“A-apa yang terjadi?” gumam Clara ketika meihat dirinya dalam keadaan tertutup selimut tebal.
"I-ini bukan apartemenku," ia menyadari bahwa ruangan itu berbeda dengan kamar apartemen miliknya.
Dia mencoba menghilangkan kabut di pikirannya akibat efek alkohol yang masih tersisa. Kepalanya terasa sangat berat, dia memejamkan mata sejenak untuk mencoba mengingat apa yang terjadi semalam dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Semalam, Clara pergi ke bar untuk melampiaskan rasa frustasinya atas perselingkuhan Pedro. Dia minum terlalu banyak hingga bar tender memintanya untuk pulang dan tidak lagi memberikannya botol minuman. Dia berjalan sempoyongan menekan semua tombol yang berada di lift saat pandangannya kabur. Dia membuka pintu apartemen ini yang ternyata tidak terkunci. Hingga akhirnya pria misterius itu meraih tubuhnya dan memaksanya untuk melayani aksi bejatnya itu.
'Aku harus pergi sebelum pria ini bangun!’
Clara berusaha bangun dari tempat tidurnya, setelah melirik ke arah pria rupawan yang masih tertidur pulas dengan rambut hitamnya sedikit berantakan dan bibir tipisnya tertutup oleh lengan kekarnya.
“Aww …" desis Clara merasakan kesakitan luar biasa, bagian sensitifnya sangat perih saat dia bergerak.
Dengan langkah lemahnya dia memakai kemeja putih saat menyadari semua pakaiannya robek, yang ia yakini kemeja itu milik pria yang saat ini sedang terlelap, perlahan-lahan dia meninggalkan penthouse mewah itu.
'Bagaimana bisa aku begitu ceroboh sampai salah masuk kamar apartemen?' Clara menggerutu dalam hati, sambil memandangi nomor C#A245 yang tertera di pintu apartemen tersebut. Tertulis juga nama Tn. Alexander E.M di sisi pintu tersebut.
Sontak saja ia terkejut, karena kamar tersebut adalah milik CEO muda yang terkenal itu. Dengan pikiran yang berkecamuk, mengapa ia berakhir di kamar seorang CEO, Clara bergegas untuk keluar dari sana, dan pergi ke Apartemennya sendiri.
Sementara, didalam kamar Penthouse mewah itu, hangatnya sinar matahari pagi yang tajam menyapu wajah Alex yang masih ternyenyak. Pria itu membuka mata dengan perasaan yang aneh, merasa kepala berat dan tubuhnya terasa lemah. Dia meraba kepalanya yang terasa berat akibat efek kombinasi obat perangsang dan alkohol yang masih menyisir tubuhnya.
Alex bangkit dari tempat tidurnya dengan perasaan tidak nyaman. Namun, sebuah fakta mengejutkannya saat dia menyadari bahwa dia tidak mengenakan sehelai benang pun.
Dia meraba-raba ke sekeliling mencari pakaian, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam.
Dalam kebingungan, Alex melangkah menuju kamar mandi, untuk mencoba menghilangkan efek alkohol dan pengar. Ketika dia melangkah kembali kamar tidurnya, pandangannya tertuju pada sprei yang terdapat bercak darah.
Alex berbisik pada dirinya sendiri, "Apa yang terjadi tadi malam?"
Sementara mencoba mengingat kejadian tadi malam, dan Alex berusaha untuk mengingat wajah gadis yang tidur bersamanya.
Dalam kebingungan Alex berusaha menghubungkan potongan-potongan kenangan samar-samar semalam. Namun, wajah gadis itu masih terlihat samar dalam ingatannya.
Terdengar ketukan ringan di pintu apartemennya. Dengan langkah ragu, dia membuka pintu. Pengawalnya, dengan tatapan penuh hormat masuk ke dalam ruangannya.
Kebingungan terpancar dari wajahnya ketika melihat Alex yang tak seperti biasanya penuh dengan antusias kini terlihat melamun.
