(โ *โ ใปโ ๏ฝโ ใปโ *โ )
โPak Reval?โ Naura berbisik, hampir tidak percaya. Reval melangkah masuk dengan tenang, mengenakan setelan jas yang masih rapi meski wajahnya tampak dingin dan serius. Ia berhenti di tengah ruangan, matanya menyapu semua orang di sana, sebelum akhirnya berhenti di wajah Naura. โLepaskan dia,โ suara Reval terdengar datar, tapi penuh otoritas. Lelaki berjas hitam itu tertawa kecil. โDan siapa kamu sampai berani memberi perintah di sini?โ Reval tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengeluarkan ponsel dari saku, menekan beberapa tombol, lalu memperlihatkan layar ke lelaki itu. Wajah lelaki itu berubah drastis, dari penuh percaya diri menjadi pucat pasi. โBagaimana โฆ kamu bisa tahu tentang ini?โ gumamnya dengan nada terkejut. โAku punya cara,โ jawab Reval sambil melipat tangan. โSekarang, lepaskan dia, atau aku pastikan semua yang kamu sembunyikan akan berakhir di tangan yang salah.โ Lelaki itu terdiam, terlihat sedang mempertimbangkan situasi. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membe
Selama perjalanan, tidak ada percakapan di antara mereka. Reval fokus pada jalan, sementara Naura sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia tidak bisa mengabaikan kebenaran dari kata-kata Reval, tetapi ia juga tidak bisa mengingkari perasaannya terhadap Dion. Meskipun Dion telah berbuat salah, Naura merasa bahwa ia memiliki tanggung jawab sebagai istri. โBagaimana Pak Reval tahu tentang Mas Dion? Bukankah saat peristiwa di diskotek tadi, Pak Reval tidak ada di sana?โ tanya Naura di dalam hatinya. Suara mesin mobil yang melaju menjadi satu-satunya pengisi keheningan di antara mereka. Jalanan gelap dengan lampu kota yang berkedip-kedip terlihat di jendela. Naura melirik ke luar, mencoba mengenali arah yang mereka tuju, tetapi semakin lama, ia semakin bingung. โPak Reval,โ akhirnya ia memberanikan diri berbicara, โkita tidak menuju hotel, ya?โ Reval tidak langsung menjawab. Ia menoleh sekilas ke arahnya, lalu kembali fokus pada kemudi. โKita akan sampai sebentar lagi.โ Jawaban itu memb
Naura tercekat. Kata-kata Reval seperti menyulut bara di dadanya. Ia ingin membela diri, ingin menjelaskan bahwa semalam adalah situasi yang berbeda. Namun, lidahnya kelu. Seolah tidak ada pembenaran yang cukup kuat untuk menghapus penilaian Reval. Keheningan menggantung di antara mereka berdua. Dion, yang baru saja selesai berbicara dengan perawat, berjalan mendekat. Ia menatap Reval dengan ekspresi yang sulit ditebak sebelum beralih ke Naura. โAku sudah selesai di sini. Aku pulang dulu.โ โMas, kita pulang bersama,โ pinta Naura pelan, berharap Dion tidak meninggalkannya begitu saja. Dion menggeleng dan mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Naura. โNggak usah, Naura. Aku sudah pesan mobil sendiri. Kamu pulang aja dengan mereka.โ Tanpa menunggu jawaban, Dion berjalan keluar dari pintu rumah sakit, meninggalkan Naura yang masih terpaku di tempatnya. Reval hanya berdiri diam, menyaksikan semuanya dengan wajah tanpa ekspresi, meski ada sesuatu yang samar di matanya. Ketidakp
