Share

Bab 2

last update Huling Na-update: 2025-06-25 22:09:21

Tenda itu sunyi. Hanya suara lembut kain yang tertiup angin malam, sesekali berderak oleh hembusan udara. Aroma logam, darah kering, dan sisa dupa dari medan perang masih melekat di udara. Di tengah cahaya lentera yang remang, Alice terbangun dengan napas terengah.

Kesadaran menghantamnya dalam satu gelombang panas yang menusuk dada. Ia mengingat semuanya. Pelukan. Ciuman. Dan… wajah pangeran yang terlalu dekat.

Tubuhnya seketika tegang. Ia duduk cepat, dan menyadari mantel militer tergantung di bahunya.. bukan miliknya.

"Dia masih di sini?" bisiknya lirih, matanya menyapu sekeliling.

Ya. Dia masih di sana.

Adhelard berdiri membelakangi Alice, tubuhnya tegap seperti patung perang, tangan terlipat di dada. Suara langkah kuda di luar, sorak prajurit di kejauhan, semua terasa jauh. Yang nyata hanyalah ruang kecil itu, dan diamnya sang pangeran.

Alice mengecap bibirnya yang masih terasa hangat karena… dia tahu apa yang telah ia lakukan. Dan yang lebih buruk: Adhelard juga tahu.

“Saya… minta maaf pangeran,” ucapnya akhirnya, lirih tapi jujur.

Tak ada jawaban.

Alice memberanikan diri. “Penyamaran saya… saya tak bermaksud menyusup. Saya hanya… ingin bertahan hidup. Saya dibayar untuk membantu anda hari ini. Itu saja.”

Masih tak ada suara.

Lalu, perlahan, Adhelard berbalik.

Wajahnya tenang. Dingin. Dan tajam seperti pedang yang belum pernah tersarungkan. Matanya kelabu, tak memancarkan kemarahan, tapi sesuatu yang lebih mengganggu: penasaran.

“Prajurit bayaran, ya?” katanya pelan. “Kau menyusup ke tengah pasukanku, menyerang musuh dengan presisi yang tidak dimiliki sembarang tentara, lalu menciumku sebelum jatuh pingsan.” Ia mendekat satu langkah. “Prajurit biasa tak bertingkah seperti itu.”

Alice menunduk. “Saya tak bermaksud mencium Anda. Itu… karena kutukan.”

“Aku tidak bodoh.”

Alice mengangkat kepala. Adhelard kini berdiri hanya satu langkah darinya. Pandangannya tajam, seperti hendak membaca pikirannya.

“Dan aku tak buta,” lanjutnya.

Ia menunduk sedikit dan menyentuh sisi bahu Alice yang terbuka karena mantel yang melorot. Jari-jari dinginnya berhenti pada kulit pucat yang dihiasi sebuah simbol merah berbentuk bunga berduri, nyala samar-samar seolah hidup.

Simbol kutukan.

Alice membeku. “Tunggu.. Anda bisa melihatnya?”

Adhelard mengerutkan dahi. “Seharusnya aku tidak bisa?”

“Tidak,” jawab Alice cepat. “Simbol itu... hanya bisa dilihat oleh saya. Atau oleh seseorang yang sudah...”

Ia terhenti. Napasnya tercekat.

Adhelard menatapnya lekat. “Yang sudah apa?”

Alice tidak menjawab. Tatapan mereka terkunci. Ketegangan memenuhi ruang sempit itu. Bukan hanya karena penyamaran atau kutukan, tapi karena sesuatu yang bahkan Alice sendiri belum berani pikirkan.

Dan Adhelard meski dingin, merasa sesuatu bergerak dalam dirinya. Sesuatu yang tak pernah diajarkan oleh perang. Ia tahu tak seharusnya merasa terusik oleh seorang prajurit bayaran… apalagi seorang wanita penyamar yang mencium bibirnya.

Tapi tetap saja.

Kenapa jantungnya berdetak secepat itu?

Kenapa ia tidak bisa mengalihkan pandangan?

Kenapa kutukan gadis ini... terlihat oleh matanya?

Alice menarik napas panjang, menunduk dalam-dalam. Suaranya bergetar, tapi pelan. “Kutukan itu... bukan sihir biasa. Ia bukan berasal dari mantra, tapi dari... perjanjian kuno para tetua keluarga Adelaide dengan berbagai iblis untuk mendapatkan kekuatan sihir.”

Adhelard tetap diam, namun matanya mengisyaratkan bahwa ia mendengarkan.

“Setiap malam purnama,” lanjut Alice, “saya kehilangan kendali atas diri saya. Bukan dalam arti amarah atau kekuatan, tapi sesuatu yang lebih rendah… lebih memalukan.”

Tangannya gemetar di pangkuan. “Saya akan merasakan dorongan dalam tubuh saya. Panas. Gelisah. Seperti tubuh saya menginginkan sesuatu yang tidak seharusnya diinginkan. Sentuhan. Dekapan. Nafsu yang bukan milik saya, tapi merayap di dalam tubuh. Seperti ada makhluk lain yang membisikkan dosa ke telinga saya, dan saya tidak bisa menolaknya.”

