“Mas, aku mau ngomong serius sama kamu.” Kuremas lembut jemari Mas Irsan ketika kami tengah berdiskusi menjelang tidur seperti biasa.
Lelaki berhidung mancung itu menatapku lamat-lamat. Membalas remasan jemariku dengan begitu lembut. Aku terdiam sejenak, memberi jeda sebelum kembali berucap. Kutatap sepasang mata tajam itu dengan sangat dalam. Ada kerinduan yang kutangkap dari sorot matanya. “Kau ada masalah di kantor?” Ia bertanya dengan lembut. Diselipkannya rambutku ke telinga ketika beberapa helai dari mereka menghalangi wajahku dari pandangannya. Aku menggeleng pelan. Masih mencoba menyusun kalimat yang tepat agar Mas Irsan tidak salah paham. Ia lelaki yang baik, suami penyayang dan penuh perhatian. Aku tidak tahan jika terus melihatnya dalam kondisi seburuk ini. Aku ingin ia bisa seperti sedia kala. Berjalan dengan baik seperti sebelum kecelakaan itu terjadi. “Aku akan bekerja ke luar kota untuk waktu yang lama.” Aku berucap dengan lemah. Mengikuti saran Suya agar memasukkan sedikit kebohongan di sana. Seketika sorot mata itu tampak berubah. Remasannya di jemariku juga melemah. Tangan kirinya mengusap pipiku dengan lembut. “Apa gak ada jalan lain? Aku gak mau ditinggal sendirian.” Mas Irsan sedikit keberatan. Tentu saja, ia tidak bisa melakukan apa pun tanpa bantuan. Apalagi ia tipe lelaki yang tidak bisa jauh dari istri. “Aku dapat tawaran kerja ke luar kota dengan gaji yang lumayan. Uangnya bisa kita pakai buat biaya terapi kamu.” Aku berusaha memberikan pengertian. Berharap agar ia akan paham. Tidak ada jawaban. Mas Irsan hanya diam. Ia alihkan pandang ke arah lain, sebagai pertanda bahwa ia tidak setuju dengan pembicaraan kami kali ini. “Mas ....” Aku memanggil dengan lembut. Kulepas genggaman dan beralih membingkai wajahnya dengan kedua telapak tangan. Menatap sepasang mata itu dengan begitu dalam. “Aku pengen kamu cepat pulih. Aku ngelakuin ini demi kamu. Aku pengen kamu bisa ngelindungin aku lagi kayak dulu. Kita bisa traveling lagi ke mana-mana. Aku sedih ngeliat kamu kayak gini.” Aku berusaha meyakinkan. Menatap ia dengan penuh harap agar tidak diberikan penolakan. “Berapa lama?” Mas Irsan bertanya dengan suara bergetar. Ia balas kembali tatapanku dengan begitu sayu. Masih terselip penolakan di sorot mata itu. “Mungkin enam bulan, bisa lebih kalau kontraknya diperpanjang.” Lagi, Mas Irsan kembali terdiam. Ia menunduk, tampak tengah berpikir berat. Sejenak, tidak ada percakapan. Ruang kamar terdengar begitu hening, tanpa suara sama sekali. “Aku ikut.” Akhirnya ia kembali berucap setelah sekian lama terdiam. Kuhela napas berat setelah mendengar kalimat itu terlontar darinya. Sudah menduga jika ia akan berkata demikian. “Gak bisa, Mas. Aku bakalan sering ninggalin kamu kalau kamu ikut. Pekerjaanku gak bakalan netap di sana. Jam pulang pergi gak bakalan teratur.” Aku mencari alasan yang mungkin bisa ia terima dengan baik. Terdengar helaan napas kasar dari Mas Irsan. Ia tatap kedua kakinya yang terulur di hadapannya. Tampak ia berusaha menggerakkan, tapi tetap saja tidak bergerak sama sekali. “Mas ....” Kugenggam kembali tangannya, meminta jawaban. Mata Mas Irsan tampak berkaca-kaca seketika. Air wajahnya begitu keruh. “Aku cuma jadi beban buat kamu. Aku udah gagal jadi suami. Harusnya aku yang nyari nafkah buat kamu.” Suaranya terdengar kian gemetar. Detik berikutnya kedua pipi itu telah basah oleh air mata. Aku bisa merasakan betapa hancurnya perasaan Mas Irsan sekarang. Kami telah sering membahas masalah ini, dan aku telah berulang kali meyakinkan bahwa tidak ada masalah untuk itu. “Mas, ini bukan salah kamu. Bagaimanapun keadaan