Mataku mengerjap beberapa kali, memastikan benarkah sosok yang saat ini berada tak jauh dari posisiku adalah dia yang kurindukan? Ternyata benar, lelaki itu terlihat sangat nyata, memandang ke arahku seraya menggerakkan mulut, menyebut susunan huruf hingga membentuk satu nama.
“Kelana.”
“Daffa,” lirihku.
Sejenak dua jenak, kami bertatapan, hingga wanita yang amat familier mendekat dan bergelayut manja di lengannya.
“Kamu ngapain sih, katanya cuma mampir bentar, kok lama banget? Perutku sakit,” rengekan wanita tersebut terdengar jelas. “Astaga, temen kamu kenapa babak belur gitu? Kalian berantem? Kamu gimana? Ada yang luka?” Dia menyentuh wajah Daffa seraya mencari-cari bekas luka di sana.
“Aku gak apa-apa, Mona,” jawab Daffa lembut.
“Syukurlah, aku panik banget.” Wanita itu menghela napas lega dan kembali memeluk Daffa.
Aku merasa seperti obat nyamuk di antara mereka. Saat itulah, melalui gerakan mata Daffa menginsyaratkan tentang kehadiranku pada wanita tersebut. Sampai akhirnya, wanita tadi menyadari kemudian tersenyum tipis.
“Kelana, kan?”
Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Hai, apa kabar? Seneng bisa ketemu kamu lagi,” sapanya.
“Hehe iya, kabar baik, Mbak,” balasku sambil terkekeh canggung.
“Maaf ya gak bisa lama, aku sama Daffa buru-buru, mau ke rumah sakit,” ucap Mona. Dia menggandeng Daffa kemudian melenggang pergi tanpa melihat ke belakang lagi.
Sampai punggung mereka menjauh, aku masih berdiri di tempat semula sembari menatap nanar kepergian mereka. Benarkah yang kulihat itu Daffa dan Mona? Apa mereka tak merasa perlu menjelaskan sesuatu? Kok dengan mudahnya pergi tanpa bicara apa-apa? Dan lagi, keduanya tampak mesra.
Hatiku sedikit tercubit mendapati kenyataan tersebut. Bagaimana tidak, mereka merupakan orang yang amat dekat denganku. Mona teman lamaku, sementara Daffa? Dia lelaki yang pernah membuatku sangat bahagia sekaligus trauma.
Jika seperti ini, masih pantaskah kusebut dia suami? Rasa-rasanya, kepergian tanpa penjelasan dan kabar tiga tahun lalu pun cukup menjadi alasan kuat, betapa tak bertanggungjawabnya seorang Daffa.
Mataku semakin terbuka lebar untuk tak berharap apa pun lagi pada lelaki itu. Ia sudah bahagia dengan hidupnya, maka aku pun harus demikian. Ya, aku harus bahagia. Ceritaku dengan dia telah lama berakhir, sudah sepatutnya kututup kisah tersebut rapat-rapat.
Seketika, aku teringat pada ucapan Lintang dan Sean yang memintaku mengajukan gugatan cerai, agar terbebas dari ketidak jelasan hubungan. Apakah ini saatnya?
Suara rintihan beberapa detik kemudian menyadarkan lamunanku. Akibat terlalu shock dengan rentetan kejadian yang terasa seperti mimpi, aku hampir lupa pada pelecehan seksual yang nyaris kualami.
Setelah berhasil menguasai diri, aku mendekat pada lelaki menjijikan yang tergeletak tak berdaya, kemudian menendang kakinya beberapa kali. “Laki-laki brengsek, bedebah! Orang sepertimu tidak pantas ada di dunia!” hardikku.
“Maafkan aku, Kelana, aku khilaf,” sesal Sean sambil berusaha berdiri dan menggapai punggung tanganku.
Sebelum itu, aku lebih dulu menghindar, melayangkan tatapan sarat permusuhan. Disaat bersamaan, segera kuputuskan berhenti bekerja. Aku tidak mungkin memberikan waktu, pikiran dan tenaga pada lelaki bajingan yang sudah jelas berniat melecehkanku.
“Mulai sekarang, aku tidak lagi bekerja di tempat ini!” tekanku sembari berlalu, mengabaikan Sean yang berteriak memanggil namaku.
