“Semua keputusan ada di tangan kamu. Saya cuma minta waktu dua bulan, pikirkan baik-baik atau kamu akan kehilangan!
Dari nada bicaranya, Daffa kelihatan sangat menikmati peran. Sungguh, andai bukan dia, aku tidak akan sebimbang ini.
“Jangankan dua bulan, satu hari pun terlalu lama jika dihabiskan dengan laki-laki bajingan seperti kamu!”
“Saya minta maaf atas kekacauan yang pernah saya sebabkan. Tapi, kamu harus percaya, ada alasan dibalik semua peristiwa dan keputusan yang saya ambil selama ini.”
Cih! Lagu lama keset kusut! Begitulah yang aku pikirkan tentang penjelasan singkatnya. Kalau benar apa yang dia lakukan itu ada dasarnya, mengapa tidak memberitahuku sejak awal? Bukankah yang terpenting dari hubungan adalah komunikasi?
“Simpan saja semua narasi itu!”
Ya, aku merasa lebih baik tak mendengar apa pun. Sebab, sekarang bukan lagi waktunya. Jika dia memang punya niat kembali, seharusnya ia lakukan itu sejak lama. Bukan tiba-tiba datang, apalagi menggunakan sertifikat rumah untuk menekan. Memuakkan!
“Jangan keras kepala!”
“Saya? Atau kamu?” sahutku.
Daffa menghela napas pelan. Kami bertukar pandang sebentar, sebelum akhirnya kuputuskan menyudahi pembicaraan.
“Kalau tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, silakan pergi!”
“Masih ada banyak hal yang ingin saya katakan. Tapi sebelum itu, saya ingin dengar keputusan kamu dulu.”
Jujur aku bingung. Perasaan takut, ragu, khawatir, dan bersalah mendominasi. Semua jalan terasa buntu. Tidak ada cara menyelamatkan rumah peninggalan nenek selain mengiyakan dan mengikuti permaian Daffa. Tapi, bagaimana jika yang terjadi nanti tak sesuai harapan?
Buru-buru aku membalikkan keadaan. Dia tak boleh tahu kebimbanganku, karena hal tersebut hanya akan membuatnya merasa puas dan menang, kemudian semakin leluasa memberi tekanan.
“Gimana kalau kamu gagal?”
“Rumah itu akan jadi milik kamu seutuhnya. Kemudian, saya akan pergi dari kehidupan kalian, dan kamu boleh mengajukan gugatan cerai,” ucap Daffa mantap.
Paket komplit yang membuatku nyaris tergiur. Namun, perasaan tak yakin menghampiri. Aku takut gagal dan tidak mampu menolak pesonanya. Terlebih, sekarang Daffa terlihat jauh lebih tampan. Astaga! Apa yang kupikirkan? Aku menggelang keras, mengusir pikiran itu.
“Apa ucapan kamu bisa dipercaya?!”
“Bisa! Pantang bagi lelaki mengingkari janjinya.” Mata Daffa menatapku penuh harap. “Kasih saya kesempatan, ya?”
Setelah menimbang-nimbang, aku mengangguk. “Oke. Saya kasih waktu seratus dua puluh hari! Awas kalau kamu ingkar janji!”
Senyum lebar terbit di bibirnya. Saat itulah kupalingkan wajah dan menatap ke arah lain. “Terima kasih, Sayang.”
“Jangan kurang ajar!” sungutku.
Tak berselang lama, Lintang memasuki pekarangan dengan sepeda merah mudanya, kemudian berada di antara aku dan Daffa seraya melayangkan tatapan benci.
“Bunda, kenapa ada dia?”
Aku menghampiri Lintang seraya mengusap lembut pundak putriku. Disaat bersamaan, Daffa mendekat, hendak menyentuh jemarinya. Namun, anakku itu buru-buru menghindar dan bersembunyi di belakang tubuhku.
“Lintang, ini Papa, Nak.”
Aku merasakan reaksi berbeda dari tubuh Lintang. Ia gemetar disertai keringat dingin yang membasahi kening dan pelipis.
“Kamu sudah mendapat apa yang kamu mau. Sekarang pergi!” tegasku sambil menyembunyikan Lintang di belakang punggung.
“Sayang, Lintang mau kan dengerin penjelasan Papa?” Daffa masih berusaha membujuk dan mengajak Lintang bicara.
“Dia bahkan gak mau lihat muka kamu!” balasku.
Di sisi lain, Lintang tampak pucat. Aku paham dia tak nyaman dengan kehadiran Daffa. Sebelum hal yang lebih buruk terjadi, aku mengusirnya sekali lagi.