Adhelard bergeming. Tapi rahangnya mengeras. Untuk sesaat, ia menatap Alice dengan tajam.

“Itu sebabnya saya tak berani tinggal di tempat asing saat purnama. Takut seseorang akan melihat. Takut aku akan... menyentuh siapa pun yang terlalu dekat. Namun karena perang ini berlangsung tidak sesuai perkiraan. Saya melupakan bulan purnama bulan ini. Mungkin karena kutukan, baru muncul 3 purnama terakhir ini. Saya belum terbiasa. ”

Ia mengangkat matanya, tatapannya redup, namun jujur.

“Dan malam ini... Saya menyentuh Anda. Mencium anda.”

Adhelard menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Tapi kau tidak membunuhku.”

Alice menahan napas. “Mungkin itu yang paling saya takuti.”

Adhelard menatap Alice tajam. Dengan suara yang tidak kalah seperti pedang yang ia bawa, Adhelard bertanya : “Jadi dimalam sebelumnya kau telah menyiapkan lelaki untuk melampiaskan semua itu?”

Mata Alice melebar, “Tidak.” Jawabnya cepat. “Saya tinggal dekat dengan kuil agung pangeran..”

“Jadi rumor kau dekat dengan calon pengganti pendeta agung itu benar?” Potong Adhelard.

“Bukan begitu pangeran,” Alice segera menampik pikiran kotor lelaki dingin di depannya itu. “Tuan Teon yang dianugerahi kekuatan suci melebihi pendeta lainnya membantu mendinginkan tubuh saya dengan kekuatan sucinya.”

“Jadi maksudmu.. Rahasia itu bukan hanya aku yang tahu. Tapi pendeta itu juga tahu?” Tanya Adhelard yang entah kenapa ia merasa kesal mendengar kenyataan itu.

Alice mengangguk.

Keduanya terdiam. Suasana begitu tegang, nyaris menyakitkan.

Akhirnya, Adhelard menoleh tiba-tiba, memutus kontak mata. “Kau akan tetap di sini malam ini,” katanya datar. “Di bawah pengawasanku.”

Alice menggigit bibirnya. “Sebagai tawanan?”

“Sebagai utang,” jawabnya pendek. “Kau menyelamatkanku dari kematian hari ini. Dan menciumku tanpa izin. Itu... menimbulkan terlalu banyak pertanyaan.”

Ia berjalan menuju pintu tenda. Tapi sebelum keluar, ia berhenti.

Tanpa menoleh, suaranya terdengar lebih dalam, lebih berat:

“Dan satu hal lagi.. jangan coba lari. Aku ingin tahu... apa yang bisa membuat simbol kutukan itu menyala lagi.”

Alice membeku.

Dan untuk pertama kalinya sejak ia dikutuk... ia merasa takut bukan karena sihir di tubuhnya. Tapi karena pria dingin di luar pintu.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 56

    Alice berusaha menggerakkan tubuhnya, namun tubuh itu seakan diikat dengan rantai tak kasatmata. Matanya melebar, penuh amarah. Ingin ia berteriak, memaki, mengusir, atau sekadar melepaskan diri—tapi bibirnya kaku, seolah suara pun telah dicuri. Hanya matanya yang bergetar, menunjukkan perlawanan yang tak bisa diwujudkan dengan gerakan.Teon duduk di pinggir ranjang Alice. Wajahnya yang pucat. Ia menjulurkan tangannya, menempelkan telapak pada luka leher Alice yang masih belum sembuh. Kilatan cahaya suci muncul, hangat merambat ke kulit Alice, meredakan luka yang masih terbuka.Sambil menyalurkan kekuatan sucinya, suara Teon terdengar rendah mencoba menjelaskan, "Alice… aku minta maaf."Suaranya bergetar. "Aku tidak bisa hidup tanpamu. Jika kau membenciku, aku menerima. Jika kau tak ingin menatapku lagi, aku rela. Tapi… aku mohon, jangan tinggalkan aku. Setidaknya biarkan aku tetap ada di sisimu, berjalan bersamamu, meski kau tak lagi percaya padaku."Detak jantung Alice berdegup kenc

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 55 Rahasia Kekuatan Teon

    Alice menopang tubuhnya dengan pedang. Darah mengalir dari lehernya, menetes ke lantai dan mengenai liontin batu pada kalung yang ia kenakan. Begitu darah itu menyentuh permukaan batu, cahaya terpancar. Batu itu berkilau, menyala seakan merespons darah yang melumuri permukaan batu.Maxime dan Louis, yang panik melihat luka Alice, kini membelalak mata kaget. “Batu itu... bersinar?” bisik Louis dengan wajah pucat.Alice tersenyum samar, senyum yang lebih mirip kepuasan getir. Saat itu juga, hembusan angin berdesir kencang. Tirai kamar terangkat, dan dari jendela, sosok yang paling tidak diinginkan Alice masuk dengan gesit—Teon.“ALICE!” serunya terkejut melihat darah mengalir dari leher wanita yang ia cintai.Tanpa berpikir, Teon mendorong Maxime agar memberinya ruang, lalu berjongkok di hadapan Alice untuk melihat lukanya.Alice melepaskan pedang dari tangannya. Tubuhnya sedikit goyah, langkahnya pelan untuk mundur. Louis buru-buru meraih tangannya agar tidak jatuh, tapi Alice justru m

