Share

Gairah Panas Suami Kontrak
Gairah Panas Suami Kontrak
Author: Rich Ghali

1. Usulan Dua Sahabat

Author: Rich Ghali
last update Last Updated: 2023-06-23 12:53:12

“Loh, kok suami kamu beda? Bukannya pas kita reuni tahun lalu kamu bawa suami yang wajahnya kayak orang Arab itu?” Aku bertanya dengan heran. Sebab, wajah lelaki yang ia sebut sebagai suami itu jauh berbeda dengan lelaki sebelumnya. Tidak ada kemiripan sama sekali. 

“Oh, yang itu suami kedua aku. Yang ini suami keempat.” Suya menjawab dengan santai. Seolah tidak ada beban sama sekali. Lelaki yang duduk di sebelah kanannya itu juga terlihat tidak masalah saat Suya berucap demikian. 

“Loh, kok bisa?” Aku benar-benar terkejut mendengar jawabannya. Hanya berjarak satu tahun, ia telah kawin cerai dua kali. 

“Kalau ada uang, apa sih yang enggak bisa?” Lidia ikut menimpali. 

“Kamu kalau mau, bisa aku kenalin ke temen-temen. Barangkali ada yang mau. Syukur-syukur kalau kontraknya dibayar mahal.” Suya menawarkan. 

Aku semakin bingung. Tidak paham sama sekali. Kusipitkan mata seraya mengerutkan kening saat menatap wanita itu. 

“Kawin kontrak, entar ada perjanjian sebelum akad. Perkawinan kalian bakalan bertahan berapa lama, terus selama perkawinan kalian itu kamu bakalan dibayar berapa.” Suya menjelaskan. 

“Lebih aman dibanding jadi simpanan kayak si Tisa.” Lidia lagi-lagi menimbrung. 

Sekarang aku paham meskipun tidak sepenuhnya. Setidaknya mengerti mengapa ia bisa kawin cerai sesering itu. Pantas saja hingga kini ia belum ingin punya anak sama sekali. 

“Sayang, aku keluar sebentar. Nanti kalau sudah mau pulang, hubungi saja.” Lelaki berjas hitam itu bangkit berdiri dari kursinya. Ia memberikan sebuah kecupan di bibir Suya, kemudian beranjak pergi setelahnya. 

“Apa gak takut kena penyakit menular? Kamu kan gak tau sebelumnya dia udah tidur sama siapa aja.” Aku begitu penasaran. 

“Sebelum tekan kontrak ya cek kesehatan dulu buat mastiin. Dia orang berduit, gak bakalan mau asal tidur sama orang sembarangan.” Suya menjelaskan seraya menyesap Americano dingin di hadapannya. 

Aku manggut-manggut tanda mengerti. 

“Kamu mau gak?” Suya lagi lag-lagi menawarkan. 

“Ya kali aku mau. Aku udah punya suami sah di mata negara dan agama. Apa kalian lupa tujuan kita buat ketemuan hari ini, aku kan mau minjam uang buat biaya berobat Mas Irsan.” Aku langsung menjawab dengan tegas. 

Suya menarik napas dengan berat. Ia lagi-lagi menyesap kopi pahit itu sebelum kembali berucap. “Aku mau nawarin kamu uang tanpa perlu dibalikin. Uang yang didapat dari kawin kontrak itu besar. Iya sih kebanyakan gak terlalu tampan kayak suami kamu. Tapi yang penting kan uangnya. Kita cuma perlu ngasih pelayanan, tiap hari bakalan dikasih uang jajan di luar uang kontrak. Dari keempat suami kontrak aku, ya baru yang tadi agak lumayan. Yang pertama malah udah aki-aki.” Suya berucap dengan serius. 

“Aku tahu dunia kayak gini juga dari Suya. Berkat dia aku bisa ngelunasin utang keluarga. Terus nabung buat beli tanah, nyicil rumah. Kerjaan gampang, kayak istri biasa. Malah kita gak perlu beberes rumah, gak perlu repot juga mikirin bakalan punya anak.” Lidia ikut mendukung argumen Suya. 

