Share

bab 3

Author: Addarayuli
last update Last Updated: 2025-11-12 20:13:45

Clarissa melirik sekilas ke arah Nozela yang duduk di kursi belakang bersama anjingnya. Mereka berada di mobil William, kekasih Clarissa, untuk mengantarkan Smooky ke dokter hewan. Meski suasana mobil terasa biasa saja, ada perasaan tidak nyaman yang terus menghantui pikiran Clarissa. Dia menatap wajah Nozela yang santai, sibuk mengelus Smooky yang tampak lemas.

"Emang anjing lo sakit apa, Zel?" tanya Clarissa, berusaha memasang nada basa-basi.

"Mana gue tau. Orang baru mau dibawa ke dokter," jawab Nozela tanpa sedikit pun melirik ke arahnya.

Jawabannya yang asal-asalan membuat Clarissa kesal, padahal niatnya dia hanya mencari topik bicara agar suasana tak canggung. Sebenarnya, Clarissa memang tak nyaman berada dekat dengan Nozela, apalagi dia adalah sahabat William. Di belakang, dia bahkan terlalu akrab, hingga kadang Clarissa merasa tersisih dari hubungannya dengan kekasihnya.

"Dasar cewek gatel. Awas aja lo kalau sampai macam-macam sama William," batin Clarissa geram, sementara jemarinya terkepal erat untuk menahan rasa tidak suka yang mulai memuncak.

Nozela tiba-tiba berseru, suaranya terdengar lebih dominan. "Bisa cepetan nggak sih, Liam? Smooky udah lemes banget ini."

"Iya, sabar, Jel. Ini udah cepet lo," jawab William mencoba menenangkan.

"Tck, tapi kurang cepet," Nozela membalas dengan nada menyebalkan.

Melihat mereka bicara seperti itu, ada rasa tidak nyaman yang menjalari hati Clarissa. Dia tahu William mencoba menyesuaikan keadaan, tapi kenapa sih harus Nozela yang mendominasi percakapan? Dan itu menjengkelkan.

"Iya, nih gue tambah kecepatannya. Cerewet banget pacar orang," gumam William sambil tersenyum tipis.

"Biarin, wlekk," Nozela menjulurkan lidah, seolah sengaja memprovokasi.

Clarissa memperhatikan interaksi mereka dengan rasa yang sulit ia definisikan. Nada suara Liam terdengar begitu lembut saat berbicara dengan Nozela, seolah-olah tengah berbincang dengan kekasihnya. Hatinya mencelos, dan rasa kesal yang menjalar di dadanya semakin menjadi.

Clarissa berusaha menahan diri, mencoba mengatur emosi yang perlahan menggerogoti pikirannya. Dia memandang Nozela dengan perasaan campur aduk antara muak dan gelisah. Dalam diamnya, Clarissa hanya berharap perjalanan ini cepat selesai dan jauh dari percakapan menjengkelkan yang membuatku semakin terbakar.

Sesaat kemudian, mobil William berhenti di depan klinik dokter hewan. Clarissa hanya duduk diam memperhatikan bagaimana Nozela dengan cekatan mengangkat Smooky, anjing kecil itu, dan memasukannya ke dalam kandang sambil berkata lembut.

"Sabar ya, Smooky, bentar lagi kita ketemu dokter."

Matanya kembali menyipit saat Nozela menyerahkan kandang anjing itu pada Liam, yang dengan senang hati menerimanya.

"Sini, gue bawain," kata William sambil tersenyum kecil, seolah-olah sedang menjadi pahlawan bagi Nozela.

Rasa tidak nyaman yang sejak tadi menguasai Clarissa kini seperti bara api yang dikipasi. Kenapa dia harus begitu baik pada Nozela? Bukankah dia bisa membiarkannya mengurus anjing itu sendiri?

Clarissa meremas jemarinya, berusaha mengendalikan perasaannya yang bercampur aduk. Nozela kemudian masuk lebih dulu untuk mendaftar, meninggalkan Clarissa bersama Liam di luar. Sejenak, Clarissa merasa kehadirannya tidak lebih dari bayangan yang tak dianggap.

