Share

Kejanggalan

Penulis: Danea
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-20 20:00:56

“Lintang tunggu sebentar, ya,” ucapku seraya menggeser kursi dan bangkit.

“Bunda mau ke mana?” tanya Lintang ikut berdiri.

Pandanganku yang semula mengarah pada titik di mana sosok misterius itu berada, kini beralih menatap Lintang. “Ke sana sebentar,” jawabku sambil menunjuk bangunan kosong yang berada tak jauh dari posisi kami.

“Ngapain, itukan rumah kosong?” Lintang bertanya-tanya.

Sesaat setelah pertanyaan itu terlontar, netraku tak lagi menangkap sosok tersebut. Aku memindai segala arah untuk mencari keberadaannya, namun nihil, tak kutemui siapa pun di sana.

“Bunda cari siapa?” tanya Lintang lagi.

“Bukan siapa-siapa. Ayo kita pulang,” ajakku sembari menarik pergelangannya.

Kami berjalan perlahan dalam keheningan, disertai isi kepala yang tak bisa tenang. Hanya suara derap langkah dari sepasang sepatu dan sandal jepit yang terdengar, hingga kontrakan bercat pudar terlihat di depan mata. Belum reda keresahan dalam hati akibat kejadian tadi, netraku membola sempurna kala melihat tiga koper besar berjajar rapi di depan pintu, disusul senyum lebar memuakan milik Daffa.

“Saya sudah bereskan barang-barang kalian. Sekarang, ayo kita berangkat,” ucapnya enteng,

“Lancang!” hardikku.

“Saya gak bermaksud apa-apa. Saat kamu dan Lintang pergi bicara berdua, saya berinisiatif mengemasi barang-barang kalian, supaya waktunya tidak terbuang percuma,” jelasnya.

Kedua tanganku terkepal kuat. Belum apa-apa saja Daffa sudah bersikap seenaknya. Padahal, baik aku maupun Lintang belum benar-benar menyetujui rencana tersebut.

“Pak, tolong bawa koper-koper ini ke mobil, ya.”

Kehadiran pria bertubuh tegap mengalihkan perhatianku. Ia menggeret koper hitam milikku juga Lintang. Aku ingin menahan, namun Daffa lebih dulu menginterupsi.

“Udah siap, kan? Yuk, nanti keburu siang,” ajaknya sambil berusaha menyentuh pergelangan tanganku.

Tak mau memberi cela sedikit pun, aku menghindar. “Brengsek!” umpatku sembari melewatinya.

Dengan sangat terpaksa aku berjalan di belakang pria tadi. Sementara Lintang berada tepat di sampingku. Beberapa kali aku mendengar Daffa mengajaknya bicara, meskipun tak ada satu pun yang ditanggapi.

“Pantesan gak mau dikenalin sama sepupu saya, ternyata udah jadi simpenan bos muda!” cibir Buk Ratna saat kami melewati beliau dan beberapa teman gosipnya.

“Seleranya boleh juga. Tapi sayang, cuma jadi ani-aninya!”

“Hust, jangan pada fitnah ah, barangkali suaminya. Denger-denger Mbak Kelana masih punya suami.”

“Saya sih gak percaya!”

Seperti biasa, yang kulakukan hanya menulikan pendengaran, abai pada setiap asumsi yang dilontarkan. Akan tetapi, Daffa tidak demikian. Lelaki itu menghentikan langkah kemudian menghampiri perkumpulan ibu-ibu kurang kerjaan itu.

Khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku segera menyusulnya, begitupun Lintang yang setia mengekoriku.

“Permisi, Buk, sembako di rumah masih ada?”

Aku melongo mendengar pertanyaan Daffa. Apa maksudnya bicara demikian?

“Memangnya kenapa? Situ mau beliin?!” Buk Ratna merespons cepat dengan nada sedikit membentak.

Tanpa berlama-lama, Daffa mengeluarkan dompet dan mengambil sejumlah uang dari dalamnya, kemudian memberikan masing-masing lima lembar pada Buk Ratna dan dua ibu-ibu lainnya.

“Semoga cukup, ya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.

Sejenak aku dibuat terkesan dengan cara dia menyikapi orang-orang seperti Buk Ratna. Tapi, tentu saja aku tak boleh ke GR-an, apalagi menganggap dia melakukan semuanya untukku.

