Share

Gairah Suami Kedua
Gairah Suami Kedua
Penulis: Danea

Insiden

“Waduh, Mbak Kelana, pagi-pagi sudah rapi. Apa ndak bosen kerja terus? Mbak kan masih muda, menikah lagi saja, supaya ada yang nafkahin,” kelakar wanita yang kuketahui bernama Ratna. Ia mengenakan daster rumahan yang sisi kanan dan kirinya robek. “Lihat saya, tiap hari dimanjain suami, uang belanja cukup, semua kebutuhan terpenuhi, mau beli apa-apa tinggal minta, gak perlu capek-capek kerja. Nikmat sekali,” sambungnya.

Aku membalas ucapan tersebut dengan senyum lebar, sambil bertanya-tanya dalam hati, apa Buk Ratna tak malu berkata demikian? Padahal, aku sering mendapati ia dan suaminya berdebat perihal gaji yang tidak cukup memenuhi kebutuhan mereka yang sudah memiliki anak dua.

“Nggak, Buk, saya malah seneng,” jawabku seadanya.

Netra Buk Ratna tak lepas memandangku, seakan tengah menilai penampilanku pagi ini. “Saya punya sepupu, kerja kantoran, kebetulan lagi nyari perempuan untuk diajak serius. Kalau Mbak Kelana mau, saya bisa…”

“Maaf, saya buru-buru, mau buka toko,” selaku sambil tersenyum tipis.

Usai bicara demikian, aku bergegas menuju toko kosmetik tempatku bekerja. Aku heran pada beliau yang kerap mengomentari hidupku. Bahkan, tak jarang memberi saran yang tidak terlalu kubutuhkan. Agak menyebalkan memang.

“Janda sombong!”

Samar-samar, kudengar Buk Ratna menggerutu. Bodo amat, pikirku. Langkahku terus terayun tanpa memedulikan cibiran tersebut. Saat tiba di belokan pertama, sepasang mataku menangkap sekelompok ibu-ibu tengah berkerumun. Ada lebih dari lima orang, yang semuanya tampak mengenakan daster dengan sepiring nasi di hadapan mereka, sepertinya sedang sarapan bersama.

Aku menghela napas, kemudian berjalan sembari mempersiapkan senyum terbaik.

“Permisi, Buk,” ucapku disertai anggukan kepala.

“Buk Linda, denger-denger suaminya udah lama gak pulang, ya?” Pertanyaan tersebut terlontar tepat saat aku melewati mereka. Suaranya pun terdengar nyaring, seolah sengaja agar aku mendengar.

“Iya, Buk, udah satu minggu gak tidur di rumah. Lagi ngurusin bisnis baru sama temennya.”

“Awas lho, Buk, hati-hati, pantau terus suaminya, jangan sampe direbut janda sebelah,” timpal wanita yang memakai lipstik berwarna merah merona. Kulihat, wanita tersebut melirik padaku. “Soalnya, rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau daripada rumput sendiri.”

“Ah enggak juga, tergantung, kalau dipelihara, rumput tetangga bakal kalah,” sahut ibu-ibu yang berada di tengah.

“Tapi, ini bukan soal melihara rumput, Buk.”

Sontak, semua mata tertuju padaku. Aku merasa ditelanjangi dengan tatapan-tatapan itu. Segera kupercepat langkah, sambil berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk. Toh, hal begini sudah terjadi sejak aku pertama pindah, tepatnya satu tahun yang lalu.

Meskipun demikian, aku tetap bertanya-tanya, memangnya apa yang salah dengan status janda? Mengapa mereka memandang buruk? Padahal, tidak ada seorang pun yang mau pernikahannya kandas, termasuk aku.

Lagipula, ucapan ibu-ibu tadi tak benar. Aku bukan janda, mengingat sampai saat ini, diriku masih terikat status pernikahan. Hanya saja…Ah sudahlah! Aku tak mau membahasnya lebih lanjut.

Setiba di toko, sang pemilik yang ternyata datang lebih dulu menyambutku dengan senyum lebar.

“Selamat pagi, Kelana.”

“Pagi, Pak,” sahutku sembari tersenyum tipis. Melihat ekspresi wajahnya yang seketika berubah, aku meralat ucapanku. “Maksudku, Sean.”

