“Waduh, Mbak Kelana, pagi-pagi sudah rapi. Apa ndak bosen kerja terus? Mbak kan masih muda, menikah lagi saja, supaya ada yang nafkahin,” kelakar wanita yang kuketahui bernama Ratna. Ia mengenakan daster rumahan yang sisi kanan dan kirinya robek. “Lihat saya, tiap hari dimanjain suami, uang belanja cukup, semua kebutuhan terpenuhi, mau beli apa-apa tinggal minta, gak perlu capek-capek kerja. Nikmat sekali,” sambungnya.
Aku membalas ucapan tersebut dengan senyum lebar, sambil bertanya-tanya dalam hati, apa Buk Ratna tak malu berkata demikian? Padahal, aku sering mendapati ia dan suaminya berdebat perihal gaji yang tidak cukup memenuhi kebutuhan mereka yang sudah memiliki anak dua.
“Nggak, Buk, saya malah seneng,” jawabku seadanya.
Netra Buk Ratna tak lepas memandangku, seakan tengah menilai penampilanku pagi ini. “Saya punya sepupu, kerja kantoran, kebetulan lagi nyari perempuan untuk diajak serius. Kalau Mbak Kelana mau, saya bisa…”
“Maaf, saya buru-buru, mau buka toko,” selaku sambil tersenyum tipis.
Usai bicara demikian, aku bergegas menuju toko kosmetik tempatku bekerja. Aku heran pada beliau yang kerap mengomentari hidupku. Bahkan, tak jarang memberi saran yang tidak terlalu kubutuhkan. Agak menyebalkan memang.
“Janda sombong!”
Samar-samar, kudengar Buk Ratna menggerutu. Bodo amat, pikirku. Langkahku terus terayun tanpa memedulikan cibiran tersebut. Saat tiba di belokan pertama, sepasang mataku menangkap sekelompok ibu-ibu tengah berkerumun. Ada lebih dari lima orang, yang semuanya tampak mengenakan daster dengan sepiring nasi di hadapan mereka, sepertinya sedang sarapan bersama.
Aku menghela napas, kemudian berjalan sembari mempersiapkan senyum terbaik.
“Permisi, Buk,” ucapku disertai anggukan kepala.
“Buk Linda, denger-denger suaminya udah lama gak pulang, ya?” Pertanyaan tersebut terlontar tepat saat aku melewati mereka. Suaranya pun terdengar nyaring, seolah sengaja agar aku mendengar.
“Iya, Buk, udah satu minggu gak tidur di rumah. Lagi ngurusin bisnis baru sama temennya.”
“Awas lho, Buk, hati-hati, pantau terus suaminya, jangan sampe direbut janda sebelah,” timpal wanita yang memakai lipstik berwarna merah merona. Kulihat, wanita tersebut melirik padaku. “Soalnya, rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau daripada rumput sendiri.”
“Ah enggak juga, tergantung, kalau dipelihara, rumput tetangga bakal kalah,” sahut ibu-ibu yang berada di tengah.
“Tapi, ini bukan soal melihara rumput, Buk.”
Sontak, semua mata tertuju padaku. Aku merasa ditelanjangi dengan tatapan-tatapan itu. Segera kupercepat langkah, sambil berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk. Toh, hal begini sudah terjadi sejak aku pertama pindah, tepatnya satu tahun yang lalu.
Meskipun demikian, aku tetap bertanya-tanya, memangnya apa yang salah dengan status janda? Mengapa mereka memandang buruk? Padahal, tidak ada seorang pun yang mau pernikahannya kandas, termasuk aku.
Lagipula, ucapan ibu-ibu tadi tak benar. Aku bukan janda, mengingat sampai saat ini, diriku masih terikat status pernikahan. Hanya saja…Ah sudahlah! Aku tak mau membahasnya lebih lanjut.
Setiba di toko, sang pemilik yang ternyata datang lebih dulu menyambutku dengan senyum lebar.
“Selamat pagi, Kelana.”
“Pagi, Pak,” sahutku sembari tersenyum tipis. Melihat ekspresi wajahnya yang seketika berubah, aku meralat ucapanku. “Maksudku, Sean.”
“Sudah berapa kali kukatakan, panggil aku Sean. Kita kan seumuran. Bedanya, aku belum pernah menikah, sementara kamu…”
“Sudah dua kali, dan keduanya gagal. Bisa tidak membahas hal pribadi di tempat kerja?” selaku sambil menatap datar padanya.