Ekspresi bahagia terlihat jelas di wajah ketiganya kala mencium aroma lima lembar uang bergambar Soekarno. Kini, mereka menatap Daffa seraya mengucapkan terima kasih berkali-kali.

“Terima kasih, Mas, ini lebih dari cukup,” ujar Buk Ratna mewakili.

“Syukurlah,” balas Daffa. “Oh ya, mereka ini istri dan anak saya. Bukan ani-ani atau anak haram seperti yang kalian tuduhkan,” sambungnya dengan suara pelan namun tegas dan penuh penekanan.

Sontak, mata ketiganya membelalak sempurna. Begitupun aku, entah apa maksudnya mengatakan hal tersebut, yang jelas, jika tujuannya untuk menarik simpati, aku tidak tertarik, sekalipun ia mengatakan hal serupa pada seluruh dunia.

“Kalau begitu kami permisi. Ayo, Sayang,” ucapnya sembari menatap padaku dan Lintang, yang kubalas dengan anggukan singkat.

Aku, Daffa dan Lintang berlalu dari hadapan mereka. Samar-samar kudengar ketiganya memuji ketampanan Daffa. Sungguh, andai mereka tahu siapa sebenanya Daffa, pujian-pujian tersebut tidak akan terlontar dengan mudahnya.

“Sekali-kali harus dibales, biar mereka gak seenaknya.”

“Gak usah sok peduli!” ketusku.

Ketika sedang berjalan, tanpa sengaja aku melirik ke arah warung kopi. Saat itulah aku merasa dua pria yang tengah meminum kopi hitam mengawasi pergerakan kami.

“Siapa sebenarnya mereka?”

***

Beberapa jam kemudian, kendaraan roda empat milik Daffa berhenti di sebuah rumah yang sudah setahun belakangan tidak kutinggali. Rumah itu tampak asri dan terawat. Aku tersenyum lega, tak menyangka bisa kembali ke sini lebih cepat. Sekalipun dalam kondisi tidak ideal.

Daffa berjalan lebih dulu dan membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Mengapa bisa? Batinku bertanya-tanya.

“Welcome home, Sayang.” Suara riangnya saat pintu terbuka lebar memecah hening diantara kami.

Aku dan Lintang berjalan melewati lelaki itu, mengabaikan segala hal yang dia katakan. Setiba di ruang tamu, netraku memintas segala arah, saat itulah senyumku hilang. Ada yang berbeda dari rumah ini.

Interiornya memang tidak berubah, sama seperti saat terakhir kali aku pergi. Hanya saja, cat dan plafonnya tampak baru, seperti habis direnovasi. Apa jangan-jangan…

“Saya sengaja renovasi rumah ini, supaya kalian nyaman,” ujar Daffa yang tiba-tiba berada di belakangku.

“Kelewatan! Kamu pikir kamu berhak melakukan semuanya tanpa persetujuan saya?!” geramku sembari menatap sengit lelaki tersebut.

“Lho kenapa? Niat saya baik.”

“Baik menurut siapa?”

“Bun, Lintang ke kamar dulu, ya, capek banget.”

Emosiku tertahan sesaat dan beralih memandang putriku. Aku segera mengiyakan kala mendapati wajah Lintang terlihat lelah. “Bunda temenin, ya.”

“Gak usah, Bunda,” balasnya sambil tersenyum kemudian berjalan mejauh.

Netraku tak lepas memandang Lintang sampai punggungnya benar-benar tak terlihat. Barulah setelah itu, aku kembali menatap Daffa yang ternyata kedapatan tengah senyum-senyum ke arahku.

Aku mengerutkan kening, dimana letak lucunya sampai dia tersenyum begitu?

“Cantik,” pujinya sesaat kemudian.

Tanpa menanggapi ucapan tersebut, aku menggeret koper dan berjalan menuju kamar utama.

Segera kupindahkan barang-barang di dalam koper ke tempat-tempat yang telah disediakan. Ketika tengah melakukan aktivitas tersebut, suara derit pintu terdengar disertai Daffa yang muncul dari baliknya. Dia mendekat kemudian duduk di tepi ranjang.

