Pria misterius itu pun bangkit dari kursi kebesarannya. Dia berjalan mendekat pada kedua pasangan yang datang tiba-tiba dan kini merapatkan punggung di pintu ruang kerjanya.
Leo tersenyum bersandar sambil melipat tangan di depan dada, saat Claire menarik-narik lengan kemejanya berusaha mengajak keluar dari ruangan.“Leo, Leo, berbuatlah sesuatu … kumohon …,” bisik Claire dengan suara gemetar. “Sedang apa kalian di sini?” tanya pria itu, lalu menatap wajah Claire penuh curiga. “Dan … dia?” Pria berusia 60an itu kini berdiri di hadapan mereka, dia adalah Robert Goldstein, seorang ketua organisasi intelijen terbesar rahasia bernama GSI (The Golden Shield Intelligence). Robert yang berperawakan tinggi hampir setara dengan Leo, masih terlihat gagah meski seluruh rambutnya sudah tampak sebagian memutih. Paras tampannya yang berdarah Jerman–Amerika, mempertegas karakter wajahnya yang sekilas tampak dingin.Leo menatap Robert penuh arti saat keduanya sempat saling berpapasan mata. Dia pun melepas lipatan tangannya lalu meredupkan senyum, kemudian merangkul pundak Claire dan memeluknya agar terkesan melindungi. Robert mengamati pergerakan itu pun mulai paham, dia langsung mengikuti drama yang tengah dimainkan.“Jangan takut. Kau bersamaku.” Leo menundukkan kepala dan mengecup rambut di atas kepala Claire.“Bagaimana kau bisa keluar dari tempat penyekapan. Apakah gadis ini yang akan menggantikan posisimu sebagai sandera kami?” Robert yang mulai mengikuti permainan, benar-benar nyata menampilkan wajah dinginnya.“Biarkan gadis ini pergi. Aku akan tetap di sini,” sahut Leo.“Kau yakin?” tanyanya datar.“Ti-tidak! Oh, tolong, Tuan. Kami akan membayar berapa pun asal kau melepaskan kami.” Claire memotong dengan panik.“Penawaran itu tidak cukup bagus bagiku. Aku tidak butuh uangmu. Tidakkah kau lihat semua yang kumiliki?” ucap Robert dengan sombong. “Hm … aku memiliki tawaran menarik. Bagaimana kalau kau kunikahkan dengan putra pertamaku?”Leo mengangkat sebelah aslinya, “Apa?” gumamnya. “Dia bercanda,” ucap Leo dalam hati. Dia merasa aneh dengan perkataan Robert, karena anak pertama yang dimaksud adalah kakak kandungnya sendiri, Ivand.“Aku tidak mau! A-aku sudah menikah, Tuan.” Claire menggeleng cepat.
“Menikah?” Mata Robert mendelik. Sedetik kemudian menggeser tatapannya, pada Leo yang langsung menunduk dan mengalihkan pandangan. Robert pun membalikkan tubuhnya dan berjalan kembali ke kursinya. “Baik, duduklah. Ada yang ingin kau jelaskan?”Leo dan Claire mengikuti arahan Robert, keduanya kini duduk masing-masing di kursi berhadapan dengan meja kerja Robert. Namun, baru saja Leo hendak membuka mulut untuk menjelaskan, Claire tanpa basa-basi langsung mendahului.“Aku Claire dan dia adalah suamiku, Leo. Tuan, maaf jika kami melakukan kesalahan sampai Anda menangkap kami. Ka-kami … pengantin baru, tolong biarkan kami pergi,”ucap Claire mantap meski didera kecanggungan.“Claire, tenanglah ….” Tangan kiri Leo bergeser dan meraih tangan Claire, menggenggamnya kuat agar gadis itu berhenti bicara.Robert tersenyum miring. “Huh, teruskan, Nona … Claire. Pengantin baru katamu?” Dia memiringkan sedikit kepalanya, hanya terus mengulang jawaban dari Claire kemudian sejurus menatap Leo.Leo mengangguk pelan dan menurunkan pandangannya. “Benar. Kami baru menikah.”Robert menatap penuh selidik, lalu menghela napas. “Baiklah, Leonard. Sepertinya kau keter—.”“Oh! Maaf, bukan Leonard. Dia Leo … Leo Oliver, Tuan.” Lagi-lagi Claire memotong ucapan Robert.