“Maaf membuatmu tidak nyaman, aku tak bermaksud…”
“Tidak apa-apa,” potongku seraya berlalu, membereskan aneka kosmetik, kemudian mengecek stok barang, memastikan ketersediaannya aman hingga beberapa waktu ke depan.
Begitulah pekerjaanku sehari-hari. Sebagai satu-satunya karyawan di toko ini, Sean menuntutku untuk serba bisa. Bagiku yang suka mempelajari hal baru, semua itu tak jadi masalah. Apalagi, gaji yang kudapat pun lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan dapur dan sekolah anak semata wayangku.
“Oh ya, aku perlu memberitahu sesuatu. Nanti siang, orang yang akan membeli toko ini datang untuk melihat-lihat. Jika ternyata cocok, maka mulai besok, kamu tidak lagi bekerja denganku, melainkan dengan pemilik baru.”
Aku tidak terlalu terkejut mendengar kabar itu. Pasalnya, sudah sejak lama Sean mengatakan akan menjual toko. Mengenai alasannya, aku sama sekali tidak tahu, dan tak tertarik mencari tahu.
“Baiklah,” balasku singkat.
“Nantinya, aku akan pindah ke kota lain. Sebelum itu, bolehkan aku merasakan hangatnya dekapan janda?” Sean mencolek daguku sambil mengerlingkan mata dan tersenyum menggoda. Hal yang tak pernah dia lakukan sebelumnya.
Sontak, aku membelalakkan mata dan menepis kasar tangan itu. “Apa maksudmu?!”
“Ayolah, hanya pelukan perpisahan.” Dia mendekat, mengikis jarak diantara kami.
Di toko, hanya ada aku dan dia. Orang yang biasanya datang untuk bersih-bersih, belum terlihat hingga sekarang. Aku menggeram marah, mendorong tubuh kekarnya sekuat tenaga. Naasnya, perlawananku malah membuatnya semakin menjadi, dia mengungkung tubuhku dengan lengan kokohnya.
Tak hanya itu, Sean mendekatkan wajah hingga bibir kami nyaris bersentuhan. Tentu saja aku tak tinggal diam, aku berontak bak cacing kepanasan sembari melontarkan sumpah serapah.
“Lepas! Bajingan!”
Disaat bersamaan, dia hanya tersenyum, senyum menjijikan yang sialnya baru kusadari sekarang.
“Lepaskan! Jangan sentuh aku! Brengsek!” umpatku sambil terus berusaha melepaskan diri.
“Tidak akan, sebelum aku mendapat apa yang kuinginkan.” Seringai iblis tercetak jelas, bersamaan dengan alarm tanda bahaya yang sedari tadi berbunyi di kepalaku.
Sambil berusaha melepaskan diri, aku berteriak sekencang-kencangnya, berharap ada orang yang mendengar dan mau menolongku. Entah setan apa yang merasuki Sean, hingga dia berubah menjadi sosok yang amat menyeramkan.
“Diam!” bentaknya dengan mata memerah.
“Sean, aku mohon, lepaskan aku!” Mataku terasa panas diikuti perasaan tak karuan. Kalau tahu sifat aslinya begini, aku tidak akan mau bekerja dengannya.
Jarak aku dan dia kian dekat, perasaan resah semakin menghantui. Tidak, ini tak boleh dibiarkan. Tapi, apa yang harus kulakukan? Siapapun, tolong aku.
Kupejamkan mata beberapa saat, sambil terus melafalkan doa-doa di dalam hati. Selama lima detik, tak ada yang terjadi, hingga terdengar suara tendangan dan pukulan bertubi-tubi. Kontan, aku membuka mata dan mendapati Sean tergeletak di lantai.
“Kurang ajar!” teriak Sean.
“Kau yang kurang ajar, bangsat!” balas sosok berperawakan tinggi sembari merapikan kemeja dan dasinya. Netraku terkunci pada sosok itu, begitupun dia yang berbalik menatapku. Sampai akhirnya, suara ketukan sepatu yang memantul terdengar, diikuti teriakan wanita yang secara otomatis memutus kontak diantara kami.
“Kamu ngapain sih, lama banget?!”