“Kelana dengarkan aku! Aku cinta kamu!”
***
Satu minggu sejak insiden itu, beberapa kali Sean datang meminta bertemu, namun aku enggan menemuinya. Kejadian tersebut masih membekas dalam ingatan, dan akan tercatat sebagai salah satu pengalaman buruk yang tak mungkin terlupakan.
Mengenai perpisahan, keputusanku sudah bulat. Hari ini, aku akan datang ke pengadilan agama, memasukkan berkas perceraian. Barangkali setelah itu, aku bisa merasa jauh lebih lega, tak lagi terbayang-bayang kisah lama.
“Bunda mau kemana?” tanya Lintang—anakku.
“Pengadilan agama, Sayang,” jawabku sambil mengecek ulang berkas-berkas yang sudah kusiapkan satu minggu ini.
“Bunda mau…”
“Ya, seperti saran Lintang waktu itu,” selaku disertai seyum tipis.
“Good choice, Bunda, Lintang seneng dengernya,” balasnya. “Sama Om Sean, kan?”
“Enggak, Bunda sendiri. Om Sean sibuk.” Aku sengaja tak memberitahu Lintang soal peristiwa tersebut. Bukan apa-apa, aku hanya tak mau jika nantinya harus menceritakan soal Daffa juga.
Lintang mengangguk paham. Beberapa detik setelahnya dia memusatkan atensi padaku. “Bunda sama Om Sean lagi ada masalah?”
Aku mengernyitkan kening sejenak, kemudian menggeleng. “Masalah apa?”
“Justru itu Lintang tanya. Soalnya agak aneh pas Bunda bilang udah gak kerja lagi di tempat Om Sean, ditambah waktu Om Sean ke sini pun Bunda kelihatan menghindar,” papar Lintang.
Rupanya, anakku cukup pintar membaca situasi. Namun, aku tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Alhasil, lagi-lagi aku berbohong, seakan semuanya baik-baik saja.
“Bunda sama Om Sean baik-baik aja, Sayang,” jawabku. “Yaudah, Lintang berangkat, gih, nanti kesiangan.”
Beruntungnya, Lintang tidak bertanya lagi. Ia berpamitan padaku, kemudian mengayuh sepeda merah mudanya dan hilang di belokan. Tak berselang lama, aku bergegas membersihkan diri. Ada dua hal yang harus kulakukan hari ini, datang ke pengadilan agama, dan mencari pekerjaan baru.
Tiga puluh menit setelahnya, aku sudah selesai bersiap. Kusambar tas dan dua map di atas meja, kemudian membuka pintu.
“Mau apa lagi kamu ke sini?!” ketusku saat mendapati Sean berada di teras.
“Ada informasi penting yang harus kamu tahu. Bisa kita bicara di dalam?”
Setelah apa yang dia lakukan, tentu saja aku tak akan mengizinkannya masuk. Lagipula, aku sama sekali tak tertarik mendengar informasi tersebut. Ada yang lebih penting dari sekadar mendengar ocehannya.
“Aku sibuk, banyak urusan,” ujarku sambil mengunci pintu, mengabaikan permintaanya.
“Sebentar aja,” pintanya.
Aku menghela napas berat seraya menatap lelah lelaki itu. Disaat bersamaan, kulihat Buk Ratna dan tiga ibu-ibu lainnya yang kebetulan tengah membeli sayur keliling memandang ke arah kami.
“Katanya bos, tapi kok sering dateng ke rumah! Jangan-jangan Lintang anak haram, hasil hubungan gelap dengan laki-laki itu!” Buk Ratna mengawali sesi perjulidan pagi ini dengan semangat membara.
“Iya. Di luar alim, dalemnya munafik!” timpal yang lainnya.
“Awas ya, Mbak, kita-kita gak mau kena dosanya. Kalau mau maksiat jangan di lingkungan ini!”
Cibiran demi cibirian sampai ke telinga, dan saat itu terjadi, yang kulakukan selalu sama, menulikan pendengaran tanpa pernah membalas.
“Sebaiknya kamu pulang, aku juga mau pergi!” usirku.
“Aku bakal pulang setelah kamu dengerin penjelasan aku.”
“Penjelasan apa?! Kamu gak denger gimana jahatnya mulut ibu-ibu itu?” tanyaku dengan suara pelan, namun tegas.