Aku terdiam sejenak. Berpikir tentang Mas Irsan yang beberapa bulan ini tidak bisa beraktivitas seperti biasa karena kecelakaan yang ia alami. Ada yang salah di bagian syaraf. Membuat bagian dari pinggang ke bawah tidak bisa bergerak sama sekali. Ia harus selalu diterapi agar bisa pulih seperti sedia kala. Namun, aku terkendala di biaya. 

Bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan, membuatku tidak bisa mencukupi semua kebutuhan. Apalagi biaya terapi yang cukup mahal. 

“Aku gak bisa ninggalin Mas Irsan dalam kondisi kayak gitu.” Aku berucap dengan lemah, meskipun penawaran itu cukup menggiurkan. Aku ingin uangnya, agar bisa membawa suamiku berobat ke tempat yang lebih bagus. Aku ingin ia lekas pulih dan bisa beraktifitas seperti biasanya. 

“Kamu gak perlu pisah sama suamimu. Cukup kamu nyari pengasuh buat ngurus dia. Kamu cuma perlu sedikit berbohong. Atur saja kebohongan dengan ngaku kamu ada urusan kerja ke luar kota untuk beberapa bulan.” 

“Tapi, surat cerainya? Bukankah nikah lagi butuh surat cerai?” Aku bertanya seraya mengerutkan kening. 

Lidia dan Suya tertawa secara bersamaan. Seolah ucapanku barusan begitu menggelitik bagi mereka. 

“Kamu mau ngapain pakai surat cerai? Aku yang udah kawin empat kali aja gak pernah megang buku nikah.” Suya berucap seraya terbahak. 

“Lalu?” Aku semakin bingung dibuatnya. 

“Nina, Nina, kamu ini polos sekali.” Lidia ikut menertawakan. 

“Yang penting ada akad saja sudah cukup.” 

“Tapi akad butuh surat-surat.” 

“Enggak, gak butuh sama sekali. Akadnya di bawah tangan. Gak perlu ke KUA.” Suya menegaskan. 

Aku kembali diam. Mencoba untuk mengambil keputusan. Jika memang ini yang terbaik, mungkin aku bisa mencoba. Kapan lagi bisa mendapatkan uang banyak tanpa harus susah payah bekerja. 

 “Apa aku boleh sambil bekerja?” Aku kembali bertanya. Akan lebih menguntungkan jika sambil bekerja, sebab pemasukan akan semakin bertambah. 

“Itu tergantung nasib sih. Kalau dapat suami yang baik, ya kita bakalan diperlakukan dengan baik. Kita minta apa aja bakalan diturutin. Tapi kalau nasib kita buruk, ya kayak suami ketigaku dulu. Perhitungan dan sedikit kasar. Dia gak ngasih uang sama sekali, selain kesepakatan setelah habis masa kontrak. Jadi, ya berdoa saja biar bisa dapat suami sesuai yang kamu mau.” Suya menjelaskan panjang lebar. 

Aku manggut-manggut tanda mengerti. Namun, masih ada yang tidak aku pahami. Jika mereka ingin menikah, dan punya materi untuk menafkahi, mengapa harus kawin kontrak? Mengapa tidak kawin seperti pasangan pengantin pada umumnya? 

“Biasanya para pekerja luar yang sedang ada tugas untuk waktu yang lama di sini, banyak yang nyari istri buat kawin kontrak selama mereka di sini. Biar gak jajan sembarangan. Biasanya juga mereka udah punya istri, jadi mainnya harus rapi biar kamu gak ketahuan sama istri sahnya.” Lidia menambahkan. Menjawab semua pertanyaan yang sedari tadi mengukung pikiran. 

“Yang tadi bukannya lokal?” Aku menatap Suya. 

“Iya. Jarang dapat yang lokal dan lumayan tampan kayak yang tadi. Kalau bisa, aku malah mau perpanjang masa kontrak.” Suya mengiyakan. 

Aku semakin penasaran untuk mencoba. Bukan untuk mencari kesenangan, tapi demi mencari uang banyak dalam waktu singkat. Jika Mas Irsan telah pulih seperti sebelumnya, aku akan kembali setia padanya. Yang terpenting sekarang ia harus dibawa terapi ke tempat yang lebih bagus lagi. 

“Aku mau.” Akhirnya aku setuju untuk mengikuti saran mereka. 

