Share

Siapa Dia?

Pagi harinya, saat aku tengah mengepel lantai, terdengar suara ketukan dari luar. Bergegas aku menarik handel tanpa memeriksa sosok di baliknya lebih dulu. Detik itu juga, aku menyesal melakukan hal tersebut. Ketika hendak menutup pintu, sosok tersebut menahan sembari tersenyum lebar.

“Selamat pagi, istri.”

“Saya bukan istri kamu!” tekanku.

“Kamu masih istri saya,” balas tamu tak diundang yang tak lain adalah Daffa.

Aku mengedarkan pandangan, sembari berusaha menahan diri untuk tak memukul kepala lelaki tersebut. Bersamaan dengan itu, netraku menangkap dua koper besar yang berada di sisinya. Aku memicingkan mata, untuk apa lelaki itu membawa koper? Jangan-jangan…

“Mulai sekarang saya akan tinggal di sini, lebih tepatnya di rumah lama kamu. Siap-siap, gih, kita berangkat sebentar lagi,” ujarnya dengan senyum mengembang.

Enteng sekali dia bicara demikian. Ingin rasanya kubenturkan kepala lelaki itu ke dinding, agar ia tak menolak lupa pada sikap dan tindakannya menelantarkan aku juga Lintang tiga tahun belakangan.

“Jangan main-main! Kamu gak denger ucapan Lintang kemarin?!” bentakku.

“Semua yang kamu katakan gak akan mengubah keputusan saya, Kelana.”

Mataku membola sempurna. “Jangankan tinggal satu atap, lihat muka kamu aja saya muak!” sinisku.

Akan tetapi, respons Daffa di luar dugaan. Ia menggapai punggung tanganku, menciumnya beberapa kali. Segera kutepis kasar dan menjauhkan diri. Seketika, ada perasaan nyaman yang menjalar karena perlakuan tiba-tiba tersebut.

“Kasih saya kesempatan buat perbaiki semuanya, seperti perjanjian kita,” pinta Daffa seraya menatapku.

“Saya cuma setuju dengan perjanjian seratus dua puluh hari, bukan yang lainnya.” Aku masih bersikeras menolak kehadirannya, mengabaikan gelenyar aneh yang menghampiri.

“Asal kamu tahu, semua yang saya lakukan atas dasar kepentingan kamu dan Lintang. Saya sangat mencintai kalian,” beber Daffa.

Hatiku sedikit menghangat mendengar pengakuan itu. Meskipun hanya sedikit, aku harus menepis perasaan tersebut.

“Bulshit!”

“Terserah kamu mau percaya atau enggak. Tapi yang jelas, saya gak pernah benar-benar sengaja ninggalin. Saya lakuin itu demi kebaikan kita.”

Aku menggeleng keras sambil tersenyum miring. “Kebaikan yang mana? Yang cuma ada di benak kamu?! Cih!” decak kesal keluar begitu saja.

“Lan, saya mohon.” Daffa mendekat dan berupaya menggenggam jemariku. Jika mengikuti kata hati, aku ingin membiarkan. Namun ternyata, ego lebih dominan. “Pergi! Kamu gak diterima di sini!”

Sejenak dua jenak, kami bertukar pandang. Aku merasa terbius dengan netranya yang jernih, tak kudapati kebohongan di sepasang mata itu, yang ada hanya tatapan penuh rindu. Entah bagaimana ceritanya, Daffa membawaku dalam rengkuhan. “Maaf. Tolong maafin saya, saya kangen kamu,” ucapnya dengan suara bergetar.

Aku berusaha melepaskan diri. Namun, tenagaku tak sebanding dengan kekuatan Daffa. Alhasil, dengan sangat terpaksa aku menerima pelukannya.

Perasaan hangat yang semula kutepis kembali muncul. Dan kali ini, aku tak mampu mendenial perasaan itu. Aku merasa nyaman saat tangan besar Daffa melingkari pinggangku.

Akan tetapi, sebelum perasaan tersebut melayang lebih tinggi, aku tersadar dan kembali pada realita. Kuinjak kaki Daffa hingga lelaki itu merintih kesakitan, dan secara otomatis tangan besar yang melingkari pinggangku terlepas.

“Aw! Sakit, Sayang.”

“Rasa sakit di kaki kamu gak sebanding dengan rasa sakit di hati saya!” balasku tajam.

“Saya paham. Makanya, izinkan saya mengobati luka-luka kalian,” lirihnya.

Aku menggulir bola mata. Sepertinya, sifat keras kepala Daffa sudah mendarah daging, hingga lelaki itu sangat sulit diberi tahu dan cenderung tak mau mendengarkan ucapan orang lain.

“Simpan kata mutiara kamu, saya gak akan percaya sama semua bujuk rayu dan gombalan gak ber…”

Cup!

Daffa membungkam mulutku dengan kecupan singkat. Sialnya, di usia tak lagi muda aku tetap saja salah tingkah diperlakukan demikian. Terbukti dengan semburat merah yang muncul begitu saja tanpa bisa dicegah. Memalukan!

