Share

Siapa Dia?

Penulis: Danea
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-29 14:55:34

Pagi harinya, saat aku tengah mengepel lantai, terdengar suara ketukan dari luar. Bergegas aku menarik handel tanpa memeriksa sosok di baliknya lebih dulu. Detik itu juga, aku menyesal melakukan hal tersebut. Ketika hendak menutup pintu, sosok tersebut menahan sembari tersenyum lebar.

“Selamat pagi, istri.”

“Saya bukan istri kamu!” tekanku.

“Kamu masih istri saya,” balas tamu tak diundang yang tak lain adalah Daffa.

Aku mengedarkan pandangan, sembari berusaha menahan diri untuk tak memukul kepala lelaki tersebut. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap dua koper besar yang berada di sisinya. Aku memicingkan mata, untuk apa lelaki itu membawa koper? Jangan-jangan…

“Mulai sekarang saya akan tinggal di sini, lebih tepatnya di rumah lama kamu. Siap-siap, gih, kita berangkat sebentar lagi,” ujarnya dengan senyum mengembang.

Enteng sekali dia bicara demikian. Ingin rasanya kubenturkan kepala lelaki itu ke dinding, agar ia tak menolak lupa pada sikap dan tindakannya menelantarkan aku juga Lintang tiga tahun belakangan.

“Jangan main-main! Kamu gak denger ucapan Lintang kemarin?!” bentakku.

“Semua yang kamu katakan gak akan mengubah keputusan saya, Kelana.”

Mataku membola sempurna. “Jangankan tinggal satu atap, lihat muka kamu aja saya muak!” sinisku.

Akan tetapi, respons Daffa di luar dugaan. Ia menggapai punggung tanganku, menciumnya beberapa kali. Segera kutepis kasar dan menjauhkan diri. Seketika, ada perasaan nyaman yang menjalar karena perlakuan tiba-tiba tersebut.

“Kasih saya kesempatan buat perbaiki semuanya, seperti perjanjian kita,” pinta Daffa seraya menatapku.

“Saya cuma setuju dengan perjanjian seratus dua puluh hari, bukan yang lainnya.” Aku masih bersikeras menolak kehadirannya, mengabaikan gelenyar aneh yang menghampiri.

“Asal kamu tahu, semua yang saya lakukan atas dasar kepentingan kamu dan Lintang. Saya sangat mencintai kalian,” beber Daffa.

Hatiku sedikit menghangat mendengar pengakuan itu. Meskipun hanya sedikit, aku harus menepis perasaan tersebut.

“Bulshit!”

“Terserah kamu mau percaya atau enggak. Tapi yang jelas, saya gak pernah benar-benar sengaja ninggalin. Saya lakuin itu demi kebaikan kita.”

Aku menggeleng keras sambil tersenyum miring. “Kebaikan yang mana? Yang cuma ada di benak kamu?! Cih!” decak kesal keluar begitu saja.

“Lan, saya mohon.” Daffa mendekat dan berupaya menggenggam jemariku. Jika mengikuti kata hati, aku ingin membiarkan. Namun ternyata, ego lebih dominan. “Pergi! Kamu gak diterima di sini!”

Sejenak dua jenak, kami bertukar pandang. Aku merasa terbius dengan netranya yang jernih, tak kudapati kebohongan di sepasang mata itu, yang ada hanya tatapan penuh rindu. Entah bagaimana ceritanya, Daffa membawaku dalam rengkuhan. “Maaf. Tolong maafin saya, saya kangen kamu,” ucapnya dengan suara bergetar.

Aku berusaha melepaskan diri. Namun, tenagaku tak sebanding dengan kekuatan Daffa. Alhasil, dengan sangat terpaksa aku menerima pelukannya.

Perasaan hangat yang semula kutepis kembali muncul. Dan kali ini, aku tak mampu mendenial perasaan itu. Aku merasa nyaman saat tangan besar Daffa melingkari pinggangku.

Akan tetapi, sebelum perasaan tersebut melayang lebih tinggi, aku tersadar dan kembali pada realita. Kuinjak kaki Daffa hingga lelaki itu merintih kesakitan, dan secara otomatis tangan besar yang melingkari pinggangku terlepas.

“Aw! Sakit, Sayang.”

“Rasa sakit di kaki kamu gak sebanding dengan rasa sakit di hati saya!” balasku tajam.