“Pergi, Daff!”
Saat itulah tubuh Lintang merosot, hingga terdengar isakan pelan namun memilukan yang membuat aku dan Daffa kompak menoleh pada sumber suara.
“Lintang…”
“Sayang…”
Secara bersamaan, aku dan Daffa mengambil tempat di samping kanan dan kiri Lintang. Entah hanya perasaanku saja, atau benar adanya, Daffa terlihat panik dan khawatir. Tangannya terulur, hendak menyentuh wajah anakku.
“Jangan sentuh anak saya!” Aku menghentikan gerakannya. Hingga suara rintihan Lintang mengembalikan fokusku.
“Sayang, kita ke rumah sakit, ya.”
“Lintang gak apa-apa, Bunda. Tapi tolong, usir orang ini sekarang juga. Lintang gak mau lihat mukanya!”
Aku mengangguk. Saat itulah pandanganku tertuju pada Daffa dan menatap tajam padanya. “Telinga kamu masih berfungsi, kan?” tanyaku sarkas.
Jika sejak tadi Daffa menolak, kali ini dia menurut. Lelaki itu berbalik pergi meski tampak sedih.
Setelah memastikan Daffa tak lagi terlihat, aku memapah Lintang menuju kamar dan membaringkannya di ranjang, kemudian membungkus tubuh kurus itu dengan selimut tebal. Kutatap mata sendu dan wajah tirusnya cukup lama. Aku tahu, ada luka tak kasat mata yang berusaha dia sembunyikan.
“Bunda?” Suara Lintang memecah hening diantara kami.
Buru-buru aku menahan bongkahan air yang nyaris membasahi pipi, dan mengubah ekspresi. “Ya, Sayang? Lintang butuh sesuatu?” tanyaku sambil tersenyum.
“Ngapain dia ke sini?”
“Lintang tenang aja, Bunda pastiin ini pertama dan terakhir laki-laki itu muncul di depan kita” jawabku seraya mengecup keningnya.
“Bunda yakin?”
“Sangat yakin.”
“Janji, ya?”
Usai kejadian malam itu, Daffa tidak pulang sampai pagi, aku pun tak mencari. Sebab sudah bisa menebak, kemana lelaki tersebut pergi. Rumah ini terasa damai tanpa kehadirannya. Ya, meskipun sudut hatiku menginginkan dia berada di tengah-tengah kami. Namun lagi-lagi, bagian terpentingnya bukan itu, ada hal lain yang harus kuperjuangkan lebih dari sekadar urusan perasaan. “Bunda lagi apa?” Lintang yang baru tiba duduk di sampingku. “Lagi take video, Sayang,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan. Aku yang sedang giat-giatnya membuat konten promosi produk, tanpa sadar mengabaikan kehadiran Lintang. Dia mengamati aktivitas bundanya yang berpindah dari satu posisi ke posisi lain demi mendapat tangkapan layar terbaik. “Biar Lintang bantu pegangin HPnya, Bun.”“Gak usah, Sayang, Lintang ganti baju, makan, terus istirahat aja. Pasti capek kan seharian di sekolah?” tolakku sambil tersenyum dan mengusap surainya lembut. “Lintang mau bantuin Bunda,” pintanya.