Aku tak habis pikir dengan dia yang terus menerus datang. Padahal sangat jelas, aku tak mau bertemu apalagi bicara. Perjuangannya satu minggu ini memang patut diacungi jempol, tapi sayang, aku tidak mudah menaruh simpati pada orang yang sudah melakukan kesalahan besar.
“Aku gak peduli,” ungkap Sean.
“Egois!”
“Lima menit, aku minta waktu kamu lima menit, setelah itu aku bakal pergi.”
Sebelum menyetujui permintaannya, aku melihat arloji yang melingkar di pergelanganku lebih dulu. Pukul setengah delapan. Sepertinya tak masalah meluangkan waktu lima menit, daripada membuat tetangga sekitar terus berpikir negatif tentang kami.
“Oke, cuma lima menit!”
Sean mengangguk. “Aku baru tahu, kalau laki-laki yang kamu maksud adalah Daffa. Kenapa gak cerita?”
“Kenapa harus cerita? Lagipula gak ada hubungannya sama kamu,” sinisku.
“Jelas ada, dia teman lama dan orang yang akan membeli toko. Kalau kamu cerita lebih awal…”
“Dua menit lagi,” potongku.
Sebenarnya, aku cukup kaget mendengar Daffa merupakan teman lama Sean sekaligus pembeli yang tempo hari dia ceritakan. Namun, berusaha terlihat tak tertarik, sebab tidak mau terlibat pembicaraan lebih panjang dari waktu yang telah disepakati.
“Daffa sudah menikah, dan perempuan waktu itu adalah istrinya,” ujar Sean. “Ceraikan dia Kelana, kamu berhak bahagia.”
“Bukan urusanmu!”
“Semua sudah terang benderang, Daffa laki-laki bajingan! Apa lagi yang kamu harapkan?!”
“Kalian itu sama!
“Jelas beda, aku dan kamu menjalin hubungan yang sehat. Sementara dia? Menikah lagi tanpa pernah menceraikan istri pertama!”
Hubungan? Hubungan apa? Aku tak pernah menganggapnya lebih dari teman, sekaligus bos di tempat kerja. Tapi sepertinya, dia salah paham, aku perlu menjelaskan sebelum dia berpikir lebih jauh.
“Hubungan kita hanya sebatas rekan kerja!” tekanku.
“Bukannya kamu pernah bilang nyaman?”
“Kita bukan ABG, Sean.”
“Baiklah, mari kesampingkan itu dulu. Soal Daffa, dia lebih brengsek dari yang kita kira. Kamu tahu apa?”
Aku tak menjawab, sengaja menunggunya mengatakan apa yang ingin dia katakan, sambil menetralkan degup jantung yang bertalu-talu di dalam sana. Sudah tiga tahun berlalu, tapi membahas soal Daffa tak pernah membuatku baik-baik saja.
“Wanita itu sedang hamil!”
Deg!
Aku bergeming di tempat sambil menerka-nerka. Seketika, ingatanku dibawa pada kejadian dimana kami bertemu. Kalau tak salah ingat, waktu itu Mona mengatakan akan ke rumah sakit. Apa mereka berniat memeriksa kandungan?