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 54 Bukti dan Keputusan

    Suasana kamar Carolie masih diliputi aroma dupa yang sengaja disiapkan untuk menenangkan rasa cemasnya. Tapi tubuhnya tampak menegang menatap Teon yang berdiri di hadapannya. Setelah Teon melepas cengkraman kasar di wajahnya, jantungnya berdetak kencang tak terkendali. Rasa sakit menjalar dari pipinya yang memerah akibat genggaman kuat itu.Teon menatapnya dingin, lalu dengan cepat menampar wajah Carolie. Suara tamparan itu menggema di kamar yang hening, membuat Carolie terperanjat dan nyaris menangis.“Kau tidak berguna, Carolie.” Suara Teon serupa bisikan, rendah dan penuh amarah. “Seharusnya aku tidak pernah membuang waktuku menolongmu, apalagi menyuruhmu menggoda Pangeran Evrard.”Carolie sontak turun dari tempat tidur. Lututnya gemetar, tubuhnya jatuh bersujud di hadapan Teon. Air mata mengalir, bukan hanya karena sakit, melainkan juga karena takut akan kehilangan nyawanya.“Tuan, ampun... beri aku kesempatan lagi!” suaranya parau.Namun Teon tidak bergeming. Ia mengangkat kakiny

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 53 Dalang dibalik tragedi

    Louis tidak menjawab pertanyaan Alice. Rahangnya mengeras, seakan ada kata-kata yang tertahan di ujung lidahnya, namun ia memilih bungkam. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan melangkah cepat keluar dari ruangan.Alice hanya bisa menatap punggung sahabatnya itu menghilang di balik pintu, dadanya terasa sesak oleh kebisuan yang menggantung.Di koridor, langkah Louis terhenti sesaat ketika berpapasan dengan sosok tegap Pangeran Adhelard. Sorot mata tajam Adhelard menelusuri wajah Louis, seakan berusaha membaca emosi yang meluap. Louis menunduk, menempatkan tangan di dada sebagai salam hormat singkat. Lalu ia berjalan melewatinya tanpa sepatah kata, hanya meninggalkan jejak langkah berat yang cepat menjauh.Adhelard berdiri tegak, sedikit mengerutkan alisnya. Ia menyaksikan Louis menghilang, lalu melangkah masuk ke ruang tamu dengan tatapan penuh selidik.Alice segera berdiri dan memberi salam anggun. “Yang Mulia Pangeran Adhelard.”Daniel, yang duduk di sampingnya, ikut bangkit dan m

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 52

    Riuh rendah terdengar dari arah kastil yang menjadi kediaman Pangeran Evrard dan selir kesayangannya, Lady Carolie. Kerumunan pelayan memenuhi halaman depan, beberapa di antaranya berbisik-bisik, sementara yang lain menutup mulut menahan keterkejutan.Pangeran Adhelard baru saja menuruni kudanya, Arthur berada tepat di sisinya. Adhelard tidak mengatakan apa-apa, hanya mengerling sekilas dengan tatapan dingin, lalu memberi isyarat dengan tangannya. Arthur langsung mengangguk paham dan mempercepat langkah masuk ke dalam halaman.Begitu mereka tiba di aula depan, pemandangan yang mengejutkan menyambut mereka. Carolie tampak menangis terisak, wajahnya bersembunyi di pelukan Pangeran Evrard. Air matanya membasahi pakaian tipisnya, sementara dari atas terlihat seutas tali menjuntai, menggantung seperti bukti nyata dari niatnya yang nekat.“Ya Tuhan… dia benar-benar mencoba melakukannya lagi?” salah satu pelayan berbisik dengan nada gentar.Pelayan lain menimpali dengan suara lebih lirih, “D

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 51 Strategi Perdagangan

    Udara pagi di kediaman keluarga Adelaide terasa segar. Matahari baru saja naik, sinarnya lembut menembus dedaunan dan menari di permukaan cangkir teh yang dipegang Alice. Ia duduk anggun di bawah naungan paviliun kecil di kebun belakang, ditemani harum bunga mawar yang bermekaran. Gaun santainya berwarna biru pucat, rambut panjangnya digelung sederhana, dan parasnya begitu cantik walaupun tanpa dandanan yang mencolok.Alice mengangkat cangkir porselen itu, menyesap sedikit teh hangat, lalu menutup matanya sebentar untuk menikmati rasanya. Pagi seperti ini jarang ia dapatkan, apalagi setelah hari-hari penuh masalah dan pertempuran.“Lady Alice,” suara Reina terdengar dari arah jalan setapak. Gadis itu berjalan tergesa - gesa, membawa buku catatan di tangan, wajahnya tampak puas seperti seseorang yang baru menyelesaikan tugas penting. Ia lalu membungkuk dengan sopan. “Saya sudah mengatur pengiriman kue dari toko baru Anda. Semua bangsawan yang memiliki hubungan baik dengan Anda akan men

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status