Share

Kejanggalan

“Lintang tunggu sebentar, ya,” ucapku seraya menggeser kursi dan bangkit.

“Bunda mau ke mana?” tanya Lintang ikut berdiri.

Pandanganku yang semula mengarah pada titik di mana sosok misterius itu berada, kini beralih menatap Lintang. “Ke sana sebentar,” jawabku sambil menunjuk bangunan kosong yang berada tak jauh dari posisi kami.

“Ngapain, itukan rumah kosong?” Lintang bertanya-tanya.

Sesaat setelah pertanyaan itu terlontar, netraku tak lagi menangkap sosok tersebut. Aku memindai segala arah untuk mencari keberadaannya, namun nihil, tak kutemui siapa pun di sana.

“Bunda cari siapa?” tanya Lintang lagi.

“Bukan siapa-siapa. Ayo kita pulang,” ajakku sembari menarik pergelangannya.

Kami berjalan perlahan dalam keheningan, disertai isi kepala yang tak bisa tenang. Hanya suara derap langkah dari sepasang sepatu dan sandal jepit yang terdengar, hingga kontrakan bercat pudar terlihat di depan mata. Belum reda keresahan dalam hati akibat kejadian tadi, netraku membola sempurna kala melihat tiga koper besar berjajar rapi di depan pintu, disusul senyum lebar memuakan milik Daffa.

“Saya sudah bereskan barang-barang kalian. Sekarang, ayo kita berangkat,” ucapnya enteng,

“Lancang!” hardikku.

“Saya gak bermaksud apa-apa. Saat kamu dan Lintang pergi bicara berdua, saya berinisiatif mengemasi barang-barang kalian, supaya waktunya tidak terbuang percuma,” jelasnya.

Kedua tanganku terkepal kuat. Belum apa-apa saja Daffa sudah bersikap seenaknya. Padahal, baik aku maupun Lintang belum benar-benar menyetujui rencana tersebut.

“Pak, tolong bawa koper-koper ini ke mobil, ya.”

Kehadiran pria bertubuh tegap mengalihkan perhatianku. Ia menggeret koper hitam milikku juga Lintang. Aku ingin menahan, namun Daffa lebih dulu menginterupsi.

“Udah siap, kan? Yuk, nanti keburu siang,” ajaknya sambil berusaha menyentuh pergelangan tanganku.

Tak mau memberi cela sedikit pun, aku menghindar. “Brengsek!” umpatku sembari melewatinya.

Dengan sangat terpaksa aku berjalan di belakang pria tadi. Sementara Lintang berada tepat di sampingku. Beberapa kali aku mendengar Daffa mengajaknya bicara, meskipun tak ada satu pun yang ditanggapi.

“Pantesan gak mau dikenalin sama sepupu saya, ternyata udah jadi simpenan bos muda!” cibir Buk Ratna saat kami melewati beliau dan beberapa teman gosipnya.

“Seleranya boleh juga. Tapi sayang, cuma jadi ani-aninya!”

“Hust, jangan pada fitnah ah, barangkali suaminya. Denger-denger Mbak Kelana masih punya suami.”

“Saya sih gak percaya!”

Seperti biasa, yang kulakukan hanya menulikan pendengaran, abai pada setiap asumsi yang dilontarkan. Akan tetapi, Daffa tidak demikian. Lelaki itu menghentikan langkah kemudian menghampiri perkumpulan ibu-ibu kurang kerjaan itu.

Khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku segera menyusulnya, begitupun Lintang yang setia mengekoriku.

“Permisi, Buk, sembako di rumah masih ada?”

Aku melongo mendengar pertanyaan Daffa. Apa maksudnya bicara demikian?

“Memangnya kenapa? Situ mau beliin?!” Buk Ratna merespons cepat dengan nada sedikit membentak.

Tanpa berlama-lama, Daffa mengeluarkan dompet dan mengambil sejumlah uang dari dalamnya, kemudian memberikan masing-masing lima lembar pada Buk Ratna dan dua ibu-ibu lainnya.

“Semoga cukup, ya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.

Sejenak aku dibuat terkesan dengan cara dia menyikapi orang-orang seperti Buk Ratna. Tapi, tentu saja aku tak boleh ke GR-an, apalagi menganggap dia melakukan semuanya untukku.

Ekspresi bahagia terlihat jelas di wajah ketiganya kala mencium aroma lima lembar uang bergambar Soekarno. Kini, mereka menatap Daffa seraya mengucapkan terima kasih berkali-kali.

“Terima kasih, Mas, ini lebih dari cukup,” ujar Buk Ratna mewakili.

“Syukurlah,” balas Daffa. “Oh ya, mereka ini istri dan anak saya. Bukan ani-ani atau anak haram seperti yang kalian tuduhkan,” sambungnya dengan suara pelan namun tegas dan penuh penekanan.