Mataku mengerjap beberapa kali, memastikan benarkah sosok yang saat ini berada tak jauh dari posisiku adalah dia yang kurindukan? Ternyata benar, lelaki itu terlihat sangat nyata, memandang ke arahku seraya menggerakkan mulut, menyebut susunan huruf hingga membentuk satu nama. “Kelana.”“Daffa,” lirihku.Sejenak dua jenak, kami bertatapan, hingga wanita yang amat familier mendekat dan bergelayut manja di lengannya.“Kamu ngapain sih, katanya cuma mampir bentar, kok lama banget? Perutku sakit,” rengekan wanita tersebut terdengar jelas. “Astaga, temen kamu kenapa babak belur gitu? Kalian berantem? Kamu gimana? Ada yang luka?” Dia menyentuh wajah Daffa seraya mencari-cari bekas luka di sana.“Aku gak apa-apa, Mona,” jawab Daffa lembut.“Syukurlah, aku panik banget.” Wanita itu menghela napas lega dan kembali memeluk Daffa.Aku merasa seperti obat nyamuk di antara mereka. Saat itulah, melalui gerakan mata Daffa menginsyaratkan tentang kehadiranku pada wanita tersebut. Sampai akhirnya, wa
“Waktu kamu habis! Sekarang pergi!” usirku kemudian berlalu meninggalkan Sean.“Kamu mau kemana? Aku temenin, ya,” ujarnya seraya mencekal pergelangan tanganku.“Aku gak mau lihat muka kamu, Sean!”Sean menyugar rambut sembari melayangkan tatapan tak percaya. Mungkin dia berpikir, setelah mendengar informasi tersebut aku akan memaafkan, atau paling tidak berterima kasih. Oh tunggu dulu! Tentu saja tak semudah itu. Lagipula, aku akan tetap datang ke pengadilan agama dengan atau tanpa informasi darinya.“Baiklah, semoga setelah ini mata dan hati kamu bisa lebih terbuka dan menerima kenyataan!”Usai berucap demikian, dia benar-benar pergi. Seiring punggungnya yang menjauh, tubuhku limbung. Mataku berair seketika, kalimat demi kalimat yang ia lontarkan terngiang-ngiang di kepala, kemudian berganti dengan suara tegas Daffa saat mengucap ijab qabul tiga tahun silam.Sisi lain hatiku ingin menyangkal segala hal yang dikatakan Sean. Tapi, hampir tak ada alasan untuk melakukan itu. Sebab, sela
“Semua keputusan ada di tangan kamu. Saya cuma minta waktu dua bulan, pikirkan baik-baik atau kamu akan kehilangan!Dari nada bicaranya, Daffa kelihatan sangat menikmati peran. Sungguh, andai bukan dia, aku tidak akan sebimbang ini.“Jangankan dua bulan, satu hari pun terlalu lama jika dihabiskan dengan laki-laki bajingan seperti kamu!”“Saya minta maaf atas kekacauan yang pernah saya sebabkan. Tapi, kamu harus percaya, ada alasan dibalik semua peristiwa dan keputusan yang saya ambil selama ini.”Cih! Lagu lama keset kusut! Begitulah yang aku pikirkan tentang penjelasan singkatnya. Kalau benar apa yang dia lakukan itu ada dasarnya, mengapa tidak memberitahuku sejak awal? Bukankah yang terpenting dari hubungan adalah komunikasi?“Simpan saja semua narasi itu!”Ya, aku merasa lebih baik tak mendengar apa pun. Sebab, sekarang bukan lagi waktunya. Jika dia memang punya niat kembali, seharusnya ia lakukan itu sejak lama. Bukan tiba-tiba datang, apalagi menggunakan sertifikat rumah untuk me
Pagi harinya, saat aku tengah mengepel lantai, terdengar suara ketukan dari luar. Bergegas aku menarik handel tanpa memeriksa sosok di baliknya lebih dulu. Detik itu juga, aku menyesal melakukan hal tersebut. Ketika hendak menutup pintu, sosok tersebut menahan sembari tersenyum lebar. “Selamat pagi, istri.” “Saya bukan istri kamu!” tekanku. “Kamu masih istri saya,” balas tamu tak diundang yang tak lain adalah Daffa. Aku mengedarkan pandangan, sembari berusaha menahan diri untuk tak memukul kepala lelaki tersebut. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap dua koper besar yang berada di sisinya. Aku memicingkan mata, untuk apa lelaki itu membawa koper? Jangan-jangan… “Mulai sekarang saya akan tinggal di sini, lebih tepatnya di rumah lama kamu. Siap-siap, gih, kita berangkat sebentar lagi,” ujarnya dengan senyum mengembang. Enteng sekali dia bicara demikian. Ingin rasanya kubenturkan kepala lelaki itu ke dinding, agar ia tak menolak lupa pada sikap dan tindakannya menelantarkan aku ju
