Langkah Rey terdengar berat saat memasuki kamar. Matanya langsung menyapu sekitar, lalu menatap Mirae yang sedang duduk di depan cermin kecil di sudut ruang. Jemarinya sibuk merapikan rambut, bibirnya berkilau dengan lipstik tipis. Itu bukan kebiasaan Mirae.
"Hmm…" Rey mengangkat alis, melempar jaketnha ke ranjang reyod. "Sejak kapan kau mulai suka berdandan?" suaranya rendah, tapi menusuk. Mirae berhenti sejenak, lalu kembali melanjutkan sapuan bedak tipis di wajahnya. "Aku hanya ingin terlihat lebih segar. Apa salah?" Rey mendengus pendek. Matanya mengarah pada kantong belanjaan yang masih tergeletak di kursi. Dengan langkah lebar, dia meraih bungkusan itu dan mengeluarkan isinya. Pakaian baru, sepasang sepatu, dan botol parfum yang aromanya cukup tajam. "Dari mana kau dapat uang untuk semua ini?" tanyanya dingin. "Kau belum menjawabku." Mirae menelan ludah, lalu menatapnya dari balik cermin. "Aku juga punya tabungan, Rey. Apa salahku membeli semua ini? Aku hanya ingin mempercantik diri." Rey terbahak pelan, tawa yang lebih terdengar seperti ejekan. Dia mendekat, menaruh semua belanjaan di meja dengan kasar. "Mempercantik diri? Untuk siapa?" Tatapannya menelusuri tubuh istrinya dari ujung kepala hingga kaki, pandangan meremehkan. "Tubuhmu sudah rusak, Mirae. Bekas melahirkan itu..." Rey menekankan kata-katanya dengan tatapan kejam. "Apa kau pikir pakaian baru bisa menutupi semua cacatmu?" Mirae mengepalkan tangan, wajahnya menegang. Luka lama di hatinya terbuka lagi, tapi kali ini tatapannya tidak lagi penuh ketakutan. Dia menoleh, menatap suaminya dengan mata yang berani. "Apa aku tidak boleh mempercantik diri? Apa itu dosa untuk seorang istri yang hanya ingin merasa berharga lagi?" Rey menyeringai sinis, lalu tiba-tiba mencengkram dagu Mirae kuat-kuat, memaksa wajah istrinya menghadap padanya. "Untuk apa kau melakukan semua ini? Membuat lelaki lain terkesan?!" Cengkramannya sakit, tapi Mirae tidak mengalihkan pandangannya. Rasa sakit di dagunya kalah jauh dibanding rasa sakit di hatinya yang selama ini dia pendam. Bibirnya bergetar, namun suaranya tegas. "Dan jika memang ada lelaki lain yang melihatku indah… apa salahku, Rey?" Tatapan Rey membelalak, marah, tak percaya istrinya bisa berkata seperti itu. Cengkeramannya makin kuat, seolah ingin menghancurkan wajah di depannya. Tapi Mirae tetap menatap, tidak lagi tunduk. Untuk pertama kalinya, Rey melihat sesuatu yang berbeda di mata istrinya. Api yang selama ini padam, kini menyala lagi. Kemana semua rasa takutnya pergi? Tangan Rey terangkat tinggi, siap mendarat di wajah istrinya. Mirae spontan menutup mata rapat-rapat, tubuhnya kaku. Nafasnya tercekat, menunggu rasa perih yang biasanya datang tanpa ampun. Namun kali ini, tamparan itu tidak jatuh. Hanya suara geraman marah yang terdengar di telinganya. "Sialan!" Rey mendesis kasar, wajahnya memerah penuh amarah. "Awas saja kalau kau berani macam-macam denganku, Mirae. Aku akan hancurkan hidupmu!" Ancaman itu meluncur bagai belati, menusuk lebih dalam daripada pukulan. Mirae membuka mata perlahan, menahan air mata agar tidak jatuh. Tangannya bergetar, tapi ia memaksa dirinya tetap diam. Saat Rey melepaskan cengkeraman di dagunya, Mirae tersungkur ke kursi. Nafasnya berat, matanya kembali menatap ke arah cermin di depannya. Wajah itu pucat, dengan sisa lipstik yang sedikit berantakan. Tapi dalam sorot matanya, ada luka yang jauh lebih dalam dari yang terlihat. Apa aku memang tidak berharga lagi…? bisiknya dalam hati, sambil menahan tangis yang nyaris pecah. Di belakangnya, Rey meraih jaketnya dengan kasar. Gerakannya terburu-buru, penuh dengan amarah yang belum padam. Dia bahkan tidak menatap Mirae lagi saat beranjak menuju pintu. Pintu depan dibanting keras, meninggalkan gema di dalam rumah yang tiba-tiba terasa sangat sepi. Mirae terdiam, tubuhnya gemetar. Dia menatap bayangan dirinya di cermin sekali lagi. Mata yang memerah, bibir yang bergetar, namun ada sesuatu yang berbeda. Luka itu menyalakan tekad yang selama ini tertimbun dalam diam. Dia menyentuh