"Liam, kenapa sih yang bawa malah kamu? Bukannya biarin aja dia sendiri?" suaranya memecah kekakuan.

Liam menoleh dengan tenang, "Nggak papa, Cla. Yuk masuk," jawabnya ringan tanpa sedikit pun menyadari gejolak yang berkecamuk dalam hati Clarissa.

William langsung melangkah lebih dulu menuju pintu klinik tanpa menunggu respon. Clarissa mendengus pelan, bibirnya terkatup rapat menahan protes yang tersisa.

"Ishh, kenapa gue ditinggal sih? Nyebelin banget," gumamnya pelan, meski rasa kesalnya terus menggumpal. Dalam hatinya, ia bertanya, sampai kapan dia harus berdiri di samping tanpa pernah menjadi pilihan utama Liam?

Clarissa menghentak-hentakkan kakinya sebelum menyusul William masuk ke dalam klinik. Begitu langkahnya menapaki lantai dingin ruangan itu, pandangan matanya langsung tertuju pada pemandangan yang membuat darahnya mendidih—Nozela sedang duduk berdekatan dengan William sambil asyik mengelus anjingnya. Clarissa menahan helaan nafas panjang, sementara benaknya berteriak sarkastis.

"Sial, baru juga dua menit, dan mereka sudah terlihat seperti pasangan mesra." Batinnya.

Clarissa berdiri di tempat, menggenggam ujung tas dengan kuat, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat karena rasa kesal ini. Tarik nafas, hembuskan. Setelah merasa cukup siap, dia melangkah dengan dagu terangkat menuju mereka.

“Masih lama nggak?” tanyanya langsung menyisipkan tubuhnya di antara William dan Nozela.

Tentu saja, Clarissa tidak akan membiarkan dia terlalu lama duduk nyaman di dekat William. Nozela melirik Clarissa sambil memutar bola matanya, malas dan santai seperti biasa. Sebenarnya diatara mereka berdua, Clarissa lah yang paling tak menyukai Nozela.

“Lo nggak lihat antriannya?” balas Nozela datar, menyentak Clarissa dengan nada sok tahu yang membuat matanya hampir melompat.

Clarissa memaksa senyum, meskipun wajahnya pasti menjeritkan kepalsuan.

"Sabar ya, Cla," suara lembut William memecah ketegangan.

Tangannya mengelus punggung tangan Clarissa, mencoba menenangkan perasaannya. Sentuhannya hangat, tapi... rasanya itu belum cukup meredam gejolak dalam dadanya. Clarissa menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan.

Dia mengangguk kecil. "Iya," jawabnya dengan lirih, sambil melirik Nozela dari sudut matanya. Tidak, dia tidak akan kalah. Tidak di depan Nozela.

Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, akhirnya nama Smooky, anjing kesayangan Nozela dipanggil oleh perawat. Dia segera melangkah masuk ke ruang pemeriksaan dengan langkah cemas.

"Sore, Kak. Ada keluhan apa dengan anjingnya?" tanya dokter dengan suara ramah.

Nozela mencoba menenangkan dirinya sambil menjawab, "Kata Mama, dari tadi pagi dia nggak mau makan. Aku juga nggak tahu kenapa kelihatannya lemas."

Dokter hanya tersenyum kecil sebelum berbicara lagi, "Baik, saya periksa dulu ya."

Nozela mengangguk pelan, lalu menyerahkan Smooky kepada asisten dokter. Dalam hati dia berdoa agar semua baik-baik saja. Seiring waktu berlalu, dia mencoba menenangkan gejolak di dalam dada, tapi bayangan Smooky yang lemas terus menghantui pikirannya.

"Gimana, Dok? Anjing saya nggak papa, kan?" tanya Nozela dengan nada yang sedikit memaksa, tidak bisa menyembunyikan ketakutannya.

Dokter tersenyum tipis, menenangkan, lalu menjawab dengan suara lembut. "Tidak ada penyakit serius, anjingnya hanya mengalami influenza ringan. Nafsu makannya berkurang, dan itu yang membuatnya lemas."

