Share

Bab 3

Penulis: irisamayeontan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-25 22:14:37

Angin pagi belum berhenti menggoyangkan tiang-tiang tenda saat Alice menyiapkan senjatanya. Rambut merahnya tergerai, tak lagi terikat dalam simpul prajurit. Matanya memandangi bayangan samar di cermin kecil, bayangan yang bukan milik seorang tentara, melainkan seorang wanita yang baru saja mencium pangeran.

Namun pikirannya buyar saat seseorang menerobos masuk dengan napas memburu.

“Lady Alice!” seru Maxime.

Alice menoleh tajam. “Apa yang terjadi?”

Maxime, anak buah paling setia sekaligus informan terbaiknya. Menunduk, menyodorkan sepucuk surat yang basah oleh embun dan keringat. “Lady Anne. Saudari kembar anda. Dia mengalami kecelakaan semalam.”

Alice membeku. “Apa?”

“Kereta yang ia tumpangi terbalik saat pulang dari jamuan makan bangsawan. Jalanan basah. Tapi... terlalu kebetulan. Ia belum sadar hingga sekarang.”

Detak jantung Alice menggema di telinganya. Ia tahu Anne seharusnya hadir dalam pesta ulang tahun Putra Mahkota dua hari lagi, acara penting, yang akan menempatkan nama keluarga Adelaide di hadapan seluruh istana. Acara debute Pangeran Evrard yang secara resmi di umumkan sebagai putra mahkota menggantikan pangeran Adhelard. Ya, dirinya dan Adhelard sama, anak yang terbuang.

Namun kini...

“Siapkan kudaku,” bisiknya.

Maxime hendak pergi, tapi Alice memanggilnya kembali. “Tunggu. Sampaikan ini pada Pangeran Adhelard…”

Maxime menoleh.

“Katakan padanya aku akan membayar utangnya. Tapi tidak sekarang. Aku harus menyelesaikan urusanku terlebih dahulu. Saat segalanya selesai… aku akan kembali menemuinya. Dan membayar utang itu sendiri.”

Kediaman keluarga Adelaide berdiri bagai lukisan musim gugur: megah namun terasa sunyi dan tua. Alice turun dari kudanya tanpa dituntun. Tak ada pelayan menyambut. Tak ada suara kehidupan. Hanya udara penuh beban.

Begitu ia melangkah masuk ke aula utama, suara sepatu tumit tinggi menggema dari atas tangga batu.

Sosok anggun dalam gaun beludru biru tua berdiri di puncak. Rambut keemasan sang ibu digelung rapi. Tatapannya seperti pisau es—tajam, lelah, dan dipenuhi perasaan yang tak sempat disebutkan.

“Ibu,” ucap Alice pelan.

Wanita itu menuruni tangga, langkahnya tenang namun tegang. Begitu ia sampai di hadapan Alice, tangannya terangkat—dan tamparan keras mendarat di pipi kiri putrinya.

Bukan kebencian. Tapi rasa takut.

“Kau… sudah berjanji tak akan bertemu Anne lagi,” katanya gemetar.

Alice menahan air mata, tapi tak mundur. “Aku tak tahu dia masih sering datang diam-diam.”

Sang ibu memalingkan wajah, bahunya naik turun menahan emosi. “Kau tahu ramalan itu, Alice. Sejak kalian lahir, seluruh tetua memperingatkan. Dua anak kembar tidak boleh tumbuh bersama. Jika tidak…”

“...malapetaka akan datang,” gumam Alice.

“Dan sekarang dia terbaring koma!” bentaknya pelan. “Dua hari sebelum pesta kerajaan!”

Alice mendekat, tenang dan tegar. “Tunjukkan kamarnya. Aku harus melihatnya ibu.”

Ibunya ragu sejenak. Lalu, dengan lirih, berkata, “Jangan lama. Dan jangan beri harapan kalau kau akan tinggal.”

Tapi saat Alice berjalan melewatinya, ia bisa merasakan: sang ibu masih menyayanginya. Hanya saja... rasa cinta itu terkubur dalam ketakutan yang diwariskan turun-temurun.

Anne terbaring diam di atas ranjang. Kulitnya pucat seperti salju musim dingin, rambutnya menyebar di bantal, dan napasnya lemah tapi teratur. Alice duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan saudarinya.

“Kenapa harus kamu?” bisiknya. “Kau yang baik. Kau yang penurut. Kau yang masih diakui sebagai anak.”

Air mata menitik. Tapi bukan karena kelemahan. Alice tahu, ia tidak boleh rapuh sekarang.

Pintu terbuka pelan. Sang ayah muncul, tubuh tegap yang kini terlihat lebih tua dan melelahkan.

“Putra Mahkota menunggu. Bila Anne tidak muncul dalam pesta itu, reputasi keluarga ini bisa runtuh.”

Alice bangkit. “Lalu apa? Mengumumkan sakitnya Anne? Mengganti undangan dengan permintaan maaf?”