dagunya yang masih perih bekas cengkeraman Rey, lalu berbisik pada dirinya sendiri, hampir tak terdengar. "Aku juga pantas dicintai..." Air mata jatuh membasahi pipi Mirae, tapi kali ini dia tidak berusaha menghapusnya. Biarlah mengalir, biarlah menjadi saksi betapa sakitnya dia selama ini. Tangannya perlahan mengepal di atas meja rias, jemarinya menekan kuat hingga buku-bukunya memutih. Selama ini, dia hanya menelan luka, memaafkan, dan mengalah. Dia bertahan meski hatinya remuk, meski tubuhnya sering menjadi sasaran amarah Rey. Tapi hari ini. Ancaman itu, tatapan merendahkan, kata-kata yang menusuk, telah menyalakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Mirae menatap pantulan wajahnya di cermin sekali lagi. Wajah yang dipenuhi sisa air mata, tapi juga disertai api kecil yang mulai berkobar di balik sorot matanya. "Cukup, Rey…" bisiknya, suaranya parau namun tegas. "Aku sudah terlalu lama jadi bonekamu. Semua rasa sakit ini… akan kubalas." Dia menyentuh dagunya yang masih memerah, lalu menarik napas dalam. Di dalam hatinya, tekad itu semakin menguat. Entah bagaimana caranya, entah melalui siapa, Mirae berjanji pada dirinya sendiri. Rey harus merasakan luka yang sama, bahkan lebih dalam dari yang pernah dia alami. Bayangan David sekilas terlintas di benaknya. Tatapan lembutnya, sentuhan hangat yang berbeda jauh dari Rey. Untuk pertama kalinya, Mirae tidak merasa bersalah. Yang dia rasakan hanyalah dorongan untuk hidup kembali, meski dengan cara yang penuh risiko. Di dalam rumah yang sunyi itu, Mirae akhirnya membuat keputusan. Dia tidak akan lagi hanya bertahan. dia akan melawan. "Akan aku balas semua rasa sakit itu Rey. Kita lihat saja nanti..." #Hey halo para pembaca yang mungkin sudah menunggu terlalu lama. autor balik lagi setelah lama merenung diri dengan semua masalah, rasa sakit, bahkan kepergian anak tersayang autor. aku balik lagi buat lanjutin cerita ini, sambil nunggu cerita baru yang akan tayang nanti. semoga kalian gak kecewa ya sama autor🥰 jangan lupa berikan komentar nya ya! itu sangat berherga. autor janji, bakal sering up🥰Udara malam terasa dingin menusuk. Namun di sebuah tempat sepi di pinggir kota, sebuah bangunan tua yang sudah lama kosong. Panas justru mengalir di antara dua insan yang bersembunyi dari dunia.David berdiri dengan gelisah, langkahnya mondar-mandir. Tangan kekarnya meraih kotak rokok, menyalakan sebatang hanya untuk mematikan lagi setelah satu isapan. Nafasnya berat, sorot matanya penuh resah.Sudah beberapa hari dia tak bisa melihat Mirae. Sejak insiden di gudang, Mina tak pernah jauh darinya. Setiap gerak-geriknya diawasi, setiap waktunya dia tuntut. Rindu itu membuat dadanya sesak, pikirannya kalut.Pintu kayu tua di ujung ruangan itu berderit pelan. David sontak berhenti, tubuhnya menegang. Dan ketika sosok Mirae muncul dari balik bayangan, mengenakan jaket panjang, segala kegelisahannya seakan meledak."Mirae..." suaranya serak, penuh perasaan yang ditahan terlalu lama.Wanita itu menutup pintu perlahan, lalu melangkah mendekat. Tatapannya teduh, namun di baliknya ada kerindua
Mina berdiri di lorong kantor kecil itu, kedua tangannya bertolak pinggang, wajahnya terlihat kesal. Dia sudah berkeliling mencari suaminya hampir sepuluh menit, tapi bayangan David tak juga ia temukan."Dimana suamiku? Apa kau melihatnya?!" tanyanya pada salah satu karyawan muda yang kebetulan lewat sambil membawa tumpukan berkas.Karyawan itu terlihat ragu sejenak, lalu menjawab hati-hati, "Sepertinya… saya tadi sempat melihat Pak David dengan Mirae, Bu Bos."Mina langsung menghentikan langkahnya. Matanya membulat, seolah nama itu menusuk telinganya. "Mirae?" ulangnya pelan, tapi penuh penekanan.Karyawan itu menelan ludah, merasa salah bicara. "I-iya, saya tidak tahu mereka pergi ke mana. Mungkin hanya bicara sebentar..."Namun Mina sudah tidak mendengar sisanya. Tubuhnya terasa panas, darahnya berdesir. Imajinasi liar langsung memenuhi pikirannya.Mirae. Nama yang sejak awal sudah mengganggu hatinya. Perempuan itu, cantik memang tidak, tapi wajah teduhnya, sikapnya yang kalem, jus