Dia langsung menarik napas lega, merasa seperti baru saja terangkat dari lubang hitam penuh kecemasan. "Syukurlah, Smooky nggak apa-apa," ujarnya, kali ini dengan suara jauh lebih santai.

Namun, tak bisa kupungkiri rasa takut tadi masih membekas. Smooky adalah segalanya baginya. Jika ada yang buruk terjadi,dia akan sangat terpukul. Nozela memperhatikan setiap gerak-gerik dokter yang mulai menyiapkan suntikan antibiotik dan meresepkan obat untuk Smooky.

"Selain itu," lanjut dokter.

"Pastikan kandangnya selalu bersih dan berikan cairan yang cukup untuknya. Jangan biarkan dia berdekatan dengan hewan lain dulu agar tidak tertular virus yang sama."

Nozela mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Baik, Dok," jawabnya pelan.

Dalam hati, dia bertekad untuk lebih menjaga Smooky, memastikan ia sehat dan bahagia. Nozela menatapnya yang kini tampak sedikit lebih tenang di pelukan asisten dokter. Seandainya smooky bisa bicara, dia pasti meminta maaf karena membiarkannya merasa lelah seperti tadi. Smooky bukan sekadar peliharaan baginya, dia adalah bagian dari keluarga.

Setelah memberikan penjelasan pada Nozela, dokter mulai menyuntik anjing itu. Nozela meringis sambil mengelus bokongnya. Smooky, anjingnya yang disuntik tapi entah kenapa dia yang merasa ngilu.

"Ini obatnya, cukup berikan dua kali sehari saja," ucap dokter.

Nozela mengangguk sambil mengambil obat itu. "Terima kasih, dok."

Sementara di luar, Clarissa berkali-kali menghembuskan nafas lelah. Dia tak bisa menyembunyikan lagi bahwa ia bosan setengah mati. Suara bising hewan yang bersahut-sahutan di klinik itu membuat kekesalannya semakin bertambah.

"Lama banget sih, Liam. Aku capek nih," keluhnya, terdengar begitu tajam.

"Sebentar, Cla, tadi kamu sendiri, kan, yang bilang mau ikut," jawab William, berusaha menenangkan, meski tahu itu mungkin hanya akan menambah rasa kesal di hati kekasihnya.

Clarissa duduk sambil menyedekapkan tangan di dadanya, jelas menunjukkan ketidaksenangan. Tubuhnya bersandar pada kursi dengan tatapan jengah.

"Ya kan aku nggak tahu kalau bakal selama ini," sahutnya, suaranya agak tersindir.

William diam sejenak, menatap kekasihnya yang cemberut. Dalam hati, ada sedikit keresahan yang tak bisa kupungkiri.

"Aku marah, aku capek. Tapi aku juga nggak rela kamu berduaan sama Nozela begitu lama," batin Clarissa sendiri.

Ada cemburu yang aneh ketika melihat bagaimana perhatian William berpindah pada Nozela. Meski hanya sahabatan, tapi tetap saja dia tak suka.

"Aku nggak mau ini berakhir jadi adu argumen lagi." William mencoba menyingkirkan kekesalannya sendiri, meski hal itu agak sulit.

Dia kemudian menatap Clarissa dan tersenyum. "Jangan cemberut dong, Cla," ujarnya pelan sambil menggoda, mencolek pipinya. Semoga, dengan cara ini, dia bisa sedikit saja melepas kesal.

"Tck, jangan pegang-pegang."

Clarissa menepis tangan William dengan raut wajah cemberut. Meski begitu, sudut matanya menangkap tawa kecil William yang menyebalkan. Wajahnya tampak ceria, seolah-olah tak merasa bersalah sama sekali.

"Sayang, jangan ngambek dong," ucapnya sambil tersenyum.