kamu, aku tetap cinta dan sayang sama kamu. Mungkin bakalan sulit buat kita pisah selama enam bulan, tapi setelah itu kita bakalan hidup normal seperti yang kita inginkan. Ada banyak harapan dan impian yang masih belum kita gapai.” Kupeluk tubuh lelaki itu dengan erat. Terus berusaha memberikan pengertian agar bisa mendapatkan izin darinya. ***Hari ini aku kembali bertemu lagi dengan Suya dan Lidia di tempat sebelumnya. Mereka tampak fresh dan menarik. Seolah tidak ada beban sama sekali. “Aku dapat tiga orang.” Lidia mengeluarkan foto dari handbag yang ia punya. “Buat data diri sama tawaran kontrak ada di belakang masing-masing foto.” Ia kembali menambahkan. Aku menerima foto yang diulurkan oleh Lidia. Dari ketiga foto yang ia ulurkan, tidak ada satu pun yang mampu menarik perhatian. Ketiganya telah berumur, rata-rata di atas empat puluh tahun. Namun, uang yang ditawarkan memang cukup besar. “Gak ada yang lain?” Aku menatap Lidia, mungkin saja ia punya stock yang lain. “Yang ini coba kamu liat dulu.” Suya ikut mengeluarkan beberapa lembar foto. “Yang aku janjiin kemaren ga ada sama sekali. Mereka malas berurusan sama suami kamu. Jadi, nanti kalau kamu tertarik sama salah satu dari mereka, kamu harus bohong lagi. Ngaku janda aja. Jangan sampe mereka tau kamu masih punya suami.” Suya menjelaskan. Tampaknya mereka benar-benar telah khatam dalam masalah dunia yang seperti ini. Aku memilah satu per satu dari semua foto yang dikeluarkan oleh Suya. Uang yang ditawarkan beragam. Ada yang besar, ada juga yang sangat besar. Lebih besar dari gaji ketika aku bekerja sebagai asisten di perusahaan. “Ini ada yang lokal?” Aku bertanya memastikan, saat menatap foto lelaki yang berusia awal tiga puluh tahunan. Tawaran yang ia berikan paling besar dari semua tawaran. “Iya, aku juga heran. Kayaknya bukan orang sembarangan. Kamu tertarik sama dia? Aku punya kontak mereka semua.” Suya begitu tenang dalam menanggapi. Aku memilih lelaki bernama Celoz Kiunes itu karena tawaran miliknya yang paling besar. Namanya terdengar asing, tapi wajahnya tampak familiar dan sedikit tampan. Kulitnya kuning langsat, mata besar, hidung bangir, dan bibir yang tergolong seksi. Cukup lumayan. Mungkin jika menjadi istri kontraknya, aku akan merasa sebagai istri sungguhan nanti. “Aku pilih ini.” Aku berikan foto Celoz pada Suya. “Aku minta uangnya dibayar tiap bulan kalau bisa, biar Mas Irsan bisa terapi saat aku jauh darinya.” Aku berucap penuh harap pada Suya. “Kamu bisa bicarain itu langsung nanti sama dia. Besok aku bakalan balik, jadi sebisa mungkin sebelum berangkat, kita ketemuan dulu buat pengesahan. Nanti aku kabarin kita ketemu di mana dan jam berapa.” Suya berucap seraya kembali memasukkan foto-foto itu ke dalam handbag. Aku mengangguk lembut. Setuju. Berharap agar semuanya berjalan dengan lencar.“Kamu gak kerja?” Mas Irsan bertanya ketika ia melihatku mengenakan pakaian yang tidak biasa. Setelan ini kudapat dari Suya kemarin, katanya agar lebih menarik ketika bertemu dengan Celoz nanti. “Aku ada meeting penting di luar, katanya harus berpenampilan menarik.” Ternyata sekali berbohong saja tidak cukup. Butuh kebohongan-kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan yang pertama. “Itu terlalu terbuka, Sayang. Aku gak suka.” Mas Irsan protes. Sebab dress yang diberikan Suya memang hanya sebatas paha. Lengannya juga hanya seluas dua jari. Mas Irsan memutar kursi roda hingga ia mentok dengan lemari. Kemudian membukanya dan berusaha untuk meraih outer lengan panjang. Aku tersenyum saat ia menyodorkan outer itu. Ia masih saja sama dengan yang dulu. Tidak ingin istrinya menjadi pusat perhatian orang-orang. Cukup ia saja yang menikmati apa yang ada pada tubuhku. “Aku berangkat ya, Mas.” Kukecup pipinya setelah outer yang ia berikan kukenakan. Lelaki itu hanya mengangguk dengan lemb