Naura pun segera menjelaskan kepada Ervan jika dirinya tidak bisa meninggalkan pekerjaan ini begitu saja. Ia menjelaskan keinginannya untuk tetap tinggal meskipun waktunya mungkin lebih lama dari yang direncanakan. Naura tidak mungkin meninggalkan Reval yang masih membutuhkan bantuan. โSaya tahu proyek ini penting, dan saya merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Saya tidak akan pulang sekarang,โ kata Naura dengan nada tegas. โPak Reval juga masih membutuhkan dukungan untuk menyelesaikan semua ini.โ Ervan memperhatikan Naura dengan tatapan penuh hormat. โTapi, Bu Naura, apakah Anda yakin? Ini bukan keputusan yang mudah.โ โSaya yakin,โ jawab Naura mantap. โBeri tahu saya apa yang bisa saya bantu untuk mempercepat pekerjaan ini.โ Setelah selesai berbicara dengan Ervan, Naura merasa lega. Namun, pikirannya terus melayang ke arah Reval. Lelaki itu sepertinya sengaja menjaga jarak darinya. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Naura, dan ia tidak bisa membiarkannya begitu sa
Bibir Reval melumat bibir Naura, tak memberi ruang untuk menolak. Lidahnya bermain dengan lidah Naura, saling berbenturan, meliuk, dan menggoda dengan intensitas yang membakar. Naura merasa tubuhnya lemas, jantungnya berdetak begitu kencang hingga rasanya ingin meledak. Ada kekuatan yang begitu mendominasi dalam ciuman ini, seperti ada kekuasaan yang tak bisa ia hindari. Naura tak tahu apakah itu ciuman yang dipaksakan ataukah ia juga tak mampu menahan tarikannya. Apa pun itu, bibir Reval seakan melebihi batas kendali dirinya, dan Naura pun terperangkap di dalamnya. Tanpa sadar Naura memejamkan kedua matanya. Ia membalas pergerakan Reval. Wanita itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Reval. Keduanya pun saling mencumbu. Naura tidak bisa berhenti. Kali ini ia tidak mampu menahan dorongan yang mengalir begitu kuat dalam dirinya. Bibir mereka bertemu lebih dalam, lebih mendalam dari sebelumnya, seperti ada sesuatu yang memaksa mereka untuk terus terhubung. Tanga
Udara di ruangan itu terasa semakin panas, meskipun di luar hujan semakin deras. Reval tetap melanjutkan dengan ritme yang lembut namun penuh intensitas, seperti menyalakan api kecil yang perlahan tumbuh menjadi kobaran yang sulit dipadamkan. Naura merasa dirinya seolah kehilangan gravitasi, melayang di antara kenyataan dan dunia yang mereka ciptakan bersama. Desahannya semakin terdengar lirih, seakan menjadi alunan melodi yang menambah kedalaman dari momen tersebut. Tangan Naura terangkat, jari-jarinya perlahan menyentuh rambut Reval. Awalnya ragu, namun semakin lama gerakannya menjadi lebih mantap, jemarinya tenggelam dalam helai-helai rambut pria itu. Ia meremasnya perlahan, seolah ingin memastikan bahwa semua yang sedang terjadi bukan sekadar ilusi. Ada sesuatu dalam sentuhan itu. Bukan hanya sekadar gerakan spontan, tetapi sebuah luapan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Tangan Naura seakan menjadi medium bagi hatinya, menyampaikan emosi yang selama i
Malam semakin larut, membawa keheningan yang menenangkan di kamar Reval. Lampu di sisi tempat tidur redup, hanya menyisakan temaram yang cukup untuk menerangi bayangan wajah mereka. Naura terbaring dengan kepala bersandar di dada Reval, mendengarkan detak jantungnya yang perlahan kembali normal. Suara napas mereka berpadu. Reval merengkuh tubuh Naura lebih erat, seolah tidak ingin kehilangan kehangatan yang ia rasakan. Tangannya dengan lembut membelai rambut Naura, membuat perempuan itu merasa terlindungi. Tidak ada kata-kata yang diucapkan, tetapi kebisuan itu berbicara lebih dari yang mampu mereka ungkapkan dengan suara. Naura mengalihkan pandangannya ke jendela, melihat bulan yang menggantung rendah di langit malam. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang sulit dijelaskan. โKamu nyaman?โ suara Reval tiba-tiba memecah keheningan. Naura mengangguk, meski ia tahu lelaki itu tidak dapat melihatnya dengan jelas. โSaya ... saya baik-baik saja,โ jawabnya pelan, suaranya terden