“Oliver??” Robert mengerutkan dahi, merasa ada yang semakin tidak beres. “Ada apa ini?!” Dia sontak meninggikan suara, menegakkan posisi duduknya dan melihat ke arah Leo seakan meminta penjelasan.“Ya Tuhan, Claire ….” Leo menghentakkan kepala pada sandaran kursi lalu memijat-mijat keningnya sendiri. “Sebaiknya kita bicara berdua saja, Tuan.”“Tidak. Gadis ini terlibat. Aku ingin tahu semuanya.” Robert menggenggam kedua tangannya sendiri, sembari sedikit mengepal-ngepalkannya. “Perkenalkan, aku Robert. Robert Goldstein. Apa kau pernah dengar?”“Hum … tidak, Tuan. Tapi kami senang bertemu denganmu.” Claire tersenyum basa-basi. “Apa kami sudah boleh pergi?” lanjutnya.Identitas keluarga Goldstein sangat dirahasiakan pemerintah, hanya segelintir orang-orang penting di jajaran eksekutif yang mengetahui. Namun Claire, yang sekilas memahami, Robert hanya dianggap sosok penguasa, jika dilihat dari cara berpakaian dan gaya bicaranya.“Kalian tidak akan pergi ke mana-mana. Kau dengar itu?” jawab Robert raut wajah serius.“Tapi … kami sudah berencana bulan madu di tempat lain, Tuan.”Leo sontak mengangkat kedua alisnya lalu menoleh pada Claire. “Bulan madu?” bisiknya. Mata gadis itu membulat agar Leo tidak ikut campur rencananya. “Diamlah!”“Ha-ha, kau dari keluarga apa, Menantuku?” tanya Robert tersenyum dingin.“Menantu?” Wajah Claire tampak kebingungan. “Bu-bukan ….”“Pria yang kau nikahi adalah seorang Goldstein, Dan dia bukan seorang Oliver,” sambar Robert. Lalu mengangkat telunjuknya sedikit dan mengarahkannya pada Leo. “Jelaskan padanya. Leonard.”Bibir Claire menganga perlahan-lahan saat menyadari kebenaran itu, dia pun menoleh pada Leo. “Jadi kau ….”Sudut mata Leo memperhatikan bibir gadis itu dan berbisik, “Katupkan bibirmu. Jangan sampai kau kucium nanti.” “Apa dia teman kantormu?” ucap Robert mengabaikan tingkah pasangan di hadapannya.“Bukan. Dia peng—.”Leo membuang napas dan segera mencegah Claire melanjutkan ucapan.“Ayah! Sebaiknya kita bicara berdua saja. Kumohon,” sambut Leo dengan nada serius.
Kedua alis Robert terangkat. Dia mengangkat bahunya setuju untuk menyudahi segala omong kosong itu. “Antarkan istrimu ke kamar. Dan segeralah kembali ke sini.” Robert menatap keduanya dengan tatapan dingin. “Senang bertemu denganmu, Claire.”Diliputi sisa-sisa kecanggungan, keduanya beranjak dari ruangan itu. Selama berjalan menuju kamar, Leo terdiam. Berpikir keras bagaimana menjelaskan pada sang ayah. Demi berniat menakut-nakuti, kini malah bumerang mengenainya saat Claire terlalu banyak melontarkan segala informasi di depan Robert. Leo selama ini tidak pernah ingin mengakui keberadaannya pada sang ayah sejak setahun ke belakang. Saat tiba di dalam kamar, Leo menggiring sang istri untuk kembali naik ke atas tempat tidur. Dia pun duduk di sisi tempat tidur menghadap ke arah Claire.“Ya Tuhan, Claire,” gumam Leo seraya menundukkan kepala menahan kesal.“Kalian ini keturunan vampire, ya. Ayahmu dingin dan menyeramkan. Pantas saja kau sendiri aneh,” celetuk Claire. “Candaan apa ini, Leo? Kenapa kau begitu kaya?!” tanya Claire polos.“Claire, dengarkan aku. Lain kali tolong hentikan kecerobohanmu. Kau harusnya berhati-hati. jangan beri informasi pada siapa pun tentang kita berdua tanpa seizinku. Mengerti?” Leo mengusap pelan puncak kepala Claire.“Apa aku sedang mimpi. Leo? Cubit aku.”Leo menggeleng pelan dan memajukan tubuhnya mengecup pipi sang gadis bermata biru itu. Wangi parfum khas vanilla yang dipakai Claire begitu merasuk ke indera penciumannya. Namun, Leo pun hanya tersenyum kaku melihat sikap Claire yang berusaha menghapus jejak kecupannya.