Clarissa menggerakkan bibirnya menirukan ucapan William dengan penuh ejekan, meskipun di dalam hati, ada rasa hangat yang perlahan menjalari dirinnya. Memanggilnya 'sayang' di depan umum seperti ini, dia tidak bisa memungkiri bahwa hatinya sedikit berbunga-bunga. Tapi, Clarissa tetap bertahan dalam acara ngambeknya. Dia ingin tahu seberapa keras William berusaha membujuknya kali ini.

"Mau apa? Nanti aku turutin," katanya dengan nada serius bercampur santai.

Clarissa melirik William dari sudut mataknya, perlahan mulai merasa tergoda oleh tawarannya. Tapi dia tidak mau terlihat mudah luluh.

"Beneran mau diturutin?" tanyanya memastikan, masih mencoba menjaga kesan dingin di depan matanya. William mengangguk dengan penuh keyakinan.

"Iya beneran, janji deh."

Hati Clarissa mulai berdebar-debar, tapi dia menahan diri untuk tidak langsung menunjukkan antusiasme. Dia tahu William akan melakukan apa saja untuk membuatnya tersenyum lagi. Mungkin ini cara dia menunjukkan betapa pedulinya padanya—tapi Clarissa masih ingin bermain sedikit sebelum memberikan kemenangan padanya.

"Yakin?"

William merangkul pudak kekasihnya sambil membisikkan sesuatu. "Yakin sayang."

"Ehem"

Clarissa dan William sepontan menoleh saat mendengar suara deheman keras, Nozela berdiri di samping mereka entah sejak kapan.

"Nanti lagi pacarannya, anterin gue pulang. Smooky butuh istirahat." Ucapnya lalu pergi.

William meraih jemari Clarissa lalu mengenggamnya. "Kita anterin Ojel pulang dulu."

Clarissa mengangguk. Mereka keluar dari klinik kemudian mengantarkan Nozela pulang.

"Gimana si beagle?" Tanya William.

"Cuma flu biasa." Jawab Nozela cuek.

William hanya mengangguk lalu kembali fokus pada jalanan didepannya. Disampingnya, Clarissa tersenyum smrik saat tak ada lagi pembicaraan antar dua orang sahabat itu. Setidaknya hatinya sedikit lebih tenang sekarang.

"Thanks udan anterin." Ucap Nozela saat mobil William berhenti di gerbang rumahnya.

"Kaya sama siapa aja lo. Kalo gitu gue duluan, mau anter Clarissa."

Nozela mengangguk lalu melambaikan tangannya. "Babay Clarissa, makasih lo ya udah ngaterin gue sama smooky."

Clarissa tersenyum amat sangat manis. "Sama-sama Ojel. Gue pulang dulu ya, semoga smooky cepet sembuh."

"Oke, hati-hati ya kalian."

"Sialan, wajahnya ngeledek banget sih. Ihhhhh, nyebelin." Batin Clarissa kesal, namun dia berusaha keras menahannya.

William terkekeh melihat interaksi sahabat serta kekasihnya. Tak lama kemudian dia menutup jendela mobil lalu pergi. Saat ini, dia akan mengantarkan Clarissa ke apartemen gadis itu. Sesuai janjinya, dia akan menuruti semua keinginan Clarissa.

Sampai di unit apartemen, mereka masuk ke dalam. Clarissa yang merasa gerah melepaskan blazer crop yang membungkus tubuh indahnya. Kini dia hanya memakai rok pendek dengan atasan tanktop saja.

Gluk.

William menelan ludahnya kasar melihat sesuatu yang mengintip dibalik tanktop kekasihnya.

"Sial, gue selalu kehilangan kendali saat sama Clarissa." Batinnya.

"Aku mandi dulu ya, kamu bisa nunggu di atas." Ujar Clarissa dengan suara yang dibuat-buat.

William mengangguk, dia mengikuti langkah kekasihnya naik ke tangga menuju kamarnya. William membasahi bibirnya dengan lidah saat melihat b0k0ng penuh Clarissa yang nampak bergoyang saat melangkah.

"Tahan Liam, tahan." Ucap batinnya berteriak.

Sampai di kamar, William langsung duduk di sofa sementara Clarissa masuk ke ruang ganti. Dia sengaja keluar hanya menggunakan bathrobe pendek sebatas paha.

"Bentar ya Liam."

William seolah terhipnotis oleh kemolekan tubuh kekasihnya, selama pacaran setahun baru kali ini dia amat berminat pada Clarissa. Dia merasakan bagian bawahnya bereaksi hanya karena membayangkan paha mulus itu.

Ceklek.

William tersadar dari lamunannya saat mendengar pintu kamar mandi tertutup. Dia melirik ke bawah, tepatnya di pangkal pahanya. Celananya menggembung dan mulai terasa sesak.

"Apa ini waktunya?" Gumam William.

Beberapa kali dia mencoba menjernihkan pikirannya, namun h4sr4t itu tak bisa di bendung lagi. Dia segera berdiri lalu melepas jaket yang terasa mencekiknya. Dia mulai berjalan menuju kamar mandi.

Tepat di depan pintu kamar mandi, dia menatap handel berwarna silver. Dari tempatnya, dia bisa mendengar suara gemricik air. Setelah meyakinkan dirinya, perlahan William menekan handel pintu ke bawah.

"Nggak dikunci." Gumamnya.

"Kayanya Clarissa sengaja." Lanjutnya dalam hati.

Tanpa pikir panjang, William segera masuk. Baru beberapa langkah masuk dia bisa mencium aroma mawar, sepertinya dari sabun mandi yang digunakan kekasihnya. Baru menghirup aromanya saja, miliknya sudah semakin tegang.

William berjalan ke arah kamar mandi terpisah, dibalik kaca buram dia melihat siluet tubuh Clarissa yang tengah berdiri di bawah shower.

"Sial, gue nggak tahan lagi."

William segera melepaskan pakaian yang melekat pada tubuhnya, dan membuangnya ke sembarang arah. Dengan tekad penuh, dia mulai membuka pintu buram itu.

"William."  Ucap Clarissa sambil tersenyum miring.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Sahabatku   bab 5

    "Gue seneng banget Tha. Akhirnya Leon nembak gue." Nozela sedang bergulung-gulung di atas ranjang queen size miliknya, dia sedang berteleponan dengan Thalia sahabatnya. Nozela ingin berbagi kabar baik ini pada sahabatnya juga. "Selamat ya Jel, gue ikut seneng. Akhirnya lo nggak digantungin lagi sama singa." "Tck, jangan panggil dia singa lah. Masa ganteng gitu disamain sama singa sih." Terdengar suara tawa disebrang telepon membuat Nozela mengerucutkan bibirnya. "Tapi ada kabar sedih juga tau Tha." "Ha? Kabar apa Jel?" "Smooky sakit, tadi sore gue bawa dia ke dokter." "Terus gimana sekarang keadaannya. Ish, gue jadi pengen main ke rumah lo deh." "Udah baikan sih, udah mau makan juga meski sedikit." "Ehh tunggu Jel, bukannya mobil lo masih dibawa temennya William ya. Terus lo ke klinik dianterin siapa? Kalo Leon kayanya nggak mungkin deh, dia kan takut anjing." Nozela mengerutkan keningnya. Dia merasa heran bagaimana bisa sahabatnya tau jika Leon takut anjing? Pi

  • Gairah Sahabatku   bab 4

    Clarissa tersenyum miring saat memasuki kamar mandi, niatnya ingin menggoda William sepertinya berhasil. Dia menatap pantulan wajahnya di cermin besar washtafel memperhatikan setiap detail wajah serta tubuhnya yang berisi dibeberapa bagian tertentu. "Gue lebih cantik, lebih sexy dan lebih segalanya dari gadis centil itu. Nggak akan gue biarin William deket-deket sama dia meskipun mereka sahabatan sekalipun." Ucap Clarissa pada bayangannya sendiri. Setelah cukup lama memandangi wajahnya, dia mulai membuka bathrobe mininya. Clarissa tersenyum sambil memutar-mutar tubuhnya didepan cermin. Dengan bin4lnya, Clarissa bahkan menyentuh kedua bulatan besar miliknya sendiri. "William, sebentar lagi kamu bakal jadi milik aku seutuhnya." Tak ingin berlama-lama memandangi tubuhnya, dia mulai masuk ke dalam ruangan berbentuk kotak berbahan kaca yang buram. Clarissa mulai menyalakan shower, air dingin mulai mengucur membasahi kepala hingga seluruh tubuhnya. Sambil bersenandung kecil, senyu

