Share

Gairah Suami Kedua
Gairah Suami Kedua
Penulis: Danea

Insiden

Penulis: Danea
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-29 14:52:45

“Waduh, Mbak Kelana, pagi-pagi sudah rapi. Apa ndak bosen kerja terus? Mbak kan masih muda, menikah lagi saja, supaya ada yang nafkahin,” kelakar wanita yang kuketahui bernama Ratna. Ia mengenakan daster rumahan yang sisi kanan dan kirinya robek. “Lihat saya, tiap hari dimanjain suami, uang belanja cukup, semua kebutuhan terpenuhi, mau beli apa-apa tinggal minta, gak perlu capek-capek kerja. Nikmat sekali,” sambungnya.

Aku membalas ucapan tersebut dengan senyum lebar, sambil bertanya-tanya dalam hati, apa Buk Ratna tak malu berkata demikian? Padahal, aku sering mendapati ia dan suaminya berdebat perihal gaji yang tidak cukup memenuhi kebutuhan mereka yang sudah memiliki anak dua.

“Nggak, Buk, saya malah seneng,” jawabku seadanya.

Netra Buk Ratna tak lepas memandangku, seakan tengah menilai penampilanku pagi ini. “Saya punya sepupu, kerja kantoran, kebetulan lagi nyari perempuan untuk diajak serius. Kalau Mbak Kelana mau, saya bisa…”

“Maaf, saya buru-buru, mau buka toko,” selaku sambil tersenyum tipis.

Usai bicara demikian, aku bergegas menuju toko kosmetik tempatku bekerja. Aku heran pada beliau yang kerap mengomentari hidupku. Bahkan, tak jarang memberi saran yang tidak terlalu kubutuhkan. Agak menyebalkan memang.

“Janda sombong!”

Samar-samar, kudengar Buk Ratna menggerutu. Bodo amat, pikirku. Langkahku terus terayun tanpa memedulikan cibiran tersebut. Saat tiba di belokan pertama, sepasang mataku menangkap sekelompok ibu-ibu tengah berkerumun. Ada lebih dari lima orang, yang semuanya tampak mengenakan daster dengan sepiring nasi di hadapan mereka, sepertinya sedang sarapan bersama.

Aku menghela napas, kemudian berjalan sembari mempersiapkan senyum terbaik.

“Permisi, Buk,” ucapku disertai anggukan kepala.

“Buk Linda, denger-denger suaminya udah lama gak pulang, ya?” Pertanyaan tersebut terlontar tepat saat aku melewati mereka. Suaranya pun terdengar nyaring, seolah sengaja agar aku mendengar.

“Iya, Buk, udah satu minggu gak tidur di rumah. Lagi ngurusin bisnis baru sama temennya.”

“Awas lho, Buk, hati-hati, pantau terus suaminya, jangan sampe direbut janda sebelah,” timpal wanita yang memakai lipstik berwarna merah merona. Kulihat, wanita tersebut melirik padaku. “Soalnya, rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau daripada rumput sendiri.”

“Ah enggak juga, tergantung, kalau dipelihara, rumput tetangga bakal kalah,” sahut ibu-ibu yang berada di tengah.

“Tapi, ini bukan soal melihara rumput, Buk.”

Sontak, semua mata tertuju padaku. Aku merasa ditelanjangi dengan tatapan-tatapan itu. Segera kupercepat langkah, sambil berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk. Toh, hal begini sudah terjadi sejak aku pertama pindah, tepatnya satu tahun yang lalu.

Meskipun demikian, aku tetap bertanya-tanya, memangnya apa yang salah dengan status janda? Mengapa mereka memandang buruk? Padahal, tidak ada seorang pun yang mau pernikahannya kandas, termasuk aku.

Lagipula, ucapan ibu-ibu tadi tak benar. Aku bukan janda, mengingat sampai saat ini, diriku masih terikat status pernikahan. Hanya saja…Ah sudahlah! Aku tak mau membahasnya lebih lanjut.

Setiba di toko, sang pemilik yang ternyata datang lebih dulu menyambutku dengan senyum lebar.

