Tenda itu sunyi. Hanya suara lembut kain yang tertiup angin malam, sesekali berderak oleh hembusan udara. Aroma logam, darah kering, dan sisa dupa dari medan perang masih melekat di udara. Di tengah cahaya lentera yang remang, Alice terbangun dengan napas terengah.
Kesadaran menghantamnya dalam satu gelombang panas yang menusuk dada. Ia mengingat semuanya. Pelukan. Ciuman. Dan… wajah pangeran yang terlalu dekat. Tubuhnya seketika tegang. Ia duduk cepat, dan menyadari mantel militer tergantung di bahunya.. bukan miliknya. "Dia masih di sini?" bisiknya lirih, matanya menyapu sekeliling. Ya. Dia masih di sana. Adhelard berdiri membelakangi Alice, tubuhnya tegap seperti patung perang, tangan terlipat di dada. Suara langkah kuda di luar, sorak prajurit di kejauhan, semua terasa jauh. Yang nyata hanyalah ruang kecil itu, dan diamnya sang pangeran. Alice mengecap bibirnya yang masih terasa hangat karena… dia tahu apa yang telah ia lakukan. Dan yang lebih buruk: Adhelard juga tahu. “Saya… minta maaf pangeran,” ucapnya akhirnya, lirih tapi jujur. Tak ada jawaban. Alice memberanikan diri. “Penyamaran saya… saya tak bermaksud menyusup. Saya hanya… ingin bertahan hidup. Saya dibayar untuk membantu anda hari ini. Itu saja.” Masih tak ada suara. Lalu, perlahan, Adhelard berbalik. Wajahnya tenang. Dingin. Dan tajam seperti pedang yang belum pernah tersarungkan. Matanya kelabu, tak memancarkan kemarahan, tapi sesuatu yang lebih mengganggu: penasaran. “Prajurit bayaran, ya?” katanya pelan. “Kau menyusup ke tengah pasukanku, menyerang musuh dengan presisi yang tidak dimiliki sembarang tentara, lalu menciumku sebelum jatuh pingsan.” Ia mendekat satu langkah. “Prajurit biasa tak bertingkah seperti itu.” Alice menunduk. “Saya tak bermaksud mencium Anda. Itu… karena kutukan.” “Aku tidak bodoh.” Alice mengangkat kepala. Adhelard kini berdiri hanya satu langkah darinya. Pandangannya tajam, seperti hendak membaca pikirannya. “Dan aku tak buta,” lanjutnya. Ia menunduk sedikit dan menyentuh sisi bahu Alice yang terbuka karena mantel yang melorot. Jari-jari dinginnya berhenti pada kulit pucat yang dihiasi sebuah simbol merah berbentuk bunga berduri, nyala samar-samar seolah hidup. Simbol kutukan. Alice membeku. “Tunggu.. Anda bisa melihatnya?” Adhelard mengerutkan dahi. “Seharusnya aku tidak bisa?” “Tidak,” jawab Alice cepat. “Simbol itu... hanya bisa dilihat oleh saya. Atau oleh seseorang yang sudah...” Ia terhenti. Napasnya tercekat. Adhelard menatapnya lekat. “Yang sudah apa?” Alice tidak menjawab. Tatapan mereka terkunci. Ketegangan memenuhi ruang sempit itu. Bukan hanya karena penyamaran atau kutukan, tapi karena sesuatu yang bahkan Alice sendiri belum berani pikirkan. Dan Adhelard meski dingin, merasa sesuatu bergerak dalam dirinya. Sesuatu yang tak pernah diajarkan oleh perang. Ia tahu tak seharusnya merasa terusik oleh seorang prajurit bayaran… apalagi seorang wanita penyamar yang mencium bibirnya. Tapi tetap saja. Kenapa jantungnya berdetak secepat itu? Kenapa ia tidak bisa mengalihkan pandangan? Kenapa kutukan gadis ini... terlihat oleh matanya? Alice menarik napas panjang, menunduk dalam-dalam. Suaranya bergetar, tapi pelan. “Kutukan itu... bukan sihir biasa. Ia bukan berasal dari mantra, tapi dari... perjanjian kuno para tetua keluarga Adelaide dengan berbagai iblis untuk mendapatkan kekuatan sihir.” Adhelard tetap diam, namun matanya mengisyaratkan bahwa ia mendengarkan. “Setiap malam purnama,” lanjut Alice, “saya kehilangan kendali atas diri saya. Bukan dalam arti amarah atau kekuatan, tapi sesuatu yang lebih rendah… lebih memalukan.” Tangannya gemetar di pangkuan. “Saya akan merasakan dorongan dalam tubuh saya. Panas. Gelisah. Seperti tubuh saya menginginkan sesuatu yang tidak seharusnya diinginkan. Sentuhan. Dekapan. Nafsu yang bukan milik saya, tapi merayap di dalam tubuh. Seperti ada makhluk lain yang membisikkan dosa ke telinga saya, dan saya tidak bisa menolaknya.” Adhelard bergeming. Tapi rahangnya mengeras. Untuk sesaat, ia menatap Alice dengan tajam. “Itu sebabnya saya tak berani tinggal di tempat asing saat