Lili segera menjauhkan kepalanya, untuk melepas tautan bibirnya dengan bibir Lio, bukan hanya karena ada mama Feli dan juga Romi, tapi ia sadar tidak pantas ia berciuman dengan pria yang tidak memiliki status apapun dengannya.Meskipun Lili sudah menyimpan rasa pada Lio di dalam lubuk hatinya yang paling dalam."Maaf," Ucap Lio menyadari ia sudah terlalu jauh pada Lili.Lili menganggukkan kepalanya sambil mengukir senyum.Mama Feli kini mendekati keduanya. "Teruskan saja tidak apa-apa. Mama tidak lihat kok." Ucapnya sambil tersenyum.Mambuat pipi Lili merah merona. Sedangkan Iko sendiri langsung menanggapi ucapan sang mama. "Nanti Ma, kalau tinggal berdua kami teruskan lagi." Ucap Lio asal.Mambuat Lili langsung menatap tajam padanya."Jangan marah, aku hanya bercanda." kata Lio, ingin rasanya ia membawa Lili ke dalam pelukannya lagi.Lili menggelengkan kepalanya, bertepatan mama Feli meraih tangannya, lalu meraih tangan Lio kemudian menyatukannya. "Mama berharap, kalian cepat bersam
Romi menahan langkah Lio yang baru saja hendak melangkah keluar dari ruang kerjanya. Wajah Romi tampak sedikit tegang, seolah berusaha keras untuk menyembunyikan kegelisahan."Kamu mau ke mana?" tanya Romi."Mencari Lili," jawab Lio tanpa ragu, rahangnya mengeras. "Aku yakin Luna dalang di balik menghilangnya Lili."Romi menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. "Biar aku saja yang mencari dia. Kamu kembali saja ke ruang kerja kamu. Aku janji akan cari Lili dan membawanya padamu."Lio menatap Romi tajam. "Tidak bisa! Kamu tidak tahu bagaimana rasanya kalau orang yang paling kamu cintai menghilang begitu saja. Aku ingin memberi pelajaran pada siapa pun yang sudah berani menyentuh Lili."Romi mendekat, menepuk bahu sahabat dan juga atasannya itu. "Aku justru takut, Li. Jangan-jangan ini hanya akal-akalan Luna untuk memancingmu keluar. Serahkan padaku. Kamu tetap di sini, jaga fokus. Hari ini juga ada rapat penting yang harus kamu hadiri, karena rapat itu tidak bisa ditunda atau diwa
Setelah malam panas yang terjadi antara Lili dan Lio terakhir kali, hati Lili perlahan mulai luluh. Ia mulai membuka hatinya pada Lio, pria yang selama ini dengan sabar selalu ada di sisinya, menawarkan bahu untuk bersandar, telinga untuk mendengar, dan dada yang lapang untuk menampung segala keluh kesahnya. Perlahan, luka yang dulu menganga akibat pengkhianatan Zian mulai mengering, meskipun status pernikahan mereka belum resmi berakhir.Perceraian Lili dengan Zian benar-benar memakan waktu lama, karena Zian yang dengan sengaja mempersulit prosesnya. Ia kerap mangkir dari persidangan, membuat agenda sidang harus terus ditunda. Sementara itu, di sisi lain, Lio sudah lebih dulu menuntaskan perceraiannya dengan Luna, meski prosesnya pun tidak berjalan mulus. Luna bersikeras mempertahankan rumah tangga mereka dengan berbagi alasan. Hingga akhirnya Lio menyewa beberapa pengacara kondang agar bisa segera resmi menjadi duda, dan bebas dari belenggu rumah tangga yang selama ini membuatnya te
Akhirnya dengan sedikit memaksa, Lili menarik tangan Lio menjauh dari Bela dan juga Zian. Ia benar-benar tidak ingin terjadi keributan di rumah sakit, apalagi di tempat yang seharusnya tenang seperti ini. Lio yang sudah sejak tadi menahan emosi, nyaris melayangkan pukulan ke wajah Zian yang terus saja melontarkan provokasi."Li, kenapa kamu menahan aku? Kamu tahu kan, Zian pantas dapat pelajaran dari aku," gerutu Lio dengan rahang mengeras. Ia berdiri di depan pintu ruang perawatan mama Feli, napasnya memburu menahan amarah.Lili langsung meletakkan jari telunjuknya di bibir Lio, mengisyaratkan agar ia diam. "Sst... tenang dulu. Kita ke sini untuk melihat mama, bukan untuk ribut. Jangan bikin masalah di rumah sakit," Ujar Lili lembut, menatap mata Lio dengan penuh pengertian.Lio menatap Lili beberapa detik, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Maafkan aku, Li. Kadang emosiku susah dikontrol kalau sudah menyangkut kamu. Rasanya aku pengen hancurin siapa aja yang nyakitin kamu." T
Dengan langkah cepat, Lio yang baru saja tiba di rumah sakit langsung menggandeng tangan Lili. Ia menarik tangan perempuan itu dengan lembut menyusuri lorong rumah sakit, melewati beberapa suster yang tampak sibuk, menuju ruang perawatan di mana mama Feli dirawat. Sejak tadi pikiran Lio dipenuhi rasa cemas. Bagaimana kondisi mama Feli? Kenapa tiba-tiba harus dibawa ke rumah sakit? Padahal semalam, wanita paruh baya itu masih tampak sehat saat menolong Lili dari Luna.Namun, langkah mereka terhenti tiba-tiba. Bukan karena mereka sudah sampai, melainkan karena Lili berhenti melangkah. Napas Lili tampak sedikit memburu, wajahnya agak pucat.Lio langsung merasa bersalah. "Maaf," ucapnya pelan, menatap Lili dengan wajah menyesal. Ia baru sadar langkahnya terlalu cepat. "Kamu capek, ya?"Lili tersenyum lemah sambil mengangguk. "Jalan kamu terlalu cepat, Lio. Kamu jalan duluan aja." Pintanya, jujur tenaga Lili belum penuh sepenuhnya setelah aktivitas semalam di kamar hotel bersama Lio."Tida
Lili perlahan membuka matanya, membiarkan cahaya lampu kamar hotel yang masih menyala sejak semalam menyapu wajahnya. Pandangannya langsung tertuju pada tangan kekar seorang pria yang melingkar di atas perutnya, membuat napasnya sedikit tertahan. Perlahan, ia menggeser kepalanya menoleh ke samping, menemukan Lio yang masih terlelap di sampingnya. Dada bidang Lio bergerak naik turun teratur, napasnya tenang, lengan satunya memeluk pinggang Lili seolah tak ingin melepas.Sesaat Lili hanya menatap wajah lelaki itu. Wajah yang kini begitu lekat dalam hidupnya, entah sejak kapan ia tak bisa lagi mengabaikan kehadiran Lio. Pelan-pelan, Lili mencoba menurunkan tangan Lio yang berat itu dari tubuhnya, kemudian menarik selimut yang sejak tadi menutupi tubuh mereka. Kulit Lili seketika meremang saat menyadari bahwa ia sama sekali tidak mengenakan apa pun di balik selimut itu. Dan begitupun dengan Lio.Kenangan semalam menyeruak begitu saja. Membuat dadanya berdegup tak keruan. Semua begitu jela