"Maaf Tuan, Apa yang terjadi padamu?" tanya sang pengawal itu kepada Alex yang duduk di tepi ranjang.
"Apakah ada yang bisa saya bantu?" lanjutnya.
Alexander menggeliat tak nyaman, menatap Pengawal dengan tatapan dingin yang menyiratkan ketidakpedulian. "Tidak," sahutnya tanpa ekspresi, "Saya hanya ingin sendiri sebentar."
Pengawal itu merasa cemas. "Tapi, Tuan, dalam satu jam Anda ada jadwal pertemuan pen..."
"Jadwal saya tidak penting sekarang," potong Alexander dengan tajam, ekspresinya menjadi lebih tegas, "Saya butuh waktu untuk istirahat."
Pengawal itu terdiam sejenak, mengerti bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk melawan keinginan Alexander. Dia mengangguk patuh. "Tentu, Tuan Alexander. Saya akan mengatur ulang pertemuan Anda. Sekarang Anda bisa istirahat."
Alexander hanya mengangguk sekilas, pandangannya kembali kosong. Saat Pengawal sekaligus Sekretaris pribadi Alexander melangkah keluar dari ruangan, Alexander terdiam dalam kesendirian, dikelilingi oleh kegelisahan pikirannya sendiri yang tak berujung.
Wajah gadis itu masih kabur dalam pikirannya, dan rasa menyesal semakin kuat. Dia bertanya-tanya apakah dia akan menemukan gadis itu.
Di saat dirinya tengah kalut, dia merasa hampir putus asa. Semua masalah yang menumpuk membuatnya merasa tercekik dan tak bisa bernafas dengan lega. Namun, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah benda bersinar yang berada di sisi bawah tempat tidurnya. Dengan perlahan ia mendekati benda tersebut dan menyadari bahwa itu adalah sebuah liontin.
"Liontin ini, pasti miliknya," gumamnya pelan sambil memperhatikan liontin permata merah maroon yang begitu memesona.
Dan tanpa disadarinya, senyum tipis mulai terukir di bibirnya ketika ia menyadari bahwa ada harapan bagi dirinya untuk menemukan wanita itu dan dia akan bertanggungjawab dengan apa yang sudah dia lakukan.
"Clara, kau harus pergi ke perusahaan Chultzer Life, untuk menunjukkan proposal yang kemarin kau kerjakan," perintah Manager pemasaran perusahaan Am Group, Dariel.Sejak lama dia memperhatikan kinerja Clara sebagai staf marketing dinilai sangat baik dan selalu penuh semangat dan tanggung jawab. Wajah Clara langsung terlihat penuh kekhawatiran saat ia menatap Dariel dengan tatapan bingung. Ia merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres, terutama ketika mendengar nama perusahaan tersebut. “Apakah kau sakit, Clara?” tanya Dariel penasaran.“A-ah, tidak, aku baik-baik saja!” Clara dengan gugup.Setelah satu bulan sejak kejadian itu, Clara tidak ingin mengingat kembali. Tetapi memang ia mengakui, akhir-akhir ini kondisi tubuhnya tidak menentu, bahkan Clara sering sekali merasa pusing dan mual. “Bagus kalau begitu. Sekarang, cepat kau pergi!” perintah Dariel.Di sisi lain, Clara sungguh tidak bisa melakukan presentasi saat ini, karena ia sama sekali belum menyiapkan apapun. "Pak, bisakah
