Share

Dilema

“Waktu kamu habis! Sekarang pergi!” usirku kemudian berlalu meninggalkan Sean.

“Kamu mau kemana? Aku temenin, ya,” ujarnya seraya mencekal pergelangan tanganku.

“Aku gak mau lihat muka kamu, Sean!”

Sean menyugar rambut sembari melayangkan tatapan tak percaya. Mungkin dia berpikir, setelah mendengar informasi tersebut aku akan memaafkan, atau paling tidak berterima kasih. Oh tunggu dulu! Tentu saja tak semudah itu. Lagipula, aku akan tetap datang ke pengadilan agama dengan atau tanpa informasi darinya.

“Baiklah, semoga setelah ini mata dan hati kamu bisa lebih terbuka dan menerima kenyataan!”

Usai berucap demikian, dia benar-benar pergi. Seiring punggungnya yang menjauh, tubuhku limbung. Mataku berair seketika, kalimat demi kalimat yang ia lontarkan terngiang-ngiang di kepala, kemudian berganti dengan suara tegas Daffa saat mengucap ijab qabul tiga tahun silam.

Sisi lain hatiku ingin menyangkal segala hal yang dikatakan Sean. Tapi, hampir tak ada alasan untuk melakukan itu. Sebab, selain ia dan Daffa berteman, kejadian demi kejadian memang mengarah ke sana.

Kutegapkan tubuh sambil mengusap kasar bulir-bulir bening yang terjun bebas membasahi pipi. Ya, ini saat yang tepat untuk membebaskan diri dari belenggu pernikahan yang menjerat. Aku harus bahagia dengan atau tanpa dia.

Tangaku mendekap erat amplop coklat dan map di dada, kemudian melangkah yakin. Saat tengah menyusuri gang sempit yang menghubungkan kontrakan dengan tempat pemberhentian angkot, dari arah berlawanan Buk RT datang bersama seseorang.

“Nah, itu Mbak Kelana,” ucapnya.

Mataku melebar sempurna ketika menyadari lelaki yang berada di samping Buk RT adalah Daffa. Mau apa dia kemari?

Tap tap tap!

Suara pantulan sepatu yang bersentuhan dengan tanah kian dekat, hingga berhenti tepat di hadapanku.

“Terima kasih sudah diantar, Buk.”

“Sama-sama, mari.”

Tampak Buk RT melenggang pergi, menyisakan aku dan dia di gang sempit ini. Kami saling bertatapan, namun aku lebih dulu mengedarkan pandangan.

Sadar ada banyak mata yang tengah memandang kami, Daffa menarik lenganku menjauh. Kami berjalan dalam keheningan dengan aku yang memilih pasrah dan menurut, mengingat situasi dan kondisi yang sangat tidak ideal untuk memberontak.

Sampai akhirnya, kami tiba di kontrakanku. Aku terkejut saat dia memasukkan kunci ke lobangnya dan membuka pintu dengan mudah, seakan kontrakan tiga petak tersebut miliknya.

“Kita ngobrol di dalem, ya.”

“Di luar saja. Ada apa?” Aku sengaja bersikap formal dan membuat jarak. Pasalnya, keadaan sekarang dan dulu sudah berbeda.

“Maaf,” lirihnya. “Saya cuma mau kasih ini.” Daffa memberikan map yang membuat mataku membola sempurna.

Beberapa lembar kertas bertuliskan sertifikat di bagian depan, menjadi fokusku saat ini. Aku membolak-balik lembaran tersebut, kemudian menatap Daffa, meminta penjelasan.

“Apa maksud semua ini?”

“Saya tahu semua hal tentang kamu, termasuk rumah peninggalan nenek yang kamu gadai untuk biaya operasi lengan Lintang. Rumah itu udah saya tebus. Sertifikat aslinya ada sama saya.”

Sejenak aku mengerutkan kening, mengapa Daffa bisa tahu? Dan, untuk apa juga dia melakukan sesuatu yang tidak ada  hubungan dengannya?

“Kembali sama saya. Maka, sertifikat itu akan jadi milik kamu!”

Duar!

Bak disambar petir di siang bolong, aku terpaku di tempat seraya menunggu, barangkali ada maksud lain dari ucapannya. Namun, sampai lima menit berlalu, dia hanya diam.

“Jangan gila, kamu!” makiku.

“Saya serius. Sampai hari ini, perasaan saya ke kamu gak berubah, dan gak akan pernah berubah!” tegasnya

Aku yang masih diliputi rasa terkejut, membelalakkan mata. Tak habis pikir dengan tingkah gilanya.

“Kamu pikir saya percaya?!”