“Ternyata kamu gak berubah. Saya semakin yakin, kalau di sini masih ada nama saya,” ujar Daffa seraya menunjuk dada, dan menempelkan bibirnya kemudian melumat bibirku.

Kakiku terasa lemas, seakan tak mampu menopang tubuh. Ciuman Daffa begitu memabukkan, hingga aku memejamkan mata dan mengalungkan tangan di leher lelaki tersebut. Kenapa denganku? Apa ini artinya aku sudah mulai bisa memaafkan dan menerima Daffa? Lantas, bagaimana dengan Lintang?

***

“Kemarin Bunda sendiri yang bilang, laki-laki itu gak akan muncul lagi di depan kita. Sekarang apa? Bunda ingkar janji! Terus kenapa juga kita harus pindah dari sini? Pasti karena dia, kan?!”

Aku menerima kemarahan Lintang dalam diam. Ya, sejak tadi hanya dia yang bicara, sementara diriku mendengar dan menyimak saja. Aku paham bagaimana perasaannya, bahkan jika di posisi dia, kemarahan dan kekecewaanku pasti lebih besar. Jadi, reaksi Lintang sekarang terbilang masih normal menurutku.

Setelah Lintang selesaikan menyuarakan isi hati, barulah aku angkat bicara.

“Sayang, dengerin Bunda,” ujarku seraya menatap dalam dan menangkup kedua pipinya. “Ini cuma sementara. Bunda janji, setelah urusan Bunda sama dia selesai, dia akan pergi dari kehidupan kita.”

Aku berharap Lintang bisa mengerti, kalau pengambilan keputusan ini dilakukan atas dasar terpaksa.

“Memangnya Bunda punya urusan apa sama dia?!” Suara Lintang masih tinggi dan aku harus memaklumi.

“Bunda belum bisa cerita sekarang.”

“Kenapa?”

Pertanyaan ini lah yang kutakutkan dan akhirnya terlontar juga dari mulutnya. Haruskah kukatakan yang sebenarnya? Tapi, bagaimana jika mengganggu kesehatan Lintang? Sungguh, aku tak mau hal buruk terjadi pada putriku.

“Apa ada hubungannya dengan operasi lengan Lintang dan Om Sean?” Lintang terus mencecar, membuatku tak bisa berkutik.

“Kasih tahu Lintang, Bun, ada apa sebenarnya?” desaknya lagi.

Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Sepertinya, aku memang harus bicara, menjelaskan kondisi ekonomi pasca operasi lengan, juga Sean yang sempat berniat melakukan perbuatan tak senonoh padaku.

“Bunda akan bicara, tapi Lintang harus janji jangan banyak pikiran, hmm?” tanyaku yang dibalas anggukan singkat.

Detik itu juga aku menceritakan semua hal yang terjadi. Dimulai dari lingkungan tempat tinggal yang toxic, perbuatan Sean, kemunculan Daffa dengan segala drama yang dia bawa, sampai sertifikat rumah juga perjanjian seratus dua puluh hari yang telah kami sepakati.

Lintang menanggapi ceritaku dengan berbagai ekspresi. Satu yang paling kentara, dia menggeleng-gelengkan kepala, terlihat heran sekaligus terkejut mendengar kalimat demi kalimat yang lolos dari bibirku.

“Kenapa baru cerita sekarang? Lintang lebih baik gak punya lengan daripada harus nyusahin Bunda!” Lintang memelukku, kemudian menangis terisak.

“Ssssttt, jangan ngomong gitu, Bunda mohon.” Kuusap punggung Lintang naik turun seraya mengecup pucuk kepalanya. “Masa depan Lintang masih panjang.”

“Tapi, itu semua gak penting!” balas Lintang disela-sela tangisnya.

“Semua itu sangat penting bagi Bunda, Nak,” jawabku sambil berusaha menenangkan.

Selama beberapa menit, keheningan mendominasi. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya, suara Lintang terdengar.

“Cuma seratus dua puluh hari, kan?”

“Iya, Sayang.”

“Jujur, Lintang lebih suka Bunda sama Om Sean, daripada harus kembali sama laki-laki gak bertanggungjawab seperti dia!”

Bahkan, setelah aku menceritakan hal buruk yang Sean perbuat, putriku tetap membela lelaki itu. Entah apa yang dia lakukan hingga Lintang sangat mempercayainya.

“Bunda gak pernah kepikiran ke arah sana.”

“Bunda masih mencintai dia?”

“Sama sekali nggak,” jawabku mantap. Ya, aku sangat yakin tidak lagi mencintai Daffa.

“Syukurlah, Lintang lega dengernya.”

Tak berselang lama, Lintang kembali memelukku, pelukan yang menjadi salah satu penguat dalam menjalani hari-hari berat selama ini.

Di saat bersamaan, aku melihat sepasang mata mencuri pandang ke arah kami seraya menyeringai.

“Siapa dia?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status