“Bagus.” Suya memuji. 

“Lusa aku bakalan balik ke Bali, nanti aku usahain nyari calon suami kontrak buat kamu sebelum aku benar-benar balik. Soalnya tugas suamiku di sini bakalan selesai lusa nanti. Nah itu salah satu untungnya, bisa keliling Indonesia.” Lidia  tampak semangat dalam berucap. 

“Gak jarang diajak ke luar negeri kalau mereka ada tugas untuk beberapa hari ke sana.” Suya menambahkan. “Entar aku hubungin kenalan yang mau nyari istri tapi masih punya suami. Kadang ada lelaki yang gak masalahin itu.” Suya ikut memberikan janji. 

Aku menarik napas dalam, berharap Mas Irsan akan paham jika ia tahu masalah ini nanti. Sebab, aku melakukan ini semua demi kesembuhan dirinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
mohdhafiz.stephen72
Dimana cerita lanjutnya
goodnovel comment avatar
Yo Fatma
bagus seru sekali ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Panas Suami Kontrak   53. Tamat

    “Kau melahirkan di sini?” Celoz menatap karpet yang tampak kotor. Aku mengangguk dengan lembut, mendongak agar bisa menatapnya. Ia hanya menghela napas kasar. Lalu terdiam. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak sanggup berjalan. Persalinan juga tidak bisa kutunda lebih lama, sebab Dokter Weni melarang aku menahannya. Lelaki berjas hitam itu berlutut, mengambil alih bayi mungil yang ada dalam gendonganku. Sorot matanya tampak tulus dalam menatap. Ia tidak berkedip untuk beberapa saat. Hanya hitungan menit ia menggendong, bayi itu kembali menangis.Ia kembali menyerahkan padaku setelah ia kecup kening bayi itu. “Dia pasti haus.” Aku berucap.“Beri ASI kalau begitu.”“ASI-ku belum lancar. Bisa kau buatkan susu untuknya?” Aku menatap, menunggu jawaban. Ia hanya diam dengan helaan napas kasar, tatapannya masih fokus menatap bayi mungil yang belum diberi nama itu.“Di mana Dokter Weni?” Ia mengalihkan pandang dengan menatap sekitar.“Belum kembali dari mengurus ari-ari.” Lagi, ia menari

  • Gairah Panas Suami Kontrak   52. Menyembunyikan Kelahiran Bayi Kembar

    Handphone yang sudah mati total karena tidak pernah disentuh selama kurang lebih tiga bulan ini, kembali kuisi dayanya selama sejam. Kemudian mengaktifkan kembali untuk mengecek pesan yang masuk selama aku tidak menggenggam ponsel itu.Banyak pesan bermunculan setelah ponsel kembali kuaktifkan. Rata-rata pesannya masuk sebelum ponsel benar-benar kehabisan daya untuk menyala.Terutama pesan dari Mas Irsan.[Kau sibuk sampai gak ada waktu buat datang ke persidangan?][Kupikir kau akan datang, mengingat kau menolak buat pisah.]Hanya dua pesan itu saja yang masuk darinya, tidak ada lagi pesan-pesan yang ia kirim untukku. Aku menarik napas dengan kasar. Menghapus semua riwayat pesan darinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang membuatku semakin enggan untuk melanjutkan kehidupan.“Jika dia bisa hidup tanpamu, mengapa kau tidak bisa hidup tanpa dia?” Pertanyaan sederhana yang Celoz ucapkan ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa saat yang lalu, terngiang-ngiang di ke

  • Gairah Panas Suami Kontrak   51. Cerai

    Aku benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Seperti seorang tahanan yang hanya bisa menghabiskan waktu di dalam apartemen. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk keluar, sebab pintu selalu terkunci dengan rapat. Terlebih ada dua penjaga di depan sana. Juga bu dokter yang dua puluh empat jam selalu bersama denganku. Aku sungguh tidak punya privasi sekarang. Makan, mandi, tidur selalu ditemani oleh dokter itu. Sebab takut terjadi sesuatu terhadapku. Celoz selalu rutin mengunjungi sekali dalam sehari. Tidak ada kalimat sama sekali yang terlontar dari mulutnya. Ia datang hanya mengantar makanan, menatapku sekilas, lalu pergi lagi. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang kujalani setiap hari. Seolah dejavu, hal sama yang terjadi berulang kali. Bangun, makan, nonton televisi, olah raga ringan bersama dokter itu, lalu tidur. Seperti itu setiap hari. Aku mulai rindu menginjak tanah. Menghirup polusi di jalanan yang biasanya selalu kubenci. Mendengar klakson yang bising saat terjadi macet. Juga