“Selamat pagi, Kelana.”

“Pagi, Pak,” sahutku sembari tersenyum tipis. Melihat ekspresi wajahnya yang seketika berubah, aku meralat ucapanku. “Maksudku, Sean.”

“Sudah berapa kali kukatakan, panggil aku Sean. Kita kan seumuran. Bedanya, aku belum pernah menikah, sementara kamu…”

“Sudah dua kali, dan keduanya gagal. Bisa tidak membahas hal pribadi di tempat kerja?” selaku sambil menatap datar padanya.

“Maaf membuatmu tidak nyaman, aku tak bermaksud…”

“Tidak apa-apa,” potongku seraya berlalu, membereskan aneka kosmetik, kemudian mengecek stok barang, memastikan ketersediaannya aman hingga beberapa waktu ke depan.

Begitulah pekerjaanku sehari-hari. Sebagai satu-satunya karyawan di toko ini, Sean menuntutku untuk serba bisa. Bagiku yang suka mempelajari hal baru, semua itu tak jadi masalah. Apalagi, gaji yang kudapat pun lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan dapur dan sekolah anak semata wayangku.

 “Oh ya, aku perlu memberitahu sesuatu. Nanti siang, orang yang akan membeli toko ini datang untuk melihat-lihat. Jika ternyata cocok, maka mulai besok, kamu tidak lagi bekerja denganku, melainkan dengan pemilik baru.”

Aku tidak terlalu terkejut mendengar kabar itu. Pasalnya, sudah sejak lama Sean mengatakan akan menjual toko. Mengenai alasannya, aku sama sekali tidak tahu, dan tak tertarik mencari tahu.

“Baiklah,” balasku singkat.

“Nantinya, aku akan pindah ke kota lain. Sebelum itu, bolehkan aku merasakan hangatnya dekapan janda?” Sean mencolek daguku sambil mengerlingkan mata dan tersenyum menggoda. Hal yang tak pernah dia lakukan sebelumnya.

Sontak, aku membelalakkan mata dan menepis kasar tangan itu. “Apa maksudmu?!”

“Ayolah, hanya pelukan perpisahan.” Dia mendekat, mengikis jarak diantara kami.

Di toko, hanya ada aku dan dia. Orang yang biasanya datang untuk bersih-bersih, belum terlihat hingga sekarang. Aku menggeram marah, mendorong tubuh kekarnya sekuat tenaga. Naasnya, perlawananku malah membuatnya semakin menjadi, dia mengungkung tubuhku dengan lengan kokohnya.

Tak hanya itu, Sean mendekatkan wajah hingga bibir kami nyaris bersentuhan. Tentu saja aku tak tinggal diam, aku berontak bak cacing kepanasan sembari melontarkan sumpah serapah.

“Lepas! Bajingan!”

Disaat bersamaan, dia hanya tersenyum, senyum menjijikan yang sialnya baru kusadari sekarang.

“Lepaskan! Jangan sentuh aku! Brengsek!” umpatku sambil terus berusaha melepaskan diri.

“Tidak akan, sebelum aku mendapat apa yang kuinginkan.” Seringai iblis tercetak jelas, bersamaan dengan alarm tanda bahaya yang sedari tadi berbunyi di kepalaku.

Sambil berusaha melepaskan diri, aku berteriak sekencang-kencangnya, berharap ada orang yang mendengar dan mau menolongku. Entah setan apa yang merasuki Sean, hingga dia berubah menjadi sosok yang amat menyeramkan.

“Diam!” bentaknya dengan mata memerah.

“Sean, aku mohon, lepaskan aku!” Mataku terasa panas diikuti perasaan tak karuan. Kalau tahu sifat aslinya begini, aku tidak akan mau bekerja dengannya.

Jarak aku dan dia kian dekat, perasaan resah semakin menghantui. Tidak, ini tak boleh dibiarkan. Tapi, apa yang harus kulakukan? Siapapun, tolong aku.

