Kilau permata dan gaun sutra membanjiri aula istana utama. Pesta ulang tahun Pangeran Kedua, Evrard, telah menarik seluruh bangsawan dari empat penjuru kerajaan. Lampu gantung kristal bersinar seperti langit berbintang di atas kepala, dan aroma mawar serta anggur tua memenuhi ruangan.
Di ambang pintu, Alice berdiri. Dalam balutan gaun putih keperakan milik Anne, rambutnya disanggul anggun, hanya beberapa helai dibiarkan jatuh untuk membingkai wajahnya. Dia tampak persis seperti yang diharapkan semua orang dari putri keluarga Adelaide, tenang, lembut, dan tinggi Bermartabat. Tapi di balik matanya, badai berkecamuk. Ia datang bukan sebagai tamu kehormatan, tapi sebagai penyamar. Sebagai kebenaran yang menyelinap di antara kebohongan. Saat langkahnya maju, suara langkah lain terdengar dari arah berlawanan. Seorang wanita dengan gaun merah darah, tinggi, dan percaya diri, berdiri di jalurnya. Rambut pirangnya disanggul sempurna. Senyum miringnya menilai dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Natalie Holcer,” bisik Alice dalam hati. “Lady Anne,” sapa Natalie, suaranya manis tapi menusuk. “Akhirnya kita bertemu lagi. Kudengar kau hampir tak jadi datang.” Alice membalas dengan senyum tipis. “Sayang sekali, aku tidak suka membuat orang kecewa.” Mata mereka bertarung diam-diam. Ketegangan menggantung di udara di antara mereka. Tapi sebelum lebih banyak kata saling dilontarkan, Alice melangkah anggun meninggalkannya. Pangeran Evrard sudah menunggunya di dalam ruangan pribadi. Tubuhnya tinggi dan elegan, dengan senyum khas bangsawan yang menyembunyikan banyak agenda. Ia menyambut Alice dengan hangat. “Lady Anne. Aku senang kau datang.” Alice menunduk sopan. “Terima kasih atas undangannya, Yang mulia putra mahkota.” Namun sebelum obrolan mereka berlanjut, pintu samping terbuka pelan. Seorang wanita muda dengan rambut perak dan gaun biru pucat melangkah masuk. Matanya besar dan berkilat polos, tapi langkahnya terlalu ringan, terlalu terlatih. Aura lembut yang menyelubungi dirinya terasa... dibuat-buat. “Ini Carolie,” kata Evrard bangga. “Dia... orang kepercayaanku. Aku ingin kau mengenalnya.” Alice menoleh pelan. Matanya menyapu Carolie dari atas ke bawah. Tatapan perempuan itu sangat bersih, terlalu bersih, nyaris seperti boneka yang dipoles sempurna. Tapi Alice melihat lebih dari itu. Cara Carolie berdiri dekat Evrard, dengan kepala miring seolah membutuhkan perlindungan, senyum kecil yang dilemparkan seperti umpan. Itu bukan ketulusan, itu latihan. Carolie tersenyum dan mengulurkan tangan. “Saya harap kita bisa berteman, Lady Anne. Pangeran selalu menyebut anda dengan penuh hormat.” Alice mengangguk kecil, menyembunyikan keterkejutannya. Pangeran menyebutku? Carolie melanjutkan, “Saya tahu tempat.. Tapi saya percaya, wanita sebaik anda tak akan keberatan berbagi kasih sayang dari pria yang sama, bukan?” Ucapan itu menusuk seperti belati. Wajah Alice tetap tenang, tapi jantungnya mulai berdentum. “Apakah... kau baru mengenalnya?” tanya Alice tenang. Carolie tersenyum manja. “Sejak musim semi lalu. Putra Mahkota sangat memperhatikan saya. Bahkan memberi saya kamar pribadi... di sini.” Senyum Alice perlahan menipis. “Aku mengerti.” Tapi suaranya terdengar mengeras. Matanya menusuk Carolie yang kini mendekat lagi, pura-pura ingin bersahabat. “Anda sangat