“Waktu kamu habis! Sekarang pergi!” usirku kemudian berlalu meninggalkan Sean.“Kamu mau kemana? Aku temenin, ya,” ujarnya seraya mencekal pergelangan tanganku.“Aku gak mau lihat muka kamu, Sean!”Sean menyugar rambut sembari melayangkan tatapan tak percaya. Mungkin dia berpikir, setelah mendengar informasi tersebut aku akan memaafkan, atau paling tidak berterima kasih. Oh tunggu dulu! Tentu saja tak semudah itu. Lagipula, aku akan tetap datang ke pengadilan agama dengan atau tanpa informasi darinya.“Baiklah, semoga setelah ini mata dan hati kamu bisa lebih terbuka dan menerima kenyataan!”Usai berucap demikian, dia benar-benar pergi. Seiring punggungnya yang menjauh, tubuhku limbung. Mataku berair seketika, kalimat demi kalimat yang ia lontarkan terngiang-ngiang di kepala, kemudian berganti dengan suara tegas Daffa saat mengucap ijab qabul tiga tahun silam.Sisi lain hatiku ingin menyangkal segala hal yang dikatakan Sean. Tapi, hampir tak ada alasan untuk melakukan itu. Sebab, sela
“Semua keputusan ada di tangan kamu. Saya cuma minta waktu dua bulan, pikirkan baik-baik atau kamu akan kehilangan!Dari nada bicaranya, Daffa kelihatan sangat menikmati peran. Sungguh, andai bukan dia, aku tidak akan sebimbang ini.“Jangankan dua bulan, satu hari pun terlalu lama jika dihabiskan dengan laki-laki bajingan seperti kamu!”“Saya minta maaf atas kekacauan yang pernah saya sebabkan. Tapi, kamu harus percaya, ada alasan dibalik semua peristiwa dan keputusan yang saya ambil selama ini.”Cih! Lagu lama keset kusut! Begitulah yang aku pikirkan tentang penjelasan singkatnya. Kalau benar apa yang dia lakukan itu ada dasarnya, mengapa tidak memberitahuku sejak awal? Bukankah yang terpenting dari hubungan adalah komunikasi?“Simpan saja semua narasi itu!”Ya, aku merasa lebih baik tak mendengar apa pun. Sebab, sekarang bukan lagi waktunya. Jika dia memang punya niat kembali, seharusnya ia lakukan itu sejak lama. Bukan tiba-tiba datang, apalagi menggunakan sertifikat rumah untuk me
Pagi harinya, saat aku tengah mengepel lantai, terdengar suara ketukan dari luar. Bergegas aku menarik handel tanpa memeriksa sosok di baliknya lebih dulu. Detik itu juga, aku menyesal melakukan hal tersebut. Ketika hendak menutup pintu, sosok tersebut menahan sembari tersenyum lebar. “Selamat pagi, istri.” “Saya bukan istri kamu!” tekanku. “Kamu masih istri saya,” balas tamu tak diundang yang tak lain adalah Daffa. Aku mengedarkan pandangan, sembari berusaha menahan diri untuk tak memukul kepala lelaki tersebut. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap dua koper besar yang berada di sisinya. Aku memicingkan mata, untuk apa lelaki itu membawa koper? Jangan-jangan… “Mulai sekarang saya akan tinggal di sini, lebih tepatnya di rumah lama kamu. Siap-siap, gih, kita berangkat sebentar lagi,” ujarnya dengan senyum mengembang. Enteng sekali dia bicara demikian. Ingin rasanya kubenturkan kepala lelaki itu ke dinding, agar ia tak menolak lupa pada sikap dan tindakannya menelantarkan aku ju
“Lintang tunggu sebentar, ya,” ucapku seraya menggeser kursi dan bangkit. “Bunda mau ke mana?” tanya Lintang ikut berdiri. Pandanganku yang semula mengarah pada titik di mana sosok misterius itu berada, kini beralih menatap Lintang. “Ke sana sebentar,” jawabku sambil menunjuk bangunan kosong yang berada tak jauh dari posisi kami. “Ngapain, itukan rumah kosong?” Lintang bertanya-tanya. Sesaat setelah pertanyaan itu terlontar, netraku tak lagi menangkap sosok tersebut. Aku memindai segala arah untuk mencari keberadaannya, namun nihil, tak kutemui siapa pun di sana. “Bunda cari siapa?” tanya Lintang lagi. “Bukan siapa-siapa. Ayo kita pulang,” ajakku sembari menarik pergelangannya. Kami berjalan perlahan dalam keheningan, disertai isi kepala yang tak bisa tenang. Hanya suara derap langkah dari sepasang sepatu dan sandal jepit yang terdengar, hingga kontrakan bercat pudar terlihat di depan mata. Belum reda keresahan dalam hati akibat kejadian tadi, netraku membola sempurna kala melih