“Saya paham. Makanya, izinkan saya mengobati luka-luka kalian,” lirihnya.

Aku menggulir bola mata. Sepertinya, sifat keras kepala Daffa sudah mendarah daging, hingga lelaki itu sangat sulit diberi tahu dan cenderung tak mau mendengarkan ucapan orang lain.

“Simpan kata mutiara kamu, saya gak akan percaya sama semua bujuk rayu dan gombalan gak ber…”

Cup!

Daffa membungkam mulutku dengan kecupan singkat. Sialnya, di usia tak lagi muda aku tetap saja salah tingkah diperlakukan demikian. Terbukti dengan semburat merah yang muncul begitu saja tanpa bisa dicegah. Memalukan!

“Ternyata kamu gak berubah. Saya semakin yakin, kalau di sini masih ada nama saya,” ujar Daffa seraya menunjuk dada, dan menempelkan bibirnya kemudian melumat bibirku.

Kakiku terasa lemas, seakan tak mampu menopang tubuh. Ciuman Daffa begitu memabukkan, hingga aku memejamkan mata dan mengalungkan tangan di leher lelaki tersebut. Kenapa denganku? Apa ini artinya aku sudah mulai bisa memaafkan dan menerima Daffa? Lantas, bagaimana dengan Lintang?

***

“Kemarin Bunda sendiri yang bilang, laki-laki itu gak akan muncul lagi di depan kita. Sekarang apa? Bunda ingkar janji! Terus kenapa juga kita harus pindah dari sini? Pasti karena dia, kan?!”

Aku menerima kemarahan Lintang dalam diam. Ya, sejak tadi hanya dia yang bicara, sementara diriku mendengar dan menyimak saja. Aku paham bagaimana perasaannya, bahkan jika di posisi dia, kemarahan dan kekecewaanku pasti lebih besar. Jadi, reaksi Lintang sekarang terbilang masih normal menurutku.

Setelah Lintang selesaikan menyuarakan isi hati, barulah aku angkat bicara.

“Sayang, dengerin Bunda,” ujarku seraya menatap dalam dan menangkup kedua pipinya. “Ini cuma sementara. Bunda janji, setelah urusan Bunda sama dia selesai, dia akan pergi dari kehidupan kita.”

Aku berharap Lintang bisa mengerti, kalau pengambilan keputusan ini dilakukan atas dasar terpaksa.

“Memangnya Bunda punya urusan apa sama dia?!” Suara Lintang masih tinggi dan aku harus memaklumi.

“Bunda belum bisa cerita sekarang.”

“Kenapa?”

Pertanyaan ini lah yang kutakutkan dan akhirnya terlontar juga dari mulutnya. Haruskah kukatakan yang sebenarnya? Tapi, bagaimana jika mengganggu kesehatan Lintang? Sungguh, aku tak mau hal buruk terjadi pada putriku.

“Apa ada hubungannya dengan operasi lengan Lintang dan Om Sean?” Lintang terus mencecar, membuatku tak bisa berkutik.

“Kasih tahu Lintang, Bun, ada apa sebenarnya?” desaknya lagi.

Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Sepertinya, aku memang harus bicara, menjelaskan kondisi ekonomi pasca operasi lengan, juga Sean yang sempat berniat melakukan perbuatan tak senonoh padaku.

“Bunda akan bicara, tapi Lintang harus janji jangan banyak pikiran, hmm?” tanyaku yang dibalas anggukan singkat.

Detik itu juga aku menceritakan semua hal yang terjadi. Dimulai dari lingkungan tempat tinggal yang toxic, perbuatan Sean, kemunculan Daffa dengan segala drama yang dia bawa, sampai sertifikat rumah juga perjanjian seratus dua puluh hari yang telah kami sepakati.

Lintang menanggapi ceritaku dengan berbagai ekspresi. Satu yang paling kentara, dia menggeleng-gelengkan kepala, terlihat heran sekaligus terkejut mendengar kalimat demi kalimat yang lolos dari bibirku.

“Kenapa baru cerita sekarang? Lintang lebih baik gak punya lengan daripada harus nyusahin Bunda!” Lintang memelukku, kemudian menangis terisak.

“Ssssttt, jangan ngomong gitu, Bunda mohon.” Kuusap punggung Lintang naik turun seraya mengecup pucuk kepalanya. “Masa depan Lintang masih panjang.”

