Share

7 Siapkan Uangnya, Biar Aku yang Atur

Air liur Deryl seolah sanggup menetes dari bibirnya ketika lengan Kavita terulur untuk membetulkan handuk yang menutupi kepalanya.

“Yura, kamu keluar dulu bantu ibu!” usir Deryl dengan ekspresi menyebalkan. “Vita, kemarin-kemarin kan aku belum sempat bermalam sama kamu ....”

“Tidak usah,” tolak Kavita dengan berkelas, dari sudut matanya dia bisa melihat betapa kesalnya Yura dengan sikap yang diperlihatkan Deryl di depan mereka berdua.

“Tidak usah bagaimana? Aku kan berusaha untuk bisa adil sama kalian berdua!” kata Deryl gusar. “Aku akan merasa sangat berdosa seandainya ada salah satu dari kalian yang tidak mendapatkan haknya ....”

“Contoh?” Kavita menatap Deryl sedingin es.

“Ya contohnya nafkah lahir dan juga nafkah batin, kedua hal itu harus seimbang kan?”

“Nafkah lahir? Memangnya kapan terakhir kali kamu kasih aku nafkah lahir?” tanya Kavita sembari mengingat-ingat.

Ucapan Kavita membuat Deryl mati kutu, terlebih lagi karena dia mengucapkannya tepat di hadapan istri kedua.

“Ah, intinya adalah ... aku harus tetap adil sama kalian berdua!” cetus Deryl untuk menutupi kecanggungan. “Jadi malam ini, giliran kamu yang tidur di kamar utama ini ....”

“Ryl!” protes Yura yang tidak bisa lagi menutupi rasa keberatannya.

“Memang begitu, kamu seharusnya tidur di kamar ibu atau Karin karena kamar ini sejatinya adalah singgasana untuk aku dan Vita.” Deryl memperjelas.

Kavita hanya memandang sebelah mata pada Deryl, dia tahu bahwa yang ada di pikiran suaminya adalah uang dan kepuasan batin saja.

“Aku sudah sangat adil kan?” tanya Deryl ketika mendapati dua istrinya yang berdiri diam.

“Terserahlah, aku mau istirahat.” Kavita mengibaskan tangannya dan melanjutkan langkah.

“Tunggu, Vit—jangan bilang kalau kamu mau pergi lagi?”

“Tidak kok, aku mau tidur sebentar.”

“Tidur di kamar ini saja, aku sudah merapikan selimutnya—lihat!”

Kavita menoleh, lalu mendengus saat memandang ranjang berharganya yang dirapikan asal-asalan dengan ujung seprai yang disisipkan ke bawah kasur ala kadarnya. Belum lagi selimut yang dilipat dadakan oleh Deryl sudah cukup menunjukkan betapa besar pengaruh Yura dalam menguasai kamar utama mereka.

“Pakai saja,” angguk Kavita dengan wajah berpaling dan segera angkat kaki meninggalkan Deryl.

“Vita, tunggu!”

“Kamu ini, Ryl! Seperti tidak ada istri saja,” ucap Yura yang tidak tahan jika tidak menggerutu.

Deryl seolah tersadarkan, dia menoleh menatap Yura dengan tatapan mendamba.

“Yura, Sayang ...?”

“Apa?” potong Yura galak. “Butuh pelampiasan secepatnya karena ditolak istri pertama?”

Deryl tersenyum memuakkan. “Kamu ... tidak akan mungkin tega menyiksa suamimu, kan?”

“Tidak usah merayu, Ryl. Lagipula kamu kepinginnya sama Vita, bukan aku!”

“Yura, jangan seperti itu. Justru di saat gawat begini, kamu harus bisa menunjukkan kalau aku tidak salah memilih kamu sebagai istri.” Deryl mulai melancarkan rayuan mautnya.

“Istri kedua kamu, maksudnya?”

“Kan dari awal aku sudah jujur sama kamu kalau aku punya istri.”

“Tapi kamu tidak lupa sama janji kamu yang katanya akan membahagiakan aku kan?”

“Tentu saja, Sayang!”

Dan mereka berdua pun mulai bertukar saliva kembali.

Kavita tiba di ruang kerja dan mengistirahatkan tubuhnya, dia memang sengaja pergi dari kamar utama bukan untuk mengalah kepada Yura. Namun, untuk membuktikan bahwa sang madu hanyalah seorang alternatif cadangan jika dirinya sedang tidak ada di rumah.

Istri pertama tetaplah yang utama, terlebih jika sang suami hanya bisa menengadahkan tangan kepadanya.

Malam itu untuk pertama kalinya Kavita tidur di rumahnya sendiri, tapi dengan posisi seperti sedang bermalam di rumah suami orang.

Pagi-pagi buta itu tidur Kavita sedikit terganggu oleh teriakan yang saling bersahutan.

“... terus ini gimana, Kak?”

“Apanya?”

“Uang sekolah aku, Kakak harus ganti!”

“Kamu tidak lihat kalau Kak Vita masih tidur? Sabar sedikit!”

“Aku kurang sabar gimana, coba? Tiga bulan, Kak! Tiga bulan aku nunggu ....”

“Nanti kalau Kak Vita sudah bangun! Sekarang lebih baik kamu siapkan sarapan buat kakak ipar kamu sana, sekalian bantu Kak Yura—kita harus bikin hati istriku senang dulu!”

“Istri yang mana, nih?”

Kavita menutup telinganya dengan telapak tangan dan tetap berpura-pura masih tidur nyenyak hingga suara-suara di luar berhenti dengan sendirinya.