"Saya baik-baik saja Pak. Mungkin saya hanya masuk angin saja, karena sejak pagi saya mual-mual," jawab Clara yang saat itu merasakan tubuhnya terasa lemas dan tak berotot ketika sejak pagi dia mual dan pusing."Lebih baik kau pulang saja, biar aku urus ijinmu," saran Pedro tampak khawatir dengan keadaan mantan kekasihnya itu."Tidak masalah, Pak. Saya masih bisa kerja. Saya permisi." jawab Clara mencoba untuk menguatkan dirinya, lalu beranjak pergi meninggalkan Pedro dan Rilla.Ketika Clara keluar ruangan, ia kembali ke kantornya dengan kondisi tubuh yang semakin lemah dan terpaksa dia ijin istirahat beberapa hari, berharap kondisinya akan membaik.***"Clara, kabar baik untukmu. Tuan Emanuel terkesan dengan proposal yang telah kau buat," ujar Dariel kepada Clara dengan penuh semangat. Clara yang sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya."Benarkah?" tanya Clara tak percaya dengan apa yang Dariel katakan. Matanya memandang ke arah Dariel dengan ekspresi campuran antara harapan dan kera
"Kenapa pria itu bisa berada di sini?" Clara tidak bisa menahan emosinya saat melihat Alexander.Jantung Clara berdesir dan pikirannya langsung terbawa kembali ke malam itu, tragedi yang tak pernah ia lupakan sejak satu bulan lalu."Dia adalah CEO kita, Tuan Alexander Emanuel," bisik Dariel dengan senyum tipisnya.Clara hanya menelan ludah pelan menahan emosinya, mengingat papan nama Penthouse itu. Suasana ruang rapat tampak sunyi hanya dipecah oleh suara langkah kaki mereka yang terdengar semakin dekat.Clara merasa jantungnya berdegup kencang, seperti ingin keluar dari dadanya. Ia tahu bahwa saat ini dia harus tetap tenang dan mengendalikan diri agar tidak membuat situasi semakin buruk.Tiba-tiba saja rasa mual kembali menghampiri Clara. Dengan langkah terburu-buru dia ingin segera ke toilet, karena kecerobohannya, kakinya tersandung dengan kaki meja, sehingga tubuhnya menabrak Alexander yang berjalan tepat di depannya, pandangannya bertemu langsung dengan mata tajam milik Alexande
“Selamat pagi, Pak, anda ingin berbicara dengan saya?”Di dalam ruangannya yang luas dipenuhi oleh aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Alexander Emanuel duduk di kursi kebesarannya sebagai seorang CEO.Matanya yang tajam menatap ke arah pintu saat Clara masuk. Gadis yang selalu membuatnya penasaran dengan sorot matanya serta bola mata samar-samar mengingatkannya akan kejadian malam itu."Clara," sapanya dengan suara yang dingin namun tegas begitu Clara berada di hadapannya. "Saya mempersiapkan kontrak kerja untuk Anda. Silakan duduk." ucap Alexander dengan suara yang tenang tetapi berwibawa, membuat Clara semakin gugup.Clara menarik kursi dengan hati-hati, mencoba menahan getaran ketegangan pada dirinya. Tatapan dingin Alexander menatapnya, mengungkapkan bahwa dia tidak akan mentolerir kelemahan atau ketidakpatuhan. "Saya tidak yakin bisa menerima ini," ujarnya akhirnya dengan suara yang ragu setelah membaca setiap poin yang tertulis di kontrak kerja tersebut.Sorot mata Clara mem
Alexander melangkah ke dalam kamar rawat inap Clara dengan langkah pasti yang menggambarkan otoritasnya sebagai seorang CEO yang sukses. Wajahnya diliputi ekspresi serius, tak tergoyahkan oleh emosi apapun. Dia dikenal sebagai sosok yang dingin dan tegas di dunia bisnis. "Clara," panggilnya dengan suara tanpa belas kasihan. Clara, terbaring di tempat tidur dengan tatapan cemas yang tak tersembunyi, merasa gemetar di bawah kehadiran Alexander. Dia tahu bahwa saat ini pertanyaan tentang kehamilannya akan diajukan. "Ya, Tuan Alexander?" jawabnya gemetar. Alexander tidak membuang waktu. "Mengapa kau hamil, sementara statusmu masih lajang? Apakah kau mencoba untuk memalsukan identitasmu?" tanyanya tanpa ampun, mencari jawaban yang jelas dari wanita muda di depannya. Clara menelan ludah, mencoba menemukan keberanian untuk menjawab. "Aku bertanya kepadamu!" seru Alex memecah keheningan ruangan tersebut membuat Clara terkejut. "Tuan... Saya belum menikah Tuan," jawab Clara dengan lirih