  • Gairah Sahabatku   bab 3

    Clarissa melirik sekilas ke arah Nozela yang duduk di kursi belakang bersama anjingnya. Mereka berada di mobil William, kekasih Clarissa, untuk mengantarkan Smooky ke dokter hewan. Meski suasana mobil terasa biasa saja, ada perasaan tidak nyaman yang terus menghantui pikiran Clarissa. Dia menatap wajah Nozela yang santai, sibuk mengelus Smooky yang tampak lemas."Emang anjing lo sakit apa, Zel?" tanya Clarissa, berusaha memasang nada basa-basi."Mana gue tau. Orang baru mau dibawa ke dokter," jawab Nozela tanpa sedikit pun melirik ke arahnya.Jawabannya yang asal-asalan membuat Clarissa kesal, padahal niatnya dia hanya mencari topik bicara agar suasana tak canggung. Sebenarnya, Clarissa memang tak nyaman berada dekat dengan Nozela, apalagi dia adalah sahabat William. Di belakang, dia bahkan terlalu akrab, hingga kadang Clarissa merasa tersisih dari hubungannya dengan kekasihnya."Dasar cewek gatel. Awas aja lo kalau sampai macam-macam sama William," batin Clarissa geram, sementara jem

  • Gairah Sahabatku   bab 2

    "Ojel."Nozela yang tengah berjalan bersama Thalia dan Leon menoleh saat mendengar suara sahabatnya. Wiliam sedikit berlari sambil membawa sesuatu ditangannya."Buat lo." Ucapnya sambil memberikan paper bag kepada Nozela.Lego dan Archen hanya tersenyum jahil melihat sahabatnya rela jauh-jauh dari fakultas teknik menuju fakultas ekonomi hanya untuk memberikan buah untuk Nozela.Nozela tersenyum senang, dia menerimanya. "Makacih Liam."Nozela membuka paperbag itu, dia melihat banyak buah kelengkeng didalamnya. Dia merentangkan tangannya lalu memeluk tubuh William, Nozela senang karena William masih ingat buah kesukaannya."Habis ini gue pinjem PS5 punya lo, buat main di apart sama mereka." Tunjuk William pada kedua temannya.Nozela melepaskan pelukannya, dia mencebikkan bibirnya. "Pamrih banget."Leon menatap tak suka pada William yang menurutnya teralu bebas pada Nozela padahal dia sudah memiliki kekasih. Dia samping Nozela, Thalia memperhatikan perubahan wajah Leon saat William datan

  • Gairah Sahabatku   bab 1

    "Emmhhh, ahhh."Suara menggema di sebuah kamar di apartemen. Clarissa merebahkan tubuhnya diranjang. Di depannya, William tengah memainkan pucuknya secara bergantian."Enak?" Tanya William sambil menyeringai.Clarissa tersenyum menggoda, dia sengaja menggigit bibir bawahnya sambil menggigit kuku jari telunjuknya. William tak tahan melihat wajah kekasihnya yang terlihat bergitu sexy dan menggoda.Kembali William menyerang sesuatu yang membuat Clarissa seperti hilang akal, sesekali dia menyesapnya hingga meninggalkan jejak kemerahan.Hubungan mereka sudah terjalin selama satu tahun lebih, namun sampai saat ini permainan mereka hanya sebatas itu saja. William masih waras untuk tidak menggagahi gadis yang belum sah menjadi istrinya itu."Aku nggak tahan Liam, gatel banget." Ucap Clarissa dengan suara dibuat seerotis mungkin.Cup.William melepaskan tautan bibirnya dari benda kenyal itu, dia sama tak tahannya dengan sang kekasih. Bahkan bagian bawahnya juga sudah tegang minta dimanjakan.P

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status