“Hari ini kamu gak masuk kantor lagi?” Mas Irsan datang menghampiri dengan kursi rodanya. Aku lekas menutup laptop yang masih menyala, sebab tidak ingin ia tahu bahwa aku tengah mengetik surat resign dari tempat bekerja. Tawaran dari Celoz sudah pasti akan kuterima, jadi surat pengunduran diri harus secepatnya aku kirim ke kantor. “Aku lagi nyiapin file buat kerja ke luar kota, Mas. Entar siang ada meeting lagi buat bahas masalah keberangkatan.” Entah kebohongan yang keberapa lagi ini. Aku tidak menghitung telah berapa banyak kebohongan yang sudah aku lontarkan padanya. Terdengar helaan napas berat berasal dari Mas Irsan. “Kamu beneran bakal berangkat?” Nada bicaranya begitu lemah. Aku berbalik, memutar kursi agar berhadapan dengan Mas Irsan. Ekspresi wajah itu sungguh tidak ingin kulihat. Wajah tampan yang diselimuti oleh banyak kegelisahan. Ia selalu menyalahkan diri sendiri atas kondisinya saat ini. Berusaha terus mengirim lamaran pekerjaan yang kiranya bisa menerima fisiknya
Mobil melaju dengan begitu pelan. Seolah Celoz sengaja memperlambat perjalanan agar ia memiliki lebih banyak waktu untuk berbicara denganku. Jantung tidak bisa kukendalikan saat tangan itu berusaha menggenggam dan meremas jemariku. Cepat, kutarik dan sembunyikan kedua tangan di antara paha. Tidak ingin ia menemukannya. Aku tidak pernah merasa setakut ini saat berinteraksi dengan orang lain. Wajahnya memang tidak menyeramkan, tapi auranya begitu menakutkan. Ada banyak tanya yang ia lontarkan sepanjang perjalanan, aku hanya menjawab sesekali. Seperlunya saja. Kurasakan getaran di kedua lutut dan jemari saat telapak tangannya mencoba untuk mengelus pangkal pahaku dari luar. Ia cukup liar. Kusingkirkan tangan itu dengan kasar, sebab elusan lembutnya membuat libidoku sebagai wanita dewasa langsung naik seketika, karena telah lama tidak mendapatkan sentuhan batin dari Mas Irsan. Terdengar nyengiran kecil berasal dari Celoz saat ia menatap wajah yang kini kurasa tengah memerah menahan
“Sayang, ada yang nelpon!” Mas irsan berucap dari balik pintu saat aku tengah mandi. “Angkat aja, Mas! Bilang aku lagi mandi!” Aku menjawab dengan cepat, tidak berpikir aneh-aneh. Takutnya itu panggilan penting. Surat resign yang telah kukirim, ditolak oleh pihak kantor. Aku tidak diizinkan untuk keluar. Mereka hanya memberikan izin cuti beberapa bulan, bisa balik bekerja setelah aku selesai dengan urusan yang tengah aku kerjakan. Bosku seorang wanita yang hampir separuh abat usianya. Hamble, sangat baik dan penyayang. Setiap ada pertemuan penting, aku pasti selalu diajak. Sering diberi bonus, juga hadiah. Ia layaknya ibu bagiku. Kami memang sedekat itu. Sulit katanya untuk mencari orang baru, karena telah begitu percaya terhadapku. Beberapa kali aku ditawarkan agar tidak meninggalkan pekerjaan. Hingga berakhir di sebuah keputusan bahwa aku akan cuti selama enam bulan. Mungkin ia yang menelepon. Aku keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit dada. “Siapa, Mas?” tanyaku seray