"Clara dengarkan aku!" seru Pedro mencoba meraih tangan Clara yang akan memasuki kamar apartemennya saat dia pulang dari rumah sakit. "Kau mau apalagi, Pedro? Bukankah kau akan segera bertunangan dengan dengan Rilla?" tanya Clara berusaha tegar di hadapan lelaki yang amat dia cintai sekaligus dia benci saat ini. "Clara, aku minta maaf. Aku salah, tapi harusnya kau mengerti, aku melakukan semua ini karena kau tidak pernah mau aku sentuh, jadi aku melampiaskan kepada... ." Plak!!! Sebuah tamparan keras mendarat ke pipi Pedro. Pedro tampak kesal dengan sikap kasar Clara kepadanya. "Clara kau... ." "Ya, aku bisa bersikap kasar dan lembut sesuai tempat Pedro. Mulai detik ini, jangan lagi kau temui aku, hubungan kita sudah berakhir!" tegas Clara dengan suara yang lantang sembari mengacungkan jari telunjuknya kepada Pedro. Emosi Pedro tersulut, dia merasa terhina telah ditampar oleh seorang wanita. "Baiklah, aku akan menuruti kemauanmu, Clara. Namun, harus kau tau, hidup itu keras. M
"Tuan, entah perasaanku atau apa. Tadi, saat saya dan Nona Clara berada tepat di depan penthouse Anda, Saya menangkap raut kecemasan dan trauma yang mendalam darinya. Apakah ini ada kemungkinan jika, Nona Clara adalah... ." tebak sang pengawal yang bernama Markus tersebut. "Benar Markus, dia adalah orangnya. Dia saat ini hamil," jawab Alexander singkat sembari sibuk dengan laptopnya. "Tuan, kenapa Anda tidak memberinya uang dan menyuruhnya menggugurkan kandungannya itu? Bagaimana kalau nanti Tuan dan Nyonya besar tau akan kandungannya itu?" kata Markus tampak terkejut. Alexander mengalihkan pandangannya tajam ke arah Markus. "Diam kau!" bentak Alexander sekali lagi kepada Markus yang masih terdiam tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari tuannya tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keluarga besar Alexander memiliki reputasi baik di mata masyarakat sehingga skandal seperti ini benar-benar harus dicegah agar tidak menghancurkan nama baik keluarganya. Alexander send
Alexander keluar dari kamarnya dengan langkah santai, hanya mengenakan celana pendek berbahan kain dan kaos oblong yang longgar. Rambutnya tampak acak-acakan namun tetap memberikan kesan rapi. Aura pria cool terpancar jelas dari penampilannya yang sederhana namun menawan. Clara tengah sibuk di meja makan, menyusun hidangan untuk makan malam mereka. Matanya tak bisa berhenti memandang ke arah Alex yang tiba-tiba muncul dengan penampilan yang begitu berbeda dari biasanya. Clara merasa takjub melihat betapa tampan dan kerennya Alex dalam mengenakan outfit tersebut. "Apa yang kau lihat?" tanya Alexander menatap sinis ke arah Clara yang tak mengedipkan matanya. "Tidak ada, saya hanya berpikir tadi, siapakah pria yang berdiri di hadapanku saat ini," jawab Clara jujur sembari menata piring dan gelas di meja makan. Alexander mencoba menyembunyikan senyum tipisnya ketika mendengar komentar jujur dari Clara tentang penampilannya. Ia memang terbiasa mendapat pujian langsung seperti itu dari s