purnama. Takut seseorang akan melihat. Takut aku akan... menyentuh siapa pun yang terlalu dekat. Namun karena perang ini berlangsung tidak sesuai perkiraan. Saya melupakan bulan purnama bulan ini. Mungkin karena kutukan, baru muncul 3 purnama terakhir ini. Saya belum terbiasa. ” Ia mengangkat matanya, tatapannya redup, namun jujur. “Dan malam ini... Saya menyentuh Anda. Mencium anda.” Adhelard menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Tapi kau tidak membunuhku.” Alice menahan napas. “Mungkin itu yang paling saya takuti.” Adhelard menatap Alice tajam. Dengan suara yang tidak kalah seperti pedang yang ia bawa, Adhelard bertanya : “Jadi dimalam sebelumnya kau telah menyiapkan lelaki untuk melampiaskan semua itu?” Mata Alice melebar, “Tidak.” Jawabnya cepat. “Saya tinggal dekat dengan kuil agung pangeran..” “Jadi rumor kau dekat dengan calon pengganti pendeta agung itu benar?” Potong Adhelard. “Bukan begitu pangeran,” Alice segera menampik pikiran kotor lelaki dingin di depannya itu. “Tuan Teon yang dianugerahi kekuatan suci melebihi pendeta lainnya membantu mendinginkan tubuh saya dengan kekuatan sucinya.” “Jadi maksudmu.. Rahasia itu bukan hanya aku yang tahu. Tapi pendeta itu juga tahu?” Tanya Adhelard yang entah kenapa ia merasa kesal mendengar kenyataan itu. Alice mengangguk. Keduanya terdiam. Suasana begitu tegang, nyaris menyakitkan. Akhirnya, Adhelard menoleh tiba-tiba, memutus kontak mata. “Kau akan tetap di sini malam ini,” katanya datar. “Di bawah pengawasanku.” Alice menggigit bibirnya. “Sebagai tawanan?” “Sebagai utang,” jawabnya pendek. “Kau menyelamatkanku dari kematian hari ini. Dan menciumku tanpa izin. Itu... menimbulkan terlalu banyak pertanyaan.” Ia berjalan menuju pintu tenda. Tapi sebelum keluar, ia berhenti. Tanpa menoleh, suaranya terdengar lebih dalam, lebih berat: “Dan satu hal lagi.. jangan coba lari. Aku ingin tahu... apa yang bisa membuat simbol kutukan itu menyala lagi.” Alice membeku. Dan untuk pertama kalinya sejak ia dikutuk... ia merasa takut bukan karena sihir di tubuhnya. Tapi karena pria dingin di luar pintu. ***Keheningan merayap di udara seperti kabut malam yang menyesakkan dada.Alice berdiri di tengah lingkaran prajurit yang mengacungkan pedang padanya, nafasnya tak beraturan, jubah kusutnya robek di beberapa tempat, dan tangan kanannya gemetar menggenggam pedang rampasan. Di sekelilingnya, tatapan curiga dan pedang - pedang tajam terarah padanya, menuntut jawaban.Namun ia tetap bungkam. Satu suara saja dan semua akan runtuh. Suaranya terlalu lembut, terlalu khas. Jika ia berbicara, penyamarannya akan sirna. Ia terus membuat pertahanan tanpa melukai bagian vital para prajurit zirah hitam.Langkah berat bergema. Adhelard memasuki lingkaran itu dengan sikap tenang dan wibawa yang tak terbantahkan. Di tangannya, seorang lelaki diseret, tubuhnya limbung dan berdarah.Maxime.Alice menahan nafasnya. Tubuh lelaki itu jatuh ke tanah, darah mengalir dari luka di pelipis dan lengan. Meski luka - luka yang parah, matanya tetap menatap lurus, tanpa rasa gentar. Kesetiaan terpatri dalam pandanganny
Mentari belum tinggi ketika Alice berdiri di depan cermin, membenarkan gaun mewah berwarna lavender pucat yang menjuntai anggun hingga lantai. Rambut merahnya ditata rapi seperti putri bangsawan pada umumnya, meski hatinya menggerutu.Di tangan kirinya, surat kecil tergenggam erat. Ia menulisnya sendiri. Tapi begitu selesai, ia tidak memanggil pelayan biasa. Alice membuka jendela dan meniupkan peluit kecil dari perak, sebuah sinyal khusus.Tak sampai lima menit, Maxime sudah melompat masuk lewat balkon seperti biasa, wajahnya tenang namun waspada."Kau memanggilku, Nona?""Aku butuh bantuanmu," ucap Alice tanpa basa-basi, menyodorkan surat itu. "Aku tidak bisa menepati janji bertemu dengan pedagang itu hari ini. Tolong temui dia dan katakan aku akan datang terlambat. Ini tempatnya dan ini kata sandinya."Maxime menerima surat itu dengan anggukan. "Saya akan menyampaikannya sendiri."Hari ini seharusnya ia menemui seseorang yang mengaku sebagai pedagang kaya dari luar wilayah kerajaan.
