Kavita tersenyum bijak. “Bagaimana kalau kita dengar dulu apa pendapat Yura?”
Sontak semua orang langsung mengarahkan pandangannya kepada Yura yang terduduk tegak di kursi.“Eh, kok ... kenapa aku?” Dia gelagapan.“Kamu kan istrinya Deryl juga,” komentar Kavita santai. “Jadi kamu harus terlibat setiap kali ada permasalahan seperti ini kan?”Yura diam saja, Kavita sangat menikmati ekspresinya saat berada di tengah-tengah keluarga bermasalah layaknya keluarga Deryl.“Aku percaya kalau Deryl bisa menyelesaikan setiap permasalahan rumah tangga,” cetus Yura kemudian. “Betul kan, Ryl?”Deryl tersentak. “Ah, iya! Tentu saja, tapi ....”“Aku setuju, Deryl selalu bisa menyelesaikan setiap masalah.” Kavita menimpali. “Kamu memang tidak salah memilih suami.”Yura tersenyum miring. “Aku tidak memilih, tapi Deryl sendiri yang memilihku.”Kavita melirik Deryl, yang merespons dengan menghindari tatapannya sekilas.“Kalau begitu aku serahkan pengeluaran ini kepada kalian berdua, termasuk uang sekolah Karin.”Wajah Deryl sontak memucat.“Tapi, Vit ... Itu kan ....”“Kenapa?”“Jumlahnya, kamu tahu kan?”“Jumlahnya kenapa?”“Jumlahnya tidak sedikit, Vita!” gerung Deryl frustrasi.“Aku tahu jumlahnya tidak sedikit,” komentar Kavita kalem. “Kalau memang tidak ada uang sekarang, mau bagaimana lagi?”“Minta bos kamu untuk transfer uangnya sekarang!” desak Deryl gusar. “Bilang sama dia kalau ada kebutuhan mendesak yang harus kamu bayar!”Kavita meminum tehnya sampai habis, setelah itu dia berdiri dan meninggalkan dapur.“Lihat, istri kamu itu bagaimana sih?” gerutu Yura yang semakin lama semakin tidak segan lagi untuk menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap Kavita. “Sudah deh, berhenti ngemis-ngemis seperti itu. Kamu bayar saja semuanya sendiri, terus biarkan Vita kerja di luar. Kalau perlu tidak usah pulang lagi ....”“Kak Yura lebih baik diam deh kalau tidak tahu apa-apa,” tukas Karin yang melampiaskan rasa kecewa karena gagal mendapatkan uang sekolah untuk kesekian kalinya. “Kak Vita itu justru yang selama ini ....”“Karin, kamu juga sebaiknya diam.” Deryl memperingatkan.“Terus uang sekolahku yang Kakak pakai ini gimana nasibnya?” rengek Karin sambil mengentakkan kakinya. “Bu, aku malu nunggak uang sekolah ...!”Ibu Deryl tampak sama bingungnya dengan situasi ini. Sejak Kavita kembali dan bertemu dengan Yura, situasi di rumah putranya sudah tidak sama lagi.“Bagaimana ini, Ryl?”“Ini aku sedang mikir, Bu.”Yura melipat kedua tangannya di dada, dia semakin curiga karena Deryl terlihat sangat ketergantungan kepada Kavita.Padahal kan aku juga istrinya, batin Yura geram.“Sayangku, Kavita!” panggil Deryl yang mengejar istri pertamanya sampai ke pintu. “Semua cicilan kita sudah jatuh tempo, uang sekolah Karin juga!”Kavita berbalik dengan tas di tangannya. “Aku bisa apa?”“Kamu bisa segalanya kan? Ayolah, jangan seperti ini sama aku ....”“Aku bisa segalanya, kamu bilang? Kamu kira aku malaikat?” Kavita tersenyum singkat. “Aku harus kembali ke rumah atasan aku.”“Bagus, segeralah pulang begitu kamu sudah dapatkan uang!” Deryl mengangguk sambil memegang kedua bahu Kavita. “Kalau perlu kamu keruk semua uang milik bos kamu itu, Sayang!”Kavita mengernyit, bagi Deryl dirinya hanyalah mesin pencetak uang saja.Yura yang membuntuti Deryl dari belakang terkesima ketika sebuah mobil hitam berkilat menepi di depan rumah dan Kavita langsung masuk ke dalamnya.“Itu ... Vita punya mobil? Kok kamu tidak punya?”“Ngawur, itu mobil bosnya.” Deryl memberi tahu. “Kamu beres-beres toko sana, Yura.”“Apa? Aku?”“Ya, kamu! Keuntungannya kan bisa kamu atur, itu toko bisa menjadi aset besar kalau kamu pintar mengelolanya seperti yang Vita bilang tadi.”“Terus kenapa bukan kamu saja yang kelola, Ryl?”Sontak Deryl salah tingkah lagi. Dia sudah lama menyerahkan tugas sebagai tulang punggung keluarga ke pundak Kavita semenjak mengalami depresi, dan tanpa sadar dia sudah mulai nyaman dengan situasi ini.Di mana sang istri lah yang berjibaku di luar sana untuk mencukupi kebutuhan keluarga.“Keuntungannya bisa buat aku semua nih?” tanya Yura memastikan.“Tergantung, kamu pintar mengelola atau tidak.” Deryl mengedipkan matanya. “Punya bisnis sendiri, ibaratnya kamu yang jadi bos kan?”Yura terdiam. Benar juga, dengan menguasai salah satu aset saja sudah cukup lumayan sebagai permulaan.Kavita sengaja tidak pulang dan membiarkan Deryl menunggunya dengan harapan kosong karena dia tidak ingin lagi diperas secara fisik dan juga pikiran.