Setelah punggung Daffa menjauh, aku menghentikan aktivitas dan duduk sejenak di tempat yang tadi dia duduki sembari menghela napas pelan. Kulihat sekeliling, tak kutemui apa pun selain kekosongan, sama seperti sudut hatiku yang mendadak tak nyaman saat ia pergi. Bertepatan dengan itu, ponsel yang kuletakkan di atas nakas berdering keras hingga membuyarkan lamunan. “Sean, mau apa lagi dia?” gumamku sembari menggeser layar, mereject panggilan tersebut. Akan tetapi, dering yang sama kembali terdengar. Kuputuskan menjawab panggilan tersebut, barangkali ada hal penting yang ingin dia sampaikan. “Ada apa?” tanyaku to the point.“Kata Lintang kalian pindah. Kenapa gak bilang?”Dengan kening berkerut, kujauhkan ponsel dari telinga. Kenapa gak bilang? Untuk apa juga bilang, memangnya dia siapa? Suara hatiku meronta-ronta. “Halo, Lan, kamu masih di sana?”“Hmm,” balasku singkat. “Sharelock, aku ke sana sekarang.”“Gak usah!” sahutku cepat.Tentu saja aku menolak. Selain karena ta
“Bunda nyium wangi parfum perempuan?”Pertanyaan Lintang menari-nari di kepala, membuatku sulit memejamkan mata dan berakhir gulang-guling ke sana ke mari karena gelisah.“Kamu belum tidur?”Aku melirik sekilas, kemudian membalik badan, memunggungi lelaki tersebut. “Kenapa belum tidur?” tanyanya lagi. “Bukan urusan kamu!” ketusku. Tak berselang lama, tempat tidur bergoyang, pertanda seseorang naik ke atasnya. Dan benar saja, Daffa sudah berada di sampingku.“Pergi!” usirku tanpa melihat wajahnya. Bukannya menuruti ucapan tersebut, tangan besarnya malah melingkari pinggangku. Darahku berdesir, disertai degup jantung yang bertalu-talu di dalam sana. Tuhan, perasaan apa ini?Tidak-tidak, aku tidak boleh menikmati sentuhannya. Sontak, segera kulepas kasar tangan tersebut. “Jangan sentuh saya!” “Kenapa? Bukannya menyentuh istri dan melayani suami merupakan pahala?” Daffa men
Punggung itu kian menjauh kemudian hilang, bersamaan dengan roda mobil sedan hitam yang berputar membelah jalanan. Aku termangu di tempat, masih tak percaya dengan yang terjadi barusan. Dia berkata ingin memperbaiki hubungan, sementara antara ucapan dan tindakannya tidak sejalan. Lantas, bagian mana yang harus kupercaya? Sepertinya tidak ada, dia benar-benar pembual! Berbagai asumsi memenuhi kepala tanpa bisa dicegah. Mataku menatap ke arah taman, namun pikiranku tidak di sana, melanglangbuana entah ke mana. Sampai akhirnya, tepukan pelan di pundak mengembalikanku pada realita. Aku berbalik dan mendapati Mas Heru—mantan suami pertamaku berdiri tegap sambil tersenyum lebar. “Pagi-pagi udah ngelamun, mikirin apa, hmm?” “Bukan apa-apa,” balasku. Meskipun sudah berpisah sejak bertahun-tahun silam, hubunganku dengannya terbilang cukup baik, kami masih sering berkomunikasi untuk sekadar membahas soal Lintang. Sesekali dia juga datang berkunjung guna bertemu putri semata wayangnya. “Lint
PoV DaffaAku berjalan dengan langkah lebar, tak sabar ingin bicara pada Kelana, mumpung di rumah ini hanya ada kami berdua. Harapanku, semoga, setelah mendengar segala hal yang kukatakan, dia bisa bersikap lebih baik. Kalaupun tidak, tak apa, aku masih punya waktu seratus sembilan belas hari. Aku yakin bisa meluluhkan hatinya, sama seperti dulu. Ceklek!Saat pintu terbuka, mataku memintas sekeliling, mencari keberadaan Kelana. Di teras tidak ada, di ruang tamu juga tidak ada. Di mana dia? Apa di kamar? Atau dapur?“Kelana, saya sudah pulang, kamu di mana?” tanyaku setengah berteriak. Akan tetapi, sampai beberapa detik lamanya tak ada sahutan. Kubuka pintu kamar barangkali dia ada di sana. Tapi, nihil, kamar tersebut kosong. Hanya suara detak jarum jam yang memenuhi ruangan. Begitupun di dapur yang suasananya lebih hening dan lengang. “Ke mana dia?” batinku sembari merogoh ponsel, kemudian mengotak-atik benda pipih tersebut. “Angkat, Lan,” guma