-cari teflonnya dan baru ingat ia menyimpannya di kabinet atas. Ia pun berjinjit, namun tubuhnya tak sampai. Akhirnya, ia mengambil kursi plastik untuk meraih teflon itu.“Kamu lagi nyari apa?”Suara Sean tiba-tiba mengejutkannya. Elyssa terhuyung, nyaris terjatuh kalau saja Sean tidak sigap menangkapnya. Tubuhnya kini berada dalam dekapan Sean. Mata mereka bertemu begitu dekat hingga napas Elyssa tercekat. Degup jantungnya berlari kencang, membuat wajahnya panas seketika.Baru saat Sean menoleh, Elyssa tersadar ada sesuatu yang salah. Tangan pria itu menyentuh bongkahan padat di dadanya. Ia terdiam, tubuhnya kaku, sebelum akhirnya berbisik dengan wajah merah padam, “T-tanganmu
Namun, respon Albert tidak sesuai ekspetasinya. Suaminya justru mengomentari penampilannya.“Kamu gak dingin apa pakai lingerie super tipis begitu? Ada-ada aja!” Albert bergeleng kecil lalu kembali berbaring dan menarik selimut.Elyssa menatap tak percaya. Ia mencoba memanggil suaminya lagi. “Mas….”“Jangan ajak aku ngomong, Elyssa! Aku capek! Mau tidur!” sahut Albert tanpa menoleh.Elyssa membeku di belakang Albert. Hatinya terasa diremas. Ia tak minta banyak. Hanya ingin dipeluk, dicintai, dan dianggap ada. Bukan sekadar dijadikan pajangan di rumah.Elyssa membatin. ‘Aku pengen disentuh kamu, Mas. Aku kangen.’ Matanya menatap sendu punggung suaminya.Hingga sepuluh menit kemudian, Elyssa masih berharap Albert berbalik dan menyentuhnya malam ini. Namun yang ia dapatkan justru suara Albert yang mendengkur keras. Pria itu telah tertidur pulas.Elyssa menggigit bibir bawahnya. Sudah setahun ia hidup tanpa kehangatan dari suaminya. Ia tidak mengerti mengapa Albert bisa menahan diri. Bahk
"Ada noda di pipimu," kata Sean, senyumnya terukir tipis.Elyssa terkejut, namun segera mengangguk. "Oh ini... kecipratan bumbu saat memasak."Sean melepaskan tangannya dari pipi Elyssa, namun matanya masih menatap lekat. "Memangnya di sini tidak ada ART? Kenapa harus kamu yang memasak?"Elyssa hanya tersenyum canggung. Jantungnya berdebar kencang dan ia merasa gugup."Oh ya, kalau kamu udah berpakaian, langsung ke meja makan ya? Mas Albert udah nungguin,” sahutnya menyudahi percakapan. Berduaan di dekat Sean, membuatnya salah tingkah.Sean mengangguk. "Oke. Makasih ya.”Saat makan malam berlangsung, Albert terus mengajak Sean berbicara, tidak sedikit pun ia menghiraukan Elyssa.Elyssa merasa asing di meja makan itu. Bahkan Albert belum memperkenalkannya sebagai istri di depan Sean.Barulah saat Sean bertanya, “Oh, ya. Kalian sudah lama menikah?”Saat itu Albert baru tersadar. “Astaga, aku lupa ngenalin istriku. Namanya Elyssa. Kami sudah menikah tiga tahun.”Kemudian, Albert memperke