Kupejamkan mata beberapa saat, sambil terus melafalkan doa-doa di dalam hati.  Selama lima detik, tak ada yang terjadi, hingga terdengar suara tendangan dan pukulan bertubi-tubi. Kontan, aku membuka mata dan mendapati Sean tergeletak di lantai.

“Kurang ajar!” teriak Sean.

“Kau yang kurang ajar, bangsat!” balas sosok berperawakan tinggi sembari merapikan kemeja dan dasinya. Netraku terkunci pada sosok itu, begitupun dia yang berbalik menatapku. Sampai akhirnya, suara ketukan sepatu yang memantul terdengar, diikuti teriakan wanita yang secara otomatis memutus kontak diantara kami.

“Kamu ngapain sih, lama banget?!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Suami Kedua   Gagal

    Usai kejadian malam itu, Daffa tidak pulang sampai pagi, aku pun tak mencari. Sebab sudah bisa menebak, kemana lelaki tersebut pergi. Rumah ini terasa damai tanpa kehadirannya. Ya, meskipun sudut hatiku menginginkan dia berada di tengah-tengah kami. Namun lagi-lagi, bagian terpentingnya bukan itu, ada hal lain yang harus kuperjuangkan lebih dari sekadar urusan perasaan. “Bunda lagi apa?” Lintang yang baru tiba duduk di sampingku. “Lagi take video, Sayang,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan. Aku yang sedang giat-giatnya membuat konten promosi produk, tanpa sadar mengabaikan kehadiran Lintang. Dia mengamati aktivitas bundanya yang berpindah dari satu posisi ke posisi lain demi mendapat tangkapan layar terbaik. “Biar Lintang bantu pegangin HPnya, Bun.”“Gak usah, Sayang, Lintang ganti baju, makan, terus istirahat aja. Pasti capek kan seharian di sekolah?” tolakku sambil tersenyum dan mengusap surainya lembut. “Lintang mau bantuin Bunda,” pintanya.

  • Gairah Suami Kedua   Membela Mona

    “Darimana kamu?” cecar Daffa dengan mata menyorot tajam pada Mas Heru. Aku yang berada di tengah-tengah mereka, memandang keduanya bergantian. “Mas, kamu pulang aja,” ujarku lirih. Ya, dia memang harus segera pulang, pasalnya hal buruk bisa saja terjadi jika dia tetap di sini.“Oke. Mas pulang, ya,” pamitnya yang segera kubalas dengan anggukan singkat.Sepeninggal Mas Heru, Daffa menarikku memasuki rumah kemudian menutup pintu hingga menimbulkan suara keras. Wajahnya tampak mengencang dengan kedua tangan mengepal sempurna.“Kamu ketemu dia? Kenapa gak izin dulu? Saya ini suami kamu, Kelana,” cerocos Daffa.Untuk beberapa detik, aku tak menanggapi ucapannya, membiarkan dia mengatakan apa yang ingin dikatakan. “Bahkan selangkah pun kamu keluar dari rumah ini, itu harus seizin saya.” Nada bicaranya semakin tidak santai. Aku masih diam, menunggu waktu yang tepat untuk menghentikan lelaki tersebut. “Saya gak suka kamu pergi dengan lelaki lain!” “Play

  • Gairah Suami Kedua   Saling Kenal?

    Aku mematung di tempat dan menyaksikan secara langsung bagaimana suamiku memapah Mona, membantunya berjalan. Kuhembuskan napas dalam dan membuangnya perlahan seraya menyugesti diri, tidak, aku tak boleh cemburu apalagi merasa terganggu. Sejak awal, Daffa memang tidak pernah serius memperbaiki hubungan. Segala ucapannya hanya omong kosong belaka. Hampir saja aku terbuai dan menikmati segala perlakuan manisnya. “Saya permisi dulu,” pamitku sambil tersenyum tipis kemudian melenggang pergi. Saat itulah Daffa menghampiri, dia mengambil punggung tanganku dan menggenggamnya erat sekali. “Sayang, maaf, saya gak punya pilihan selain bawa dia ke sini.”Decak sebal lolos begitu saja. Menurutku, bukan tak punya pilihan, melainkan sengaja atau memang itu tujuannya sedari dulu.“Saya gak peduli,” jawabku dingin seraya melepas genggamanya. “Lakuin apa yang kalian mau, karena tujuan saya cuma satu, mengambil apa yang memang menjadi hak saya!” Aku melangkah menjauh

  • Gairah Suami Kedua   Untuk Apa?