Aku terdiam cukup lama. Menatap Celoz dengan tajam, mengutuknya dalam hati karena telah memunculkan diri. Aku lebih takut Mas irsan tahu tentang dirinya dibanding ia marah karena tahu aku masih memiliki suami. Celoz menunjukkan deretan giginya yang rapi saat aku semakin tajam dalam menatap. Seolah ia sengaja menyiksaku dengan perasaan gelisah ini. “Sebentar, ya, Mas.” Aku menoleh pada Mas Irsan. Melepas genggaman pada tangannya, lalu bangkit berdiri seraya menarik Celoz untuk menjauh dari sana. Celoz tidak protes saat langkahnya sedikit terseret. “Bagus, kau sudah menipuku.” Celoz menatap dengan begitu tajam setelah aku berhenti melangkah cukup jauh dari Mas Irsan, namun masih bisa kuperhatikan suamiku itu dari tempatku berdiri sekarang. Aku menarik napas dalam. Mencoba untuk mengontrol perasaan. Kulepas cengkeraman pada pergelangan Celoz. Berapa kali pun napas kuhela dengan dalam, tetap saja rasa gelisah itu enggan untuk menghilang. “Jangan beritahu suamiku tentangmu. Dia sedan
Dua koper telah tergeletak di sudut kamar. Kontrak sama sekali tidak bisa dibatalkan. Suya juga menyarankan agar tetap berjalan sesuai perjanjian, sebab ada penalti yang tertera di sana. Dan sudah pasti aku tidak ada uang untuk membayarnya. Aku menyiapkan semua keperluan. Meskipun Celoz berkata tidak perlu membawa apa-apa, sebab Mas irsan akan curiga jika aku berangkat hanya membawa badan. Aku menoleh pada Mas Irsan, ia berusaha ikut membantu sebisanya. Di wajah itu terlihat dengan jelas penolakan atas keputusan untuk tetap berangkat. Ponsel yang tergeletak di ranjang berdenting, aku bangkit berdiri, meraih benda pipih itu untuk memeriksa pesan masuk. [Kau bahkan berbohong mengenai rumahmu.] Celoz mengirim pesan disertai gambar halaman depan. Aku beranjak menuju jendela, melongok ke luar menatap sekitar. Tidak ada siapa-siapa. Menerima pesan itu membuatku merasa begitu ketakutan. Sebab, Mas Irsan akan kutinggal. Sementara Celoz pernah mengancam. Ini sungguh menimbulkan perdebatan
Mobil berhenti di sebuah parkiran apartemen mewah pusat ibu kota. Aku turun setelah Celoz turun lebih dulu. Berjalan menuju bagasi, hendak mengambil barang-barang. Namun, langkahku langsung dicekal olehnya. “Tinggalkan saja, barangmu hanya akan menyesakkan apartemenku.” Setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya, selalu terdengar seperti sebuah perintah yang harus dilakukan. “Baju-bajuku?” Aku protes, sebab tidak mungkin tidak ada baju ganti sama sekali yang harus kubawa.“Aku sudah menyiapkan semuanya. Kau hanya tinggal pakai sesuai apa yang aku minta.” “Tidak bisa begitu.” Aku menolak. “Tidak ada penolakan.” Ia berucap dengan tegas. “Barang-barangmu akan aku buang. Aku sudah berkata kau tidak perlu membawa apa-apa.” Ia tampak kesal karena aku tidak menuruti semua permintaannya. “Tunggu, aku hanya ingin mengambil satu barang.” Aku sedikit memaksa, meminta agar ia membukakan bagasi untukku. Ada yang ingin kuambil di dalam koper. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Celoz membukaka
Aku lekas keluar kamar dengan dada berdebar setelah merasa ini semua tidak benar. Rasa takut itu semakin menelusup jauh ke dalam rongga dada. Jauh lebih takut dari perasaan sebelumnya. Ada banyak hal yang begitu mencurigakan dari lelaki itu. Apalagi setelah melihat semua koleksi miliknya.“Sedang apa kau?” Pertanyaan itu membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya sedetik setelah pintu tertutup dengan rapat. Aku menoleh pada sumber suara, Celoz telah kembali entah dari mana. Ia menenteng sesuatu di tangan kanannya. Detak jantung semakin tidak bisa kukendalikan. Tatapan Celoz membuatku selalu merasa begitu terintimidasi. Aku hanya diam dengan lutut gemetar. Menjauh dari pintu kamar. “Lekas mandi dan ganti pakaianmu dengan ini.” Ia menyerahkan paperbag padaku. Aku menerima ulurannya dengan ragu. Lalu, beranjak menuju kamar utama untuk melakukan apa yang telah ia minta. Kuletakkan paperbag itu di atas ranjang, kemudian lekas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat kel