“Lintang tunggu sebentar, ya,” ucapku seraya menggeser kursi dan bangkit. “Bunda mau ke mana?” tanya Lintang ikut berdiri. Pandanganku yang semula mengarah pada titik di mana sosok misterius itu berada, kini beralih menatap Lintang. “Ke sana sebentar,” jawabku sambil menunjuk bangunan kosong yang berada tak jauh dari posisi kami. “Ngapain, itukan rumah kosong?” Lintang bertanya-tanya. Sesaat setelah pertanyaan itu terlontar, netraku tak lagi menangkap sosok tersebut. Aku memindai segala arah untuk mencari keberadaannya, namun nihil, tak kutemui siapa pun di sana. “Bunda cari siapa?” tanya Lintang lagi. “Bukan siapa-siapa. Ayo kita pulang,” ajakku sembari menarik pergelangannya. Kami berjalan perlahan dalam keheningan, disertai isi kepala yang tak bisa tenang. Hanya suara derap langkah dari sepasang sepatu dan sandal jepit yang terdengar, hingga kontrakan bercat pudar terlihat di depan mata. Belum reda keresahan dalam hati akibat kejadian tadi, netraku membola sempurna kala melih
Setelah punggung Daffa menjauh, aku menghentikan aktivitas dan duduk sejenak di tempat yang tadi dia duduki sembari menghela napas pelan. Kulihat sekeliling, tak kutemui apa pun selain kekosongan, sama seperti sudut hatiku yang mendadak tak nyaman saat ia pergi. Bertepatan dengan itu, ponsel yang kuletakkan di atas nakas berdering keras hingga membuyarkan lamunan. “Sean, mau apa lagi dia?” gumamku sembari menggeser layar, mereject panggilan tersebut. Akan tetapi, dering yang sama kembali terdengar. Kuputuskan menjawab panggilan tersebut, barangkali ada hal penting yang ingin dia sampaikan. “Ada apa?” tanyaku to the point.“Kata Lintang kalian pindah. Kenapa gak bilang?”Dengan kening berkerut, kujauhkan ponsel dari telinga. Kenapa gak bilang? Untuk apa juga bilang, memangnya dia siapa? Suara hatiku meronta-ronta. “Halo, Lan, kamu masih di sana?”“Hmm,” balasku singkat. “Sharelock, aku ke sana sekarang.”“Gak usah!” sahutku cepat.Tentu saja aku menolak. Selain karena ta
“Bunda nyium wangi parfum perempuan?”Pertanyaan Lintang menari-nari di kepala, membuatku sulit memejamkan mata dan berakhir gulang-guling ke sana ke mari karena gelisah.“Kamu belum tidur?”Aku melirik sekilas, kemudian membalik badan, memunggungi lelaki tersebut. “Kenapa belum tidur?” tanyanya lagi. “Bukan urusan kamu!” ketusku. Tak berselang lama, tempat tidur bergoyang, pertanda seseorang naik ke atasnya. Dan benar saja, Daffa sudah berada di sampingku.“Pergi!” usirku tanpa melihat wajahnya. Bukannya menuruti ucapan tersebut, tangan besarnya malah melingkari pinggangku. Darahku berdesir, disertai degup jantung yang bertalu-talu di dalam sana. Tuhan, perasaan apa ini?Tidak-tidak, aku tidak boleh menikmati sentuhannya. Sontak, segera kulepas kasar tangan tersebut. “Jangan sentuh saya!” “Kenapa? Bukannya menyentuh istri dan melayani suami merupakan pahala?” Daffa men
Punggung itu kian menjauh kemudian hilang, bersamaan dengan roda mobil sedan hitam yang berputar membelah jalanan. Aku termangu di tempat, masih tak percaya dengan yang terjadi barusan. Dia berkata ingin memperbaiki hubungan, sementara antara ucapan dan tindakannya tidak sejalan. Lantas, bagian mana yang harus kupercaya? Sepertinya tidak ada, dia benar-benar pembual! Berbagai asumsi memenuhi kepala tanpa bisa dicegah. Mataku menatap ke arah taman, namun pikiranku tidak di sana, melanglangbuana entah ke mana. Sampai akhirnya, tepukan pelan di pundak mengembalikanku pada realita. Aku berbalik dan mendapati Mas Heru—mantan suami pertamaku berdiri tegap sambil tersenyum lebar. “Pagi-pagi udah ngelamun, mikirin apa, hmm?” “Bukan apa-apa,” balasku. Meskipun sudah berpisah sejak bertahun-tahun silam, hubunganku dengannya terbilang cukup baik, kami masih sering berkomunikasi untuk sekadar membahas soal Lintang. Sesekali dia juga datang berkunjung guna bertemu putri semata wayangnya. “Lint