Yessa baru saja selesai mandi, duduk di depan meja rias kosong miliknya. Tatapannya lurus pada cermin, mengamati dirinya sendiri, tapi pikirannya tertuju pada Isandro.
Ucapan Arby juga sempat terngiang di telinganya. Aurora tidak pernah pulang, dan saat pulang hanya sebentar lalu kembali kerja lagi. “Jadi itu yang bikin Mas Isa kesepian?” gumam Yessa pelan, “Dan Arby juga. Ayah sama anak, sama-sama membutuhkan sosok wanita yang sama dan aku ... cuma pelarian?” Yessa terkekeh getir, tapi terlepas dari dirinya hanya dibutuhkan karena ketidakberadaannya Aurora—Isandro sudah cukup banyak membantu untuknya. Tapi dibalik itu juga, diam-diam Yessa merasa nyaman dan ada rasa ingin memiliki pria itu. Jujur, dia juga mulai menyukai Arby, kehadirannya mengisi posisi anak kandung yang tak pernah Yessa miliki. “Jadi, kamu harus apa Yessa? Maju ... atau mundur?” tanyanya pada diri sendiri, “Atau aku ikut permainan aja? TapEmpat hari berlalu, di dalam ruang sidang penuh sesak. Yessa duduk di deretan depan, mengenakan blus putih sederhana dan rok hitam. Wajahnya tenang, tapi kedua tangannya bergetar halus di pangkuannya. Ada Salma yang juga hadir dan sempat bertemu Yessa, serta memberi kekuatan. Yessa tak menyangka ibu mertuanya itu justru mendukung keputusannya. Di sana juga ada Isandro yang duduk tegak, tatapannya lurus ke depan memperhatikan prosesi sidang yang tengah berlangsung. Namun saat menatap Kaveer, tatapannya dingin dan menusuk. Suasana menegang ketika panitera mulai membacakan gugatan penganiayaan, penyekapan, kekerasan psikis, dan penelantaran rumah tangga. Bukti visum, laporan kepolisian, hingga foto-foto luka ditunjukkan satu per satu. Semua mata beralih pada Kaveer yang duduk dengan kaos tahanannya, tangan terborgol di depan. Rahangnya mengeras, matanya penuh am
“Arby, lain kali jangan bahas soal adek ya di depan tante Yessa,” ucap Isandro pada sang anak yang duduk di kursi sebelahnya. Saat ini mereka dalam perjalanan pulang ke mansion karena jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam, waktunya sang anak tidur. Awalnya Arby ingin menginap, tapi karena besok bukan weekend—Isandro tidak membiarkannya, takut telat besok saat ke sekolah. “Memang kenapa, Papa?” tanya bocah itu sambil menatap pada sang ayah yang fokus mengemudi. “Karena tante Yessa bukan Mama kamu, harusnya kamu tanya sama Mama kalau soal adek,” balasnya, meski dia tahu mustahil untuk itu, karena Aurora tidak akan mau hamil lagi. “Memangnya, kalau tante Yessa punya anak gak bisa jadi adeknya Arby, Pa?” Pertanyaan polos itu membuat Isandro menyunggingkan senyum tipis. Tentu saja bisa kalau dia mau menghamili wanita itu, pikirnya.
“Yessa kamu di dalam?” tanya Isandro lagi, suaranya semakin terdengar cemas karena Yessa tak kunjung menyahut. Yessa buru-buru berdiri, dia kalut harus diapakan lima testpack tersebut. Ia lantas membersihkan semuanya dan membuangnya ke tong sampah tanpa menyisakan satu. “Yessa!” suara Isandro semakin meninggi, ketukan di pintu juga semakin keras namun Yessa tak kunjung merespon. Wanita itu panik karena matanya merah sehabis menangis, ia masih kaget dan tak terima dirinya hamil mengingat sudah minum obat kontrasepsi selama ini tanpa ketinggalan. Ia segera mencuci wajahnya dengan air dingin, sementara Isandro semakin panik dibuatnya. “Buka pintunya Yessa!” desak pria itu, “Atau saya dobrak sekarang!” “Iya, Mas ....” sahut Yessa cepat sebelum pintu kamar mandinya benar-benar di rusak oleh pria itu. Buru-buru tangannya membuka pintu kamar man
Beberapa kru tampak sibuk berlarian di balik panggung, menyiapkan pencahayaan dan kursi juri. Di sela kesibukan itu, terdengar bisikan pelan di antara mereka. “Pak Luke katanya bakal ngawasin langsung kandidat fashion show malam ini.” “Iya, soalnya model yang terpilih nanti yang bakal dibawa ke Paris.” Nada suara mereka terdengar penuh antusias sekaligus tegang, seolah kehadiran Luke selaku CEO membuat atmosfer panggung jadi lebih berat. Sementara, di ruang rias masing-masing, beberapa model sudah mempersiapkan diri mereka untuk menunjukkan bakat dan kecantikan mereka di depan juri, termasuk Aurora. Wanita itu menatap refleksinya di cermin di hadapannya. Ia sangat yakin akan dipilih malam ini, karena Luke sudah menjamin hal itu beberapa hari yang lalu. Wajahnya sudah cantik, pakaiannya juga tak kalah indah dengan riasannya. Hanya tinggal menunggu waktu setengah jam lagi untuk maju ke panggung. “Rora,” panggil manajernya yang lebih tua lima tahun darinya. Aurora hanya m
“Pak, kenapa anak saya ditahan? Apa yang sudah anak saya perlakukan?” Salma kini sudah berada di kantor polisi setelah lima belas menit perjalanan menggunakan ojek online. Sekarang dia tengah berhadapan dengan polisi untuk meminta penjelasan. “Tenang, Bu,” ujar polisi tersebut. “Jadi begini, anak ibu kami tahan atas kasus penganiayaan berat, KDRT, pengurungan secara paksa, intimidasi dan pemalsuan identitas.” “KDRT? Pengurungan? Maksudnya ...?” tanya Salma tak paham. “Iya, anak Anda melakukan semua kasus itu pada istrinya, saudari Yessa Callista sejak lusa kemarin malam. Dan ditemukan semalam di villa tua atas laporan teman saudari Yessa.” “Anak ibu menyiksa dan mengurung, memasang borgol di kedua tangan dan kaki korban selama dua puluh empat jam. Selama itu pula, tidak diberi makan dan minum.” Bola mata Salma langsung membulat, tangannya yang terletak di ata
Sekitar pukul satu dini hari, Kaveer baru saja selesai menjadi bulan-bulanan para tahanan satu selnya. Tubuhnya terkapar di lantai dingin, penuh lebam dan darah yang menetes dari pelipis. Napasnya tersengal, nyaris tak bertenaga. Tak ada yang bisa menolongnya. Suara tawa kasar para tahanan lain masih menggema, sementara ia hanya bisa meringkuk menahan sakit. Di sudut gelap ruangan, lampu redup berkedip-kedip, menambah suasana mencekam. Rasa sesal mulai merayapi benaknya—namun semuanya sudah terlambat. “Siapa ... siapa yang panggil polisi? Kenapa bisa ada polisi?” Kaveer bergumam dalam hati, suatu hal yang membuatnya merasa aneh. “Apa selama ini ada yang bantu Yessa? Apa Yessa gak tinggal sendirian di apartemen itu sehingga kehilangannya diketahui?” Itu menjadi pertanyaan besar bagi Kaveer. Siapa orang tersebut? Pria atau wanita? Atau bisa jadi ibunya sendiri