Malam itu, angin berhembus lembut melewati celah jendela kediaman keluarga Adelaide. Cahaya purnama menggantung penuh di langit, perak dan pucat, menerangi seisi kamar dengan keheningan yang menggoda. Di atas tempat tidur mewah milik Lady Anne yang kini digunakan oleh Alice, ia terbaring dengan nafas tak teratur dan kulit bersinar penuh peluh. Rambut merahnya tergerai kusut, pipinya memanas, dan matanya menerawang kabur.Alice menggigit bibirnya. Tubuhnya panas, lebih dari sekadar demam biasa. Ia tahu, malam ini adalah waktunya kutukan itu bangkit. Ia telah menahannya selama berada di pesta, namun setelah kembali dengan dalih sakit dan meninggalkan kereta istana lebih awal, tubuhnya mulai bereaksi. Dada sesak, kulitnya seperti terbakar dari dalam.Tiba-tiba, dari jendela terbuka, sebuah suara ringan terdengar."Kau terlihat lebih buruk daripada biasanya."Alice menoleh lemah. Sosok lelaki tinggi, ramping dengan jubah putih bersih melangkah masuk dari jendela. Matanya lembut, bersinar
Tangan Adhelard menuntun Alice dengan tegas, meski langkah mereka pelan menyusuri koridor panjang menuju aula pesta. Jemarinya dingin namun mantap, dan cengkeramannya menyiratkan kuasa, seolah berkata: kau aman bersamaku, tapi jangan bertanya terlalu banyak.Alice tak bisa berkata-kata. Ucapan Adhelard sebelumnya masih menggema di telinganya.“Karena dia akan menjadi keluargaku juga nanti.”Kalimat itu mengganggu pikirannya. Apakah itu hanya untuk menyingkirkan Rose? Atau… ada makna tersembunyi?Begitu mereka tiba di pintu aula, Alice ingin segera melepaskan diri. Tapi detik itu pula, seorang wanita bergaun emas dengan mahkota kristal kecil di rambut peraknya berdiri di hadapan mereka.Ibu Suri.Permaisuri Chloe.Ibu tiri Adhelard dan ibu kandung dari Pangeran Evrard.Senyum Chloe manis, tapi matanya seperti pisau yang tajam. Ia memandangi Adhelard dengan angkuh, lalu menurunkan tatapannya pada Alice, sebelum kembali ke Adhelard.“Oh, lihat siapa yang akhirnya kembali dari medan peran
Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Cahaya dari jendela aula dansa memantul di lantai marmer lorong istana yang sunyi. Langkah Adhelard terdengar berat namun pasti saat ia meninggalkan ruangan tempat Alice berdiri canggung sendirian. Namun belum jauh dari ambang pintu, seseorang menghadangnya.Rose Jerome.Wanita bangsawan bergaun ungu tua itu melangkah pelan, membawa aroma lavender dan nostalgia masa lalu. Senyum tipis tergurat di wajahnya, senyum yang dulu membuat banyak pria istana terpikat, termasuk Adhelard—atau setidaknya, begitulah yang ia yakini.“Adhelard,” sapanya dengan nada halus, “Kita perlu bicara.”Adhelard menghentikan langkahnya, tatapannya kosong sejenak, lalu beralih pada sosok wanita itu.Dari balik pintu, Alice muncul tanpa sengaja. Saat melihat mereka, ia tertegun, hampir saja ingin kembali masuk, tapi Adhelard sudah meliriknya duluan.“Jangan pergi,” ucapnya datar.Alice menunduk, canggung. Ia merasa seperti bayangan tak diinginkan, berada di antara d
Kilau permata dan gaun sutra membanjiri aula istana utama. Pesta ulang tahun Pangeran Kedua, Evrard, telah menarik seluruh bangsawan dari empat penjuru kerajaan. Lampu gantung kristal bersinar seperti langit berbintang di atas kepala, dan aroma mawar serta anggur tua memenuhi ruangan.Di ambang pintu, Alice berdiri. Dalam balutan gaun putih keperakan milik Anne, rambutnya disanggul anggun, hanya beberapa helai dibiarkan jatuh untuk membingkai wajahnya. Dia tampak persis seperti yang diharapkan semua orang dari putri keluarga Adelaide, tenang, lembut, dan tinggi Bermartabat. Tapi di balik matanya, badai berkecamuk. Ia datang bukan sebagai tamu kehormatan, tapi sebagai penyamar. Sebagai kebenaran yang menyelinap di antara kebohongan.Saat langkahnya maju, suara langkah lain terdengar dari arah berlawanan. Seorang wanita dengan gaun merah darah, tinggi, dan percaya diri, berdiri di jalurnya. Rambut pirangnya disanggul sempurna. Senyum miringnya menilai dari ujung kepala sampai ujung kaki