“Baiklah, ayahku mungkin sudah menunggu lama.”“Leo … apa kau bisa jelaskan, kenapa kau memilih menjadi pengawalku?”“Tidak saat ini.” Leo pun beranjak dari sisi tempat tidur. “Sekarang beristirahatlah, aku akan minta pelayan mengantar sarapan untukmu di tempat tidur. Pakaianmu sudah mereka rapikan jika kau ingin mandi. Aku pun sudah membelikanmu pakaian baru. Kabari aku jika ingin hal lain, ok?” ucapnya sambil berjalan. “Aku ingin … kau. Jangan berlama-lama, Leo.”Langkah Leo pun terhenti. “Kau yang mengatakan tidak menyukaiku. Kenapa menunggu?” Leo tersenyum tipis lalu berjalan kembali keluar kamar.Sahutan itu sedikit membuat Claire tercekat, malu, dan sadar. Selama ini dia selalu bergantung pada Leo.Semenjak kejadian makan malam itu, aura ketegangan semakin menyelimuti suasana mansion antara keluarga Goldstein dan Claire. Di sebuah ruang kerja dengan cahaya yang redup, Robert dan Ivand berdiskusi tentang keberadaan Alexandra yang dianggap menghalangi segala rencana. “Ayah. Aku tidak bisa membiarkan Alex tetap berada di mansion. Kau lihat bagaimana dia terus melindungi wanita itu!” Ivand bersandar di kursi sambil menggigit kepalan tangannya. Muncul perasaan khawatir dan geram atas sikap Alexandra yang tidak mendukung segala tujuannya. “Keterlibatan Alex tidak akan menghentikan langkahku memisahkan Leo dari wanita itu,” ucap Robert dengan nada ragu, “dan kau sangat
Ketegangan terus bergulir hari demi hari, Claire tetap merasakan aura yang sama setiap kali berada di tengah-tengah keluarga Goldstein. Dia mulai tidak yakin keberadaan Alexandra akan membawanya pada kedamaian di dalam mansion itu. Entah sampai kapan dirinya bertahan sebagai menantu dan adik ipar yang tidak pernah diharapkan.Alexandra mengantar Claire ke dalam kamar, berusaha menenangkan sang adik ipar yang kembali terlihat ketakutan. Gemetar tubuh gadis itu bisa dirasakan olehnya, saat merangkul dan mengajak kembali ke dalam kamar. Ditambah sikap sinis Robert mengetahui Claire tidak menghabiskan makan malamnya, hal yang melanggar aturan keluarga Goldstein sejak dulu. Kamar Claire tampak nyaman dengan perabotan mewah, tetapi atmosfernya terasa suram, mencerminkan suasana hati penghuninya. Claire masih tampak gelisah, tetapi Alexandra berusaha menenangkan dengan senyuman hangat dan sikap lembut."Claire, maafkan sikap ayah dan adikku. Kami memiliki aturan yang kuat di dalam keluarga
“I-iya. Siapa kau?” ucap Claire sembari meremas dan memeluk selimut tebalnya. Tatapan Alexandra semakin aneh, bingung, kenapa gadis ini melihatnya seperti hantu. Namun, menyadari ini semua hasil tekanan dari Robert dan Ivand, seketika dia pun mengubah ekpresinya. Langsung mengembangkan senyum dan menatap Claire dengan iba. “Perkenalkan. Alexandra, anak tertua Goldstein.” Dengan gaya bicara tegas, tapi ramah. Alexandra mengulurkan jabat tangan. Claire masih mendelik karena tengah waspada, perlahan menurunkan pandangan pada uluran tangan Alexandra. “Se-senang bertemu denganmu.” Telapak tangan Claire terasa dingin, bukan karena udara malam di dalam ruangan. Akan tetapi, sebuah ketakutan mendalam begitu terasa, hingga tubuhnya merespon berlebihan. “Ada apa, Claire? Kenapa kau makan malam di kamarmu. Sebaiknya kau bergabung dengan kami di ruang makan, ayolah,” ajaknya sambil tersenyum ramah. Wanita bertubuh tinggi itu tahu, dia tidak boleh membuat Claire semakin takut.
Ketika Alexandra tiba di mansion, suasana tegang langsung terasa. Mobil mewah yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu utama, menarik perhatian semua orang di sekitar. Pintu mobil terbuka, dan Alexandra keluar dengan anggun, mengenakan pakaian desainer yang menunjukkan kesuksesannya di dunia fashion. Rambut pirangnya tergerai sempurna, dan tatapan matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia bukan lagi gadis yang pernah meninggalkan rumah ini.Saat memasuki ruang utama, Alexandra menurunkan kacamata hitamnya dan melihat suasana mansion yang masih sama seperti dia tinggalkan dulu. “Bau yang masih sama,” ucapnya sambil menghirup dalam-dalam, lalu mengempaskan napas lega. “Kau,” panggil seorang pria paruh baya.Alexa membalikkan tubuhnya dan dilihatnya kini wajah Robert, sang ayah, menatapnya dengan heran. “Ya, aku. Terkejut?”Robert Goldstein, dengan pandangan tajamnya, menyambut kedatangan putrinya yang sudah lama pergi. "Alexandra, apa yang membawamu kembali?" tanyanya dengan su
Di saat yang sama, Claire di mansion keluarga Goldstein merasakan kesepian dan ketidakpastian yang semakin dalam. Meskipun dia tahu apa yang Leo hadapi, dia berharap sang suami akan segera kembali dan membawanya keluar dari mimpi buruk.Claire merasa semakin tertekan. Di samping itu, Ivand terus membuatnya merasa tidak nyaman dengan pandangan sinis dan sikapnya yang misterius. Gadis itu tidak tahu apa-apa tentang dendam keluarga Goldstein, hanya merasakan ketegangan yang menyelimuti rumah besar itu.Sedangkan Robert, kini telah melarang Leo mengakses mansion untuk sementara waktu, hingga membuat Claire merasa semakin terisolasi. Tanpa ada yang bisa diandalkan di mansion dalam waktu dekat. Gadis itu mulai berpikir untuk kabur dan mencari bantuan di luar yaitu Flint.Malam itu, di balkon kamar, Claire memandang ke arah langit dengan perasaan cemas. Dia memikirkan Leo, berharap akan kembali dengan selamat. Sang gadis menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa cemas yang menggerogoti pi
Di sebuah ruang briefing yang tersembunyi, Leo berdiri di depan papan digital yang memproyeksikan peta kawasan konflik. Di sekelilingnya, lima anggota tim utama intelijen terbaiknya duduk dan siap untuk memberikan instruksi pada para agen lapangan."Baiklah, semua," kata Leo, membuka rapat dengan nada tegas. "Kita punya misi kritis di depan kita. Agen kita, John, telah ditawan oleh kelompok pemberontak di sektor ini," ujarnya sambil menunjuk pada titik merah di peta."Informasi terbaru yang kita dapatkan menunjukkan bahwa mereka menggunakannya sebagai alat tawar-menawar," tambah Leo. "Pemimpin pemberontak, dikenal sebagai Kael, meminta tebusan besar. Tapi kita tidak akan menyerah pada tuntutan mereka."Ethan, seorang ahli strategi, mengangkat tangan. "Bagaimana kita memastikan keselamatan John tanpa menuruti tuntutan mereka?""Kita akan menggunakan elemen kejutan dan strategi psikologis. Rencana kita adalah menyerang markas mereka secara diam-diam, menciptakan kekacauan dan ketakutan