“Sudah berapa kali kukatakan, panggil aku Sean. Kita kan seumuran. Bedanya, aku belum pernah menikah, sementara kamu…”

“Sudah dua kali, dan keduanya gagal. Bisa tidak membahas hal pribadi di tempat kerja?” selaku sambil menatap datar padanya.

“Maaf membuatmu tidak nyaman, aku tak bermaksud…”

“Tidak apa-apa,” potongku seraya berlalu, membereskan aneka kosmetik, kemudian mengecek stok barang, memastikan ketersediaannya aman hingga beberapa waktu ke depan.

Begitulah pekerjaanku sehari-hari. Sebagai satu-satunya karyawan di toko ini, Sean menuntutku untuk serba bisa. Bagiku yang suka mempelajari hal baru, semua itu tak jadi masalah. Apalagi, gaji yang kudapat pun lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan dapur dan sekolah anak semata wayangku.

 “Oh ya, aku perlu memberitahu sesuatu. Nanti siang, orang yang akan membeli toko ini datang untuk melihat-lihat. Jika ternyata cocok, maka mulai besok, kamu tidak lagi bekerja denganku, melainkan dengan pemilik baru.”

Aku tidak terlalu terkejut mendengar kabar itu. Pasalnya, sudah sejak lama Sean mengatakan akan menjual toko. Mengenai alasannya, aku sama sekali tidak tahu, dan tak tertarik mencari tahu.

“Baiklah,” balasku singkat.

“Nantinya, aku akan pindah ke kota lain. Sebelum itu, bolehkan aku merasakan hangatnya dekapan janda?” Sean mencolek daguku sambil mengerlingkan mata dan tersenyum menggoda. Hal yang tak pernah dia lakukan sebelumnya.

Sontak, aku membelalakkan mata dan menepis kasar tangan itu. “Apa maksudmu?!”

“Ayolah, hanya pelukan perpisahan.” Dia mendekat, mengikis jarak diantara kami.

Di toko, hanya ada aku dan dia. Orang yang biasanya datang untuk bersih-bersih, belum terlihat hingga sekarang. Aku menggeram marah, mendorong tubuh kekarnya sekuat tenaga. Naasnya, perlawananku malah membuatnya semakin menjadi, dia mengungkung tubuhku dengan lengan kokohnya.

Tak hanya itu, Sean mendekatkan wajah hingga bibir kami nyaris bersentuhan. Tentu saja aku tak tinggal diam, aku berontak bak cacing kepanasan sembari melontarkan sumpah serapah.

“Lepas! Bajingan!”

Disaat bersamaan, dia hanya tersenyum, senyum menjijikan yang sialnya baru kusadari sekarang.

“Lepaskan! Jangan sentuh aku! Brengsek!” umpatku sambil terus berusaha melepaskan diri.

“Tidak akan, sebelum aku mendapat apa yang kuinginkan.” Seringai iblis tercetak jelas, bersamaan dengan alarm tanda bahaya yang sedari tadi berbunyi di kepalaku.

Sambil berusaha melepaskan diri, aku berteriak sekencang-kencangnya, berharap ada orang yang mendengar dan mau menolongku. Entah setan apa yang merasuki Sean, hingga dia berubah menjadi sosok yang amat menyeramkan.

“Diam!” bentaknya dengan mata memerah.

“Sean, aku mohon, lepaskan aku!” Mataku terasa panas diikuti perasaan tak karuan. Kalau tahu sifat aslinya begini, aku tidak akan mau bekerja dengannya.

Jarak aku dan dia kian dekat, perasaan resah semakin menghantui. Tidak, ini tak boleh dibiarkan. Tapi, apa yang harus kulakukan? Siapapun, tolong aku.

Kupejamkan mata beberapa saat, sambil terus melafalkan doa-doa di dalam hati.  Selama lima detik, tak ada yang terjadi, hingga terdengar suara tendangan dan pukulan bertubi-tubi. Kontan, aku membuka mata dan mendapati Sean tergeletak di lantai.

“Kurang ajar!” teriak Sean.

“Kau yang kurang ajar, bangsat!” balas sosok berperawakan tinggi sembari merapikan kemeja dan dasinya. Netraku terkunci pada sosok itu, begitupun dia yang berbalik menatapku. Sampai akhirnya, suara ketukan sepatu yang memantul terdengar, diikuti teriakan wanita yang secara otomatis memutus kontak diantara kami.

“Kamu ngapain sih, lama banget?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status