“Ada harga yang harus dibayar,” kata sang ayah dingin. “Kita tidak bisa membatalkan kehadiran.”

Alice menatap wajah kakaknya sekali lagi, lalu menarik napas dalam-dalam.

“Aku akan menggantikannya.”

Sang ayah mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”

“Aku akan datang ke pesta itu sebagai Anne. Kita anak kembar. Suara, postur, cara bicara, aku bisa menirunya. Tak ada yang akan tahu.”

Langkah ringan terdengar dari pintu. Sang ibu muncul, menatapnya curiga. “Kau pikir penyamaran bisa menyelamatkan kita?”

“Aku tahu satu hal,” Alice menatap mereka berdua. “Kalau aku tidak melakukan ini, kalian bisa kehilangan semuanya.”

Sang ibu menahan napas. “Dan kutukan yang diramalkan itu? Kau masih berdarah… terluka dibahumu.”

Alice diam. Ia menyadari ibunya masih memperhatikannya dengan detail. Ibunya, mengkhawatirkannya. Rasa hangat menjalar dihatinya.

Alice menatapnya tajam. “Kalian yang selalu berkata kutukan itu nyata. Kalian selalu mencecarku dengan luka di tubuhku.  Tapi tak pernah bertanya bagaimana aku bisa mendapatkannya.”

Suasana membeku.

Lalu, Alice melangkah ke tengah ruangan, berdiri tegak seperti pemimpin.

“Penyamaranku bukan hanya untuk menyelamatkan pesta. Tapi untuk mencari tahu siapa yang mencelakai Anne.”

Semua menatapnya.

“Aku yakin... kecelakaan ini bukan takdir. Tapi pesan. Seseorang ingin Anne gagal muncul. Seseorang ingin menggantikannya di mata istana.”

Ibunya mengepalkan tangan. “Kau ingin jadi penyelamat sekarang? Kau pikir setelah semua ini kau bisa kembali ke rumah ini sebagai pahlawan?”

Alice tersenyum kecil, senyum wanita yang tahu dia sudah kehilangan segalanya, dan tak takut lagi kehilangan.

“Aku tak peduli disebut apa. Aku akan ke pesta itu. Dan aku akan mencari tahu... siapa yang mencoba membunuh kakakku.”

Ia menatap ibunya, untuk terakhir kalinya. “Dan jika kutukan itu memang nyata, biarlah aku saja yang menanggungnya.”

Sang ibu tidak menjawab. Tapi matanya merah. Getaran di bibirnya nyaris tak kentara.

Namun sebelum Alice pergi, ia berhenti dan menoleh:

“Atau mungkin… malapetaka itu bukan aku. Tapi seseorang di dalam istana yang takut Anne terlalu dekat pada kebenaran.”

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 9

    Keheningan merayap di udara seperti kabut malam yang menyesakkan dada.Alice berdiri di tengah lingkaran prajurit yang mengacungkan pedang padanya, nafasnya tak beraturan, jubah kusutnya robek di beberapa tempat, dan tangan kanannya gemetar menggenggam pedang rampasan. Di sekelilingnya, tatapan curiga dan pedang - pedang tajam terarah padanya, menuntut jawaban.Namun ia tetap bungkam. Satu suara saja dan semua akan runtuh. Suaranya terlalu lembut, terlalu khas. Jika ia berbicara, penyamarannya akan sirna. Ia terus membuat pertahanan tanpa melukai bagian vital para prajurit zirah hitam.Langkah berat bergema. Adhelard memasuki lingkaran itu dengan sikap tenang dan wibawa yang tak terbantahkan. Di tangannya, seorang lelaki diseret, tubuhnya limbung dan berdarah.Maxime.Alice menahan nafasnya. Tubuh lelaki itu jatuh ke tanah, darah mengalir dari luka di pelipis dan lengan. Meski luka - luka yang parah, matanya tetap menatap lurus, tanpa rasa gentar. Kesetiaan terpatri dalam pandanganny

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 8

    Mentari belum tinggi ketika Alice berdiri di depan cermin, membenarkan gaun mewah berwarna lavender pucat yang menjuntai anggun hingga lantai. Rambut merahnya ditata rapi seperti putri bangsawan pada umumnya, meski hatinya menggerutu.Di tangan kirinya, surat kecil tergenggam erat. Ia menulisnya sendiri. Tapi begitu selesai, ia tidak memanggil pelayan biasa. Alice membuka jendela dan meniupkan peluit kecil dari perak, sebuah sinyal khusus.Tak sampai lima menit, Maxime sudah melompat masuk lewat balkon seperti biasa, wajahnya tenang namun waspada."Kau memanggilku, Nona?""Aku butuh bantuanmu," ucap Alice tanpa basa-basi, menyodorkan surat itu. "Aku tidak bisa menepati janji bertemu dengan pedagang itu hari ini. Tolong temui dia dan katakan aku akan datang terlambat. Ini tempatnya dan ini kata sandinya."Maxime menerima surat itu dengan anggukan. "Saya akan menyampaikannya sendiri."Hari ini seharusnya ia menemui seseorang yang mengaku sebagai pedagang kaya dari luar wilayah kerajaan.

