Share

4 Kesediaan Mereka untuk Dimadu

Malam itu Kavita menghadap laptop yang menyala dengan wajah serius, dia harus segera menyusun kontrak baru yang lebih menggiurkan untuk kedua belah pihak.

Apa pun akan Kavita lakukan dalam kontrak itu kecuali melakukan hubungan suami istri, karena Ezra juga setuju untuk tidak memasukkannya dalam kewajiban.

Karena pernikahan kontrak mereka harus dirahasiakan rapat-rapat dari publik, termasuk keluarga dan rekan kerja.

"Keuntungan baru apa yang harus aku berikan pada Pak Ezra?" gumam Kavita seraya memainkan rambutnya. Sekian lama berinteraksi dengannya membuat dia paham bahwa segala sesuatu terkadang harus dihitung untung ruginya.

Termasuk dalam hubungan dalam rumah tangga, suami mampu mengayomi dan istri akan berbakti sepenuh hati.

"Aku tidak mungkin memberikan hak Pak Ezra sebagai suami, tidak ... kami sudah sepakat ..." Jari jemari Kavita berulang kali mengetik dan menghapus ulang tulisan sebelumnya, hingga dia merasa kepalanya akan meledak tidak lama lagi.

Di tengah-tengah buntunya ide di pikiran Kavita, mendadak ponsel di atas meja berdering nyaring.

"Halo?"

"Sudah jam berapa ini, kenapa kamu tidak pulang-pulang?" Suara Deryl langsung menyapa telinga Kavita.

"Masih kerja," jawab Kavita datar.

"Yang benar saja, kontrak kamu seharusnya sudah selesai kan?"

"Ya, tapi aku butuh surat pemutusan kontrak secara resmi karena uangnya juga tidak main-main kan?"

Deryl terdengar girang. "Kalau begitu cepat selesaikan, dan pulang ke rumah—aku menunggumu, Sayang."

Sambil mengernyit jijik, Kavita sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Bukankah sudah ada Yura di samping kamu?"

"Memang, tapi tentu saja tidak akan lengkap kalau kamu tidak ada di sini ...."

Kavita menggeleng dengan sikap Deryl yang seolah tidak terjadi apa-apa, hanya karena menurutnya menikah lagi tanpa persetujuan istri adalah perbuatan yang dibenarkan.

"Deryl, ayo tidur sekarang ...."

Mendadak suara perempuan masuk dalam percakapan mereka.

"Ah, sebentar! Vit, aku tutup dulu ya, jangan lupa ...."

Tut! Kavita langsung memutus sambungan telepon detik itu juga, muak dan jijik bercampur jadi satu dalam kepalanya.

"Kurang apa aku sebagai istri ..." keluh Kavita sambil merosot di lantai kamar.

Kalau standar istri yang baik dan berbakti harus selalu diukur dari kesediaan mereka untuk dimadu dalam pernikahan, sudah pasti akan ada sebagian dari para istri yang memilih untuk mundur.

Keesokan harinya, Kavita mendatangi kamar Ezra seperti biasa untuk mengurus keperluannya.

"Saya akan masuk kantor hari ini, Pak." Kavita memberi tahu sembari menyiapkan tas kerja Ezra. "Sarapan sudah saya siapkan di dapur, Anda bisa langsung makan."

Ezra hanya merespons dengan anggukan singkat, kelima jarinya sibuk menyisir bagian depan rambut hitamnya sampai Kavita mengulurkan sisir sungguhan kepadanya.

"Pak, ada yang mau saya tanyakan."

"Apa lagi?"

Ezra yang saat itu sudah siap masuk mobil, terpaksa menoleh memandang Kavita yang mengantarnya.

"Seandainya saya sudah siap dengan kontrak baru, apakah saya juga harus membuat surat pemutusan kontrak lama?"

Ezra berpikir sebentar.

"Kamu buat saja dulu kontrak yang baru," katanya. "Kalau saya setuju, kamu bisa menambahkan pasal yang mengatur kalau kontrak lama sudah tidak berlaku lagi."

"Baik, Pak." Kavita mengangguk sopan, dan tetap menunggu hingga mobil Ezra kemudian melaju meninggalkan kediaman keluarga Danadyaksa.

Tersisa waktu setengah jam sebelum jam masuk kantor, Kavita memilih menggunakannya untuk memeriksa kembali surat kontrak baru yang telah dia susun semalam suntuk.

Selama mengecek, ponsel milik Kavita terus menerus berbunyi hingga membuat konsentrasinya terpecah.