cantik malam ini,” puji Carolie dengan lirih menggoda. “Tak heran Pangeran Evrard terpesona. Tapi... tak semua wanita bisa memikat hatinya seperti yang saya lakukan.” “Dia berasal dari desa. Dibawa ke istana sebagai pelayan, tapi hatinya bersih. Tidak seperti para bangsawan yang penuh kepalsuan. Aku yakin, Anne.. kau akan menyukai Carolie suatu hari nanti.” Jelas pangeran Evrard Carolie tersenyum malu, suaranya lembut. “Saya harap kita bisa berteman, Lady Anne…” Titik didih Alice pecah. Senyumnya membeku. Matanya tajam. Ia menatap Carolie yang tersipu, berpura-pura lemah, sementara kenyataannya: budak kampungan itu telah berada dalam lingkaran kepercayaan calon raja. Alice menahan diri, tapi hawa panas menggelegak di dadanya. Dengan gerakan cepat dan tenang, ia mengambil gelas anggur dari meja terdekat dan menyiramkannya ke wajah Carolie. Gelas pecah membentur lantai. Carolie menjerit, tubuhnya basah kuyup, rambut peraknya menempel di wajah. “Lady Anne!” seru Evrard kaget dan marah. Alice mendekat perlahan, suaranya rendah namun tegas. “Berhati - hatilah pada permainan yang kau mainkan, Carolie.” Ia menatap Carolie tajam, lalu berbalik dan berjalan anggun keluar ruangan, tak peduli pada panggilan Evrard dari belakang. Langkahnya tergesa, tubuhnya panas oleh amarah dan rasa malu. Tapi belum jauh dari aula utama, suara langkah berat bergema di lorong. Suara logam beradu, khas zirah tempur. Clak. Clak. Clak. Langkah yang terlalu tegas. Terlalu militer. Alice menoleh—dan jantungnya berhenti berdetak. Pangeran Adhelard muncul dari pintu utama pesta. Dalam zirah hitam lengkap, pedang di punggung, jubah pendek di bahunya. Tak seperti bangsawan lain, ia datang seperti memasuki medan perang. Suaranya berat, penuh tekanan. “Lady Anne?” Alice menoleh cepat. Di ujung koridor gelap, Adhelard berdiri dengan zirahnya yang masih lengkap. Simbol hijau di bahunya bersinar samar di bawah cahaya lampu, seolah mengingatkan siapapun bahwa dia bukan sekadar pangeran—dia adalah pejuang. Komandan perang, yang tak mudah dikelabui. Tatapannya dingin, menusuk, dan penuh kecurigaan. Adhelard melangkah mendekat, tak tergesa namun pasti. Alice mematung saat pria itu mendekat dan, tanpa sepatah kata pun, meraih pergelangan tangannya dan menariknya masuk ke sebuah ruangan pribadi yang tersembunyi di balik tirai dinding. Pintu ditutup rapat. Mereka berdiri hanya berjarak beberapa jengkal. Alice menghindari tatapan itu, tapi Adhelard tidak memberinya pilihan. “Lucu sekali,” ucapnya dingin. “Beberapa malam lalu kau memelukku. Kau menciumku seakan-akan dunia akan berakhir. Dan sekarang kau berdiri di sini... menjadi calon Putri Mahkota?” Alice mengangkat dagunya. “Saya pikir Anda salah orang. Mungkin yang anda maksud lady Alice. Saya adalah Lady Anne Adelaide, saudara kembarnya." Adhelard tertawa kecil, dingin dan pendek. “Berhentilah. Kau tahu aku tidak bodoh.” “Saya tidak tahu apa maksud Anda, Pangeran.” “Berhenti berbohong,” bisiknya tajam. Ia bergerak lebih dekat. “Jika kau benar-benar Lady Anne, maka siapa yang meninggalkan kutukan di bahunya malam itu?” Alice terdiam. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar. “Aku melihatnya,” lanjut Adhelard. “Tanda kutukan itu. Dan aku melihatnya lagi sekarang. Itu tidak akan pernah lepas dari pandanganku.” Alice mundur perlahan. “Bagaimana bisa Anda melihatnya? Tidak seharusnya...” Adhelard menurunkan suara, matanya memicing. “Simbol hijau ini bukan hanya tanda kebanggaan. Ia memberiku penglihatan yang menembus sihir lemah. Kutukanmu bukan teka-teki bagiku.” Keheningan menggantung. Hanya suara napas mereka yang terdengar. Adhelard menatapnya lama, lalu menyipitkan mata. “Aku akan memberitahumu apa yang lebih lucu dari semua ini.” Alice menahan napas. “Bahwa aku merasa lega melihatmu baik - baik saja. Walaupun kau berdiri di hadapanku, mengenakan wajah saudaramu, berdusta di setiap kata... padahal aku tahu sejak awal. Kau adalah Alice.” Alice membeku. Bibirnya gemetar. “Tidak. Saya—” “Kau adalah Alice,” ulang Adhelard dengan nada mutlak. “Dan kau sangat buruk dalam menyamar, bahkan ketika kau menciumku dengan begitu yakin.” Alice berusaha menjawab, tapi seluruh keberaniannya menguap. Matanya mulai berair, tapi dia cepat-cepat menunduk. Adhelard tidak menyentuhnya lagi. Ia hanya menatap, lalu membuka pintu dan melangkah pergi tanpa menoleh. Sesaat sebelum menghilang sepenuhnya, ia menoleh setengah, dan suaranya menggema tenang namun tajam. “Kau memainkan sandiwaramu lagi, Alice. Dan sayangnya... aku masih penonton yang sama.” Alice menutup mata, dadanya sesak. Di balik ketegasan sikap Adhelard, ia tahu... permainan ini baru saja dimulai. ***Keheningan merayap di udara seperti kabut malam yang menyesakkan dada.Alice berdiri di tengah lingkaran prajurit yang mengacungkan pedang padanya, nafasnya tak beraturan, jubah kusutnya robek di beberapa tempat, dan tangan kanannya gemetar menggenggam pedang rampasan. Di sekelilingnya, tatapan curiga dan pedang - pedang tajam terarah padanya, menuntut jawaban.Namun ia tetap bungkam. Satu suara saja dan semua akan runtuh. Suaranya terlalu lembut, terlalu khas. Jika ia berbicara, penyamarannya akan sirna. Ia terus membuat pertahanan tanpa melukai bagian vital para prajurit zirah hitam.Langkah berat bergema. Adhelard memasuki lingkaran itu dengan sikap tenang dan wibawa yang tak terbantahkan. Di tangannya, seorang lelaki diseret, tubuhnya limbung dan berdarah.Maxime.Alice menahan nafasnya. Tubuh lelaki itu jatuh ke tanah, darah mengalir dari luka di pelipis dan lengan. Meski luka - luka yang parah, matanya tetap menatap lurus, tanpa rasa gentar. Kesetiaan terpatri dalam pandanganny
Mentari belum tinggi ketika Alice berdiri di depan cermin, membenarkan gaun mewah berwarna lavender pucat yang menjuntai anggun hingga lantai. Rambut merahnya ditata rapi seperti putri bangsawan pada umumnya, meski hatinya menggerutu.Di tangan kirinya, surat kecil tergenggam erat. Ia menulisnya sendiri. Tapi begitu selesai, ia tidak memanggil pelayan biasa. Alice membuka jendela dan meniupkan peluit kecil dari perak, sebuah sinyal khusus.Tak sampai lima menit, Maxime sudah melompat masuk lewat balkon seperti biasa, wajahnya tenang namun waspada."Kau memanggilku, Nona?""Aku butuh bantuanmu," ucap Alice tanpa basa-basi, menyodorkan surat itu. "Aku tidak bisa menepati janji bertemu dengan pedagang itu hari ini. Tolong temui dia dan katakan aku akan datang terlambat. Ini tempatnya dan ini kata sandinya."Maxime menerima surat itu dengan anggukan. "Saya akan menyampaikannya sendiri."Hari ini seharusnya ia menemui seseorang yang mengaku sebagai pedagang kaya dari luar wilayah kerajaan.