“Kamu sudah pamit pada suami kamu kalau kamu tidak pulang?” tanya Ezra heran ketika Kavita masih berada di rumahnya saat hari menjelang malam.“Tidak, Pak. Palingan dia menunggu uang saya yang datang.”Ezra mengerutkan kening saat Kavita mengulurkan satu setel piyama tidur kepadanya.“Kamu kasih?”“Tidak, Pak. Biar gantian dia yang berpikir untuk mencari jalan keluar,” geleng Kavita tanpa memandang Ezra secara langsung. “Ada lagi yang Anda butuhkan, Pak?”Ezra menggeleng. “Kamu boleh pergi.”Kavita mengangguk sopan dan segera berlalu meninggalkan kamar Ezra.“Ponselku pasti penuh notif,” gumam Kavita seraya masuk ke kamar yang selama ini dia tempati. “Bisa aku bayangkan situasi rumah kami sekarang seperti apa.”Benar saja, layar ponsel Kavita sudah penuh dengan motif puluhan dari berbagai pihak yang sedari tadi berusaha menghubunginya.Namun, dia tidak ingin repot-repot untuk memikirkan.Seberisik apa pun ponselnya berdering, selama itu dari Deryl dan Karin, Kavita tidak akan mempedulikannya sedikit pun. Hanya sesekali saja dia kirim pesan kepada mereka untuk jangan mengganggunya dulu selama menunggu surat pemberhentian kontrak keluar.Padahal bukan itu yang sedang Kavita tunggu.Seharian ini Ezra begitu sibuk, sehingga Kavita tidak berani membahas tentang perpanjangan kontrak pernikahan mereka. Meminta perpanjangan saja sudah cukup membuat harga diri Kavita terjun bebas sampai ke dasar, apalagi kalau sampai dia mendesak Ezra untuk cepat-cepat menyetujui perpanjangan kontrak pernikahan mereka.Kavita masih punya rasa malu meskipun hanya tersisa sedikit saja.“Pak Ezra, tolong perpanjang kontrak kita ...” gumam Kavita ketika dia akan tidur malam, dia tidak tahu lagi harus minta tolong kepada siapa seandainya Ezra tidak bersedia memperpanjang kontrak pernikahan mereka.Tepat satu hari menjelang berakhirnya kontrak, Ezra meminta Kavita untuk datang ke ruang kerjanya.“Permisi, Pak?”“Masuk,” suruh Ezra ketika Kavita baru mengetuk pintu ruang kerjanya selama beberapa saat.Kavita melangkah masuk dan menghadap Ezra.“Duduklah, baca ini baik-baik.”“Ini apa Pak, maaf?”“Surat kontrak baru, saya menyetujui perpanjangan kontrak pernikahan kita ....”“Terima kasih, Pak!” ucap Kavita lega, bahkan sebelum Ezra selesai berbicara. “Saya sangat membutuhkan kontrak ini ....”“... tapi saya juga sudah masukkan beberapa poin sebagai tambahan, silakan kamu baca dulu baik-baik.”Kavita dengan gugup membuka surat kontrak baru yang diberikan Ezra kepadanya.“Maaf, Pak ... Biar tidak terlalu lama, apakah Anda ingat poin mana saja yang sudah Anda tambahkan?”“Baca saja satu per satu tiap lembar, tidak masalah.” Ezra membalas datar.“Kalau begitu apa boleh saya pelajari ini di luar? Saya tidak ingin mengganggu jam kerja Anda.”“Terserah kamu.”Kavita menganggap jawaban Ezra berarti boleh, karena itu dia beranjak dari duduknya dan pergi ke kamar sebelah untuk mempelajari kontrak itu dengan saksama.Ini memang bukan untuk pertama kalinya Kavita duduk lama guna membaca seluruh pasal yang tercantum di dalam surat kontrak, tapi setelah sebelumnya kontrak pernikahan dengan Ezra tidak pernah timbul masalah yang berarti untuknya, tanpa ragu Kavita memutuskan untuk langsung menandatangani saja surat perpanjangan kontrak mereka.“Pak Ezra!” Kavita buru-buru masuk ke ruang kerja lagi. “Ini surat kontraknya—saya sudah baca, saya juga sudah tanda tangan sekalian.”Ezra mengerutkan keningnya saat Kavita mengulurkan surat kontrak itu.“Kamu sudah tanda tangan?”“Betul, Pak. Memangnya ada apa, ya?”“Kamu sudah baca seluruh pasal perjanjian di kontrak itu?”Kavita tersenyum rikuh. “Sudah sekilas, tapi saya percaya kok kalau Anda tidak mungkin merugikan saya dengan penambahan pasal di surat kontrak yang baru.”Ezra terdiam selama beberapa saat.“Jangan bilang kalau kamu belum membaca poin-poin perjanjian yang saya tambahkan tadi?”“Ah, itu ... Seperti yang saya bilang, saya percaya kalau Anda tidak akan menambahkan poin-poin yang merugikan saya.”Ezra terpaku diam.“Tinggal menunggu tanda tangan Anda saja, dan surat kontrak itu resmi berlaku kan?” tanya Kavita memastikan.“Ya, seperti itu.”“Baiklah, saya permisi Pak.”Ezra melirik punggung Kavita yang menjauh darinya.Pantas saja suamimu memanfaatkan kamu, kata Ezra dalam hati.Bersambung—Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay