LOGIN"Tidak akan ada wanita lain. Dulu, sekarang, atau nanti. Ingatanku mungkin sempat hilang, tapi jantungku punya ingatannya sendiri. Dan dia selalu berdetak untukmu, Alya." Di bawah atap seng yang berderit karena hantaman badai, dunia di luar gubuk itu seolah lenyap. Hanya ada mereka berdua, terbungkus dalam kegelapan yang intim dan aroma tanah basah yang menyeruak. Daniel tidak lagi menatap Alya sebagai pengawalnya, dan Alya tidak lagi memandang Daniel sebagai aset yang harus dilindungi. Mereka hanyalah dua jiwa yang nyaris hancur, akhirnya bersatu kembali dalam pelukan yang penuh kerinduan. Tangan Daniel yang masih sedikit gemetar berpindah dari pipi Alya ke tengkuk lehernya. Ia menarik wanita itu lebih dekat, memperpendek jarak yang selama berbulan-bulan terasa seperti ribuan kilometer. Ketika bibir mereka akhirnya bertemu, itu bukan lagi sekadar kecupan lembut di kening. Ciuman itu dalam, mendesak, dan penuh dengan emosi yang meledak-campuran antara rasa sakit
Alya bergerak seperti bayangan di antara pepohonan. Ia tidak lari secara garis lurus, melainkan zig-zag, memanfaatkan batang pohon raksasa sebagai perisai alami. Suara peluru yang menghantam kayu di dekat kepalanya menciptakan serpihan tajam, namun ia tidak berhenti.Alya menghitung dalam hati. Tiga orang. Senjata otomatis. Jarak 50 meter.Ia sengaja menjatuhkan magasin kosong ke atas daun kering untuk memancing mereka mendekat. Saat pengejar pertama melompat melewati sebuah akar besar, Alya muncul dari balik kegelapan bukan dengan pistol, melainkan dengan pisau komando yang ia sembunyikan di sepatu.Dalam satu gerakan halus, ia memotong urat nadi di balik lutut pria itu dan menggunakan tubuhnya sebagai tameng manusia saat dua rekan lainnya melepaskan tembakan."BERHENTI MENEMBAK! KAU MENGENAI HARIS!" teriak salah satu pengejar.Celah itu sudah cukup bagi Alya. Ia melepaskan tubuh Haris yang sudah lemas, lalu membidik dengan pistolnya.Satu tembakan. Pria di
"Kenapa membiarkanku hidup dalam kebingungan sebagai 'Tuan' yang kau benci?"Alya terdiam sambil mengasah sepotong kayu menjadi tombak sederhana. "Karena musuh kita bukan hanya mereka yang memegang senjata, Daniel. Musuhmu adalah keluargamu sendiri, Arkana Corp, dan semua orang yang menginginkanmu lupa akan kejadian di Zurich. Jika aku memberitahumu, dan kau gagal berpura-pura, mereka akan melenyapkanmu.""Jadi kau melindungiku dengan cara membuatku membencimu?""Itu harga yang murah untuk nyawamu," jawab Alya datar, meski matanya mengkhianati perasaan yang ia simpan rapat.Ancaman yang Belum BerakhirSelama dua hari pertama, mereka hidup dalam kesunyian yang tegang. Alya hanya tidur dalam interval 15 menit, selalu terbangun oleh suara ranting patah atau deru helikopter tim pencari—yang ia yakini bukan milik polisi, melainkan milik pihak yang ingin memastikan Daniel tidak pernah kembali.Di malam ketiga, suhu udara turun drastis. Daniel, yang demam akibat inf
Alya dengan cepat menyembunyikan liontin itu ke dalam genggamannya, wajahnya kembali mengeras seperti batu."Anda salah, Tuan. Kalung ini milik saya. Inisial 'D' ini untuk mendiang adik saya," bohongnya tanpa berkedip. "Jangan biarkan adrenalin dan trauma membuat Anda berhalusinasi tentang masa lalu yang tidak ada."Daniel hendak mendebat, namun kata-katanya tertelan oleh guncangan hebat yang menghantam badan helikopter.DUARR!Sebuah ledakan dari peluncur roket (RPG) menghantam baling-baling ekor. Helikopter Arkana Corp itu berputar tak terkendali di udara malam Jakarta. Suara alarm peringatan memekakkan telinga."Tuan Daniel! Pegangan!" teriak Raka saat helikopter itu menukik tajam menuju kawasan hutan kota di pinggiran Jakarta yang gelap.Hantaman itu terjadi begitu cepat. Semuanya menjadi hitam bagi Alya.Beberapa jam kemudian, rintik hujan membangunkan Alya. Kepalanya berdenyut hebat, dan bau avtur (bahan bakar pesawat) yang menyengat memenuhi indra
"Berhenti berakting, Lena... atau siapa pun namamu," desis Daniel dengan napas memburu.Cengkeraman tangan Daniel di pergelangan tangan Alya terasa menyakitkan. Matanya yang dingin kini memancarkan permusuhan yang nyata. Daniel menyudutkan Alya ke dinding beton tangga darurat yang remang-remang."Tuan Daniel, apa yang Anda lakukan? Kita harus evakuasi!" Alya mencoba tetap tenang, meski jantungnya berdegup kencang karena posisi mereka yang terlalu intim sekaligus mengancam."Evakuasi? Atau kau sedang menggiringku ke jebakan yang sebenarnya?" Daniel tertawa sinis, sebuah tawa yang belum pernah Alya dengar sebelumnya. "Aku sudah memperhatikanmu sejak hari pertama. Kau terlalu sempurna untuk seorang analis. Caramu bergerak, caramu mengawasi setiap detail... kau bukan bagian dari tim keamanan. Kau adalah 'pembersih' yang dikirim musuhku untuk memastikan aku tidak selamat kali ini, kan?"Alya tertegun. Di satu sisi, ia lega Daniel tidak mengingatnya karena itu berarti renc
Alya meremehkan keputusasaan musuh. Saat mereka bergerak keluar dari reruntuhan kafe, sebuah tembakan dari penembak runduk (sniper) yang bersembunyi di atap gedung seberang membelah udara dingin Zurich."Daniel, awas-!"Terlambat. Peluru itu menghantam dada bagian atas Daniel. Tubuh tegap itu tersentak ke belakang, menghantam tumpukan salju yang seketika berubah warna menjadi merah pekat."DANIEL!" jerit Alya. Ia melepaskan tembakan membabi buta ke arah atap untuk memaksa penembak itu mundur, lalu ia menjatuhkan dirinya di samping Daniel. Tangan Alya gemetar hebat saat mencoba menekan luka di dada Daniel. "Tetaplah sadar! Daniel, lihat aku! Jangan tutup matamu!"Daniel terbatuk, darah merembes dari sela bibirnya. Matanya yang biasanya tajam kini mulai meredup, menatap Alya dengan sisa-sisa kesadaran. "Al... kau... selamat..." bisiknya lemah sebelum kepalanya terkulai lemas.Tim medis dan tim keamanan Raka tiba beberapa menit kemudian setelah pertempuran reda. Aly







