Sekitar pukul satu dini hari, Kaveer baru saja selesai menjadi bulan-bulanan para tahanan satu selnya.
Tubuhnya terkapar di lantai dingin, penuh lebam dan darah yang menetes dari pelipis. Napasnya tersengal, nyaris tak bertenaga. Tak ada yang bisa menolongnya. Suara tawa kasar para tahanan lain masih menggema, sementara ia hanya bisa meringkuk menahan sakit. Di sudut gelap ruangan, lampu redup berkedip-kedip, menambah suasana mencekam. Rasa sesal mulai merayapi benaknya—namun semuanya sudah terlambat. “Siapa ... siapa yang panggil polisi? Kenapa bisa ada polisi?” Kaveer bergumam dalam hati, suatu hal yang membuatnya merasa aneh. “Apa selama ini ada yang bantu Yessa? Apa Yessa gak tinggal sendirian di apartemen itu sehingga kehilangannya diketahui?” Itu menjadi pertanyaan besar bagi Kaveer. Siapa orang tersebut? Pria atau wanita? Atau bisa jadi ibunya sendiriBeberapa kru tampak sibuk berlarian di balik panggung, menyiapkan pencahayaan dan kursi juri. Di sela kesibukan itu, terdengar bisikan pelan di antara mereka. “Pak Luke katanya bakal ngawasin langsung kandidat fashion show malam ini.” “Iya, soalnya model yang terpilih nanti yang bakal dibawa ke Paris.” Nada suara mereka terdengar penuh antusias sekaligus tegang, seolah kehadiran Luke selaku CEO membuat atmosfer panggung jadi lebih berat. Sementara, di ruang rias masing-masing, beberapa model sudah mempersiapkan diri mereka untuk menunjukkan bakat dan kecantikan mereka di depan juri, termasuk Aurora. Wanita itu menatap refleksinya di cermin di hadapannya. Ia sangat yakin akan dipilih malam ini, karena Luke sudah menjamin hal itu beberapa hari yang lalu. Wajahnya sudah cantik, pakaiannya juga tak kalah indah dengan riasannya. Hanya tinggal menunggu waktu setengah jam lagi untuk maju ke panggung. “Rora,” panggil manajernya yang lebih tua lima tahun darinya. Aurora hanya m
“Pak, kenapa anak saya ditahan? Apa yang sudah anak saya perlakukan?” Salma kini sudah berada di kantor polisi setelah lima belas menit perjalanan menggunakan ojek online. Sekarang dia tengah berhadapan dengan polisi untuk meminta penjelasan. “Tenang, Bu,” ujar polisi tersebut. “Jadi begini, anak ibu kami tahan atas kasus penganiayaan berat, KDRT, pengurungan secara paksa, intimidasi dan pemalsuan identitas.” “KDRT? Pengurungan? Maksudnya ...?” tanya Salma tak paham. “Iya, anak Anda melakukan semua kasus itu pada istrinya, saudari Yessa Callista sejak lusa kemarin malam. Dan ditemukan semalam di villa tua atas laporan teman saudari Yessa.” “Anak ibu menyiksa dan mengurung, memasang borgol di kedua tangan dan kaki korban selama dua puluh empat jam. Selama itu pula, tidak diberi makan dan minum.” Bola mata Salma langsung membulat, tangannya yang terletak di ata
Sekitar pukul satu dini hari, Kaveer baru saja selesai menjadi bulan-bulanan para tahanan satu selnya. Tubuhnya terkapar di lantai dingin, penuh lebam dan darah yang menetes dari pelipis. Napasnya tersengal, nyaris tak bertenaga. Tak ada yang bisa menolongnya. Suara tawa kasar para tahanan lain masih menggema, sementara ia hanya bisa meringkuk menahan sakit. Di sudut gelap ruangan, lampu redup berkedip-kedip, menambah suasana mencekam. Rasa sesal mulai merayapi benaknya—namun semuanya sudah terlambat. “Siapa ... siapa yang panggil polisi? Kenapa bisa ada polisi?” Kaveer bergumam dalam hati, suatu hal yang membuatnya merasa aneh. “Apa selama ini ada yang bantu Yessa? Apa Yessa gak tinggal sendirian di apartemen itu sehingga kehilangannya diketahui?” Itu menjadi pertanyaan besar bagi Kaveer. Siapa orang tersebut? Pria atau wanita? Atau bisa jadi ibunya sendiri
Isandro baru saja selesai memeriksa keadaan Yessa yang sangat memprihatinkan. Wanita itu tidak dia bawa ke rumah sakit, melainkan dirawat di apartemen. Isandro tak ingin orang banyak bertanya mengapa dia bisa bersama Yessa, apalagi ini kasusnya disiksa suami sendiri. Lagipula dia juga seorang dokter, bisa melakukannya sendiri. Dan sekarang Yessa sudah di infus, dengan alat medis miliknya yang selalu dia bawa ke mana-mana di mobil. “Saya ambil air hangat dulu untuk membersihkan tubuh kamu dan mengganti pakaian baru, ya,” suara Isandro lembut tapi mantap, seolah tidak memberi ruang bagi Yessa untuk merasa malu atau menolak. Yessa hanya mengangguk lemah, kelopak matanya berat, wajahnya masih pucat. Ia terlalu letih untuk mengatakan apa pun, dan sudah sangat percaya pada pria itu untuk merasa takut. Tak butuh lama, Isandro kembali dengan baskom berisi air hangat, handuk kecil, dan se
“Di mana alamatnya?” suara Isandro terdengar berat dan penuh tekanan saat menatap tajam ke arah ahli IT yang sibuk di depan laptopnya, jari-jarinya menari cepat di atas keyboard. Beberapa menit yang menegangkan berlalu, sampai akhirnya layar menampilkan titik lokasi. Ahli IT itu menelan ludah sebelum menjawab, “Sudah ketemu, Tuan … alamatnya ada di pinggiran kota, di sebuah villa yang cukup terpencil.” Tanpa menunggu lama, Isandro meraih ponselnya, langsung menghubungi pihak kepolisian. “Siapkan tim. Saya sudah dapatkan lokasi pelaku,” ucapnya tegas. Tak butuh waktu lama, Isandro bergegas keluar ruangan dan langsung masuk ke mobilnya untuk menuju tempat di mana alamat itu berada. Selama perjalanan menuju ke sana, jantung Isandro berdegup sangat cepat. Karena dia tahu seperti apa Kaveer, dan Yessa juga bilang pria itu tidak akan melepaskannya.
Isandro melangkah masuk ke apartemen Yessa dengan langkah besar, tanpa menekan bel terlebih dahulu. Suasana kamar terasa sunyi, terlalu sunyi untuk sebuah tempat yang biasanya berantakan dengan jejak keberadaan Yessa. “Yessa?” panggilnya, suaranya dalam dan tegas, namun hanya dibalas dengan hening yang menyesakkan dada. Ia berjalan cepat ke kamar, membuka pintu dengan kasar. Kosong. Ranjang masih rapi, tidak ada tanda-tanda Yessa baru saja berada di sana. Napas Isandro mulai memburu, matanya menyapu setiap sudut ruangan tanpa tersisa. Wardrobe, kamar mandi, balkon—semuanya nihil. Isandro keluar lagi, menyusuri setiap jengkal apartemen, bahkan membuka pintu dapur dan ruang penyimpanan. Hasilnya tetap sama, tidak ada Yessa. Raut wajahnya menegang, matanya melebar dengan kepanikan yang mulai sulit ia kendalikan. Tangannya mengepal di sisi tubuh, rahangnya menger