Sontak, mata ketiganya membelalak sempurna. Begitupun aku, entah apa maksudnya mengatakan hal tersebut, yang jelas, jika tujuannya untuk menarik simpati, aku tidak tertarik, sekalipun ia mengatakan hal serupa pada seluruh dunia.

“Kalau begitu kami permisi. Ayo, Sayang,” ucapnya sembari menatap padaku dan Lintang, yang kubalas dengan anggukan singkat.

Aku, Daffa dan Lintang berlalu dari hadapan mereka. Samar-samar kudengar ketiganya memuji ketampanan Daffa. Sungguh, andai mereka tahu siapa sebenanya Daffa, pujian-pujian tersebut tidak akan terlontar dengan mudahnya.

“Sekali-kali harus dibales, biar mereka gak seenaknya.”

“Gak usah sok peduli!” ketusku.

Ketika sedang berjalan, tanpa sengaja aku melirik ke arah warung kopi. Saat itulah aku merasa dua pria yang tengah meminum kopi hitam mengawasi pergerakan kami.

“Siapa sebenarnya mereka?”

***

Beberapa jam kemudian, kendaraan roda empat milik Daffa berhenti di sebuah rumah yang sudah setahun belakangan tidak kutinggali. Rumah itu tampak asri dan terawat. Aku tersenyum lega, tak menyangka bisa kembali ke sini lebih cepat. Sekalipun dalam kondisi tidak ideal.

Daffa berjalan lebih dulu dan membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Mengapa bisa? Batinku bertanya-tanya.

“Welcome home, Sayang.” Suara riangnya saat pintu terbuka lebar memecah hening diantara kami.

Aku dan Lintang berjalan melewati lelaki itu, mengabaikan segala hal yang dia katakan. Setiba di ruang tamu, netraku memintas segala arah, saat itulah senyumku hilang. Ada yang berbeda dari rumah ini.

Interiornya memang tidak berubah, sama seperti saat terakhir kali aku pergi. Hanya saja, cat dan plafonnya tampak baru, seperti habis direnovasi. Apa jangan-jangan…

“Saya sengaja renovasi rumah ini, supaya kalian nyaman,” ujar Daffa yang tiba-tiba berada di belakangku.

“Kelewatan! Kamu pikir kamu berhak melakukan semuanya tanpa persetujuan saya?!” geramku sembari menatap sengit lelaki tersebut.

“Lho kenapa? Niat saya baik.”

“Baik menurut siapa?”

“Bun, Lintang ke kamar dulu, ya, capek banget.”

Emosiku tertahan sesaat dan beralih memandang putriku. Aku segera mengiyakan kala mendapati wajah Lintang terlihat lelah. “Bunda temenin, ya.”

“Gak usah, Bunda,” balasnya sambil tersenyum kemudian berjalan mejauh.

Netraku tak lepas memandang Lintang sampai punggungnya benar-benar tak terlihat. Barulah setelah itu, aku kembali menatap Daffa yang ternyata kedapatan tengah senyum-senyum ke arahku.

Aku mengerutkan kening, dimana letak lucunya sampai dia tersenyum begitu?

“Cantik,” pujinya sesaat kemudian.

Tanpa menanggapi ucapan tersebut, aku menggeret koper dan berjalan menuju kamar utama.

Segera kupindahkan barang-barang di dalam koper ke tempat-tempat yang telah disediakan. Ketika tengah melakukan aktivitas tersebut, suara derit pintu terdengar disertai Daffa yang muncul dari baliknya. Dia mendekat kemudian duduk di tepi ranjang.

Aku berusaha abai, namun lama kelamaan risih juga. “Keluar!”

“Keluar?” ulangnya. “Kamu lupa, di rumah ini hanya ada dua kamar.”

“Terus?”

“Saya dan kamu tidur di kamar ini.”

Aku menggeleng keras, Daffa adalah definisi manusia yang dikasih hati minta jantung. Apa tadi katanya? Tidur sekamar? Lebih baik aku tidur di ruang tamu daripada berbagi tempat tidur dengannya.

“Mau saya atau kamu yang keluar?” tanyaku memberi pilihan.

“Lan…”

“Daff!”

Kami saling bertukar pandang sejenak, hingga suara getaran yang berasal dari saku celana Daffa terdengar.

“Sebentar,” ungkapnya.

Mau sebentar atau lama, memangnya siapa yang peduli? Pikirku saat itu. Dia sedikit menjauh kemudian kembali beberapa detik kemudian. Air wajahnya berubah, membuatku cukup penasaran. Siapa yang menelepon, dan apa yang terjadi?

“Kelana, maaf, saya harus pergi.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status