Malam itu, angin berhembus lembut melewati celah jendela kediaman keluarga Adelaide. Cahaya purnama menggantung penuh di langit, perak dan pucat, menerangi seisi kamar dengan keheningan yang menggoda. Di atas tempat tidur mewah milik Lady Anne yang kini digunakan oleh Alice, ia terbaring dengan nafas tak teratur dan kulit bersinar penuh peluh. Rambut merahnya tergerai kusut, pipinya memanas, dan matanya menerawang kabur.Alice menggigit bibirnya. Tubuhnya panas, lebih dari sekadar demam biasa. Ia tahu, malam ini adalah waktunya kutukan itu bangkit. Ia telah menahannya selama berada di pesta, namun setelah kembali dengan dalih sakit dan meninggalkan kereta istana lebih awal, tubuhnya mulai bereaksi. Dada sesak, kulitnya seperti terbakar dari dalam.Tiba-tiba, dari jendela terbuka, sebuah suara ringan terdengar."Kau terlihat lebih buruk daripada biasanya."Alice menoleh lemah. Sosok lelaki tinggi, ramping dengan jubah putih bersih melangkah masuk dari jendela. Matanya lembut, bersinar
Tangan Adhelard menuntun Alice dengan tegas, meski langkah mereka pelan menyusuri koridor panjang menuju aula pesta. Jemarinya dingin namun mantap, dan cengkeramannya menyiratkan kuasa, seolah berkata: kau aman bersamaku, tapi jangan bertanya terlalu banyak.Alice tak bisa berkata-kata. Ucapan Adhelard sebelumnya masih menggema di telinganya.“Karena dia akan menjadi keluargaku juga nanti.”Kalimat itu mengganggu pikirannya. Apakah itu hanya untuk menyingkirkan Rose? Atau… ada makna tersembunyi?Begitu mereka tiba di pintu aula, Alice ingin segera melepaskan diri. Tapi detik itu pula, seorang wanita bergaun emas dengan mahkota kristal kecil di rambut peraknya berdiri di hadapan mereka.Ibu Suri.Permaisuri Chloe.Ibu tiri Adhelard dan ibu kandung dari Pangeran Evrard.Senyum Chloe manis, tapi matanya seperti pisau yang tajam. Ia memandangi Adhelard dengan angkuh, lalu menurunkan tatapannya pada Alice, sebelum kembali ke Adhelard.“Oh, lihat siapa yang akhirnya kembali dari medan peran
Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Cahaya dari jendela aula dansa memantul di lantai marmer lorong istana yang sunyi. Langkah Adhelard terdengar berat namun pasti saat ia meninggalkan ruangan tempat Alice berdiri canggung sendirian. Namun belum jauh dari ambang pintu, seseorang menghadangnya.Rose Jerome.Wanita bangsawan bergaun ungu tua itu melangkah pelan, membawa aroma lavender dan nostalgia masa lalu. Senyum tipis tergurat di wajahnya, senyum yang dulu membuat banyak pria istana terpikat, termasuk Adhelard—atau setidaknya, begitulah yang ia yakini.“Adhelard,” sapanya dengan nada halus, “Kita perlu bicara.”Adhelard menghentikan langkahnya, tatapannya kosong sejenak, lalu beralih pada sosok wanita itu.Dari balik pintu, Alice muncul tanpa sengaja. Saat melihat mereka, ia tertegun, hampir saja ingin kembali masuk, tapi Adhelard sudah meliriknya duluan.“Jangan pergi,” ucapnya datar.Alice menunduk, canggung. Ia merasa seperti bayangan tak diinginkan, berada di antara d
Kilau permata dan gaun sutra membanjiri aula istana utama. Pesta ulang tahun Pangeran Kedua, Evrard, telah menarik seluruh bangsawan dari empat penjuru kerajaan. Lampu gantung kristal bersinar seperti langit berbintang di atas kepala, dan aroma mawar serta anggur tua memenuhi ruangan.Di ambang pintu, Alice berdiri. Dalam balutan gaun putih keperakan milik Anne, rambutnya disanggul anggun, hanya beberapa helai dibiarkan jatuh untuk membingkai wajahnya. Dia tampak persis seperti yang diharapkan semua orang dari putri keluarga Adelaide, tenang, lembut, dan tinggi Bermartabat. Tapi di balik matanya, badai berkecamuk. Ia datang bukan sebagai tamu kehormatan, tapi sebagai penyamar. Sebagai kebenaran yang menyelinap di antara kebohongan.Saat langkahnya maju, suara langkah lain terdengar dari arah berlawanan. Seorang wanita dengan gaun merah darah, tinggi, dan percaya diri, berdiri di jalurnya. Rambut pirangnya disanggul sempurna. Senyum miringnya menilai dari ujung kepala sampai ujung kaki