  • Gairah Panas Suami Kontrak   50. Pendarahan

    Mobil berbelok menuju arah lain ketika kami hampir tiba di tempat tujuan. Celoz memutar arah laju kendaraan. Aku mengerutkan dahi, bingung. Menoleh ke luar jendela dengan kaca yang masih tertutup rapat. Menatap hotel yang berdiri di depan sana. Kami berjalan menjauh dari bangunan itu. “Kenapa putar balik?” Akhirnya aku mengutarakan pertanyaan yang mengukung dada. Menatap Celoz yang tampak fokus dalam menyetir. Ia tidak menjawab sama sekali. Terus menancap laju mobil. Aku berusaha untuk membuka pintu, tapi terkunci. Tidak bisa dibuka sama sekali. “Kita mau ke mana?” Aku mulai panik. Sebab ini tengah malam, jalanan sudah mulai sepi meskipun masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. “Pulang.” Celoz menjawab dengan santai. “Aku mau bertemu suamiku.” “Aku juga suamimu.” Ia mengingatkan. Aku berdecak kesal. Pusing memikirkan cara untuk menghentikan laju mobil. Aku ingin bertemu dengan Mas Irsan sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sebab, semakin lama aku menunggu den

  • Gairah Panas Suami Kontrak   49. Hampir Keguguran

    “Gila kamu! Kenapa Nina sampai begini?!” Suya marah besar saat Celoz akhirnya datang juga ke rumah sakit setelah ia coba hubungi berkali-kali. Aku hanya bisa menatap dari brankar tempatku berbaring dengan lemah. Andai Suya tidak datang ke rumah, tidak akan ada yang membawaku ke rumah sakit untuk dirawat. Celoz tidak menjawab, ia hanya diam saat Suya melampiaskan amarah dengan memaki dan memukul dadanya berkali-kali. “Dia itu lagi hamil, yang ada di kandungannya itu anak kamu! Tega kamu mukul dia?” Suya tampak benar-benar peduli. Ada luapan amarah saat ia menatap sosok Celoz. Mungkin juga merasa bersalah, sebab ia yang menjadi jembatan atas pertemuan dan perkenalan kami. Celoz menoleh padaku saat Suya tidak juga kunjung berhenti memarahi. Aku membuang muka, tidak ingin membalas tatapan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Mas Irsan. “Aku masih ada urusan, dia tampak baik-baik saja. Tagihan rumah sakit biar aku yang melunasi. Kalian menghubungiku karena menginginkan itu bukan?”

  • Gairah Panas Suami Kontrak   48. Aku Menyerah

    Aku kembali mengaktifkan ponsel yang telah kumatikan beberapa saat lalu. Ingin menghubungi Suya untuk meminta bantuan darinya. Sebab, aku tidak tahu harus ke mana sekarang. Terlebih sudah tidak ada pegangan. Setiap uang yang kudapat dari transferan Celoz, selalu kuteruskan ke rekening Mas Irsan untuk tambahan biaya pengobatan. Hanya tersisa beberapa lembar berwarna merah di dalam tas. Ada banyak pesan masuk dari Celoz setelah ponsel kembali aktif. Ia sangat marah saat tahu aku tidak ada di apartemen ketika ia kembali lagi. Berkata akan menghajarku jika kami bertemu nanti. Kuabaikan rentetan pesan itu. Mencari nomor Suya untuk lekas menghubungi. Panggilan langsung diterima sejenak setelah terdengar nada sambung. “Ada masalah?” Pertanyaan itu langsung menyambut, sebab aku hanya diam dengan isakan setelah panggilan tersambung. “Dia mau cerai.” Aku menjawab dengan tangisan yang menyertai. Tidak sanggup untuk menjelaskan lebih detail lagi, sebab lidah terasa berat untuk berucap. “Di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status