“Tapi, itu semua gak penting!” balas Lintang disela-sela tangisnya.

“Semua itu sangat penting bagi Bunda, Nak,” jawabku sambil berusaha menenangkan.

Selama beberapa menit, keheningan mendominasi. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya, suara Lintang terdengar.

“Cuma seratus dua puluh hari, kan?”

“Iya, Sayang.”

“Jujur, Lintang lebih suka Bunda sama Om Sean, daripada harus kembali sama laki-laki gak bertanggungjawab seperti dia!”

Bahkan, setelah aku menceritakan hal buruk yang Sean perbuat, putriku tetap membela lelaki itu. Entah apa yang dia lakukan hingga Lintang sangat mempercayainya.

“Bunda gak pernah kepikiran ke arah sana.”

“Bunda masih mencintai dia?”

“Sama sekali nggak,” jawabku mantap. Ya, aku sangat yakin tidak lagi mencintai Daffa.

“Syukurlah, Lintang lega dengernya.”

Tak berselang lama, Lintang kembali memelukku, pelukan yang menjadi salah satu penguat dalam menjalani hari-hari berat selama ini.

Di saat bersamaan, aku melihat sepasang mata mencuri pandang ke arah kami seraya menyeringai.

“Siapa dia?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Suami Kedua   Gagal

    Usai kejadian malam itu, Daffa tidak pulang sampai pagi, aku pun tak mencari. Sebab sudah bisa menebak, kemana lelaki tersebut pergi. Rumah ini terasa damai tanpa kehadirannya. Ya, meskipun sudut hatiku menginginkan dia berada di tengah-tengah kami. Namun lagi-lagi, bagian terpentingnya bukan itu, ada hal lain yang harus kuperjuangkan lebih dari sekadar urusan perasaan. “Bunda lagi apa?” Lintang yang baru tiba duduk di sampingku. “Lagi take video, Sayang,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan. Aku yang sedang giat-giatnya membuat konten promosi produk, tanpa sadar mengabaikan kehadiran Lintang. Dia mengamati aktivitas bundanya yang berpindah dari satu posisi ke posisi lain demi mendapat tangkapan layar terbaik. “Biar Lintang bantu pegangin HPnya, Bun.”“Gak usah, Sayang, Lintang ganti baju, makan, terus istirahat aja. Pasti capek kan seharian di sekolah?” tolakku sambil tersenyum dan mengusap surainya lembut. “Lintang mau bantuin Bunda,” pintanya.

  • Gairah Suami Kedua   Membela Mona

    “Darimana kamu?” cecar Daffa dengan mata menyorot tajam pada Mas Heru. Aku yang berada di tengah-tengah mereka, memandang keduanya bergantian. “Mas, kamu pulang aja,” ujarku lirih. Ya, dia memang harus segera pulang, pasalnya hal buruk bisa saja terjadi jika dia tetap di sini.“Oke. Mas pulang, ya,” pamitnya yang segera kubalas dengan anggukan singkat.Sepeninggal Mas Heru, Daffa menarikku memasuki rumah kemudian menutup pintu hingga menimbulkan suara keras. Wajahnya tampak mengencang dengan kedua tangan mengepal sempurna.“Kamu ketemu dia? Kenapa gak izin dulu? Saya ini suami kamu, Kelana,” cerocos Daffa.Untuk beberapa detik, aku tak menanggapi ucapannya, membiarkan dia mengatakan apa yang ingin dikatakan. “Bahkan selangkah pun kamu keluar dari rumah ini, itu harus seizin saya.” Nada bicaranya semakin tidak santai. Aku masih diam, menunggu waktu yang tepat untuk menghentikan lelaki tersebut. “Saya gak suka kamu pergi dengan lelaki lain!” “Play

  • Gairah Suami Kedua   Saling Kenal?