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 7

    Malam itu, angin berhembus lembut melewati celah jendela kediaman keluarga Adelaide. Cahaya purnama menggantung penuh di langit, perak dan pucat, menerangi seisi kamar dengan keheningan yang menggoda. Di atas tempat tidur mewah milik Lady Anne yang kini digunakan oleh Alice, ia terbaring dengan nafas tak teratur dan kulit bersinar penuh peluh. Rambut merahnya tergerai kusut, pipinya memanas, dan matanya menerawang kabur.Alice menggigit bibirnya. Tubuhnya panas, lebih dari sekadar demam biasa. Ia tahu, malam ini adalah waktunya kutukan itu bangkit. Ia telah menahannya selama berada di pesta, namun setelah kembali dengan dalih sakit dan meninggalkan kereta istana lebih awal, tubuhnya mulai bereaksi. Dada sesak, kulitnya seperti terbakar dari dalam.Tiba-tiba, dari jendela terbuka, sebuah suara ringan terdengar."Kau terlihat lebih buruk daripada biasanya."Alice menoleh lemah. Sosok lelaki tinggi, ramping dengan jubah putih bersih melangkah masuk dari jendela. Matanya lembut, bersinar

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 6

    Tangan Adhelard menuntun Alice dengan tegas, meski langkah mereka pelan menyusuri koridor panjang menuju aula pesta. Jemarinya dingin namun mantap, dan cengkeramannya menyiratkan kuasa, seolah berkata: kau aman bersamaku, tapi jangan bertanya terlalu banyak.Alice tak bisa berkata-kata. Ucapan Adhelard sebelumnya masih menggema di telinganya.“Karena dia akan menjadi keluargaku juga nanti.”Kalimat itu mengganggu pikirannya. Apakah itu hanya untuk menyingkirkan Rose? Atau… ada makna tersembunyi?Begitu mereka tiba di pintu aula, Alice ingin segera melepaskan diri. Tapi detik itu pula, seorang wanita bergaun emas dengan mahkota kristal kecil di rambut peraknya berdiri di hadapan mereka.Ibu Suri.Permaisuri Chloe.Ibu tiri Adhelard dan ibu kandung dari Pangeran Evrard.Senyum Chloe manis, tapi matanya seperti pisau yang tajam. Ia memandangi Adhelard dengan angkuh, lalu menurunkan tatapannya pada Alice, sebelum kembali ke Adhelard.“Oh, lihat siapa yang akhirnya kembali dari medan peran

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 5

    Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Cahaya dari jendela aula dansa memantul di lantai marmer lorong istana yang sunyi. Langkah Adhelard terdengar berat namun pasti saat ia meninggalkan ruangan tempat Alice berdiri canggung sendirian. Namun belum jauh dari ambang pintu, seseorang menghadangnya.Rose Jerome.Wanita bangsawan bergaun ungu tua itu melangkah pelan, membawa aroma lavender dan nostalgia masa lalu. Senyum tipis tergurat di wajahnya, senyum yang dulu membuat banyak pria istana terpikat, termasuk Adhelard—atau setidaknya, begitulah yang ia yakini.“Adhelard,” sapanya dengan nada halus, “Kita perlu bicara.”Adhelard menghentikan langkahnya, tatapannya kosong sejenak, lalu beralih pada sosok wanita itu.Dari balik pintu, Alice muncul tanpa sengaja. Saat melihat mereka, ia tertegun, hampir saja ingin kembali masuk, tapi Adhelard sudah meliriknya duluan.“Jangan pergi,” ucapnya datar.Alice menunduk, canggung. Ia merasa seperti bayangan tak diinginkan, berada di antara d

  • Gairah Sang Penyihir Menawan   Bab 4

    Kilau permata dan gaun sutra membanjiri aula istana utama. Pesta ulang tahun Pangeran Kedua, Evrard, telah menarik seluruh bangsawan dari empat penjuru kerajaan. Lampu gantung kristal bersinar seperti langit berbintang di atas kepala, dan aroma mawar serta anggur tua memenuhi ruangan.Di ambang pintu, Alice berdiri. Dalam balutan gaun putih keperakan milik Anne, rambutnya disanggul anggun, hanya beberapa helai dibiarkan jatuh untuk membingkai wajahnya. Dia tampak persis seperti yang diharapkan semua orang dari putri keluarga Adelaide, tenang, lembut, dan tinggi Bermartabat. Tapi di balik matanya, badai berkecamuk. Ia datang bukan sebagai tamu kehormatan, tapi sebagai penyamar. Sebagai kebenaran yang menyelinap di antara kebohongan.Saat langkahnya maju, suara langkah lain terdengar dari arah berlawanan. Seorang wanita dengan gaun merah darah, tinggi, dan percaya diri, berdiri di jalurnya. Rambut pirangnya disanggul sempurna. Senyum miringnya menilai dari ujung kepala sampai ujung kaki

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status