Pintu kamar mandi terbuka perlahan, uap hangat keluar menyertai suara langkah kaki yang lembut. Tubuh Naura bersandar lemah pada dada Reval yang kokoh. Ia digendong dengan lengan kuat lelaki itu, seperti seseorang yang tidak akan pernah dibiarkan jatuh. Napas Naura terasa teratur, meski pipinya masih merah. Entah karena panas uap atau perasaan canggung yang belum juga surut sejak insiden di kamar mandi tadi. โTurunkan saya Pak Reval,โ gumam Naura dengan suara pelan, tetapi Reval seolah tidak mendengar. Ia tetap melangkah menuju ranjang tanpa ragu. Reval hanya melirik sekilas ke arah wajahnya, ekspresinya tenang, sulit ditebak. โTenang saja,โ kata Reval singkat, nadanya datar seperti biasa. Namun, ada sesuatu dengan cara ia menatap yang membuat Naura justru memilih diam dan membiarkan lelaki itu melakukan apa yang ia mau. Ia merebahkan tubuh Naura di atas ranjang, gerakannya penuh kehati-hatian. Tangan Naura tanpa sadar mencengkeram selimut, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Naura duduk di sudut ruangan, kepalanya bersandar pada dinding kayu yang mulai lapuk. Tangannya masih terikat, tapi ia tak mau menyerah begitu saja. Pikirannya terus berputar mencari celah. Ia harus keluar dari sini sebelum Dion benar-benar menghancurkan segalanya. Dari luar, terdengar suara langkah kaki mendekat. Pintu terbuka, dan pria bertopeng yang tadi datang kembali, kali ini tanpa nampan makanan. โHari ini kau akan dipindahkan,โ katanya singkat. Naura menelan ludah. Dipindahkan? Ke mana? Pria itu berjalan mendekat, menarik tali yang mengikat tangannya, lalu menyeretnya berdiri. โAyo.โ Naura tahu ia tak bisa melawan dalam kondisi seperti ini. Tapi, jika dia dipindahkan ke tempat yang lebih jauh, peluangnya untuk selamat akan semakin kecil. โTuhan, bantu akuโฆโ Saat mereka melewati lorong sempit yang gelap, Naura memperhatikan sekelilingnya. Matanya menangkap sebilah pisau kecil tergeletak di atas meja kayu di sudut ruangan. Tanpa berpikir panjang, ia menjatuhkan tubuhnya
โPaman Riko?โ Reval merasakan amarah membakar seluruh tubuhnya. Ia mengepalkan tangan, nyaris melayangkan pukulan ke wajah Dion, tetapi pria itu dengan santai menjauh, mengangkat ponselnya lebih tinggi. โTenang, Reval. Kalau kau menyentuhku, aku bisa saja menyuruh Riko melakukan sesuatu yang lebih buruk pada Naura,โ katanya dengan seringai puas. Reval mengertakkan giginya. โApa yang kau inginkan?โ Dion menoleh ke Callista dan tertawa kecil. โGampang. Akui bahwa anak dalam kandungan Callista adalah milikmu, nikahi dia, dan aku akan melepaskan Naura,โ katanya santai. Reval mencibir. โMimpi.โ Callista mendekat dengan tatapan penuh kemenangan. โReval, kau tahu kau tidak punya pilihan, kan?โ ujarnya manja, tangannya berusaha menyentuh dada Reval. Reval menepisnya kasar. โKalian pikir aku bisa percaya pada kalian? Bahkan jika aku menuruti permintaan kalian, tidak ada jaminan Naura akan selamat.โ Dion terkekeh. โTentu saja ada jaminannya. Tapi kalau kau membangkangโฆโ Ia memutar vide
โSebenarnya ... ini bukan hal yang penting.โ Naura tidak tahu harus menjawab apa. โNaura, ada apa? Apapun itu, aku akan mendengarkannya.โ Naura menatap Reval, lalu mengambil secarik kertas. โSurat cerai saya sudah resmi. Saya dan Mas Dion โฆ bukan suami-istri lagi.โ Reval menatap surat itu. Rasanya seperti beban besar terangkat dari dadanya. Ia merasa lega dan informasi itu adalah sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu olehnya. Bagaimana mungkin Naura mengatakan bahwa itu tidak penting? Namun, ekspresi Naura masih terlihat berat dan seolah sedang dilanda gelisah yang mendalam. โAda apa lagi?โ tanya Reval lembut. Naura menggigit bibirnya. โSaya mendengar sesuatu dari Bu Lastri belakangan ini.โ Reval mengernyit. โApa?โ Naura menghela napas, lalu menatap Reval dalam-dalam. โCallista. Sebenarnya dia tidak benar-benar tinggal di rumah Mas Dion. Waktu itu dia hanya kebetulan ada di sana saat saya mengajukan cerai dan dia sengaja memanas-manasi saya.โ Reval menegang. โDan
Reval berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang membuatnya merasa tidak tenang. Firasat buruk terus menghantui pikirannya. Ponselnya di saku bergetar. Dengan malas, ia meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar. Dahi Reval mengernyit. Setelah beberapa detik ragu, ia akhirnya masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana ia melihat Callista duduk di atas ranjang dengan wajah pucat. Mata wanita itu tampak merah seolah habis menangis. Reval menutup pintu dan berjalan mendekat. โApa yang terjadi? Kenapa kamu yang ada di sini?โ Callista menundukkan kepalanya, menggenggam ujung selimut dengan erat. โAku โฆ aku hamil, Reval.โ Jantung Reval seperti berhenti berdetak sejenak. Ia menatap Callista dengan tatapan tajam. โApa hubungannya denganku? Lalu di mana Naura? Aku ingin bertemu dengannya.โ โTentu saja ada hubungannya denganmu, Reval.โ Callista mengangkat kepalanya, menatapnya dengan mata penuh harap. โIni adalah anakmu.โ Reval m
Ruang tamu dipenuhi keheningan yang menegangkan. Adelia duduk di sofa dengan tatapan dingin, sementara Reval berdiri di depannya, menatapnya dengan penuh ketegasan. โApa kamu bilang?โ suara Adelia meninggi, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksenangan. Reval menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. โAku ingin mama meminta maaf kepada Naura.โ Adelia tertawa kecil, namun tidak ada kehangatan dalam tawanya. โKenapa tiba-tiba kamu meminta hal itu, Reval? Mama tidak merasa punya urusan dengan perempuan itu.โ Reval mengepalkan tangan, berusaha tetap tenang. โKarena mama telah menyakitinya.โ Adelia menyipitkan mata. โJangan membesar-besarkan masalah, Reval. Lagipula, perempuan itu bukan siapa-siapa bagi mama.โ Reval mendekat, menatap ibunya dengan tajam. โBukan siapa-siapa? Dia adalah wanita yang sedang mengandung anakku, Ma!โ Adelia terdiam sesaat. Matanya membulat, tapi ia segera menyembunyikan keterkejutannya dengan tawa sinis. โJadi, itu alasan kamu membelanya mati-matian
PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dion, meninggalkan jejak kemerahan yang jelas. Kepala pria itu sedikit tergeleng, namun bukan karena sakitnya tamparan itu, melainkan karena keterkejutannya. Callista berdiri di hadapannya dengan mata membelalak, napasnya memburu penuh amarah. โIni semua gara-gara kamu, Dion!โ suara Callista menggema di seluruh ruangan. Dion mengusap pipinya yang perih, ekspresinya berubah dingin. โKenapa kamu menamparku, Callista? Kita melakukannya atas dasar suka sama suka.โ Callista mendengkus kasar. Ia memeluk tubuhnya sendiri, seakan merasa jijik dengan situasi yang sedang terjadi. โSial! Aku hanya ingin bersenang-senang, bukan mendapatkan ini!โ Suaranya bergetar, dan matanya menatap Dion dengan kebencian. Dion menyipitkan mata. โMaksudmu?โ โAku hamil, Dion! Aku mengandung anak sialan ini gara-gara kamu!โ Callista berteriak frustrasi, tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dion terdiam sejenak. Pikirannya berputar cepat, menc
Beberapa minggu telah berlalu. Naura berdiri di depan pintu rumah yang dulu ia tinggali sebagai istri Dion. Pintu rumah itu masih sama seperti terakhir kali Naura melihatnya. Cat cokelat tua yang mulai memudar, gagang pintu berwarna perak yang kini tampak lebih kusam. Namun, bagi Naura, rumah ini sudah kehilangan maknanya sejak lama. Tangannya menggenggam erat amplop cokelat berisi surat cerai. Dalam hati, ia menguatkan dirinya. Ia harus menyelesaikan semuanya. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan di dalam pernikahan yang telah hancur sejak lama. Dengan napas panjang, Naura mengetuk pintu. Dadanya berdebar, bukan karena ragu, tetapi karena ia ingin semua ini segera berakhir. Tak butuh waktu lama, suara langkah kaki terdengar dari dalam, lalu pintu terbuka. โNaura!โ Suara itu begitu akrab. Hangat. Seakan tidak ada luka yang pernah mengisi kehidupan mereka. Bu Lastri berdiri di ambang pintu dengan mata berbinar, seolah-olah kehadiran Naura adalah sesuatu yang ia rindukan sejak la
Reval menghela napas, lalu menangkup wajah Naura dengan kedua tangannya. โAku mencintaimu, Naura,โ ucapnya serius. โAku tidak akan menikahimu hanya karena tanggung jawab. Aku ingin bersamamu karena aku memang menginginkannya. Lebih dari apapun.โ Naura menatap mata Reval, mencari kepastian di sana. Dan ia menemukannya. Kejujuran. Ketulusan. Tapi tetap saja... โTidak semudah itu, Pak Reval,โ bisiknya. โAda banyak hal yang harus saya pikirkan.โ Reval melepaskan tangannya dari wajah Naura, kemudian menghela napas panjang. โLalu berapa lama lagi kamu mau berpikir?โ tanya Reval dengan nada frustrasi. Naura menunduk, mengusap perutnya yang masih datar. โApa kamu takut?โ tanya Reval lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap Reval dengan mata yang mulai berkaca-kaca. โYa,โ jawabnya jujur. Reval terdiam. Naura menghela napas berat, suaranya lirih ketika berkata, โSaya takut mengambil keputusan yang salah. Takut jika perasaan ini hanya sesaat. Takut jika nanti saya justru menyakiti B
Naura mengangguk cepat. Reval mendesah, lalu melambai pada pelayan. โPesan satu es krim cokelat.โ โTunggu, Pak Reval! Saya maunya yang stroberi.โ Reval terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. โOke, stroberi.โ Tak butuh waktu lama, es krim datang. Naura langsung menyendoknya dengan bahagia, tapi tiba-tiba ia mengernyit. Reval memperhatikan ekspresinya dengan waspada. โKenapa lagi?โ Naura menggigit bibirnya. โSepertinya saya ingin yang cokelat.โ Reval menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tertawa lepas. Naura menatapnya kesal. โBapak kenapa tertawa?โ โKamu mulai bertingkah seperti ibu hamil pada umumnya.โ Naura mendelik. โSaya memang hamil, kan?โ Reval mengangkat bahu dengan senyum lebar. โYa, tapi sekarang kamu benar-benar kelihatan seperti bumil yang sering ngidam aneh-aneh.โ Naura mendengkus, tapi diam-diam pipinya merona. Reval memperhatikannya, lalu tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh jemari Naura di atas meja. โApa?โ tanya Naura bingung. Reval te