“Bisa iya, bisa enggak, yang jelas, seorang Daffa gak pernah main-main dengan ucapannya.”

Kontan, aku melempar salinan sertifikat itu ke wajahnya. Bisa-bisanya dia memanfaatkan kesulitan orang lain untuk kepentingan pribadi. Aku tak habis pikir, di mana ia letakkan akal dan hati nurani sebagai sesama manusia?

 “Sampai mati pun saya gak akan sudi kembali sama kamu!” Aku mengepalkan tangan seraya menggeleng keras.

Daffa terkekeh pelan. “Faktanya, sampai hari ini status kita masih suami istri, Kelana. Jadi, suka gak suka, setuju gak setuju, kamu harus terima,” ujarnya santai.

Cara dia bicara dan ekspresi wajahnya sangat menjengkelkan. Persisi ODGJ yang kabur dari rumah sakit jiwa, tidak tahu malu! “Oh tenang, sebentar lagi kamu bakal nerima surat panggilan dari pengadilan agama, tunggu aja,” sahutku tegas.

“Kamu yakin? Gimana kalau rumah peninggalan nenekmu saya jual?”

Deg!

Tanganku terkepal kuat sembari melayangkan tatapan sarat kebencian! Cara yang dia lakukan untuk menekanku sangat-sangat norak! Terlebih, tak ada yang memintanya menebus sertifikat tersebut. Tampaknya ia memang sengaja, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Dasar licik!

 “Jangan pernah lakukan itu!” hardikku. “Kasih saya waktu satu bulan. Saya akan bayar dua kali lipat. Setelah itu, urusan kita selesai!”

Meskipun tak punya cukup uang, aku sangat percaya diri mengatakan hal tersebut. Bagiku, yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan rumah peninggalan nenek. Sudah cukup aku menjualnya waktu itu, sekarang tidak lagi. 

“Sayangnya, saya gak butuh uang kamu!” ungkapnya. “Kasih saya kesempatan, Kelana.”

Seperti tengah menyaksikan drama komedi, aku merasa Daffa sangat lucu. Dia bicara soal kesempatan, padahal dirinya lah yang menyia-nyiakan kesempatan. Pergi tanpa penjelasan dan menikah tanpa bilang. Pantaskah yang seperti itu dimaafkan?

“Gak tahu malu!” hardikku. “Daripada bicara soal kesempatan, lebih baik urus Mona dan calon bayi kalian!”

“Calon bayi? Mona? Kamu ini bicara apa? Saya sama dia gak sedeket itu!”

“Stop menganggap saya bodoh dan gak tahu apa-apa, Daffa!”

“Kamu memang bodoh, selalu mudah percaya tanpa cari tahu kebenarannya seperti apa,” balas Daffa. “Mona mengandung anak kedua om saya, mereka sudah menikah. Tapi, beliau meninggal beberapa bulan lalu,” sambungnya.

Ingatanku tentang om Daffa seketika muncul ke permukaan. Tapi, benarkah demikan? Bagaimana kalau hanya alibi? Jujur saja, aku sulit percaya pada apapun yang keluar dari bibirnya, sekalipun itu kebenaran.

“Lebih baik kamu pergi!” usirku tanpa pikir panjang.

“Kasih saya waktu seratus dua puluh hari. Saya akan buktikan sama kamu dan Lintang, bahwa saya masih pantas menjadi imam dan ayah di keluarga ini.” Suaranya terdengar begitu yakin, membuatku ingin segera membangunkan lelaki tersebut dari mimpi dan tidur panjang.

“Jangan mimpi!”

“Saya akan buktikan.”

“Saya gak butuh pembuktian apa pun, semuanya udah jelas! Saya gak buta, saya gak tuli, Daff!”

“Tapi kamu naif!”

Aku tak terima dicap demikian. Atas dasar apa dia memberi penilian seperti itu? Saat hendak menanggapi, suaranya menginterupsi. “Kalau kamu mau menekan ego sekali lagi, saya janji akan perbaiki apa yang rusak.”

“Sejak kapan sesuatu yang rusak bisa diperbaiki?”

“Saya ke sini bukan untuk berdebat.” Daffa mengalihkan pembicaraan.

“Kalau gitu, silakan pergi!”

“Baiklah! Tapi, jangan salahkan saya kalau rumah itu jatuh ke tangan orang lain!”

Aku dilema, apa yang harus kulakukan? Mengikuti permainan Daffa? Atau kehilangan satu-satunya tempat yang membuatku merasa dekat dengan almarhum nenek, sosok yang membesarkan dan membuatku tak merasa sendirian?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status