    Aku mematung di tempat dan menyaksikan secara langsung bagaimana suamiku memapah Mona, membantunya berjalan. Kuhembuskan napas dalam dan membuangnya perlahan seraya menyugesti diri, tidak, aku tak boleh cemburu apalagi merasa terganggu. Sejak awal, Daffa memang tidak pernah serius memperbaiki hubungan. Segala ucapannya hanya omong kosong belaka. Hampir saja aku terbuai dan menikmati segala perlakuan manisnya. “Saya permisi dulu,” pamitku sambil tersenyum tipis kemudian melenggang pergi. Saat itulah Daffa menghampiri, dia mengambil punggung tanganku dan menggenggamnya erat sekali. “Sayang, maaf, saya gak punya pilihan selain bawa dia ke sini.”Decak sebal lolos begitu saja. Menurutku, bukan tak punya pilihan, melainkan sengaja atau memang itu tujuannya sedari dulu.“Saya gak peduli,” jawabku dingin seraya melepas genggamanya. “Lakuin apa yang kalian mau, karena tujuan saya cuma satu, mengambil apa yang memang menjadi hak saya!” Aku melangkah menjauh

  • Gairah Suami Kedua   Untuk Apa?

    Tok tok tok!Beberapa saat setelah Daffa pergi, suara ketukan pintu terdengar. Kulirik sekilas pintu berbahan kayu jati, kemudian beralih menatap jam yang menggantung di dinding. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Sepertinya itu Lintang. Tanpa pikir panjang, aku menyuruhnya masuk.“Masuk.”Benar saja, tak lama kemudian, wajah anakku menyembul dari baliknya. Ia masih mengenakan seragam sekolah dengan rambut dicepol asal, sederhana namun terlihat cantik. “Bunda sakit?” Itulah pertanyaan pertama yang dia lontarkan saat melihat selimut menutupi hampir sebagian tubuhku. Aku tersenyum tipis seraya menepuk tempat di sampingku dan berusaha bangkit. “Nggak, Sayang, cuma sedikit pusing aja kok, sini.” Lintang mendekat kemudian memijit kakiku. “Bunda rebahan aja,” cegahnya. Aku kembali merebah. Meskipun rasa sakit di kepala sudah berangsur hilang, namun tubuhku masih sedikit lemas. Kutatap wajah ayu putriku yang terlihat memendam sesuatu. “Kenapa, Nak?”

  • Gairah Suami Kedua   Sisi Lain

    PoV LintangHai, namaku Lintang Utami Atmadja, orang-orang memanggilku Lintang, pengguna lengan palsu yang kerap menjadi sasaran bullying. Selain itu, aku adalah korban dari perceraian kedua orang tuaku—Kelana dan Heru. Saat ini, usiaku menginjak tujuh belas tahun.Hidupku ya begini-begini saja, berangkat sekolah, pulang, kemudian menyaksikan drama bunda dengan suami keduanya, orang yang dulu kupanggil Papa. Sejujurnya, dia adalah sosok yang pernah sangat kuidolakan. Namun, seiring berjalannya waktu, semua perasaan itu berubah menjadi rasa benci yang teramat dalam. Singkatnya, dia adalah penyebab aku kehilangan lengan. Ah, andai dulu bunda tak mengenalnya. Setelah meninggalkan aku dan bunda tiga tahun silam, dia kembali dengan membawa segala drama dan problematika kehidupan. Karena tak punya pilihan, bunda menerima kehadirannya, ya meskipun penuh keterpaksaan. Satu sisi aku keberatan, namun sisi lainnya tak punya solusi atas permasalahan yang terjadi. Alhasil, suka t

  • Gairah Suami Kedua   Bahaya

    “Anak sama emak sama aja, sama-sama jalang, murahan!”Pesan yang diakhiri tanda seru itu menjadi fokusku. Apa maksudnya ini? Mengapa si pengirim membawa-bawa anakku? Kuamati dua belas digit angka yang tertera di layar, berusaha mengenali pemiliknya. Namun, sampai beberapa menit berlalu, aku sangat yakin tak mengenal pemilik nomor tersebut. Tidak mau berlama-lama memendam amarah dan kekesalan, aku segera menghubungi nomor itu. Akan tetapi, nomornya tak aktif. “Mungkin cuma orang iseng,” batinku sembari mengalihkan perhatian pada pesan yang berkaitan dengan produk yang kutawarkan, tak ingin membuang-buang waktu untuk meladeni orang-orang kurang kerjaan. Selama berjam-jam lamanya, aku larut dalam aktivitas tersebut, hingga tak sadar sepasang mata tengah memerhatikan. “Sayang, perut Mona keram lagi, saya harus…”Aku yang semula tengah berbalas pesan dengan salah satu calon pembeli, menghentikan aktivitas tersebut kemudian meletakkan ponsel di atas meja, hingg

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status