“Darimana kamu?” cecar Daffa dengan mata menyorot tajam pada Mas Heru. Aku yang berada di tengah-tengah mereka, memandang keduanya bergantian. “Mas, kamu pulang aja,” ujarku lirih. Ya, dia memang harus segera pulang, pasalnya hal buruk bisa saja terjadi jika dia tetap di sini.“Oke. Mas pulang, ya,” pamitnya yang segera kubalas dengan anggukan singkat.Sepeninggal Mas Heru, Daffa menarikku memasuki rumah kemudian menutup pintu hingga menimbulkan suara keras. Wajahnya tampak mengencang dengan kedua tangan mengepal sempurna.“Kamu ketemu dia? Kenapa gak izin dulu? Saya ini suami kamu, Kelana,” cerocos Daffa.Untuk beberapa detik, aku tak menanggapi ucapannya, membiarkan dia mengatakan apa yang ingin dikatakan. “Bahkan selangkah pun kamu keluar dari rumah ini, itu harus seizin saya.” Nada bicaranya semakin tidak santai. Aku masih diam, menunggu waktu yang tepat untuk menghentikan lelaki tersebut. “Saya gak suka kamu pergi dengan lelaki lain!” “Play
Aku mematung di tempat dan menyaksikan secara langsung bagaimana suamiku memapah Mona, membantunya berjalan. Kuhembuskan napas dalam dan membuangnya perlahan seraya menyugesti diri, tidak, aku tak boleh cemburu apalagi merasa terganggu. Sejak awal, Daffa memang tidak pernah serius memperbaiki hubungan. Segala ucapannya hanya omong kosong belaka. Hampir saja aku terbuai dan menikmati segala perlakuan manisnya. “Saya permisi dulu,” pamitku sambil tersenyum tipis kemudian melenggang pergi. Saat itulah Daffa menghampiri, dia mengambil punggung tanganku dan menggenggamnya erat sekali. “Sayang, maaf, saya gak punya pilihan selain bawa dia ke sini.”Decak sebal lolos begitu saja. Menurutku, bukan tak punya pilihan, melainkan sengaja atau memang itu tujuannya sedari dulu.“Saya gak peduli,” jawabku dingin seraya melepas genggamanya. “Lakuin apa yang kalian mau, karena tujuan saya cuma satu, mengambil apa yang memang menjadi hak saya!” Aku melangkah menjauh
Tok tok tok!Beberapa saat setelah Daffa pergi, suara ketukan pintu terdengar. Kulirik sekilas pintu berbahan kayu jati, kemudian beralih menatap jam yang menggantung di dinding. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Sepertinya itu Lintang. Tanpa pikir panjang, aku menyuruhnya masuk.“Masuk.”Benar saja, tak lama kemudian, wajah anakku menyembul dari baliknya. Ia masih mengenakan seragam sekolah dengan rambut dicepol asal, sederhana namun terlihat cantik. “Bunda sakit?” Itulah pertanyaan pertama yang dia lontarkan saat melihat selimut menutupi hampir sebagian tubuhku. Aku tersenyum tipis seraya menepuk tempat di sampingku dan berusaha bangkit. “Nggak, Sayang, cuma sedikit pusing aja kok, sini.” Lintang mendekat kemudian memijit kakiku. “Bunda rebahan aja,” cegahnya. Aku kembali merebah. Meskipun rasa sakit di kepala sudah berangsur hilang, namun tubuhku masih sedikit lemas. Kutatap wajah ayu putriku yang terlihat memendam sesuatu. “Kenapa, Nak?”
PoV LintangHai, namaku Lintang Utami Atmadja, orang-orang memanggilku Lintang, pengguna lengan palsu yang kerap menjadi sasaran bullying. Selain itu, aku adalah korban dari perceraian kedua orang tuaku—Kelana dan Heru. Saat ini, usiaku menginjak tujuh belas tahun.Hidupku ya begini-begini saja, berangkat sekolah, pulang, kemudian menyaksikan drama bunda dengan suami keduanya, orang yang dulu kupanggil Papa. Sejujurnya, dia adalah sosok yang pernah sangat kuidolakan. Namun, seiring berjalannya waktu, semua perasaan itu berubah menjadi rasa benci yang teramat dalam. Singkatnya, dia adalah penyebab aku kehilangan lengan. Ah, andai dulu bunda tak mengenalnya. Setelah meninggalkan aku dan bunda tiga tahun silam, dia kembali dengan membawa segala drama dan problematika kehidupan. Karena tak punya pilihan, bunda menerima kehadirannya, ya meskipun penuh keterpaksaan. Satu sisi aku keberatan, namun sisi lainnya tak punya solusi atas permasalahan yang terjadi. Alhasil, suka t
“Anak sama emak sama aja, sama-sama jalang, murahan!”Pesan yang diakhiri tanda seru itu menjadi fokusku. Apa maksudnya ini? Mengapa si pengirim membawa-bawa anakku? Kuamati dua belas digit angka yang tertera di layar, berusaha mengenali pemiliknya. Namun, sampai beberapa menit berlalu, aku sangat yakin tak mengenal pemilik nomor tersebut. Tidak mau berlama-lama memendam amarah dan kekesalan, aku segera menghubungi nomor itu. Akan tetapi, nomornya tak aktif. “Mungkin cuma orang iseng,” batinku sembari mengalihkan perhatian pada pesan yang berkaitan dengan produk yang kutawarkan, tak ingin membuang-buang waktu untuk meladeni orang-orang kurang kerjaan. Selama berjam-jam lamanya, aku larut dalam aktivitas tersebut, hingga tak sadar sepasang mata tengah memerhatikan. “Sayang, perut Mona keram lagi, saya harus…”Aku yang semula tengah berbalas pesan dengan salah satu calon pembeli, menghentikan aktivitas tersebut kemudian meletakkan ponsel di atas meja, hingg