    Tok tok tok!Beberapa saat setelah Daffa pergi, suara ketukan pintu terdengar. Kulirik sekilas pintu berbahan kayu jati, kemudian beralih menatap jam yang menggantung di dinding. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Sepertinya itu Lintang. Tanpa pikir panjang, aku menyuruhnya masuk.“Masuk.”Benar saja, tak lama kemudian, wajah anakku menyembul dari baliknya. Ia masih mengenakan seragam sekolah dengan rambut dicepol asal, sederhana namun terlihat cantik. “Bunda sakit?” Itulah pertanyaan pertama yang dia lontarkan saat melihat selimut menutupi hampir sebagian tubuhku. Aku tersenyum tipis seraya menepuk tempat di sampingku dan berusaha bangkit. “Nggak, Sayang, cuma sedikit pusing aja kok, sini.” Lintang mendekat kemudian memijit kakiku. “Bunda rebahan aja,” cegahnya. Aku kembali merebah. Meskipun rasa sakit di kepala sudah berangsur hilang, namun tubuhku masih sedikit lemas. Kutatap wajah ayu putriku yang terlihat memendam sesuatu. “Kenapa, Nak?”

  • Gairah Suami Kedua   Sisi Lain

    PoV LintangHai, namaku Lintang Utami Atmadja, orang-orang memanggilku Lintang, pengguna lengan palsu yang kerap menjadi sasaran bullying. Selain itu, aku adalah korban dari perceraian kedua orang tuaku—Kelana dan Heru. Saat ini, usiaku menginjak tujuh belas tahun.Hidupku ya begini-begini saja, berangkat sekolah, pulang, kemudian menyaksikan drama bunda dengan suami keduanya, orang yang dulu kupanggil Papa. Sejujurnya, dia adalah sosok yang pernah sangat kuidolakan. Namun, seiring berjalannya waktu, semua perasaan itu berubah menjadi rasa benci yang teramat dalam. Singkatnya, dia adalah penyebab aku kehilangan lengan. Ah, andai dulu bunda tak mengenalnya. Setelah meninggalkan aku dan bunda tiga tahun silam, dia kembali dengan membawa segala drama dan problematika kehidupan. Karena tak punya pilihan, bunda menerima kehadirannya, ya meskipun penuh keterpaksaan. Satu sisi aku keberatan, namun sisi lainnya tak punya solusi atas permasalahan yang terjadi. Alhasil, suka t

  • Gairah Suami Kedua   Bahaya

    “Anak sama emak sama aja, sama-sama jalang, murahan!”Pesan yang diakhiri tanda seru itu menjadi fokusku. Apa maksudnya ini? Mengapa si pengirim membawa-bawa anakku? Kuamati dua belas digit angka yang tertera di layar, berusaha mengenali pemiliknya. Namun, sampai beberapa menit berlalu, aku sangat yakin tak mengenal pemilik nomor tersebut. Tidak mau berlama-lama memendam amarah dan kekesalan, aku segera menghubungi nomor itu. Akan tetapi, nomornya tak aktif. “Mungkin cuma orang iseng,” batinku sembari mengalihkan perhatian pada pesan yang berkaitan dengan produk yang kutawarkan, tak ingin membuang-buang waktu untuk meladeni orang-orang kurang kerjaan. Selama berjam-jam lamanya, aku larut dalam aktivitas tersebut, hingga tak sadar sepasang mata tengah memerhatikan. “Sayang, perut Mona keram lagi, saya harus…”Aku yang semula tengah berbalas pesan dengan salah satu calon pembeli, menghentikan aktivitas tersebut kemudian meletakkan ponsel di atas meja, hingg

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status