Aku berusaha abai, namun lama kelamaan risih juga. “Keluar!”

“Keluar?” ulangnya. “Kamu lupa, di rumah ini hanya ada dua kamar.”

“Terus?”

“Saya dan kamu tidur di kamar ini.”

Aku menggeleng keras, Daffa adalah definisi manusia yang dikasih hati minta jantung. Apa tadi katanya? Tidur sekamar? Lebih baik aku tidur di ruang tamu daripada berbagi tempat tidur dengannya.

“Mau saya atau kamu yang keluar?” tanyaku memberi pilihan.

“Lan…”

“Daff!”

Kami saling bertukar pandang sejenak, hingga suara getaran yang berasal dari saku celana Daffa terdengar.

“Sebentar,” ungkapnya.

Mau sebentar atau lama, memangnya siapa yang peduli? Pikirku saat itu. Dia sedikit menjauh kemudian kembali beberapa detik kemudian. Air wajahnya berubah, membuatku cukup penasaran. Siapa yang menelepon, dan apa yang terjadi?

“Kelana, maaf, saya harus pergi.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Suami Kedua   Gagal

    Usai kejadian malam itu, Daffa tidak pulang sampai pagi, aku pun tak mencari. Sebab sudah bisa menebak, kemana lelaki tersebut pergi. Rumah ini terasa damai tanpa kehadirannya. Ya, meskipun sudut hatiku menginginkan dia berada di tengah-tengah kami. Namun lagi-lagi, bagian terpentingnya bukan itu, ada hal lain yang harus kuperjuangkan lebih dari sekadar urusan perasaan. “Bunda lagi apa?” Lintang yang baru tiba duduk di sampingku. “Lagi take video, Sayang,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan. Aku yang sedang giat-giatnya membuat konten promosi produk, tanpa sadar mengabaikan kehadiran Lintang. Dia mengamati aktivitas bundanya yang berpindah dari satu posisi ke posisi lain demi mendapat tangkapan layar terbaik. “Biar Lintang bantu pegangin HPnya, Bun.”“Gak usah, Sayang, Lintang ganti baju, makan, terus istirahat aja. Pasti capek kan seharian di sekolah?” tolakku sambil tersenyum dan mengusap surainya lembut. “Lintang mau bantuin Bunda,” pintanya.

  • Gairah Suami Kedua   Membela Mona

    “Darimana kamu?” cecar Daffa dengan mata menyorot tajam pada Mas Heru. Aku yang berada di tengah-tengah mereka, memandang keduanya bergantian. “Mas, kamu pulang aja,” ujarku lirih. Ya, dia memang harus segera pulang, pasalnya hal buruk bisa saja terjadi jika dia tetap di sini.“Oke. Mas pulang, ya,” pamitnya yang segera kubalas dengan anggukan singkat.Sepeninggal Mas Heru, Daffa menarikku memasuki rumah kemudian menutup pintu hingga menimbulkan suara keras. Wajahnya tampak mengencang dengan kedua tangan mengepal sempurna.“Kamu ketemu dia? Kenapa gak izin dulu? Saya ini suami kamu, Kelana,” cerocos Daffa.Untuk beberapa detik, aku tak menanggapi ucapannya, membiarkan dia mengatakan apa yang ingin dikatakan. “Bahkan selangkah pun kamu keluar dari rumah ini, itu harus seizin saya.” Nada bicaranya semakin tidak santai. Aku masih diam, menunggu waktu yang tepat untuk menghentikan lelaki tersebut. “Saya gak suka kamu pergi dengan lelaki lain!” “Play

  • Gairah Suami Kedua   Saling Kenal?

    Aku mematung di tempat dan menyaksikan secara langsung bagaimana suamiku memapah Mona, membantunya berjalan. Kuhembuskan napas dalam dan membuangnya perlahan seraya menyugesti diri, tidak, aku tak boleh cemburu apalagi merasa terganggu. Sejak awal, Daffa memang tidak pernah serius memperbaiki hubungan. Segala ucapannya hanya omong kosong belaka. Hampir saja aku terbuai dan menikmati segala perlakuan manisnya. “Saya permisi dulu,” pamitku sambil tersenyum tipis kemudian melenggang pergi. Saat itulah Daffa menghampiri, dia mengambil punggung tanganku dan menggenggamnya erat sekali. “Sayang, maaf, saya gak punya pilihan selain bawa dia ke sini.”Decak sebal lolos begitu saja. Menurutku, bukan tak punya pilihan, melainkan sengaja atau memang itu tujuannya sedari dulu.“Saya gak peduli,” jawabku dingin seraya melepas genggamanya. “Lakuin apa yang kalian mau, karena tujuan saya cuma satu, mengambil apa yang memang menjadi hak saya!” Aku melangkah menjauh

  • Gairah Suami Kedua   Untuk Apa?

    Tok tok tok!Beberapa saat setelah Daffa pergi, suara ketukan pintu terdengar. Kulirik sekilas pintu berbahan kayu jati, kemudian beralih menatap jam yang menggantung di dinding. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Sepertinya itu Lintang. Tanpa pikir panjang, aku menyuruhnya masuk.“Masuk.”Benar saja, tak lama kemudian, wajah anakku menyembul dari baliknya. Ia masih mengenakan seragam sekolah dengan rambut dicepol asal, sederhana namun terlihat cantik. “Bunda sakit?” Itulah pertanyaan pertama yang dia lontarkan saat melihat selimut menutupi hampir sebagian tubuhku. Aku tersenyum tipis seraya menepuk tempat di sampingku dan berusaha bangkit. “Nggak, Sayang, cuma sedikit pusing aja kok, sini.” Lintang mendekat kemudian memijit kakiku. “Bunda rebahan aja,” cegahnya. Aku kembali merebah. Meskipun rasa sakit di kepala sudah berangsur hilang, namun tubuhku masih sedikit lemas. Kutatap wajah ayu putriku yang terlihat memendam sesuatu. “Kenapa, Nak?”

  • Gairah Suami Kedua   Sisi Lain

    PoV LintangHai, namaku Lintang Utami Atmadja, orang-orang memanggilku Lintang, pengguna lengan palsu yang kerap menjadi sasaran bullying. Selain itu, aku adalah korban dari perceraian kedua orang tuaku—Kelana dan Heru. Saat ini, usiaku menginjak tujuh belas tahun.Hidupku ya begini-begini saja, berangkat sekolah, pulang, kemudian menyaksikan drama bunda dengan suami keduanya, orang yang dulu kupanggil Papa. Sejujurnya, dia adalah sosok yang pernah sangat kuidolakan. Namun, seiring berjalannya waktu, semua perasaan itu berubah menjadi rasa benci yang teramat dalam. Singkatnya, dia adalah penyebab aku kehilangan lengan. Ah, andai dulu bunda tak mengenalnya. Setelah meninggalkan aku dan bunda tiga tahun silam, dia kembali dengan membawa segala drama dan problematika kehidupan. Karena tak punya pilihan, bunda menerima kehadirannya, ya meskipun penuh keterpaksaan. Satu sisi aku keberatan, namun sisi lainnya tak punya solusi atas permasalahan yang terjadi. Alhasil, suka t

  • Gairah Suami Kedua   Bahaya

    “Anak sama emak sama aja, sama-sama jalang, murahan!”Pesan yang diakhiri tanda seru itu menjadi fokusku. Apa maksudnya ini? Mengapa si pengirim membawa-bawa anakku? Kuamati dua belas digit angka yang tertera di layar, berusaha mengenali pemiliknya. Namun, sampai beberapa menit berlalu, aku sangat yakin tak mengenal pemilik nomor tersebut. Tidak mau berlama-lama memendam amarah dan kekesalan, aku segera menghubungi nomor itu. Akan tetapi, nomornya tak aktif. “Mungkin cuma orang iseng,” batinku sembari mengalihkan perhatian pada pesan yang berkaitan dengan produk yang kutawarkan, tak ingin membuang-buang waktu untuk meladeni orang-orang kurang kerjaan. Selama berjam-jam lamanya, aku larut dalam aktivitas tersebut, hingga tak sadar sepasang mata tengah memerhatikan. “Sayang, perut Mona keram lagi, saya harus…”Aku yang semula tengah berbalas pesan dengan salah satu calon pembeli, menghentikan aktivitas tersebut kemudian meletakkan ponsel di atas meja, hingg

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status