Cengkraman Rey semakin keras, bibirnya menindih bibir Mirae dengan kasar, penuh amarah yang bercampur dengan rasa mabuk. Napasnya panas, aroma alkohol menusuk hidung.Namun di balik remasan dan luka yang dia terima, Mirae memejamkan mata. Tubuhnya memang tak berdaya, tapi pikirannya melayang jauh membayangkan sosok lain.David.Bukan Rey yang mencumbunya dengan kebencian, melainkan David. Dengan tatapan hangat, dengan sentuhan lembut yang membuatnya merasa hidup kembali.Dalam benaknya, dia bisa merasakan jemari David menyusuri kulitnya, bukan dengan kasar, tapi penuh penghayatan. Bukan cengkeraman yang menyakitkan, melainkan belaian yang seolah memuliakan setiap lekuk tubuhnya.Rey meremas dada istrinya lebih keras, membuat Mirae menggigit bibir menahan sakit. Tapi dalam lamunannya, dia justru merasakan bibir David yang menempel, penuh gairah, penuh pengakuan bahwa dirinya masih berharga.Mirae menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan isak. Namun di balik rasa sakit itu, ada desir
Malam itu, Rey melangkah masuk ke rumah David dengan langkah berat. Aroma rokok sudah memenuhi ruang tamu yang sederhana, dimana beberapa botol minuman tersusun rapi di atas meja kayu. David duduk santai di kursi kulit, satu tangan memegang rokok, tangan lain menggenggam gelas berisi minuman keras."Rey," sapa David, setengah tersenyum. Suaranya tenang, tapi ada kilatan licik di matanya. "Sudah lama kita tidak nongkrong seperti ini, ya?"Rey menjatuhkan diri di sofa, menyilangkan kaki. Dia menyalakan rokoknya sendiri, menghisap panjang, lalu menatap temannya dengan mata yang sulit disembunyikan gelisahnya."David…" Rey akhirnya memulai, nada suaranya rendah. "Apa kau pernah melihat Mirae dekat dengan seseorang?"David menahan tawa, hampir tersedak minuman. Pandangannya menyipit, tapi tetap tenang. Dia tahu Rey mungkin mulai mencurigai istrinya. "Memangnya kenapa?" jawab David santai, seperti hanya mengobrol ringan.Rey menghela napas, menatap asap rokok yang melayang di udara. "Wanit
Langkah Rey terdengar berat saat memasuki kamar. Matanya langsung menyapu sekitar, lalu menatap Mirae yang sedang duduk di depan cermin kecil di sudut ruang. Jemarinya sibuk merapikan rambut, bibirnya berkilau dengan lipstik tipis. Itu bukan kebiasaan Mirae."Hmm…" Rey mengangkat alis, melempar jaketnha ke ranjang reyod. "Sejak kapan kau mulai suka berdandan?" suaranya rendah, tapi menusuk. Mirae berhenti sejenak, lalu kembali melanjutkan sapuan bedak tipis di wajahnya. "Aku hanya ingin terlihat lebih segar. Apa salah?" Rey mendengus pendek. Matanya mengarah pada kantong belanjaan yang masih tergeletak di kursi. Dengan langkah lebar, dia meraih bungkusan itu dan mengeluarkan isinya. Pakaian baru, sepasang sepatu, dan botol parfum yang aromanya cukup tajam."Dari mana kau dapat uang untuk semua ini?" tanyanya dingin. "Kau belum menjawabku." Mirae menelan ludah, lalu menatapnya dari balik cermin. "Aku juga punya tabungan, Rey. Apa salahku membeli semua ini? Aku hanya ingin mempercant
"Aku dengar suamimu sudah kembali kerumah. Apa itu benar?" Suara bisikan terdengar begitu hangat dari arah belakang sana. Sebuah pelukan pun Mirae rasakan begitu erat, seolah menelan dirinya bulat-bulat. David, dia tahu wanita itu sedang masuk ke dalam kamar mandi, hingga dia pun mengikutinya. Ketika para karyawannya sibuk makan siang, keduanya malah sibuk bercengkrama di kamar mandi. "Berikan aku satu ciuman.." Bisik lelaki itu. David bahkan tak segan menggerayami tubuh seksi itu dengan lengan kekarnya. Memberikan rangsangan yang begitu kenggairahkan bagi Mirae yang merasakannya. Wanita itu berbalik, lalu melingkarkan lngannya di leher David. Kedua mata mereka saling menatap intens, hingga sebuah kecupan mendarat dibibir wanita itu. David menarik tubuh kekasihnya semakin dekat, lalu mencumbunya dengan mesra. Desahan-desahan kecil keluar dari mulut keduanya, membuat suasana semakin memanas. Wajah wanita itu mulai memerah, menahan nafsu yang kian menggebu. "Kau mau melakukannya di