Share

Rumit

Setelah punggung Daffa menjauh, aku menghentikan aktivitas dan duduk sejenak di tempat yang tadi dia duduki sembari menghela napas pelan. Kulihat sekeliling, tak kutemui apa pun selain kekosongan, sama seperti sudut hatiku yang mendadak tak nyaman saat ia pergi. Bertepatan dengan itu, ponsel yang kuletakkan di atas nakas berdering keras hingga membuyarkan lamunan.

“Sean, mau apa lagi dia?” gumamku sembari menggeser layar, mereject panggilan tersebut.

Akan tetapi, dering yang sama kembali terdengar. Kuputuskan menjawab panggilan tersebut, barangkali ada hal penting yang ingin dia sampaikan.

“Ada apa?” tanyaku to the point.

“Kata Lintang kalian pindah. Kenapa gak bilang?”

Dengan kening berkerut, kujauhkan ponsel dari telinga. Kenapa gak bilang? Untuk apa juga bilang, memangnya dia siapa? Suara hatiku meronta-ronta.

“Halo, Lan, kamu masih di sana?”

“Hmm,” balasku singkat.

“Sharelock, aku ke sana sekarang.”

“Gak usah!” sahutku cepat.

Tentu saja aku menolak. Selain karena tak mau bertemu dengannya, Daffa sedang pergi, mana mungkin aku menerima tamu pria disaat suamiku tidak di rumah. Ya, sekuat apapun aku menyangkal, benar adanya jika sampai hari aku masih istrinya.

“Kenapa?”

“Aku sibuk!”

“Sebentar aja, aku mau ketemu Lintang.”

“Lintang udah tidur.”

Suara kerasak-kerusuk di seberang layar terdengar, disertai helaan napas kasar beberapa saat kemudian. “Sampai kapan kamu mau bersikap seperti ini?”

Sambil memijit pangkal hidung, aku memikirkan jawaban yang tepat agar lelaki itu mengerti dan sadar dimana posisinya.

“Sampai kamu sadar aku wanita bersuami, dan hubungan kita hanya sebatas atasan dan bawahan, gak lebih!” tegasku kemudian.

“Mana bisa begitu. Bahkan Lintang menginginkan aku menjadi ayahnya.”

“Omong kosong!”

“Lan!”

Tut!

Aku memutus panggilan sepihak, jengah mendengar ucapan Sean yang menjadikan Lintang sebagai alasan. Suasana hatiku menjadi kian buruk usai menerima telepon tersebut. Kalau dipikir-pikir, mengapa Tuhan selalu mendekatkan aku dengan lelaki problematik? Apa karena aku juga problematik?

Buru-buru kuenyahkan pikiran tak berdasar yang menghampiri, kemudian menyambar handuk. Lebih baik aku mandi, barangkali air bisa mendinginkan kepalaku yang terasa panas dan berdenyut.

Ketika hendak menuju kamar mandi, terdengar suara benda jatuh dari arah dapur. Kulihat pintu kamar Lintang tertutup rapat, Daffa juga tidak ada. Jangan-jangan…

“Siapa di sana?!”

***

Waktu sudah menujukkan pukul sepuluh malam. Aku masih terjaga sembari membaca buku di ruang tamu, sambil sesekali melihat ke arah ponsel yang sepinya melebihi tempat pemakaman umum desa sebelah.

“Bunda belum tidur?”

Lintang menghampiri dan mengambil tempat di sisiku sembari mengeringkan rambut. Tanpa pikir panjang, aku mengambil alih handuk tersebut dan menyuruhnya berbalik, kemudian kuusap lembut surai putriku.

“Belum ngantuk, Sayang. Lintang habis mandi? Gimana sekolah hari ini hmm?”

“Nothing special,” balasnya singkat.

“Kenapa pulang cepet?”

“Free class.”

“Ketemu Daren?”

“Please, gak usah bahas dia.” Nadanya rendah namun penuh penekanan.

Aku mengangguk. Kuhargai keputusannya untuk tak membahas Daren. Sebab, setiap orang punya luka yang berusaha mereka sembuhkan, termasuk juga putriku.

“Rambutnya udah panjang. Cantik banget,” gumamku saat mendapati surai Lintang yang sudah lumayan kering menjuntai bebas.

“Kan emang gak pernah dipotong, Bun.” Dia tersenyum tipis sembari menatapku yang juga tersenyum.

Kukecup keningnya cukup lama. Aku tak menyangka dia sudah sebesar ini, rasanya baru kemarin Lintang belajar berjalan. Tapi sekarang, ah bahkan tingginya sudah melebihi diriku. Selain itu, pengalaman hidup berhasil membuatnya menjadi gadis cantik dan tangguh. Aku bangga sekaligus sedih, perasaan bersalah tiba-tiba menghantui.

Mataku terasa panas mengingat masa-masa kecil Lintang dan perjalanan sampai di titik sekarang, dunia kanak-kanaknya tidak baik-baik saja, bahkan terbilang tak normal.

“Dia belum pulang?” Lintang mengalihkan pembicaraan.

Air yang sudah menggantung di sudut mata kembali masuk, tak jadi keluar kala mendengar pertanyaan tersebut.

“Belum.”

“ke mana?”

“Bunda gak tahu dan gak mau tahu juga.”

Selang beberapa menit, suara deru kendaraan terdengar, disusul derap langkah mendekat. Aku dan Lintang menatap ke arah pintu.

“Panjang umur, baru juga diomongin,” gumamku tanpa sadar.

Lintang memasang tampang tak senang. Aku tahu dia mendengar gumaman barusan. Segera kuralat ucapanku sebelum ia berpikir macam-macam.

“Maksud Bunda…”

Saat akan menjelaskan, ketukan pintu lebih dulu menyela. Tok tok tok!

“Lan, saya lupa bawa kunci cadangan. Kamu belum tidur, kan? Tolong bukain pintu,” ucap suara yang sangat familier di telinga.

“Bentar ya, Sayang.” Aku bangkit dan menggapai handel kemudian menekannya. Ceklek!

Pintu terbuka tak lama kemudian. Wajah dan baju Daffa terlihat kusut. Aku penasaran, tapi enggan untuk sekadar melontarkan pertanyaan.

“Maaf ya baru pulang, ada kerjaan yang harus saya selesaikan,” jelasnya.

Aku segera berbalik tanpa menggubris ucapannya.

“Ayo Sayang, kita tidur,” ajakku pada Lintang yang langsung dibalas anggukan.

Aku dan Lintang berjalan bersisian, saat itulah dia membisikan sebuah kata yang membuat dadaku berdegup kencang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status