Air liur Deryl seolah sanggup menetes dari bibirnya ketika lengan Kavita terulur untuk membetulkan handuk yang menutupi kepalanya.
“Yura, kamu keluar dulu bantu ibu!” usir Deryl dengan ekspresi menyebalkan. “Vita, kemarin-kemarin kan aku belum sempat bermalam sama kamu ....”“Tidak usah,” tolak Kavita dengan berkelas, dari sudut matanya dia bisa melihat betapa kesalnya Yura dengan sikap yang diperlihatkan Deryl di depan mereka berdua.“Tidak usah bagaimana? Aku kan berusaha untuk bisa adil sama kalian berdua!” kata Deryl gusar. “Aku akan merasa sangat berdosa seandainya ada salah satu dari kalian yang tidak mendapatkan haknya ....”“Contoh?” Kavita menatap Deryl sedingin es.“Ya contohnya nafkah lahir dan juga nafkah batin, kedua hal itu harus seimbang kan?”“Nafkah lahir? Memangnya kapan terakhir kali kamu kasih aku nafkah lahir?” tanya Kavita sembari mengingat-ingat.Ucapan Kavita membuat Deryl mati kutu, terlebih lagi karena dia mengucapkannya tepat di hadapan istri kedua.“Ah, intinya adalah ... aku harus tetap adil sama kalian berdua!” cetus Deryl untuk menutupi kecanggungan. “Jadi malam ini, giliran kamu yang tidur di kamar utama ini ....”“Ryl!” protes Yura yang tidak bisa lagi menutupi rasa keberatannya.“Memang begitu, kamu seharusnya tidur di kamar ibu atau Karin karena kamar ini sejatinya adalah singgasana untuk aku dan Vita.” Deryl memperjelas.Kavita hanya memandang sebelah mata pada Deryl, dia tahu bahwa yang ada di pikiran suaminya adalah uang dan kepuasan batin saja.“Aku sudah sangat adil kan?” tanya Deryl ketika mendapati dua istrinya yang berdiri diam.“Terserahlah, aku mau istirahat.” Kavita mengibaskan tangannya dan melanjutkan langkah.“Tunggu, Vit—jangan bilang kalau kamu mau pergi lagi?”“Tidak kok, aku mau tidur sebentar.”“Tidur di kamar ini saja, aku sudah merapikan selimutnya—lihat!”Kavita menoleh, lalu mendengus saat memandang ranjang berharganya yang dirapikan asal-asalan dengan ujung seprai yang disisipkan ke bawah kasur ala kadarnya. Belum lagi selimut yang dilipat dadakan oleh Deryl sudah cukup menunjukkan betapa besar pengaruh Yura dalam menguasai kamar utama mereka.“Pakai saja,” angguk Kavita dengan wajah berpaling dan segera angkat kaki meninggalkan Deryl.“Vita, tunggu!”“Kamu ini, Ryl! Seperti tidak ada istri saja,” ucap Yura yang tidak tahan jika tidak menggerutu.Deryl seolah tersadarkan, dia menoleh menatap Yura dengan tatapan mendamba.“Yura, Sayang ...?”“Apa?” potong Yura galak. “Butuh pelampiasan secepatnya karena ditolak istri pertama?”Deryl tersenyum memuakkan. “Kamu ... tidak akan mungkin tega menyiksa suamimu, kan?”“Tidak usah merayu, Ryl. Lagipula kamu kepinginnya sama Vita, bukan aku!”“Yura, jangan seperti itu. Justru di saat gawat begini, kamu harus bisa menunjukkan kalau aku tidak salah memilih kamu sebagai istri.” Deryl mulai melancarkan rayuan mautnya.“Istri kedua kamu, maksudnya?”“Kan dari awal aku sudah jujur sama kamu kalau aku punya istri.”“Tapi kamu tidak lupa sama janji kamu yang katanya akan membahagiakan aku kan?”“Tentu saja, Sayang!”Dan mereka berdua pun mulai bertukar saliva kembali.Kavita tiba di ruang kerja dan mengistirahatkan tubuhnya, dia memang sengaja pergi dari kamar utama bukan untuk mengalah kepada Yura. Namun, untuk membuktikan bahwa sang madu hanyalah seorang alternatif cadangan jika dirinya sedang tidak ada di rumah.Istri pertama tetaplah yang utama, terlebih jika sang suami hanya bisa menengadahkan tangan kepadanya.Malam itu untuk pertama kalinya Kavita tidur di rumahnya sendiri, tapi dengan posisi seperti sedang bermalam di rumah suami orang.Pagi-pagi buta itu tidur Kavita sedikit terganggu oleh teriakan yang saling bersahutan.“... terus ini gimana, Kak?”“Apanya?”“Uang sekolah aku, Kakak harus ganti!”“Kamu tidak lihat kalau Kak Vita masih tidur? Sabar sedikit!”“Aku kurang sabar gimana, coba? Tiga bulan, Kak! Tiga bulan aku nunggu ....”“Nanti kalau Kak Vita sudah bangun! Sekarang lebih baik kamu siapkan sarapan buat kakak ipar kamu sana, sekalian bantu Kak Yura—kita harus bikin hati istriku senang dulu!”“Istri yang mana, nih?”Kavita menutup telinganya dengan telapak tangan dan tetap berpura-pura masih tidur nyenyak hingga suara-suara di luar berhenti dengan sendirinya.Satu jam kemudian, Kavita dibuat heran dengan aura suram yang tampak di meja dapur ketika dia muncul.