"Deryl lagi ..." Kavita mendelik ke layar ponselnya tanpa berminat untuk menjawab panggilan itu, dia harus cepat menyelesaikan surat kontrak baru sebelum sisa kontrak lama itu keburu habis.

***

"Bagaimana, Kak?"

Deryl diam saja ketika Karin bertanya.

"Aku harus bayar uang sekolah, Kakak bilang mau kasih kalau Kak Vita transfer uang?"

Deryl mengibaskan tangannya. "Nanti aku minta kakak ipar kamu dulu ...."

"Yang kemarin-kemarin memangnya Kak Vita nggak kasih uang?" komentar Karin heran. "Bukannya Kak Vita selalu rutin transfer ya?"

"Sudah kepakai dulu buat modal toko, kan nanti bisa diganti sama Kak Vita juga ...."

"Iya kalau Kak Vita transfer lagi, kalau nggak? Uang sekolah aku nasibnya bagaimana?"

Deryl berdecak, dia sudah usaha untuk menelepon Kavita, tapi tidak diangkat juga sedari tadi.

"Kamu tidak lihat kalau semalam kakak ipar kamu tidak pulang?"

"Ya itu risiko Kakak lah, siapa suruh pakai uang jatah sekolah aku buat modal toko?"

"Pintar jawab kamu ya!"

"Kan betul, padahal Kak Vita selalu transfer untuk seluruh keperluan kita—kenapa malah uang sekolah aku kepakai juga?"

"Karin!" Deryl melotot ke arah adiknya. "Nanti aku mintakan Kak Vita kalau dia sudah pulang, berisik sekali. Sana bantu Kak Yura masak!"

Karin memajukan bibirnya. "Aku mau ke sekolah, Kak."

Deryl terus menggerutu, dia setengah menyesal kenapa tidak langsung meminta sejumlah uang kepada Kavita begitu istri pertamanya itu pulang ke rumah.

"Mungkin dia masih sibuk," gumam Deryl sembari merokok di halaman belakang. "Malah bagus, dia bisa mengeruk banyak uang dari bosnya yang kaya raya itu."

Senyum bercampur asap yang mengepul memenuhi udara ketika Deryl membayangkan seberapa banyak uang yang akan Kavita berikan kepadanya nanti.

"Halo?"

Setelah sekian lama tidak mempedulikan pesan dan panggilan telepon dari suaminya, Kavita bersedia menjawabnya ketika jam kerja di kantor sudah berakhir.

"Kok semalam kamu tidak pulang?" tanya Deryl begitu sambungan terhubung. "Aku kesepian nunggu kamu di rumah ...."

Kavita harus susah payah menahan keinginan untuk muntah saat itu juga.

"Aku tetap harus kerja kan, urusan kontrak dengan atasanku itu soal lain." Kavita menjelaskan dengan nada malas.

"Oh, oke! Yang penting atasan kamu sudah bayar semuanya kan?" tanya Deryl antusias. "Bisa kamu transfer sekarang?"

"Apanya?"

"Uangnya lah!"

"Maksud kamu uang aku?" Kavita menegaskan supaya Deryl bisa tahu diri sedikit.

"Iya, biasanya juga begitu kan, Sayang?" Deryl tertawa menjengkelkan. "Kalau uang suami adalah uang istri, begitu juga sebaliknya—uang istri adalah uang suami juga."

Kavita ingin sekali berteriak saat itu, tapi susah payah dia menahan diri karena di dekatnya masih ada beberapa pegawai yang sedang beres-beres meja.

"Toko yang kamu kelola seharusnya menghasilkan omzet yang bisa kamu pakai untuk keperluan sehari-hari," ucap Kavita mengingatkan. "Masa tinggal mengelola saja kamu tidak bisa sih?"

"Lho, ini tidak ada hubungannya sama omzet toko, Sayang!" Deryl berkata gemas. "Tapi aku menanyakan uang transferan kamu yang biasanya itu! Bulan ini kamu belum transfer sama sekali, makanya aku mengingatkan—soalnya Karin harus bayar uang sekolah ...."

"Suruh Karin telepon aku sendiri," sela Kavita jengah.

"Tapi, Sayang ...."

Lagi-lagi Kavita langsung memutus sambungan sebelum Deryl selesai berbicara.

"Rin, kamu butuh uang sekolah untuk bulan ini ya?" kata Kavita saat Karin meneleponnya.

"Iya Kak, tapi masalahnya uang sekolah aku sudah nunggak tiga bulan ...."

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status