Satu jam kemudian, Kavita dibuat heran dengan aura suram yang tampak di meja dapur ketika dia muncul.

“Kak Vita, hari ini aku bolos sekolah!” Karin langsung mengadu kepada kakak iparnya.

“Lho, kenapa?”

“Ini semua gara-gara Kak Deryl yang pakai uangku untuk ....”

“Diam kamu, Karin!” tukas Deryl ketika adiknya bermaksud memberi penjelasan kepada Kavita.

“Itu fakta,” ucap Karin menahan kesal. “Sekarang aku harus gimana dong, Kak Vita?”

Di antara manusia-manusia yang ribut itu, hanya ibu mertua dan Yura saja yang tidak ingin banyak omong.

“Sepertinya kita semua harus bicara deh,” kata Kavita sembari mengedarkan pandangannya ke semua orang.

“Oke, ini pasti soal keuangan kita yang aku kelola kan?” tanya Deryl antusias. “Katakan saja mana yang harus aku bayar, Vit.”

Kavita tersenyum simpul, kemudian memandang Deryl dengan tatapan yang membuat rasa cemburu Yura berkobar.

“Mana saja yang harus kamu bayar? Oke,” angguk Kavita tenang. “Yang harus kamu bayar itu meliputi uang sekolah Karin, listrik, air, kebutuhan sehari-hari, cicilan rumah, dan juga utang kamu yang belum lunas.”

Begitu mendengar kata utang, ekspresi wajah Yura mulai berubah.

“Tidak masalah, itu semua kan memang harus dibayar sesuai kewajiban.” Deryl masih senyum-senyum tidak jelas.

“Kamu betul sekali,” timpal Kavita seraya menuang air teh ke dalam cangkirnya yang kosong.

“Jadi siapkan saja uangnya, biar aku yang atur dengan bijak.”

“Uang apa?”

“Uang untuk membayar semua hal tadi itu, kan kamu sendiri yang bilang, Vit!”

“Aku tidak ada uang.”

“Apa?”

“Ya, aku sedang tidak ada uang.” Kavita memperjelas.

“Sudah tanggal segini, dan kamu tidak pegang uang?” tanya Deryl gusar. “Jangan bercanda, Vita!”

Ibu mertua mulai curi-curi pandang ke arah Kavita dan Deryl bergantian.

“Aku tidak bercanda, Deryl.”

“Terus bagaimana kita akan membayar semua itu kalau tidak pakai uang? Pakai apa, coba?”

“Pakai uang.”

“Mana uangnya?”

“Aku tidak pegang, justru aku pulang ke sini karena mengharapkan pendapatan toko kita.” Kavita beralasan.

“Omong kosong, pendapatan toko itu tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan sama gaji dari bos kamu!” Deryl mengusap wajahnya yang panik.

“Gaji kantor aku sudah dipakai untuk kebutuhan pribadiku.”

“Terus yang dari bos kamu dari kontrak tambahan itu mana? Biasanya sudah ditransfer pertengahan bulan kan? Ini sudah akhir bulan, masa belum dapat uangnya?” tanya Deryl tidak percaya.

Kavita menarik napas. “Kemarin itu kan kontrak aku sama bos kurang seminggu, jadi gajiku mungkin akan diberikan sekalian setelah kontrak benar-benar resmi berakhir. Ya aku tidak berani memaksa bosku untuk bayar gajiku sekarang.”

Deryl menggelengkan kepala, seakan dia sedang mengharapkan gajinya sendiri yang tidak kunjung turun kendati dia sudah bersabar menunggu.

“Telepon bos kamu sekarang,” suruh Deryl seenaknya. “Minta dia untuk transfer gaji kamu secepatnya.”

Kavita tidak segera menanggapi.

“Kak, uang sekolahku ...” pinta Karin memelas, tapi Kavita sengaja tidak memandang ke arah adik iparnya itu.

Semua itu karena Kavita memiliki hati yang rapuh dan mudah merasa kasihan terhadap orang lain.

“Aliran listrik dan air bisa diputus petugas kalau kita tidak bayar tepat waktu,” sahut ibu mertua hati-hati.

“Belum lagi cicilan rumah, kamu mau kalau kita kena denda?” imbuh Deryl frustrasi, sama seperti saat dia mencari rekan yang menyetorkan uang miliknya untuk investasi, tapi tidak ketemu.

“Aku juga tidak mau ini sampai terjadi, kalau begitu mari kita berpikir sebentar.” Kavita memijat-mijat keningnya. “Mungkin toko kita itu sudah saatnya ditekuni lebih serius ....”

“Kamu pikir selama ini aku tidak serius mengelola toko?” potong Deryl.

“Aku tidak bilang begitu, memangnya aku sebut nama kamu tadi?”

“Tahu nih Kak Deryl!” sambar Karin, membuat Deryl meliriknya tajam.

“Toko itu akan memberikan keuntungan kalau dikelola dengan sistem keuangan yang benar,” ujar Kavita lambat-lambat. “Jadi mulai sekarang kamu harus gunakan pembukuan sederhana, setidaknya kamu tahu pemasukan toko itu dapat keuntungan berapa setiap hari. Nah, kamu bisa gunakan keuntungan itu untuk membayar kebutuhan bulanan. Termasuk uang sekolah Karin, listrik dan air.”

Wajah Deryl kini sama suramnya dengan wajah Karin.

“Yang benar saja, keuntungan beberapa hari ke depan mana cukup untuk menutup itu semua!” sergah Deryl dengan kepala cenat-cenut.

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status