“Kak Vita, hari ini aku bolos sekolah!” Karin langsung mengadu kepada kakak iparnya.“Lho, kenapa?”“Ini semua gara-gara Kak Deryl yang pakai uangku untuk ....”“Diam kamu, Karin!” tukas Deryl ketika adiknya bermaksud memberi penjelasan kepada Kavita.“Itu fakta,” ucap Karin menahan kesal. “Sekarang aku harus gimana dong, Kak Vita?”Di antara manusia-manusia yang ribut itu, hanya ibu mertua dan Yura saja yang tidak ingin banyak omong.“Sepertinya kita semua harus bicara deh,” kata Kavita sembari mengedarkan pandangannya ke semua orang.“Oke, ini pasti soal keuangan kita yang aku kelola kan?” tanya Deryl antusias. “Katakan saja mana yang harus aku bayar, Vit.”Kavita tersenyum simpul, kemudian memandang Deryl dengan tatapan yang membuat rasa cemburu Yura berkobar.“Mana saja yang harus kamu bayar? Oke,” angguk Kavita tenang. “Yang harus kamu bayar itu meliputi uang sekolah Karin, listrik, air, kebutuhan sehari-hari, cicilan rumah, dan juga utang kamu yang belum lunas.”Begitu mendengar kata utang, ekspresi wajah Yura mulai berubah.“Tidak masalah, itu semua kan memang harus dibayar sesuai kewajiban.” Deryl masih senyum-senyum tidak jelas.“Kamu betul sekali,” timpal Kavita seraya menuang air teh ke dalam cangkirnya yang kosong.“Jadi siapkan saja uangnya, biar aku yang atur dengan bijak.”“Uang apa?”“Uang untuk membayar semua hal tadi itu, kan kamu sendiri yang bilang, Vit!”“Aku tidak ada uang.”“Apa?”“Ya, aku sedang tidak ada uang.” Kavita memperjelas.“Sudah tanggal segini, dan kamu tidak pegang uang?” tanya Deryl gusar. “Jangan bercanda, Vita!”Ibu mertua mulai curi-curi pandang ke arah Kavita dan Deryl bergantian.“Aku tidak bercanda, Deryl.”“Terus bagaimana kita akan membayar semua itu kalau tidak pakai uang? Pakai apa, coba?”“Pakai uang.”“Mana uangnya?”“Aku tidak pegang, justru aku pulang ke sini karena mengharapkan pendapatan toko kita.” Kavita beralasan.“Omong kosong, pendapatan toko itu tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan sama gaji dari bos kamu!” Deryl mengusap wajahnya yang panik.“Gaji kantor aku sudah dipakai untuk kebutuhan pribadiku.”“Terus yang dari bos kamu dari kontrak tambahan itu mana? Biasanya sudah ditransfer pertengahan bulan kan? Ini sudah akhir bulan, masa belum dapat uangnya?” tanya Deryl tidak percaya.Kavita menarik napas. “Kemarin itu kan kontrak aku sama bos kurang seminggu, jadi gajiku mungkin akan diberikan sekalian setelah kontrak benar-benar resmi berakhir. Ya aku tidak berani memaksa bosku untuk bayar gajiku sekarang.”Deryl menggelengkan kepala, seakan dia sedang mengharapkan gajinya sendiri yang tidak kunjung turun kendati dia sudah bersabar menunggu.“Telepon bos kamu sekarang,” suruh Deryl seenaknya. “Minta dia untuk transfer gaji kamu secepatnya.”Kavita tidak segera menanggapi.“Kak, uang sekolahku ...” pinta Karin memelas, tapi Kavita sengaja tidak memandang ke arah adik iparnya itu.Semua itu karena Kavita memiliki hati yang rapuh dan mudah merasa kasihan terhadap orang lain.“Aliran listrik dan air bisa diputus petugas kalau kita tidak bayar tepat waktu,” sahut ibu mertua hati-hati.“Belum lagi cicilan rumah, kamu mau kalau kita kena denda?” imbuh Deryl frustrasi, sama seperti saat dia mencari rekan yang menyetorkan uang miliknya untuk investasi, tapi tidak ketemu.“Aku juga tidak mau ini sampai terjadi, kalau begitu mari kita berpikir sebentar.” Kavita memijat-mijat keningnya. “Mungkin toko kita itu sudah saatnya ditekuni lebih serius ....”“Kamu pikir selama ini aku tidak serius mengelola toko?” potong Deryl.“Aku tidak bilang begitu, memangnya aku sebut nama kamu tadi?”“Tahu nih Kak Deryl!” sambar Karin, membuat Deryl meliriknya tajam.“Toko itu akan memberikan keuntungan kalau dikelola dengan sistem keuangan yang benar,” ujar Kavita lambat-lambat. “Jadi mulai sekarang kamu harus gunakan pembukuan sederhana, setidaknya kamu tahu pemasukan toko itu dapat keuntungan berapa setiap hari. Nah, kamu bisa gunakan keuntungan itu untuk membayar kebutuhan bulanan. Termasuk uang sekolah Karin, listrik dan air.”Wajah Deryl kini sama suramnya dengan wajah Karin.“Yang benar saja, keuntungan beberapa hari ke depan mana cukup untuk menutup itu semua!” sergah Deryl dengan kepala cenat-cenut.Bersambung—Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay